• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Kabupaten Nganjuk Sebagai Penyangga Suplai Stok Bawang Merah Di Propinsi Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potensi Kabupaten Nganjuk Sebagai Penyangga Suplai Stok Bawang Merah Di Propinsi Jawa Timur"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

68

POTENSI KABUPATEN NGANJUK SEBAGAI PENYANGGA SUPLAI STOK BAWANG MERAH DI PROPINSI JAWA TIMUR

Dwi Iriyani

Unit Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka Surabaya email korespondensi: dwiiriyani@ecampus.ut.ac.id

ABSTRAK

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas strategis yang bernilai ekonomi tinggi dan seringkali memicu inflasi karena fluktuasi suplai. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia pada saat ini mencapai 650.000 ton/tahun, dan meningkat sekitar 5% setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan. Dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan pemerintah Propinsi Jawa Timur berupaya mewujudkan kecukupan stok bawang merah dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui potensi usahatani bawang merah di Kabupaten Nganjuk yang keluarannya bermanfaat untuk menentukan kebijakan pengamanan stok dan pengembangan usahatani bawang merah di daerah penyangga suplai stok bawang merah di Propinsi Jawa Timur. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Kabupaten Nganjuk sangat berpotensi sebagai daerah penyangga suplai stok bawang merah dengan produksi mencapai 146.700 ton dan berkontribusi terhadap produksi nasional sebesar 12,08%.

Kata kunci: Bawang merah, potensi, penyangga suplai

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman semusim yang dimanfaatkan sebagai sayuran bumbu. Tanaman ini menjadi salah satu komoditas hortikultura yang sangat penting di Indonesia, karena hampir semua masakan membutuhkan komoditas ini. Selain dipakai sebagai bahan bumbu masakan, dunia medis dan nutrisi meyakini bahwa bawang merah memiliki khasiat yang sangat baik bagi kesehatan antara lain membantu menurunkan kolesterol dalam darah (Nita, 2018). Oleh karena itulah bawang merah menjadi salah satu komoditas yang selalu dicari dan dibutuhkan. Konsumsi bawang merah penduduk Indonesia pada saat ini mencapai 650.000 ton, dan meningkat sekitar 5% setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri olahan.

Produksi bawang merah di Indonesia mengalami fluktuasi serta berbeda pada setiap daerah atau sentra produksi. Ketidakstabilan produksi menyebabkan pasokan bawang merah bervariasi antar waktu sehingga pada saat-saat tertentu Indonesia masih mengimpor bawang merah. Hal ini dikarenakan bawang merah merupakan tanaman musiman yang hanya ditanam pada musim-musim tertentu.

Pengaruh musim tidak hanya berdampak pada adanya fluktuasi produksi tetapi juga menyebabkan adanya fluktuasi harga. Sifat produk bawang merah yang mudah rusak (perishable) menyebabkan harga cenderung fluktuatif dan perubahan harga yang sangat cepat (Asmara dan Ardhiani, 2010).

(2)

69

Selain faktor musim, faktor yang mempengaruhi produksi komoditi pertanian antara lain adalah faktor sarana pertanian, cara budidaya dan karakteristik petani. Dengan kata lain, faktor input akan mempengaruhi output produksi pertanian, yang berfluktuasi pada setiap daerah sentra masing-masing komoditas di seluruh Indonesia. Fluktuasi harga bawang merah terjadi karena perubahan permintaan dan penawaran seringkali menyebabkan inflasi. Selama kurun waktu 2015 bawang merah telah menyebabkan inflasi sebanyak dua kali yakni bulan Maret dan bulan Juni 2015 (Sari, 2015; dan Pujiastuti, 2015). Setiap tahunnya terjadi siklus kenaikan harga bawang merah pada bulan Desember sampai Mei. Kondisi ini terjadi karena adanya defisit suplai di pasar. Jelang bulan puasa 2018 harga bawang merah kembali melonjak, menembus angka di atas Rp. 40.000/kg.

Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menstabilkan suplai bawang merah dengan melakukan pengembangan luas tanam di areal tanam baru dan melakukan intensifikasi untuk meningkatkan produksi. Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan ingin mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup dan harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Untuk menstabilkan harga maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Bulog bekerja sama untuk menjaga kecukupan stok dan harga bawang merah.

Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu sentra produksi bawang merah di Provinsi Jawa Timur. Bahkan lokasi tersebut merupakan salah satu sentra produksi bawang merah terbesar di Jawa Timur (BPS Jawa Timur, 2007). Salah satu lokasi di Kabupaten Nganjuk sebagai sentra produksi bawang merah adalah Desa Sukomoro, Kecamatan Sukomoro. Menurut penelitian Hindarti (2014), rata-rata produksi bawang merah di Kecamatan Sukomoro adalah sembilan ton per hektar, dengan keuntungan petani sebesar lebih dari 35 juta rupiah per hektar.

Bawang merah seperti komoditas hortikultura lainnya mempunyai sifat mudah rusak dan setelah panen dapat mengalami perubahan yang cenderung merugikan akibat kegiatan pasca panen yang buruk. Melihat produksi bawang merah yang berubah-ubah, harga bawang merah selalu berfluktuasi. Pada panen besar produksi melimpah dan harga bawang merah menjadi rendah, sedangkan pada waktu tertentu produksi rendah sehingga harga bawang merah menjadi tinggi. Upaya untuk mengendalikan harga yang berfluktuasi, perlu dilakukan usaha pengawetan yang mendatangkan keuntungan.

Menurut Soekartawi (1991), komponen dalam pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena pengolahan yang baik dari produsen dapat meningkatkan nilai tambah hasil pertanian tersebut. Selain dari itu, pengolahan hasil pertanian juga akan

(3)

70

meningkatkan kualitas. Konsekuensi logis dari hasil olahan yang lebih baik akan menyebabkan total penerimaan yang lebih tinggi .

Kabupaten Nganjuk memiliki beberapa usaha industri yang mengolah Bawang Merah. Usaha industri yang berkembang di masyarakat adalah industri rumah tangga dan industri kecil. Pengolahan bawang merah Kabupaten Nganjuk menjadi bawang goreng memberikan nilai tambah terhadap usaha tani bawang merah. Besarnya nilai tambah yang diperoleh bawang merah di Kabupaten Nganjuk setelah diolah menjadi bawang goreng, belum diketahui.

Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu kabupaten dengan potensi pertanian yang dominan, dengan wilayah pertanian sebesar 43,026 hektar dan memiliki jumlah rumah tangga tani sebesar 75% dari total rumah tangga di Kabupaten Nganjuk. Peranan pertanian yang dominan dapat dilihat dari PDRB Kabupaten Nganjuk yakni sebesar 28,14% (Dirjen Otonomi Daerah, 2013).

Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu sentra produksi bawang merah nasional. Kontribusi produksi bawang merah Kabupaten Nganjuk terhadap produksi nasional sebesar 12.08% dengan produksi mencapai 146.700 ton. Selain menyandang daerah sentra produksi, di Kabupaten Nganjuk terdapat pasar bawang merah yang cukup besar, berlokasi di Kecamatan Sukomoro. Bawang merah yang ditransaksikan di Pasar Sukomoro sebagian besar berasal dari wilayah Kecamatan Sukomoro, Gondang, Rejoso, Bagor, dan sedikit dari Kecamatan Nganjuk. Walaupun ada juga perdagangan bawang merah dari Brebes (bawang merah lokal) dan Surabaya (bawang merah impor). Pengiriman bawang merah dari pasar Sukomoro terdistribusi merata, 48% penjualan bawang merah menuju ke arah Barat (Madiun, Solo, Jakarta), 36% ke arah Timur (Surabaya dan Jombang), dan 16% ke arah Utara (Agropolitan Nganjuk, 2012).

Beberapa kendala yang masih dihadapi oleh petani bawang merah di Kabupaten Nganjuk diantaranya: 1) pendapatan petani yang umumnya masih rendah, 2) keterbatasan dan penurunan kapasitas SDM pertanian, 3) tuntutan pembangunan pertanian berkelanjutan, 4) keterbatasan akses layanan usaha dan permodalan, 5) rantai tataniaga yang panjang, dan 6) sistem alih teknologi, kualitas SDM petani dan kelembagaan petani pada umumnya masih lemah (Dipertan Kab. Nganjuk, 2009).

Kabupaten Nganjuk merupakan sentra penghasil bawang merah di Propinsi Jawa Timur dengan total areal penanaman seluas 11.300 hektar, terluas kedua setelah Kabupaten Brebes di Jawa Tengah. Sentra penanaman bawang merah di Kabupaten Nganjuk berada di lima kecamatan, yaitu Bagor, Wilangan, Sukomoro, Gondang dan Rejoso. Produksi bawang merah di Kabupaten Nganjuk menyumbang 80% produksi bawang merah di Propinsi Jawa Timur, dengan frekuensi panen 2-4 kali dalam setahun.

(4)

71

Tidaklah mengherankan bagi warga Kabupaten Nganjuk apabila di mana-mana banyak orang menanam, memanen, menjemur, atau menjual belikan bawang merah. Apabila membeli bawang merah di Kabupaten Nganjuk, pusatnya ada di Pasar Sukomoro, yang merupakan surga bawang merah. Pasar yang berada di Jalan Surabaya-Madiun, Kecamatan Sukomoro ini dikenal sebagai pasar yang mengkhususkan diri pada transasksi jual-beli bawang merah. Di setiap sudut pasar ini hanya akan ditemui penjual dan pembeli bawang merah. Harga normal untuk satu kilogram bawang merah rata-rata berkisar antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 13.000,-

Tanah pertanian di Kabupaten Nganjuk merupakan surga bagi penangkaran benih bawang merah. Kabupaten Nganjuk memiliki 400 kelompok tani hortikultura dengan setiap kelompok rata-rata terdiri dari 10 orang dengan kepemilikan tanah masing-masing petani seluas 0,25 hektar. Bibit selama ini masih didapat dengan menyisakan 20% hasil panen petani. Beberapa variertas bawang merah yang terdapat di Kabupaten Nganjuk adalah Bauji, Tajuk, dan varietas dari Thailand (Waryanto, 2015). Varietas Tajuk memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa apabila ditanam di luar wilayah Kabupaten Nganjuk, sehingga tujuan untuk memaksimalkan hasil produksi bawang merah bisa tercapai. Kementerian Pertanian Republik Indonesia merekomendasikan bahwa varietas bawang merah Tajuk merupakan varietas unggul yang mana bisa tumbuh dengan baik di seluruh Nusantara, di dua musim yaitu di dataran rendah maupun dataran tinggi.

PEMBAHASAN

Adanya perbedaan produksi pada musim kemarau dan musim penghujan, mengakibatkan fluktuasi produksi selalu terjadi pada usaha tani bawang merah yang disebabkan adanya perbedaan produksi di musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim penghujan intensitas serangan hama terutama Spodoptera exigua dan penyakit karena Fusarium, Alternaria dan Antraknose semakin tinggi. Sehingga kegagalan panen sering terjadi pada musim penghujan. Hal ini disebabkan pada musim penghujan, kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan musim kemarau sehingga intensitas serangan penyakit lebih tinggi. Pada musim kemarau suhu udara lebih tinggi dibandingkan musim penghujan sehingga intensitas serangan hama lebih tinggi dibandingkan intensitas serangan penyakit (Rosmahani et al., 1998). Hal ini berakibat pada musim penghujan produktivitas semakin menurun dan pasokan produksi bawang merah juga menurun sehingga terjadi fluktuasi harga. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan adanya varietas bawang merah yang sesuai untuk dibudidayakan pada musim kemarau dan musim penghujan.

(5)

72

1. Belum cukup tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit serta sesuai pada musim penghujan

Sampai saat ini belum tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit penting kecuali varietas Sumenep. Hanya saja varietas Sumenep kurang disukai konsumen karena warna umbi kekuningan dan bentuknya lonjong serta kecil. Namun sebenarnya varietas Sumenep sangat renyah dan enak untuk bawang goreng. Dan nampaknya hasil somaklonal varietas Sumenep mempunyai daya adaptasi yang luas pada beberapa agroekologi di dataran rendah hingga dataran tinggi (Baswarsiati et al., 2000).

Varietas bawang merah yang selama ini ditanam oleh petani umumnya varietas yang sesuai ditanam di musim kemarau saja namun rentan terhadap serangan hama ulat grayak serta penyakit penting pada bawang merah. Seperti halnya delapan varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah antara lain varietas Bima Brebes, Maja, Keling, Medan, Super Philip, Kramat-1, Kramat-2, dan Kuning. Varietas unggul bawang merah yang sesuai pada musim penghujan dan telah dilepas Pemerintah hanya varietas Bauji. Usahatani bawang merah pada musim kemarau menghasilkan pasokan produksi yang tinggi karena cukup banyak ragam varietas yang dapat ditanam di musim kemarau. Pada musim penghujan petani tetap menggunakan varietas yang sesuai untuk musim kemarau seperti Super Philip, Bima, Kuning, Maja karena keterbatasan varietas yang sesuai untuk musim penghujan. Varietas Bauji yang telah dilepas menjadi varietas unggul untuk musim penghujan baru berkembang di Kabupaten Nganjuk dan sekitarnya. Varietas Bauji untuk sementara ini baru berkembang dengan luas areal tanam sekitar 5.000 hektar (Baswarsiati, 2000).

2. Ketergantungan petani bawang merah terhadap benih impor

Dalam usahatani bawang merah, benih merupakan salah satu faktor produksi yang memerlukan biaya tinggi, dengan kebutuhan benih sekitar 800 – 1.200 kg/ha. Tingginya kebutuhan benih bawang merah baik dalam bentuk benih komersial maupun benih sumber, ternyata belum diikuti produksi benihnya. Selain itu petani bawang merah di Indonesia sangat tergantung terhadap benih impor seperti varietas Super Philip dan varietas dari Thailand, India, dan Vietnam. Benih impor tersebut hanya bisa disimpan untuk 2-3 bulan. Belum banyak produsen yang mau bergerak di bidang perbenihan bawang merah (Indrawati dan Padmono, 2001). Kendala tersebut disebabkan antara lain: a) usaha perbenihan bawang merah membutuhkan modal yang besar, areal serta gudang yang luas; b) pengetahuan dan keterampilan SDM terutama dalam produksi benih masih rendah; c) daya simpan benih bawang merah rendah (2-5 bulan) dengan susut bobot yang tinggi; d) permasalahan penyimpanan benih dapat diatasi dengan

(6)

73

pembentukan benih berupa biji, namun keterampilan ini cukup sulit disosialisasikan pada petani bawang merah.

3. Serangan Hama Ulat Bawang Merah

Ulat bawang merah Spodoptera exigua dijumpai hampir pada setiap umur tanaman bawang merah. Ulat menyerang tanaman dengan cara memakan daun bagian dalam, daun bawang merah tinggal epidermisnya saja, sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih transparan. Serangan hama ini menyebabkan kehilangan hasil 56,94%-57% (Dibyantoro, 1993; Sastrosiswoyo, 1994) bahkan tanaman pernah rusak 100% di daerah Probolinggo hingga menyebabkan puso (Rosmahani dkk, 2001). Ulat berukuran panjang sampai + 25 mm, berwarna hijau atau coklat dengan garis tengah berwarna kuning. Serangga dewasa meletakkan telur pada daun bawang merah dan gulma yang tumbuh di sekitarnya. Siklus hidup hama ini sempurna yaitu telur, larva, pupa, dan imago yang berupa ngengat (Duriat et al., 1994).

Pola tanam yang umum dikerjakan oleh petani bawang merah terutama di lahan irigasi adalah: padi – bawang merah – bawang merah – bawang merah atau padi – bawang merah – cabai merah – bawang merah. Padi ditanam pada waktu musim penghujan. Waktu yang dipilih untuk merotasi tanah dengan tanaman padi tidak serentak. Sejak akhir musim penghujan sampai dengan pertengahan musim penghujan berikutnya petani menanam bawang merah pada lahannya atau kadang-kadang di sela dengan tanaman jagung. Pola tanam yang demikian merupakan pola tanam yang tidak memutus siklus hidup hama ulat Spodoptera exigua. Keadaan ini menyebabkan tersedianya semua inokulum hama ulat Spodoptera exigua dalam areal tanamana bawang merah yang luas.

Petani di Kabupaten Nganjuk dalam mengendalikan hama tersebut menggunakan insektisida yang beredar di pasaran sebagai andalan utama. Menurut Stallen dkk (1990) frekuensi dan dosis yang digunakan dalam mengendalikan ulat

Spodoptera exigua cukup tinggi. Volume larutan insektisida yang digunakan pada setiap

aplikasi berkisar 560 – 1.588 liter per hektar. Petani melakukan penyemprotan secara berkala 3 – 4 hari sekali, sehingga dalam satu musim tanam melakukan penyemprotan 15- 20 kali (Dibyantoro, 1995). Bahkan pada bulan Agustus interval penyemprotan meningkat menjadi 1 - 2 hari sekali, sehingga dalam satu musim tanam dapat mencapai 50 kali aplikasi insektisida (Rosmahani dkk, 1998). Jika udara panas terus menerus, maka pengendalian ulat dengan cara mekanis yaitu mengambil dan membuang kelompok telur maupun ulatnya. Disamping itu juga dengan cara aplikasi insektisida (interval 1 – 2 hari sekali), namun tetap tidak dapat mengendalikan populasi ulat

Spodoptera exigua yang meningkat cepat dalam waktu satu minggu hingga

(7)

74

Hasil penelitian telah banyak menyajikan komponen-komponen pengendalian yang dapat dirakit dalam satu pengendalian secara terpadu (PHT), diantaranya adalah penerapan budidaya tanaman sehat, pergiliran tanaman, penanaman serentak, pengendalian secara mekanis, pengendalian secara hayati. Namun jika lingkungan kurang mendukung terutama pada saat tanam di bulan Agustus, keadaan udara sangat panas temperatur udara diatas 290C, tidak ada curah hujan, sumber infeksi hama sudah

tersedia di sekitar pertanaman karena sudah ada pertanaman sejak awal musim kemarau, populasi hama dapat meningkat sangat cepat dalam waktu 1 – 2 hari, untuk itu diperlukan alternatif komponen pengendalian yang lain. Komponen pengendalian yang harus disertakan adalah pengendalian fisik dengan jalan memberikan kerodong kasa pada seluruh tanaman dengan tinggi kerodong 175 cm, yang dipasang sejak sebelum bibit bawang merah ditanam sampai saat panen. Petani masih dapat masuk kedalam kerodong kasa untuk melakukan aktivitas pemeliharaan tanaman.

Keberhasilan kerodong kasa pada usahatani bawang merah ini adalah sebagai barier fisik bagi masuknya hama ulat Spodopteraexigua pada tanaman bawang merah. Ukuran lubang bahan kerodong kasa adalah sebesar 17 mesh, sehingga ngengat yang datang tidak dapat masuk kedalam pertanaman bawang merah. Jika ngengat hinggap pada permukaan bagian atas kerodong kasa dan bertelur maka masih ada kemungkinan telur jatuh pada daun bawang merah di dalam kerodong kasa. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pengendalian mekanis yaitu dengan mengambil dan membuang telur yang ada pada tanaman bawang merah. Secara tidak langsung kerodong kasa dapat membantu memperbaiki lingkungan tumbuh bawang merah pada saat musim kemarau (saat tanam bulan Agustus). Pada saat itu kondisi udara panas dan kering dengan temperatur udara diatas 300C. Pada kondisi tersebut bawang merah mengalami

respirasi yang tinggi (Sumami dan Rosliani, 1995), keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi lemas dan lemah. Penggunaan kerodong kasa secara fisik juga dapat mengurangi intensitas sinar matahari dan respirasi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman bawang merah dapat berlangsung dengan normal sehingga dapat menghasilkan umbi dengan baik. Selain itu penggunaan kerodong kasa dapat mengurangi bahkan meniadakan penggunaan insektisida kimia dalam jumlah besar sehingga dapat menekan efek negatif insektisida baik di lapangan maupun di tingkat konsumen.

Kerodong kasa dapat diterapkan pada pertanaman yang sempit maupun yang luas, namun pada umumnya ukuran kerodong kasa yang diterapkan oleh petani per unit antara 500 m2 sampai 2.000 m2. Keberhasilan pengendalian hama ulat dengan

menggunakan kerodong kasa ini dapat mencapai 100% dan bawang merah dapat dipanen dengan hasil optimal. Biaya penggunaan kerodong kasa untuk pertanaman

(8)

75

bawang merah dengan luas lahan 1.300 m2 adalah sebesar Rp1.652.500,-. Biaya

penggunaan kerodong kasa ini setara dengan biaya aplikasi penggunaan insektisida, dan kerodong kasa ini dapat digunakan untuk 6 - 8 kali musim tanam jika perawatan kasa dilakukan dengan baik (Rosmahani dkk, 2001).

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) Kabupaten Nganjuk memiliki potensi yang besar sebagai daerah pengembangan bawang merah yang berfungsi sebagai penyangga stok bawang merah nasional dengan produksi 146.700 ton/hektar dan berkontribusi terhadap produksi nasional sebesar 12,08%. (2) Kabupaten Nganjuk merupakan sentra penghasil bawang merah di Propinsi Jawa Timur dengan total areal penanaman seluas 11.300 hektar. Sentra penanaman bawang merah di Kabupaten Nganjuk berada di lima Kecamatan, yaitu Bagor, Wilangan, Sukomoro, Gondang dan Rejoso. Produksi bawang merah di Kabupaten Nganjuk menyumbang 80% produksi bawang merah di Propinsi Jawa Timur, dengan frekuensi panen 2-4 kali dalam setahun. (3) Dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, Pemerintah Propinsi Jawa Timur berupaya untuk menyediakan pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Untuk menstabilkan harga maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Bulog bekerja sama untuk menjaga kecukupan stok dan harga bawang merah. (4) Pengaruh musim tidak hanya berdampak pada adanya fluktuasi produksi tetapi juga menyebabkan adanya fluktuasi harga. Sifat produk bawang merah yang mudah rusak menyebabkan harga cenderung fluktuatif dan perubahan harga yang sangat cepat. Upaya untuk mengendalikan harga bawang merah yang berfluktuasi perlu dilakukan usaha pengawetan yang mendatangkan keuntungan, melalui penanganan pasca panen, pengolahan hasil dan kemitraan usaha berbasis Pendekatan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga dapat mengatasi permasalahan teknis, ekonomi dan sosial petani bawang merah.

Saran: (1) Perlu dikembangkan penelitian untuk mendapatkan varietas unggul bawang merah yang sesuai ditanam pada musim penghujan serta tahan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga produksi bawang merah pada musim penghujan tetap tinggi seperti pada musim kemarau. (2) Perlu ditingkatkan peran pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap sistem pemasaran bawang merah, melalui peningkatan peran KUD dalam membantu petani menyediakan fasilitas-fasilitas produksi maupun pemasaran sehingga dominasi para pedagang dalam penentuan harga dapat dikurangi. Dan Pemerintah Kabupaten Nganjuk dan Dinas Pertanian setempat perlu melakukan pendampingan, penyuluhan rutin, maupun pinjaman modal usaha dengan bunga ringan pada petani bawang merah.

(9)

76

DAFTAR PUSTAKA

Asmara R dan Ardhiani R. 2010. Integrasi Pasar dalam Sistem Pemasaran Bawang Merah. AGRISE 10 (3): 164 – 176.

Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina. 2000. Review Pengkajian Sistem

Usahatani Bawang Merah Di Lahan Sawah. Hasil Penelitian/Pengkajian

Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. Bogor: Badan Litbang Pertanian.

Badan Pusat Statistik. 2013. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Bawang

Merah. Nganjuk : BPS.

Dibyantoro, A.L.H. 1993. Dayaguna Insektisida Reldan 24 EC Terhadap Spodoptera

exigua Hubn. Pada Tanaman Bawang Merah. Buletin Penelitian Hortikultura 25(2):

54 – 60.

Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. 2015. Masterplan Pengembangan Kawasan

Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pertanian

Propinsi Jatim.

Dirjen Otonomi Daerah. 2013. Impor dan Ekspor Sayuran Tahun 2012. Jakarta

Duriat, A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, R. Sutarya. 1994. Penerapan Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Pada Budidaya Bawang

Merah. Lembang: Badan Litbang Pertanian.

Hindarti. 2014. Model Pengembangan Kelembagaan Pasca Panen, Pengolahan Hasil dan Kemitraan Usaha Bawang Merah di Sentra Produksi Melalui Pelatihan dan Pendampingan (Studi Kasus di Daerah Sentra Produksi Bawang di Kabupaten Nganjuk). Agromix Vol 6 No. 2: 72 – 93.

Listianawati, N.N. 2014. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Bawang

Merah di Desa Kupu, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Brebes. Skripsi. Program

Studi Agribisnis, Fakultas sains dan Matematikan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Rosmahani, B., Nusantoro, R.D. Wijadi, M. Mahuri, Koespiatin, S. Fatimah, Riswandi, S.Z. Sa’adah. 1998. Pengkajian Paket Teknik Budidaya dalam

Usahatani Bawang Merah di Luar Musim. Hasil Penelitian dan Pengkajian

Sistem Usahatani Jawa Timur. Karangploso: Balitbang. Puslit Sosek Pertanian.

Soekartawi. 2000. Pengantar Agrobisnis. PT. Raja Grafindo : Jakarta. Soekartawi. 1991. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Rajawali Press : Jakarta

Stallen, M.P.K., M.T. Koestoni and A.T. Arifin. 1990. Evaluation of performance of knapsack sprayers used for cultivation of hot pepper and shallots in farmers field.

In Improving spraying Techniques for Lowland Vegetables. Internal

Communication LEHRI/ATA-395 (22): 9 – 13.

Sumami, N. dan R. Rosliani. 1995. Ekologi Bawang Merah. Jakarta: Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang Pertanian.

(10)

77

Waryanto B., Chozin MA., Dadang., Putri EIK.. 2015. Environmental efficiency analysis of shallot farming: a stochastic frontier translog regression approach.

Referensi

Dokumen terkait

Wisata yang berkonsep edukasi sangat menguntungkan buat pendidikan dan perkembangan anak-anak dapat belajar sambil rekreasi dan mendapat pengetahuan yang baru

Pada tahun 1839, ahli kimia Jerman Robert Whilhelm Bunsen menggunakan larutan encer sebagai media dan menempatkannya dalam tabung pada keadaan temperatur di atas

3.2 Pengaruh Ukuran Partikel Karbon Aktif Terhadap Adsorpsi Logam Pb Proses karbonisasi kulit durian dilakukan dengan cara karbonisasi dalam suhu yang tinggi

Waskita Karya (Persero) Tentang Persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Tahun 2007.. Risk Budgeting and The Art of Good Risk

Hasil pengolahan data kelerengan pada penampang Stasiun 1 bentuk sungai curam pada sisi kanan sungai dan sisi kanan sungai lebih tinggi dari pada sisi kiri,

Dalam Perancangan Corporate Identity Sepatu Sekolah Homy Ped Produksi PT Dwi Naga Sakti Abadi, penulis berasumsi bahwa Homy Ped merupakan produk yang memiliki keunggulan yaitu

Adapun saran dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Sintang yaitu perlu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam pada kadar glukosa dan tingkat kerusakan pulau langerhans pankreas tikus