• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA KIMCIL DI KOTA BANYUWANGI (Analisis Prostitusi Terselubung Berkedok Pelajar Sekolah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FENOMENA KIMCIL DI KOTA BANYUWANGI (Analisis Prostitusi Terselubung Berkedok Pelajar Sekolah)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

26

FENOMENA

KIMCIL

DI KOTA BANYUWANGI

(Analisis Prostitusi Terselubung Berkedok Pelajar Sekolah)

Dea Denta Tajwidi

Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

Email: ddenta123@gmail.com

ABSTRAK

Kimcil

merupakan singkatan dari

kimpet cilik

atau bisa juga

kimpol cilik

(bahkan ada juga yang mengartikan sebagai

kimplikan cilik

). Dalam bahasa Indonesia

kimpet

berarti vagina kecil.

Kimcil

merupakan remaja yang berumur 14-19 tahun yang

rata-rata masih pelajar SMP sampai SMA dengan berpenampilan modis dan melakukan

pergaulan bebas yang bertujuan menarik banyak laki-laki dan rela menjual tubuhnya

untuk mendapatkan balasan berupa materi maupun jasa sesuai apa yang disepakati.

Munculnya fenomena

Kimcil

di kalangan pelajar mengindikasikan suatu keistimewaaan

di dunia prostitusi. Bisnis hitam ini menjadikan komoditas dagangan yang dianggap

sangat menguntungkan bagi mereka.

Tujuan khusus penulisan artikel ini adalah untuk 1) Mengetahui dan menganalisis latar belakang munculnya prostitusi Kimcil di Kota Banyuwangi, dan 2) Mengetahui dan menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya prostitusi Kimcil di Kota Banyuwangi, baik itu dampak bagi pelaku prostitusi Kimcil maupun dampaknya bagi masyarakat luas dan utamanya bagi komsumen Kimcil. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan langkah-langkah meliputi penentuan lokasi penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, metode pengujian keabsahan data dan analisis data. Latar belakang munculnya prostitusi Kimcil Di Kota Banyuwangi adalah 1) Faktor keluarga, 2) Faktor ekonomi, 3) Faktor sosial, 4) Faktor pengalaman seks, 5) Faktor media massa, 6) Faktor mahalnya biaya pendidikan.

Kata Kunci: Kimcil, Anak, Prostitusi, Kota Banyuwangi.

ABSTRACT

Kimcil

stands for little kimpet or it can also be a small knot (some even

interpret it as a little cimplicant). In Indonesian kimpet means small vagina.

Kimcil

is a

teenager aged 14-19 years who on average is still a junior to high school student with a

fashionable appearance and promiscuity which aims to attract many men and is willing

to sell his body to get a reward in the form of material and services according to what

was agreed upon. The emergence of the

Kimcil

phenomenon among students indicates a

speciality in the world of prostitution. This black business makes commodities that are

considered very profitable for them. The specific purpose of writing this article is to 1)

Know and analyze the background of the emergence of

Kimcil

prostitution in the city of

Banyuwangi, and 2) Know and analyze the effects of

Kimcil

prostitution in the City of

Banyuwangi, both the impact on

Kimcil

prostitutes and the impact on the wider

(2)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

27

community and especially for

Kimcil

consumers. The research method used is a

qualitative research method with steps including determining the location of research,

research subjects, data collection methods, data validity testing methods and data

analysis. The background of the emergence of

Kimcil

prostitution in the city of

Banyuwangi is 1) family factors, 2) economic factors, 3) social factors, 4) factors of sex

experience, 5) mass media factors, 6) factors of the high cost of education.

Keywords:

Kimcil

, Children, Prostitution, City of Banyuwangi.

PENDAHULUAN

Pelacuran atau prostitusi ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah (Kartini Kartono 2007:216). Sedangkan

menurut Perkins and Bannet dalam

Koentjoro (2004: 30), pelacuran atau

prostitusi

merupakan

suatu

bentuk

transaksi bisnis yang disepakati oleh

pihak yang terlibat sebagai suatu yang

bersifat

jangka

pendek

yang

memungkinkan satu orang atau lebih

mendapatkan kepuasan seks dengan

metode yang beraneka ragam. Definisi

tersebut

sejalan

dengan

Koentjoro

(2004:36) yang menjelaskan bahwa

pekerja

seks

komersial

merupakan

bagian dari kegiatan seks di luar nikah

yang ditandai oleh kepuasan seks dari

bermacam-macam

orang,

dilakukan

demi uang dan dijadikan sebagai sumber

pendapatan.

Sundal, bondon, balon, lonte,

tembluk, pereks, pecun

serta

kupu-kupu

malam

merupakan sebagian istilah yang

diartikan sebagai sebutan untuk pelacur,

istilah ini masih sering digunakan

beberapa daerah di Indonesia.

Prostitusi atau pelacuran dimanapun tempatnya dan waktunya selalu ada di Negara berbudaya manapun, yang dimulai sejak zaman purba sampai sekarang.

Timbulnya suatu masalah yakni pelacuran sebagai gejala patologis, yang dimulai sejak adanya penataan relasi seks dan diberlakukannya norma-norma perkawinan (Kartini Kartono 2007:208).

Sementara

dewasa ini muncul sebutan baru untuk

pelacur, yaitu

Kimcil

.

Kimcil sendiri merupakan singkatan dari “kimpet cilik”.

Julukan ini muncul pertama kali di daerah Jawa Tengah untuk menggambarkan sebuah fenomena gadis remaja yang menjual diri (Santosa, 2013:2).

Secara etimologis

Kimcil

merupakan singkatan dari

kimpet

cilik

atau bisa juga

kimpol cilik

(bahkan

ada juga yang mengartikan sebagai

kimplikan cilik

). Dalam bahasa Indonesia

kimpet

berarti sekitaran paha dan

cilik

yang berarti kecil.

Kimcil

merupakan

remaja yang berumur 14-19 tahun yang

rata-rata masih pelajar SMP sampai

SMA dengan berpenampilan modis dan

melakukan

pergaulan

bebas

yang

bertujuan menarik banyak laki-laki dan

rela

menjual

tubuhnya

untuk

mendapatkan balasan berupa materi

maupun jasa sesuai apa yang disepakati.

Munculnya fenomena

Kimcil

di

kalangan

pelajar

mengindikasikan

mereka rentan dan “istimewa” dalam

bisnis prostitusi. Mucikari (germo) yang

beraksi di bisnis hitam ini menjadikan

komoditas remaja (pelajar) sebagai

dagangan

yang

dianggap

sangat

(3)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

28

menguntungkan bagi mereka. Sebagian

besar yang menjadi obyek di dalamnya

adalah remaja putri (perempuan) dengan

status „daun muda‟ yang melekat pada

diri mereka lantaran secara seksual

mereka sedang mengalami tumbuh

kembang. Dengan daya tariknya itulah

pelaku bisnis ini banyak memperdaya

mereka mengingat secara psikologis

masih dalam tahap yang labil sehingga

relatif lebih mudah diprovokasi. Belum

lagi minimnya pengetahuan tentang seks

dan pengalaman membuat mereka hanya

dijadikan obyek kesenangan „lelaki

hidung belang‟ dengan harga rendah

dibandingkan dengan masa depan yang

mereka korbankan. Akibatnya para

remaja putri yang berprofesi sebagai

Kimcil

inipun menjadi layu sebelum

berkembang.

Keberadaan remaja yang terjun

dalam dunia gelap pelacuran atau yang

sering disebut dengan

Kimcil

sudah

terjadi di setiap Kota-Kota besar di

Indonesia, tidak terkecuali di Kota

Banyuwangi sebagai kecamatan paling

berkembang dan sebagai pusat Kota di

Kota Banyuwangi. Fenomena

Kimcil

memang bukanlah hal yang umum

diketahui

masyarakat

luas

karena

sifatnya yang “terselubung” sehingga

keberadaannya

sangat

sulit

untuk

dideteksi oleh masyarakat, begitu pula

dengan dampak yang ditimbulkannya.

Apalagi, pada jaman modern ini, praktik

prostitusi

semakin

canggih

dalam

pelaksanaannya. Hal itu dipicu dengan

kemajuan ilmu dan teknologi. Para

pelaku

Kimcil

bisa

memanfaatkan

teknologi canggih seperti handphone dan

internet, dengan hadirnya teknologi

tersebut

menyebabkan

kegiatan

prostitusi

menjadi

sulit

dideteksi.

Hadirnya fasilitas umum seperi hotel,

klub malam, salon dan panti pijat juga

semakin melancarkan kegiatan prostitusi

terselubung tersebut.

Sementara itu menurut Koentjoro

(2004: 134) mengatakan bahwa secara

umum terdapat lima alasan yang paling

mempengaruhi dalam menuntun seorang

perempuan menjadi seorang pekerja seks

komersial

diantaranya

adalah

materialisme,

modeling,

dukungan

orangtua, lingkungan yang permisif, dan

faktor ekonomi.

Sudut pandangan lain, seseorang

menjadi pekerja seks komersial karena

adanya dukungan orangtua atau suami

yang menggunakan anak perempuan

atau istri mereka sebagai sarana untuk

mencapai aspirasi mereka akan materi.

Jika sebuah lingkungan yang permisif

memiliki kontrol yang lemah dalam

komunitasnya maka pelacuran akan

berkembang didalam komunitas tersebut.

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis latar belakang munculnya prostitusi Kimcil di Kota Banyuwangi.

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

Lokasi peneliti berada di Kota Banyuwangi, Kecamatan banyuwangi, Jawa Timur. Pemilihan Kota Banyuwangi sebagai lokasi penelitian dikarenakan Kota Banyuwangi merupakan pusat Kota di Kota Banyuwangi. Di Kota Banyuwangi sudah menjadi rahasia umum pergaulan remajanya sangat bebas, berpenampilan modis, super ketat, melakukan pergaulan bebas, bahkan memunculkan banyak remaja tersebut terlibat dalam dunia pelacuran, yakni menjadi Kimcil.

(4)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

29

Untuk menentukan subyek penelitian, maka dibutuhkan beberapa kriteria sebagai berikut: a) Remaja perempuan yang menjadi pelacur atau

Kimcil di Kota Banyuwangi dan sekitarnya, b) Kimcil yang tinggal/berdomisili di sekitar Kota Banyuwangi dan sekitarnya, c) Kimcil

yang berumur 14-19 tahun, d) Kimcil yang masih seorang pelajar sekolah SMP dan SMA di Kota Banyuwangi dan sekitarnya. Metode Pengumpulan Data

Metode Observasi

Observasi adalah suatu pengamatan yang khusus serta pencatatan yang sistematis ditujukan pada satu atau beberapa fase masalah di dalam rangka penelitian, dengan maksud untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam pemecahan persoalan yang dihadapi Asyari (1981:82). Pada praksisnya teknik ini digunakan pada fase awal pra lapangan. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat membaca situasi dan kondisi baik yang berkaitan dengan lapangan (lokasi penelitian) maupun subyek penelitian. Metode Wawancara

Interview (wawancara) yaitu percakapan dengan maksud tertentu atau proses tanya jawab secara langsung dengan informan yang dilakukan secara mendalam guna mendapatkan informasi data selengkap-lengkapnya. Wawancara tersebut dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang memberi pertanyaan-pertanyaan, dan yang diwawancari (Kimcil) yang memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikan peneliti.

Metode Pengujian Keabsahan Data

Metode pengujian keabsahan data yang digunakan peneliti adalah metode

Triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu, untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data (Moleong, 1993: 178).

Metode Analisis Data

Analisis data yaitu proses penyusunan transkip interview serta material lain yang terkumpul. Dalam proses analisis itu peneliti mensintesiskan pola-pola, mencari pokok-pokok persoalan yang penting yang kemudian disajikan kepada orang lain dengan lebih jelas tentang apa yang didapatkan dari lapangan. Metode untuk analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yang dipopulerkan oleh Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman yaitu (1992: 17-18) model interaktif, bahwa analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu 1) Reduksi Data, 2) Penyajian Data, 3) Penarikan kesimpulan/Verifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Latar belakang Munculnya Prostitusi Kimcil Di Kota Banyuwangi

1. Faktor Keluarga

Menurut Kartini, Kartono (2007: 59) beberapa faktor yang menyebabkan kenakalan pada anak terutama pada anak usia remaja, yaitu: Anak kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin mereka sendiri, sehingga Kebutuhan jasmani dan rohani anak menjadi tidak terpenuhi.

Faktor keluarga termasuk faktor utama dalam terjunnya anak menjadi Kimcil

di Kota Banyuwangi. Ketidakharonisan dalam keluarga dan penelantaran anak berisiko menjadikan anak-anak terlibat/terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Suasana rumah yang tidak harmonis seringkali mengakibatkan anak lari dari rumah dan mencari suasana baru yang berada di luar rumah. Adapun hal lain menurut Kartini, Kartono (2007: 65-67) ada beberapa faktor pada diri pribadi ibu dan ayah yang melatar belakangi kenakalan anak

(5)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

30

antara lain adalah Pribadi ibu dan ayah yang tidak terpuji, sehingga anak meniru perilaku kedua orang tua.

Hal ini sesuai dengan yang diceritakan Gadis/Nama Samaran (18 Tahun), yaitu “keadaan orang tua saya dulu sering bertengkar karena banyak masalah” (Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2017).

Banyak orang tua yang gagal memberikan pendidikan dan teladan yang baik untuk anak-anaknya, kesibukan orang tua seringkali menyebabkan mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengenal anak-anaknya, begitu juga dengan kegiatan yang dilakukan oleh anak-anaknya.

Selain itu, tingginya tingkat perceraian orang tua seringkali menjadi penyebab seorang anak memasuki dunia prostitusi. Hal ini didukung oleh data dari Radar Banyuwangi dan Berita yang menjelasakan “dari data yang tercatat di Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi, dalam kurun waktu delapan bulan saja (Januari-Agustus 2016), kasus penceraian di kabupaten yang dipimpin Abdullah Azwar

Anas ini mencapai 4.208kasus”

(Sumber:http://www.kabarbanyuwangi.info/ angka-perceraian-di-banyuwangi-tembus-4-208-kasus.html diunduh tanggal 20 Mei 2017).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagaian besar anak yang menjadi Kimcil di Kota Banyuwangi berasal dari keluarga yang disharmonis (broken home). Hal tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Bunga/nama samaran (17 tahun) yang menjelaskan bahwa:

“Saya tidak pernah tinggal bersama orang tua kandung saya. Saya baru mengetahui orang tua kandung saya mulai kelas 6 SD. Saya di besarkan oleh Bapak dan Ibu angkat dan orang tua angkat saya bercerai, Ibu pulang ke Ngawi dan Bapak pulang ke rumahnya di kalimantan kemudian nikah lagi. Selanjutnya,

saya ikut Ibu ke Ngawi pas kelas 5 SD, kemudian aku di ajak nenek angkat tinggal di Songgon. Saya tau Bapak dan Ibu kandung itu di kasih tau nenek pas kelas 6 sd” (Hasil wawancara tanggal 10 Mei 2017). Hasil wawancara dan observasi tersebut menunjukkan bahwa ketika sebuah keluarga bercerai, anak ada yang tinggal bersama ibu tirinya sementara ayahnya belum resmi bercerai dengan ibu kandungnya, dan ada pula yang ditinggal pergi begitu saja oleh ayah dan ibunya. Suasana demikian menyebabkan mereka memilih untuk lari dari rumah. Pada awalnya mereka sekedar keluar malam dan duduk (nongkrong) di suatu tempat untuk melepaskan diri dari rasa jenuh akibat suasana keluarga yang tidak menyenangkan. Di tempat tersebutlah mereka kemudian bertemu dengan komunitas yang sama, anak-anak yang mengalami nasib yang sama. Dikarenakan sifat mereka yang masih labil mengingat usia mereka yang masih di bawah umur maka mereka sangat mudah terpengaruh untuk terjun atau masuk ke dunia prostitusi Kimcil.

2. Faktor Ekonomi

Menurut Hari Saherodji (2006:45) kemiskinan yang membuat seseorang melakukan penyimpangan, misalnya seseorang wanita menjadi pelaku prostitusi karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau keluarganya. Jika di analisis berdasarkan teori diatas Sebagian besar anak yang menggeluti profesi sebagai Kimcil di Kota Banyuwangi memiliki latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah.

Pekerjaan orang tua anak kebanyakan bekerja sebagai buruh di antaranya ada yang menjadi buruh bangunan, tukang becak dan supir bus. Selain itu, pekerjaan orang tua anak ada juga yang berprofesi sebagai pedagang, bengkel dan lain sebagainya. Bahkan ada di antara orang tua anak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap sama sekali. Hal tersebut

(6)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

31

seperti penjelasan Gadis/nama samara (18 Tahun) “saya terpaksa bekerja seperti ini karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu dan uang saku yang diberika orangtua tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari” (Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2017). Hal tersebut juga sama dengan penjelasan Citra (17 Tahun) yang memaparkan “saya dari kelurga yang kurang mampu, untuk mencukupi kehidupan sehari – hari kadang kurang kadang juga pas-pasan”.

Kondisi dan latar belakang ekonomi yang pas-pasan tersebut tidak memungkinkan bagi anak-anak tersebut untuk dapat hidup dengan gaya hura-hura dan mewah sebagaimana layaknya orang-orang yang berkecukupan. Sementara itu, pengaruh teman dan tayangan televisi secara konsisten mempengaruhi anak untuk bersifat konsumtif terhadap sesuatu yang telah dilihatnya, anak-anak tersebut disuguhi barang-barang mewah yang hanya dapat mereka lihat tanpa bisa mereka miliki. Suguhan gaya hidup konsumtif inilah yang dapat menyebabkan seorang anak yang tengah berada dalam periode pematangan emosi dan kelabilan menjadi bingung dalam menentukan pilihan untuk mudah terpengaruh terhadap gaya hidup materialistik.

Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilakan uang yang banyak, salah satunya adalah dengan menjadi pelacur. Hal tersebut banyak ditemukan pada fenomena anak yang menjadi Kimcil di Kota Banyuwangi. Gaya hidup konsumtif yang ada di kalangan anak yang berprofesi sebagai Kimcil di Kota Banyuwangi menjadi salah satu penyebab seorang anak akhirnya terpaksa menjual tubuhnya, keinginan untuk memiliki barang-barang mewah yang juga berkaitan erat dengan pengaruh teman dengan kondisi

ekonomi yang tidak memadai memaksa mereka untuk terjun ke dalam dunia prostitusi.

3. Faktor Sosial

Gadis-gadis muda ini rata-rata dari di pedesaan yang kurang memiliki informasi dan masih sangat polos tentang dunia prostitusi, sangatlah gampang mereka terjebak dalam bujuk rayu para agen jaringan bisnis prostitusi ini. keterlibatan gadis-gadis ini ke dalam praktek prostitusi ini, ternyata tidak semata-mata didorong dari faktor kemiskinan dan kerentanan ekonomi. Di luar itu, pelacuran sebenarnya adalah hegemoni kultural pria atas kaum perempuan (Truong, 1992:7). Hal tersebut mempengaruhi sosial interaksi terhadap lingkungan sekitarnya.

Menurut Kartini, Kartono (2007: 6) bentuk kenakalan anak usia merupakan gejala sakit secara sosial pada anak anak dan remaja yang disebabkan oleh bentuk (Apatis) sosial, sehingga terbentuklah tingkah laku yang menyimpang pada anak remaja. Dari teori diatas bahwa Pengaruh sosial juga menjadi faktor penyebab masuknya seorang anak ke dalam dunia prostitusi Kimcil. Pada awalnya mereka terbujuk temannya yang terlebih dahulu terjun ke dalam dunia prostitusi Kimcil. Pengaruh teman ini disebabkan karena mereka salah memilih pergaulan. Pengaruh teman pergaulan selain membuat anak menjadi luas pergaulannya juga menjadikan mereka mengenal obat-obatan terlarang dan minuman beralkohol. Anak mulai mengenal hubungan seksual di bawah umur dengan pengaruh alkohol karena terlanjur malu akhirnya mengakibatkan mereka menjadi anak yang terjun dalam bisnis prostitusi

Kimcil.

Sebagian anak yang menjadi Kimcil

telah menggunakan minuman keras (miras) dan obat-obatan terlarang (narkoba) sebelum terjun ke dunia prostitusi, sedangkan sebagaian yang lain menggunakan miras dan

(7)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

32

narkoba setelah terjun ke dalam dunia prostitusi, bahkan narkoba bahkan menjadi pemicu bagi diri si anak untuk terjun ke dalam dunia prostitusi Kimcil.

Untuk memenuhi keinginan konsumtif miras dan narkoba, tentu saja diperlukan dana yang tidak sedikit dan tidak dapat mereka penuhi karena keadaan ekonomi mereka tidak mencukupi sehingga mereka mencari jalan pintas untu memperoleh uang sebanyak mungkin dalam waktu yang relatif singkat dan pelacuran menjadi pilihan untuk mendapatkan uang dalam waktu yang singkat tersebut.

Pentingnya seorang anak dalam memilih teman yang baik dalam pergaulannya karena pergaulan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi seorang anak, baik secara negatif maupun positif. Pada umumnya seorang anak yang telah merasa cocok dengan teman atau kelompoknya akan cenderung mengikuti gaya teman atau kelompoknya. Sangat sulit apabila dia tidak mau mengikuti gaya kelompoknya yang dirasakan buruk, dengan tetap mempertahankan diri di dalam kelompok tersebut. Tentu ia akan diasingkan bila tidak mau mengikuti gaya hidup kelompoknya tersebut.

4. Faktor Pengalaman Seks

Seks jika dikaji secara ilmiah merupakan sarana reproduksi, sekaligus sumber kesenangan nafsu, dan sebenarnya juga merupakan pusat keberadaan manusia, karena seks menegaskan hubungan-hubungan kekuasaan pelaku (Suryakusuma, 1991:8). Hal ini lebih dipertegas, Masri Singarimbun (1992:111) mengatakan, “kehidupan seks pada dasarnya bertujuan untuk melanjutkan keturunan, lalu dimanipulasi oleh manusia.

Kurangnya pendidikan atau pengetahuan tentang seks dirumah maupun sekolah, sehingga hal tersebut didapatkan informasi dari sesama teman yang menyebabkan kurangnya pemahaman

tentang seks Sembiring, Ratur, Baren (1992:4). Teori diatas menjadi sebuah acuan bahwa, Pengalaman seksual dini menjadi penyebab seorang anak akhirnya menggeluti profesi sebagai Kimcil di Kota Banyuwangi. Karena perasaan malu dan merasa tertipu akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata masyarakat. Pandangan masyarakat yang terlanjur menganggap mereka sampah masyarakat menyebabkan anak sulit untuk menarik dirinya dari dunia prostitusi. Seorang anak yang telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. Selanjutnya kewaspadaan atau perhatian orang-orang di sekitarnya akan mempengaruhi orang dimaksud sehingga kejahatan selanjutnya akan mungkin terjadi lagi. Demikian halnya yang terjadi pada anak yang menggeluti profesi sebagai

Kimcil.

5. Faktor Media Massa

Media masssa seperti televisi, film, surat kabar, majalah dan sebagainya belakangan semakin banyak memasang dan mempertontonkan gambar-gambar seronok dan adegen seks serta kehidupan yang glamour yang jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini diperparah lagi dengan berkembangnya tehnologi internet yang menembus batas-batas negara dan waktu yang memungkinkan kawula muda mengakses hal-hal yang bisa meningkatkan nafsu seks. Informasi tentang seks yang salah turut memperkeruh suasana. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Melati (18 Tahun) yang mengemukakkan bahwa ”kadang-kadang sering lihat di hp itu akses internet sekarangkan mudah tinggal pencet bentar aja alamat link muncul tinggal memilih mau milih yang mana untuk di tonton”. Akibatnya remaja cenderung ingin mencoba dan akhirnya terjerumus kepada sex bebas (free sex).

(8)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

33 6. Faktor Mahalnya Biaya Pendidikan

Mahalnya biaya menempuh pendidikan telah memaksa anak untuk bekerja menjual tubuh mereka dalam upaya untuk memenuhi tuntutan biaya pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakkan oleh Bunga (18 tahun), yaitu sebagai berikut:

“Sebenarnya saya tidak boleh sekolah, karena saya pengen sekolah dan punya tabungan akhirnya saya bisa sekolah saat ini, lama kelamaan saya juga bingun biyaya dari mana buat bayar sekolah yang mahal dan buat makan. Sedangkan saya gak ada yang ngasih sedangkan temen-temen saya enak uang di kasih orang tua. Karena keinginan saya sekolah dengan biaya yang mahal yawes

saya kerja seperti ini buat biyaya saya”. Kemudian, Citra (17 Tahun) juga menjelaskan hal serupa mengenai salah satu faktor penyebab terjunnya dia menjadi

Kimcil, yaitu karena faktor pahalnya biaya pendidikan, menurutnya biaya pendidikan “sangat berpengaruh sekali, buat orang-orang keterbelakangan biyaya untuk menikmati pendidikan pun begitu susah. Saya merasa bersyukur masih bisa sekolah sampai saat ini”. KESIMPULAN

Latar belakang munculnya prostitusi

Kimcil Di Kota Banyuwangi adalah 1) Faktor keluarga, yakni ketidakharonisan dalam keluarga dan penelantaran anak telah menjadikan anak-anak terlibat/terjerumus ke dalam dunia Kimcil. yaitu 2) Faktor ekonomi, yaitu sebagian besar anak yang menggeluti profesi sebagai Kimcil di Kota Banyuwangi memiliki latar belakang sosial ekonomi yang relatif rendah. Kondisi ekonomi yang sulit dapat memaksa seseorang untuk memilih pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tetapi bisa menghasilakan uang yang banyak, salah satunya adalah dengan menjadi Kimcil. 3)

Faktor sosial, yaitu pengaruh sosial yang menjadi faktor penyebab masuknya seorang anak ke dalam dunia prostitusi Kimcil. Pada awalnya mereka terbujuk temannya yang terlebih dahulu terjun ke dalam dunia prostitusi Kimcil. Pengaruh teman ini disebabkan karena mereka salah memilih pergaulan. 4) Faktor pengalaman seks, yakni pengalaman seksual dini menjadi penyebab seorang anak akhirnya menggeluti profesi sebagai Kimcil di Kota Banyuwangi. Karena perasaan malu dan merasa tertipu akhirnya anak mendapat stigma atau cap buruk di mata masyarakat. Pandangan masyarakat yang terlanjur menganggap mereka sampah masyarakat menyebabkan anak sulit untuk menarik dirinya dari dunia prostitusi Kimcil. 5) Faktor media massa, yakni televisi, film, surat kabar, majalah dan sebagainya belakangan semakin banyak memasang dan mempertontonkan gambar-gambar seronok dan adegen seks serta kehidupan yang glamour yang jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini diperparah lagi dengan berkembangnya tehnologi internet yang menembus batas-batas negara dan waktu yang memungkinkan kawula muda mengakses hal-hal yang bisa meningkatkan nafsu seks. Informasi tentang seks yang salah turut menjerumuskan anak menjadi

Kimcil. 6) Faktor mahalnya biaya pendidikan, yakni besarnya biaya menempuh pendidikan telah memaksa anak untuk bekerja menjual tubuh mereka dalam upaya untuk memenuhi tuntutan biaya pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Asyari, Sapari Iman. 1981. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Petunjuk Ringkas. Surabaya: Usaha Nasional.

Hari, Saherodji. 2006. Pokok-pokok Kriminologis. Jakarta: Aksara Baru.

(9)

Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Banyuwangi

34

Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial Jilid I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Koentjoro. 2004. On The Spot Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta.

Moleong, Lexy J. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Milles, Mattew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif,. Jakarta: UI Press.

Muhajjir, Noeng. 1992. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Santosa, Subhan. 2013. Kehidupan Kimcil (Studi Kasus Faktor Penyebab Remaja menjadi Pelacur di Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah). Skripsi tidak diterbitkan Yogyakarta: Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuludin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Sembiring, Ratur, Baren. 1992. Ciri, Kausa

dan Alternatif Solusi Perilaku Seks Bebas. Pusat & Informasi Kesehatan Remaja.

Singarimbun, Masri. 1992. Renungan dari Yogya. Jakarta: Balai Pustaka.

Surya Kusuma, Julia. 1991. Konstruksi Sosial Seksualitas: Pengantar Teroris, dalam Prisma.

Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang, dan Kekuasaan Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam perkembangannya, setelah nasionalisasi atas perusahaan- perusahaan listrik Belanda oleh pemerintah Indonesia, pengelolaan ketenagalistrikan di Indonesia

Data penelitian adalah temuan penggunaan medalitas di dalam 320 berita online yang berkaitan dengan perempuan atau wanita tampak pada cuplikan teks berikut

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara sikap terhadap layanan bimbingan dengan intensi memanfaatkan layanan bimbingan, dengan

Berdasarkan teori dan dari hasil penelitian sebelumnya, maka menghasilkan konsep pemikiran bahwa peraturan perpajakan merupakan salah satu faktor yang dapat

[r]

Definisi dari green power mengalami perkembangan, di mana tidak hanya 100% diadopsi dari sumber energi yang terbarukan, tetapi secara luas konsepnya diadopsi melalui

dan F hitung lebih besar dari F tabel (195.340 > 1,927 ) maka, model regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi preferensi menabung atau dapat. dikatakan bahwa