• Tidak ada hasil yang ditemukan

Growth responses of soybean [Glycine max (L ) Merr ] to drought and aluminium stress

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Growth responses of soybean [Glycine max (L ) Merr ] to drought and aluminium stress"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI

[Glycine max (L.) Merr.] PADA KONDISI KEKERINGAN

DAN CEKAMAN ALUMINIUM

ELFI YENNY YUSUF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai [Glycine max (L.) Merr.] pada Kondisi Kekeringan dan Cekaman Aluminium adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Elfi Yenny Yusuf

(3)

RINGKASAN

ELFI YENNY YUSUF. Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai [Glycine max

(L.) Merr.] pada Kondisi Kekeringan dan Cekaman Aluminium. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, TRIKOESOEMANINGTYAS, EKO SULISTYONO. Pemerintah telah mencanangkan swasembada kedelai pada tahun 2014 sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Hal tersebut akan tercapai dengan peningkatan produktivitas, perluasan intensitas tanam dan perluasan areal tanam. Salah satu usaha perluasan areal tanam adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan marjinal. Lahan marjinal di Indonesia sebagian besar berupa tanah kering masam dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai perluasan areal tanam.

Budidaya tanaman di lahan kering masam menghadapi beberapa kendala diantaranya kekeringan dan kelarutan Al3+ yang tinggi. Respon tanaman kedelai terhadap defisit air berbeda-beda tergantung pada spesies tanaman, besar dan lamanya cekaman serta fase pertumbuhan. Kelarutan Al3+ yang tinggi dalam tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga menghambat fungsi dan pertumbuhan akar.

Penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi, pertumbuhan akar dan hubungannya dengan pertumbuhan vegetatif dan generatif dan untuk memperoleh informasi tentang komponen hasil tanaman kedelai pada kondisi tercekam aluminium dan kekeringan, yang terdiri atas dua tahap percobaan. Tahap pertama bertujuan untuk melihat pengaruh genotipe, cekaman kekeringan dan tingkat netralisasi Al terhadap pertumbuhan dan perakaran tanaman kedelai. Percobaan tahap kedua bertujuan untuk melihat pengaruh genotipe, cekaman kekeringan dan cekaman Al terhadap komponen hasil tanaman kedelai.

Kedua tahap percobaan ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan November 2011, di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, University farm, IPB Darmaga Bogor. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah genotipe kedelai (SP 30-4, PG 57-1, Anjasmoro dan Tanggamus), faktor kedua adalah interval penyiraman (2, 6 dan 10 hari), dan faktor ketiga adalah netralisasi Al (0% Aldd dan 100% Aldd).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adaptasi avoidance

tanaman kedelai hanya terlihat pada genotipe PG 57-1 pada peubah panjang akar saat tercekam kekeringan. Mekanisme ini terlihat dari pemanjangan akarnya disaat tercekam kekeringan. Semakin tinggi nilai peubah yang diamati, semakin tinggi jumlah polong yang dihasilkan. Hal ini juga terjadi pada peubah bobot kering akar dan bobot kering bintil akar, semakin tinggi nilai kedua peubah ini makin tinggi pula nilai semua peubah yang diamati. Pada umumnya peubah komponen hasil tanaman kedelai, lebih banyak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan. Namun peubah umur berbunga hanya dipengaruhi oleh cekaman Al pada genotipe yang berbeda.

(4)

SUMMARY

ELFI YENNY YUSUF.Growth Responses of Soybean [Glycine max (L.) Merr.] to Drought and Aluminium Stress. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, TRIKOESOEMANINGTYAS and EKO SULISTYONO.

The government has launched the soybean self sufficiency by 2014 in an effort to enough needs domestic of soybean . This will be achieved by increased productivity , expansion of cropping intensity and extension of planting area. A extension of the planting area is to utilize marginal lands. The mostly marginal lands in Indonesia is dryland acid soil and has the potential to be developed as an extension of planting area.

The cultivation in dryland acid soil had several constraints, such as drought and high solubility of Al3+. The soybean response to water deficit varies depending on the genotypes, and the duration of the stress and growth phase. High solubility of Al3+ in the soil inhibits root growth.

The experiment was carried out to study the growth response and the mechanisms of adaptation the soybean genotypes to drought and aluminum stress, which consists of the two stages experiments. The first stage was carried out to study the effect of genotype, drought and aluminium stress on the vegetative and generative growth and the plant roots of soybean. The second stage was carried out to study the effect of genotype, drought and aluminium stress on component crops of soybean.

This experiments was conducted in Januari to November 2011, in the greenhouse Cikabayan, University Farm, IPB Darmaga Bogor. This study used a randomized complete block design, with three factors: 1) soybean genotypes (SP 30-4, Anjasmoro, PG 57-1 and Tanggamus), 2) watering interval (2 days, 6 days and 10 days, 3) the level of Al neutralization (0% neutralization and 100% neutralization).

The results show that the adaptation mechanism avoidance of soybean geno types was only seen in PG57-1 on root length variables when gripped by drought. This mechanism can be seen from its root elongation when gripped by drought. The higher of value of the observed variables would be the higher the number of pods produced. It also happens to variable root dry weight and dry weight of root nodules. In general, yield components of soybean more influenced by drought stress. However, flowering only variable affected by Al stress on different genotypes.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Agronomi dan Hortikultura

RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI [Glycine

max (L.) Merr.] PADA KONDISI KEKERINGAN DAN

CEKAMAN ALUMINIUM

ELFI YENNY YUSUF

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Tesis : Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai [Glycine max (L.) Merr.] pada Kondisi Kekeringan dan Cekaman Aluminium

Nama : Elfi Yenny Yusuf

NIM : A252090161

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS Ketua

Dr Ir Trikoesoemaningtyas, MSc

Anggota

Dr Ir Eko Sulistyono, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Agronomi dan Hortikultura

Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai November 2011 ini ialah kekeringan dan cekaman aluminium, dengan judul Respon Pertumbuhan Tanaman Kedelai [Glycine max (L.) Merr.] pada Kondisi Kekeringan dan Cekaman Aluminium

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu dalam kesemapatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS, Ibu Dr IrTrikoesoemaningtyas, MSc dan Bapak Dr Ir Eko Sulistyono, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan karya ilmiah ini. 2. Orang tua, Bapak H.M.Yusuf dan Ibu Hj. Yulinar, atas cinta, kasih sayang dan

doa tulus yang terus dipanjatkan untuk keberhasilan studi penulis.

3. Suami, Edwar Leo Putra dan anak-anak tercinta, Nadaa Fahmi Shofi, Akusara Aksata, Aflah Adri Azka, Mahsa Yaffa Astagina, atas cinta, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan doanya untuk penulis

4. Saudara tersayang, Elfirita, Danel Yusuf, Ardhi Yusuf dan Elfitri, yang selalu mendukung secara materi maupun moril untuk keberhasilan penulis

5. Ibu mertua, Muslimah dan adik-adik, Enny Kusumawati, Elvi Dwi Putra dan Efrilian Tri Putra yang selalu memberi semangat kepada penulis.

6. Saudari Yusra Hayati dan Lia Desrakhmawati, yang telah berbagi suka dan duka

7. Rekan-rekan di Program Studi Agronomi dan Hortikultura (AGH) angkatan 2009, yang telah berbagi ide, pengalaman, kekompakan dan persahabatan. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu

sehingga semua ini terwujud.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna penyempurnaan karya ilmiah ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 3 Taksonomi dan Morfologi Tanaman Kedelai 3

Persyaratan Tumbuh Tanaman Kedelai 4

Pengaruh Aluminium pada Tanaman Kedelai 6

Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Kedelai 7

3 METODE 9 Tempat dan Waktu Percobaan 9

Alat dan Bahan 9 Metode Penelitian 9 Pelaksanaan Penelitian Percobaan I 10

Pelaksanaan Penelitian Percobaan II 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 Pengaruh Perlakuan Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Cekaman Aluminium terhadap Pertumbuhan, Perakaran dan Komponen Hasil Tanaman Kedelai 12

Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Pertumbuhan dan Perakaran Tanaman Kedelai 13

Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Komponen Hasil Tanaman Kedelai 21

Efisiensi Penggunaan Air (EPA) Tanaman Kedelai 26

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 33

(12)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi sidik ragam respon pertumbuhan dan perakaran genotipe kedelai pada berbagai taraf cekaman kekeringan dan tingkat netralisasi

Al (Faktorial RAL) 13

2 Rekapitulasi sidik ragam respon tinggi tanaman dan jumlah daun genotipe kedelai pada berbagai taraf cekaman kekeringan dan tingkat netralisasi Al (Faktorial In Time) 13 3 Respon tinggi tanaman kedelai terhadap interaksi genotipe dan

cekaman Al 14

4 Respon jumlah daun tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al 16 5 Respon bobot kering tajuk tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman

kekeringan dan cekaman Al 16 6 Respon umur berbunga genotipe tanaman kedelai terhadap cekaman Al 22 7 Respon jumlah bunga tanaman kedelai terhadap perlakuan genotipe,

cekaman kekeringan dan cekaman Al 22 8 Respon bobot kering polong tanaman kedelai terhadap cekaman

kekeringan 23

9 Respon jumlah polong isi tanaman kedelai terhadap cekaman

kekeringan 24

10 Respon jumlah biji per tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan 25 11 Respon bobot kering biji 100 butir tanaman kedelai terhadap perlakuan

genotipe dan cekaman kekeringan 25 12 Korelasi antar karakter kedelai pada kondisi kekeringan dan cekaman

Al 28

DAFTAR GAMBAR

1 Keragaan tinggi tanaman kedelai SP 30-4 dan PG 57-1 yang tercekam Al dan yang tidak tercekam Al 15 2 Respon panjang akar genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan

pada kondisi tercekam Al dan tidak tercekam Al 18 3 Respon bobot kering akar tanaman kedelai terhadap cekaman

kekeringan dan cekaman Al 19 4 Respon bobot kering bintil akar tanaman kedelai terhadap interaksi

cekaman kekeringan dan cekaman Al 20 5 Keragaan bintil akar varietas Anjasmoro pada kondisi tidak tercekam

Al dan periode kekeringan 2 hari 21 6 Respon bobot kering bintil akar genotipe tanaman kedelai terhadap

(13)

7 Respon fruitset tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman Al dan

cekaman kekeringan 23

8 Respon jumlah polong tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman Al

dan cekaman kekeringan 24

9 Respon efisiensi penggunaan air (EPA) genotipe tanaman kedelai terhadap kekeringan pada kondisi tercekam Al dan tidak tercekam Al 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis sifat fisik tanah Ultisol Tenjo (Kab. Bogor Barat) 33 2 Hasil analisis sifat kimia tanah Ultisol Tenjo (Kab. Bogor Barat) 33 3 Perhitungan kebutuhan kapur 34 4 Perhitungan kebutuhan air pada kapasitas lapang 34 5 Deskripsi kedelai varietas Anjasmoro 35 6 Deskripsi kedelai varietas Tanggamus 36

7 Lay out percobaan 37

8 Kebutuhan air (evapotranspirasi) tanaman kedelai mulai tanam sampai

panendzc 38

(14)
(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada tahun 1995 hingga tahun 2011 telah terjadi penurunan luas panen kedelai sebesar 57.85% dari 1 476 284 ha (BPS 1995) menjadi 622 254 ha (BPS 2011) yang berdampak terhadap penurunan produksi kedelai dalam negeri. Sebaliknya perkembangan industri pangan menyebabkan permintaan kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun melampaui produksi dalam negeri (Sudaryanto dan Swastika 2007). Sampai saat ini hanya 20 – 30% kebutuhan nasional yang dapat dipenuhi oleh produksi kedelai nasional, sisanya dipenuhi dengan impor (Purna et al. 2009). Tahun 2011 Indonesia mengimpor sebanyak 2 087 986 ton kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi nasional hanya mencapai 851 286 ton.

Pemerintah telah mencanangkan swasembada kedelai pada tahun 2014. Hal tersebut akan tercapai dengan peningkatan produktivitas, perluasan intensitas tanam dan perluasan areal tanam. Salah satu usaha perluasan areal tanam adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan marjinal. Lahan marjinal di Indonesia sebagian besar berupa tanah kering masam dan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai perluasan areal tanam karena luasnya mencapai 102.8 juta ha dan tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas lahan kering masam yang sesuai untuk usaha pertanian sekitar 55.8 juta ha (Mulyani et al. 2003). Namun usaha perluasan pertanaman di lahan kering masam menghadapi beberapa kendala yang merupakan faktor pembatas ekologi yaitu pH tanah yang rendah (pH 4.0-5.0), kandungan hara dan bahan organik rendah, keterbatasan sumber air dan kelarutan Al3+ yang tinggi.

Kelarutan Al3+ yang tinggi dalam tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga menghambat fungsi dan pertumbuhan akar (Kochian et al. 2005). Hal ini akan mempengaruhi perkembangan morfologi maupun proses fisiologi tanaman kedelai sehingga menyebabkan produksinya rendah. Gejala keracunan aluminium tidak mudah diidentifikasi. Pada beberapa tanaman gejala keracunan Al mirip dengan defisiensi fosfor, yaitu pertumbuhan terhambat, tanaman kerdil, urat-urat daun dan batang menjadi ungu, serta ujung daun menguning dan mati. Namun keracunan Al pada tanaman juga bisa mirip dengan defisiensi Ca, yaitu keriput atau menggulungnya daun muda.

Gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah penghambatan pertumbuhan akar. Kandungan Al yang tinggi dapat mengganggu pertumbuhan kedelai dan merusak perakaran sehingga mengganggu penyerapan hara (Hanum et al. 2007). Hal ini disebabkan karena penghambatan pertumbuhan ujung akar (root apex) tanaman yang terdiri atas tudung akar dan meristem, sehingga mengakibatkan tidak efisiennya akar menyerap unsur hara dan air (Ma et al. 2000). Tanggap morfologi akar tanaman terhadap keracunan Al berbeda antara tanaman toleran dan tanaman peka. Pada tanaman yang peka akan mengalami pemendekan akar karena keracunan Al (Rangeli etal. 2007) sehingga parameter panjang akar biasanya digunakan untuk menilai ketenggangan tanaman terhadap keracunan Al (Bakhtiar et al. 2007).

(16)

produksi. Respon tanaman terhadap defisit air berbeda-beda tergantung pada spesies tanaman, besar dan lamanya cekaman serta fase pertumbuhan. Peningkatan cekaman air sampai 40% dari kadar air kapasitas lapang menyebabkan penurunan tinggi tanaman, bobot biji 100 butir dan indeks panen pada tanaman padi (Zubaer et al. 2007). Semakin berat cekaman kekeringan, semakin tertekan pertumbuhan dan hasil kedelai yang ditunjukkan oleh penurunan bobot kering tajuk, diameter batang, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah biji per tanaman dan bobot kering biji (Hapsoh et al. 2004). Pada fase generatif, kekeringan menyebabkan penurunan hasil kedelai karena jumlah biji per polong yang menurun akibat terjadinya gugur bunga dan polong pada saat fase pembungaan dan pembesaran polong (Liu et al.2003), sedangkan kekeringan pada fase akhir pengisian polong akan mengurangi kepadatan biji (Liu et al. 2004). Totok dan Rahayu (2004) juga menambahkan bahwa karakter morfologi yang berhubungan dengan kekeringan adalah jumlah polong isi, bobot polong dan tinggi tanaman kedelai.

Tanaman yang toleran memiliki kemampuan memulihkan dan menekan pengaruh buruk keracunan Al sehingga fungsi akar tidak terganggu. Akar yang panjang dapat meningkatkan pengambilan hara dan air sehingga tanaman lebih adaptif pada kondisi cekaman Al dan kekeringan. Kemampuan akar untuk mengabsorbsi air sangat tergantung pada struktur morfologinya, akar yang panjang akan memiliki bidang serap yang lebih tinggi (Cruz et al. 1992). Menurut Taiz dan Zeiger (2002) salah satu pertahanan tanaman dalam menghadapi kekeringan adalah perkembangan akar untuk mencapai daerah yang masih basah. Informasi ini menunjukkan bahwa analisis pertumbuhan akar melalui studi perkembangan akar menjadi penting, disamping dapat menentukan daya toleransi terhadap cekaman Al juga dapat menduga kemampuan perakaran dalam keadaan keterbatasan air tanah.

Tujuan

1. Memperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap cekaman aluminium dan kekeringan

2. Memperoleh informasi tentang pertumbuhan akar dan hubungannya dengan pertumbuhan vegetatif dan generatif kedelai pada kondisi tercekam aluminium dan kekeringan.

3. Memperoleh informasi tentang komponen hasil kedelai pada kondisi tercekam aluminium dan kekeringan

Hipotesis

1. Terdapat mekanisme adaptasi genotipe tanaman kedelai sebagai tanggap terhadap cekaman aluminium dan kekeringan

2. Terdapat pengaruh interaksi genotipe, cekaman aluminium dan cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan akar dan terdapat korelasi positif antara pertumbuhan akar dengan pertumbuhan vegetatif dan generatif kedelai 3. Terdapat pengaruh genotipe, cekaman aluminium dan cekaman kekeringan

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Tanaman Kedelai

Kedelai dikelompokkan pada divisi Spermatophyta, kelas Dycotyledoneae, ordo Rosales, famili Leguminoseae, sub famili Papilionaceae, genus Glycine, spesies Glycine max (L.) Merrill. Tanaman kedelai yang dibudidayakan di Indonesia merupakan tanaman semusim, tanaman tegak dengan tinggi 40-90 cm bercabang, memiliki daun tunggal dan daun bertiga, dan kadang-kadang ditemukan daun berlima, bulu pada daun dan polong tidak terlalu banyak (Adie dan Krisnawati 2007).

Ada dua tipe pertumbuhan batang, yaitu indeterminit dan determinit. Pertumbuhan batang tipe indeterminit dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Pertumbuhan batang tipe determinit dicirikan dengan terhentinya pertumbuhan daun setelah tanaman mulai berbunga. Selain 2 tipe pertumbuhan tersebut terdapat pola pertumbuhan semi-determinate yaitu pola pertumbuhan diantara kedua tipe di atas. Varietas kedelai yang ada di Indonesia pada umumnya bertipe determinit (Adie dan Krisnawati 2007).

Sistem perakaran kedelai terdiri atas sebuah akar tunggang yang terbentuk dari calon akar, sejumlah akar sekunder yang tersusun dalam empat barisan sepanjang akar tunggang, cabang akar sekunder dan cabang akar adventif yang tumbuh dari bagian bawah hipokotil. Perkembangan akar dapat mencapai kedalaman hingga 2 meter yang dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat kimia-fisik tanah, air dan lain-lain (Hidayat 1985). Kedelai tergolong tanaman leguminosa yang dicirikan oleh kemampuannya untuk membentuk bintil akar, yang mengandung Rhizobium japonicum, yang mampu menambat nitrogen. Akar mengeluarkan beberapa substansi khususnya triptofan yang menyebabkan perkembangan bakteri dan mikroba lain di sekitar perakaran. Pembesaran bintil akar berhenti pada minggu keempat setelah terjadinya infeksi bakteri dan pada minggu keenam hingga ketujuh bintil akar telah melapuk.

Jumlah bunga yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman. Bunga dapat mengalami kerontokan akibat kondisi lingkungan yang mengalami kekeringan. Suhu hangat dapat mempercepat pembungaan dan pemasakan polong, sedangkan suhu dingin akan menghambat pembungaan dan pemasakan polong (Adie dan Krisnawati 2007). Kedelai memiliki umur berbunga yang beragam dari 20 sampai 60 hari.

Polong tanaman kedelai berbentuk agak melengkung atau rata (Suprapto 1992). Pembentukan polong pertama sekitar 10-14 hari setelah muncul bunga pertama. Pembentukan polong dalam keadaan normal memerlukan waktu sekitar 21 hari. Jumlah maksimum polong tiap tanaman dan ukuran biji tergantung varietas. Tiap polong dapat berisi biji 1 sampai 5 biji, namun umumnya berkisar 2-3 biji per polong (Adie dan Krisnawati 2007). Polong masak berwarna kuning muda sampai kuning kelabu, coklat atau hitam. Warna polong tergantung pada keberadaan pigmen karoten dan xantofil, warna trikoma, dan ada atau tidaknya pigmen antosianin.

(18)

Indonesia berbiji lonjong. Pengelompokan ukuran biji kedelai berbeda antar negara. Di Indonesia, kedelai dikelompokkan atas biji berukuran besar (berat > 14 g/100 biji), sedang (10-14 g/100 biji) dan kecil (< 10 g/100 biji) (Adie dan Krisnawati 2007).

Daya hasil merupakan karakter yang sangat dipengaruhi oleh karakter komponen hasil. Hasil ditentukan oleh ukuran, jumlah dan bobot bijiserta jumlah buku produktif. Periode pengisian biji merupakan periode paling kritis dalam masa pertumbuhan kedelai. Cekaman lingkungan saat pengisian biji akn mengakibatkan berkurangnya daya hasil. Jumlah biji dalam tiap polong berpengaruh terhadap jumlah biji per tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa karakter yang berkorelasi positif terhadap daya hasil adalah jumlah polong, jumlah cabang produktif, bobot 100 biji, tinggi tanaman, dan bobot tanaman tanpa akar serta umur panen (Adie dan Krisnawati 2007).

Persyaratan Tumbuh Tanaman Kedelai

Faktor lingkungan yang menjadi penentu keberhasilan usaha produksi kedelai adalah faktor iklim yaitu panjang hari, suhu, kelembaban udara dan curah hujan. Selain itu faktor tanah juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai yaitu tekstur, struktur, drainase, kedalaman lapisan olah, pH, kandungan hara, bahan organik dan kemampuan tanah menyimpan kelembaban (Sumarno dan Manshuri 2007).

Iklim

Kedelai tergolong tanaman hari pendek, tidak mampu berbunga bila panjang hari lebih dari 16 jam, dan mempercepat pembungaan bila lama penyinaran kurang dari 12 jam. Pengurangan radiasi matahari pada awal pertumbuhan vegetatif akan menghambat pertumbuhan tanaman melalui penurunan laju fotosintesis seluruh organ tanaman. Sebaliknya radiasi matahari yang sangat tinggi juga mengakibatkan cekaman terhadap tanaman akibat terjadinya peningkatan suhu daun yang akan meningkatkan laju evapotranspirasi melebihi laju penyerapan air (Sumarno dan Manshuri 2007).

Suhu di dalam tanah dan suhu atmosfer mempengaruhi pertumbuhan

Rhizobium, akar dan pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kedelai berkisar antara 22-270C. Akumulasi bahan kering menurun apabila suhu naik diatas 300C karena adanya penurunan net fotosintesis melalui proses perombakan fotosintat antara organ tumbuhan. Suhu berinteraksi dengan lama penyinaran dalam menentukan waktu berbunga dan pembentukan polong. Sumarno dan Manshuri (2007) menjelaskan selang suhu optimum untuk pertumbuhan organ vegetatif dan generatif berada pada selang suhu 23-260C, dan pada suhu yang lebih rendah dan lebih tinggi terjadi penghambatan pertumbuhan. Suhu yang tinggi menyebabkan aborsi polong, sedangkan suhu rendah di bawah 150C menghambat pembentukan polong. Suhu >300C berpengaruh negatif terhadap kualitas biji dan daya tumbuh benih.

(19)

tumbuh dan pengisian polong, dan kelembaban udara rendah (RH 60-75%) pada fase pematangan polong hingga panen (Sumarno dan Manshuri 2007).

Tanaman kedelai sangat efektif dalam memanfaatkan air yang berasal dari kelembaban tanah. Kondisi air tanah 80% dinilai optimal untuk pertumbuhan kedelai pada tanah yang memiliki kapasitas penyimpanan air yang baik, solum dalam (> 40 cm) dan struktur gembur. Pada tanah yang demikian perakaran kedelai dapat tumbuh dan berkembang sedalam 200 cm, dan air lebih banyak diserap dari lapisan subsoil (Sumarno dan Manshuri 2007).

Menurut Sumarno dan Manshuri (2007) secara umum kebutuhan air untuk tanaman kedelai dengan umur panen 100-190 hari, berkisar antara 450-825 mm atau rata-rata 4.5 mm per hari. Dengan menggunakan data ini, kebutuhan air kedelai yang berumur panen 80-90 hari berkisar antara 360-405 mm, setara dengan curah hujan 120-135 mm per bulan. Jumlah air yang dibutuhkan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan, dan kedalaman lapisan olah tanah.

Tanah

Tanah yang ideal untuk budidaya tanaman kedelai adalah tanah yang bertekstur liat berpasir, liat berdebu-berpasir, debu berpasir, drainase sedang-baik, mampu menahan kelembaban tanah dan tidak mudah tergenang. Kandungan bahan organik sedang-tinggi (3-4%) sangat mendukung pertumbuhan tanaman apabila hara cukup. Kandungan bahan organik yang cukup terutama berguna untuk mendukung perkembangan Rhizobium, perbaikan drainase, peningkatan kapasitas penyimpan kelembaban, dan mempermudah pertumbuhan akar tanaman. Akar tanaman kedelai lebih mudah berkembang pada tanah gembur yang mengandung liat dengan struktur tidak terlalu ringan (Sumarno dan Manshuri 2007).

Kelembaban tanah yang tinggi (80-100%) diperlukan dalam fase perkecambahan benih, dan pada pertumbuhan selanjutnya tanaman kedelai memerlukan kelembaban tanah 75-85% kapasitas lapang. Penyerapan air semakin banyak sejalan dengan pertumbuhan perakaran dan tajuk tanaman. Penyerapan air mulai menanjak pada fase menjelang berbunga (R1) dan tetap tinggi pada fase pembentukan polong (R2), pengisian polong (R3-R4) dan mulai menurun pada fase biji mencapai ukuran maksimum (R6) dan sudah rendah-sangat rendah pada fase polong mulai matang dan polong matang penuh (R7-R8) (Sumarno dan Manshuri 2007).

Kedelai tumbuh baik pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral (pH optimal 6.0-6.5) karena pada kondisi pH tersebut hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi masam (pH < 5.5) hara fosfat (P), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), sulfur (S) menjadi tidak mudah tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi basa (> 7.0) unsur hara makro P dan unsur hara mikro terutama besi (Fe), seng (Zn), mangan (Mn) menjadi tidak tersedia bagi tanaman (Sumarno dan Manshuri 2007).

(20)

Pengaruh Cekaman Aluminium pada Tanaman Kedelai

Kedelai tumbuh baik pada tanah yang sedikit masam sampai mendekati netral, pada pH 5.5-7.0 dan pH optiml 6.0-6.5. Pada kisaran pH tersebut hara makro dan mikro tersedia bagi tanaman kedelai. Pada tanah yang bereaksi masam (pH < 5.5) hara fosfor ((P), kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K) dan sulfur (S) tidak mudah tersedia bagi tanaman kedelai (Khan et al. 2001). Sebaliknya unsure Mn, Al dan Fe tersedia secara berlebihan, sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah masam yang mengandung Al tinggi yaitu lebih dari 20% akan menyebabkan terjadinya keracunan pada akar kedelai sehingga akar tidak berkembang (pendek dan tebal), tanaman tumbuh kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan dan tidak mampu membentuk polong (Sumarno dan Manshuri 2007).

Bentuk-bentuk Al di dalam tanah dapat berupa ion trivalen yaitu Al(H2O6)3+

atau Al3+, bentuk hidroksida seperti Al(OH)2+, Al(OH)2+, Al(OH)3, AL(OH)4- atau

berasosiasi dengan berbagai senyawa organik dan anorganik seperti PO4-3, SO4-2,

asam organik, protein dan lipid (Delhaize dan Ryan 1995). Al3+merupakan bentuk yang paling toksik dan mendominasi di lahan asam dengan pH dibawah 4.5 (Matsumoto 2000).

Gejala keracunan Al tidak mudah diidentifikasi. Pada beberapa tanaman gejala keracunan Al mirip dengan defisiensi fosfor, yaitu pertumbuhan terhambat, tanaman kerdil, kematangan terhambat, urat-urat daun dan batang menjadi ungu, serta ujung daun berwarna kuning dan mati. Namun terkadang keracunan Al mirip dengan defisiensi Ca, yaitu keriput atau menggulungnya daun muda. Gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah penghambatan pertumbuhan akar. Penghambatan pertumbuhan akar telah banyak dilaporkan seperti pada padi (Nasution dan Suhartini1991), kedelai (Soepandi et al. 2000) dan gandum (Delhaiz dan Ryan 1995).

Aluminium terlarut bereaksi dengan dinding dan membran sel akar serta membatasi perluasan dinding sel sehingga menghentikan pemanjangan akar. Terhentinya pemanjangan akar merupakan ciri utama dari toksisitas Al. Jaringan akar merupakan bagian pertama dari tanaman yang mengalami keracunan Al, terutama diujung akar sehingga mengalami pemendekan dan penebalan. Akar menjadi berwarna kecoklatan terutama pada akar utama serta terjadi pertumbuhan akar lateral yang gemuk dan pendek dengan percabangan yang tidak baik (Ryan et al. 1993).

Terdapat perbedaan tanggapan genotipe kedelai terhadap cekaman Al. Pada galur atau varietas peka terjadi penurunan produksi mencapai 50 %, sedangkan pada galur toleran hanya terjadi penurunan sekitar 10 % (Board dan Cadwell 1991). Kedelai membutuhkan pengapuran jika ditanam pada tanah dengan kejenuhan Al lebih dari 35% (Saleh dan Sumarno 1993). Ismunadji dan Mahmud (1993) melaporkan bahwa kedelai masih dapat tumbuh sampai kejenuhan Al 40%. Ismunadji dan Mahmud (1993) juga menambahkan bahwa kejenuhan Al yang tinggi dapat mengurangi jumlah buku, tinggi tanaman, luas daun, pembentukan polong serta produksi kedelai.

(21)

dalam sel tanaman dan (2) mekanisme inklusi yaitu suatu mekanisme yang memungkinkan tanaman melanjutkan proses tumbuhnya meskipun Al sudah masuk ke dalam sel tanaman.

Mekanisme eksklusi adalah imobilisasi Al di dinding sel dengan permeabilitas membran yang selektif, peningkatan pH rizosfer atau apoplas, eksudasi ligan pengkelat, eksudasi fosfat dan efluks Al (Taylor 1991). Plasma membran dapat dianggap sebagai penghalang penyerapan Al secara selektif. Duncan dan Baligar (1990) menyatakan bahwa perbedaan permeabilitas membran terhadap Al merupakan salah satu mekanisme toleran terhadap Al. Kemampuan apoplas sel akar menjerap Al juga dianggap sebagai salah satu mekanisme ketenggangan terhadap Al. Semakin kecil kemampuan akar untuk menjerap Al berarti tanaman semakin peka terhadap Al (Duncan dan Baligar 1990).

Marschner (1995) menyatakan bahwa tanaman yang toleran terhadap Al akan meningkatkan pH pada daerah perakaran sehingga menurunkan kelarutan dan keracunan aluminium. Tanaman toleran dapat menghambat Al masuk ke simplas jika ligan pengkelat (asam organik) dihasilkan, dengan membentuk kompleks Al yang kurang beracun. Ma et al. (2000) menyatakan toleransi kedelai terhadap Al berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mengeksudasi asam organik.

Mekanisme toleransi aluminium inklusi meliputi pengkelatan di sitosol, kompartemensasi di vakuola, dan adanya protein pengikat Al (Taylor 1991). Matsumoto (1991) menyimpulkan dari hasil penelitian pada membran mikrosomal akar barley bahwa aktivitas transpor H+ tonoplas memegang peranan penting dalam pertukaran proton dengan Al yang dikompartementasi di vakuola.

Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Kedelai

Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya. Kekeringan disebabkan oleh dua hal yaitu : 1) kekurangan suplai air di daerah perakaran dan 2) permintaan air yang berlebihan oleh daun dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup. Kekeringan adalah faktor pembatas penting pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fungsi air sangat penting yaitu sebagai pelarut dan media untuk reaksi kimia dan media untuk transpor, zat terlarut organik dan anorganik, media pemberi turgor pada sel tanaman, hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-molekul koloid, bahan baku fotosintesis, proses hidolisis, dan reaksi-reaksi kimia lainnya dalam tumbuhan serta transpirasi untuk mendinginkan permukaan tanaman (Gardner et al. 1991).

(22)

mempertahankan stomata tetap terbuka sebagian dan melanjutkan fotosintesis meskipun potensial air menurun (-10 sampai -12 Mpa).

Menurut Pugnaire et al.(1999) berdasarkan responnya terhadap kekeringan, tanaman dapat diklasifikasikan menjadi 1) tanaman yang menghindari kekeringan (drought avoiders) dan 2) tanaman yang mentoleransi kekeringan (drought tolerator). Tanaman yang menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia atau akuisisi air maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan memodifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensitivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup penyesuaian osmotik.

Potensial air (Ψw) merupakan sistem yang menggambarkan tingkah laku air dan pergerakan air dalam tanah dan tubuh tanaman yang didasarkan atas hubungan energi potensial dengan satuan ukur bar atau pascal (pa). Potensial air tanah berubungan langsung dengan kapasitas lapang dan titik layu permanen. Energi potensial air tanah (Ψtanah) pada kapasitas lapang yaitu -0.1 sampai -0.3 bar, dan Ψtanah pada titik layu permanen berkisar -15 sampai -50 bar. Kapasitas lapang adalah air yang tetap tersimpan dalam tanah yang tidak mengalir ke bawah karena gaya gravitasi, dan titik layu permanen yaitu kondisi air tercekam sehingga tanaman akan layu dan tidak akan segar kembali (Gardner et al. 1991).

Cekaman kekeringan berpengaruh terhadap fisiologi, morfologi dan biokimia tanaman. Salisbury dan Ross (1995) melaporkan bahwa pada kondisi potensial air lebih negatif mengakibatkan pembentukan klorofil terhambat, terjadi penutupan stomata, penurunan aktivitas enzim seperti nitrat reduktase, fenilalanin amonialinase, dan beberapa enzim lainnya. Sebaliknya aktivitas enzim α-amilase dan ribonuklease meningkat dalam perombakan pati dan bahan lain untuk membuat potensial osmotik lebih negatif sehingga tanaman tahan kekeringan.

Kondisi tercekam kekeringan juga mempengaruhi biokimia sel tanaman, salah satu yang dipengaruhinya adalah konsentrasi ABA (Absisic Acid). Pada kondisi potensial air rendah, konsentrasi ABA pada jaringan daun dan dalam jaringan lain meningkat sehingga terjadi penutupan stomata sehingga transpirasi dapat dicegah. Selain itu ABA berperan dalam penghambatan pertumbuhan pucuk daun dan memicu pertumbuhan akar (Wattimena 1988). Dengan demikian, laju transpirasi dapat dicegah sebaliknya penyerapan air meningkat. Selama terjadi kekurangan air, ABA dibebaskan dari kloroplas ke dalam sel-sel epidermis, kemudian kinerja proton dihambat yang aktivitasnya tergantung dari ATP (Adenosin tripospat) yang berada di membran plasma sel penjaga. Kinerja dari pompa proton yaitu mengangkut proton keluar dari sel penjaga sehingga menyebabkan terjadinya aliran masuk yang sangat cepat dan penimbunan ion K+, kemudian terjadi penyerapan air secara osmotik dan terjadi pembukaan stomata.

(23)

Perkembangan luas daun selama pertumbuhan vegetatif merupakan waktu yang sangat sensitif terhadap kekurangan air. Peningkatan turgor dalam proses pembelahan sel membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu kekurangan air pada waktu ini dapat menyebabkan menurunnya luas daun (Granier dan Tardieu1999). Kekeringan menyebabkan penurunan bobot kering tajuk, diameter batang, jumlah cabang produktif, jumlah polong berisi, jumlah biji per tanaman dan bobot kering biji (Hapsoh et al. 2004), menurunkan laju fotosintesis dan indeks luas daun tanaman (Sloane et al. 1990), menyebabkan tanaman memendek, menekan perkembangan akar dan tajuk kedelai, mempercepat pembungaan dan umur panen (Jusuf et al. 1993). Soepandi et al. (1997) juga menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat mengurangi jumlah polong berisi sehingga menurunkan produksi kedelai dan dapat menyebabkan jumlah biji per polong menurun akibat terjadinya gugur bunga dan polong pada saat fase pembungaan dan pembesaran polong (Liu et al. 2003), sedangkan kekeringan pada fase akhir pengisian polong akan mengurangi kepadatan biji (Liu et al. 2004). De Souza et al.(1997) melaporkan bahwa cekaman kekeringan menurunkan jumlah biji per tanaman kedelai.

3 METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian ini terdiri atas percobaan 1 yaitu “Pengaruh genotipe, cekaman kekeringan dan tingkat netralisasi Al terhadap pertumbuhan dan perakaran tanaman kedelai” dan percobaan 2 yaitu “Pengaruh genotipe, cekaman kekeringan dan tingkat netralisasi Al terhadap komponen hasil tanaman kedelai”. Kedua percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca, Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB Darmaga Bogor, dari bulan Januari sampai Mei 2011 (Percobaan I) dan dari bulan Juli sampai November 2011 (Percobaan II). Analisis fisik dan kimia tanah dilakukan di Balai Besar Penelitian Tanah, Bogor.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain adalah rhizotrone, cangkul, ayakan, timbangan, mistar, gembor, plastik transparansi, pinboard, thermometer. Bahan yang digunakan antara lain adalah tanah Ultisol Tenjo (Kabupaten Bogor Barat) yang memiliki pH 4.6 dan Aldd 5.88 me/100g, polybag ukuran 35cm x 45 cm,

kedelai galur SP 30-4 (Slamet/Pangrango), galur PG 57-1 (Pangrango/Godek), varietas Anjasmoro dan varietas Tanggamus, pupuk SP18, KCl, kapur (CaCO3),

Rhizobium serta Marshall.

Metode Penelitian

(24)

(N1) dan 100% Aldd(N2). Dengan demikian ada 24 perlakuan dengan 3 ulangan,

sehingga ada 72 unit Rhizotrone (Percobaan I) dan 72 unit polybag (Percobaan II).

Percobaan 1 : Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Pertumbuhan dan Perakaran kedelai

Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pertumbuhan akar dan hubungannya dengan pertumbuhan vegetatif dan generatif kedelai pada kondisi tercekam aluminium dan kekeringan.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Media Tanam

Tanah dijemur selama seminggu dan dihaluskan dengan menghancurkan bongkahan tanah untuk memudahkan pengayakan. Setelah diayak dan diaduk rata diambil sampel untuk kebutuhan analisa tanah awal. Rhizotrone diisi dengan 7 kg tanah dan disusun berdasarkan denah percobaan pada Lampiran 7.

Kebutuhan kapur dihitung berdasarkan Aldd yang diketahui berdasarkan

analisa tanah awal (Lampiran 3). Pengapuran dilakukan 2 minggu sebelum penanaman benih, dengan dosis 29.4 g CaCO3/polybag untuk perlakuan100% Aldd. Selama masa inkubasi (2 minggu), media tanah yang telah dicampur rata

dengan kapur disiram setiap hari dengan 1 liter air.

Penanaman

Benih kedelai ditanam dalam rhizotrone sebanyak 2 biji dan pada umur 1 minggu setelah tanam (MST) dijarangkan menjadi 1 tanaman/rhizotrone. Pupuk dasar yang diberikan setara 400 kg SP18/ha dan 100 kg KCl/ha pada saat tanam. Sebelum ditanam benih diberi inokulant Rhizobium5 g/kg benih dan Marshall 15 g/kg benih untuk mengendalikan lalat bibit.

Penyiraman

Pada awal penanaman sampai umur 2 MST, penyiraman dilakukan dengan menggunakan 1 liter air per hari. Perlakuan interval penyiraman dimulai 2 MST sampai panen dengan menambahkan 1 liter air untuk interval penyiraman 2 hari, 1.5 liter untuk interval penyiraman 6 hari dan 2 liter untuk interval penyiraman 10 hari. Jumlah air yang diberikan melebihi kapasitas lapang, dengan maksud agar air yang diberikan dapat secara merata membasahi media tanah di dalam rhizotrone sehingga mencapai kapasitas lapang setiap kali penyiraman. Perhitungan air kapasitas lapang disajikan pada Lampiran 4.

Pengamatan

Pengamatan pada percobaan ini meliputi :

1. Tinggi tanaman, diukurdari permukaan tanah sampai titik tumbuh setiap 2 minggu mulai 2 MST

2. Jumlah daun trifoliate, dihitung setiap 2 minggu mulai 2 MST 3. Umur berbunga dan fruitset

(25)

5. Bobot kering bintil akar saat panen 6. Bobot kering tajuk saat panen 7. Jumlah polong saat panen

8. Suhu rumah kaca, diukur setiap hari. 9. Analisis tanah diawal percobaan

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan anova, bila terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Peubah tinggi tanaman dan jumlah daun dianalisis dengan metode faktorial in time. Korelasi antar peubah dilakukan dengan menggunakan metode korelasi Pearson.

Percobaan II : Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Komponen Hasil Kedelai

Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang komponen hasil kedelai pada kondisi tercekam aluminium dan kekeringan.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Media Tanam

Tanah dijemur selama seminggu dan dihaluskan dengan menghancurkan bongkahan tanah untuk memudahkan pengayakan. Setelah diayak dan diaduk rata diambil sampel untuk kebutuhan analisa tanah awal. Polybag diisi dengan 7kg tanah dan disusun berdasarkan denah percobaan pada Lampiran 7.

Kebutuhan kapur dihitung berdasarkan Aldd yang diketahui berdasarkan

analisa tanah awal (Lampiran 3). Pengapuran dilakukan 2 minggu sebelum penanaman benih dengan dosis 29.4g CaCO3/polybag untuk perlakuan 100% Aldd. Selama masa inkubasi (2 minggu), media tanah yang telah dicampur rata

dengan kapur disiram dengan 1 liter air/hari.

Penanaman

Kedelai ditanam dalam polybag sebanyak 2 biji dan pada umur 1 MST dijarangkan menjadi 1 tanaman/polybag. Pupuk dasar diberikan setara 400 kg SP18/ha dan 100 kg KCl/ha pada saat tanam. Sebelum ditanam benih diberi inokulant Rhizobium sp sebanyak 5 g/kg benih dan Marshall sebanyak 15 g/kg benih untuk mengendalikan lalat bibit.

Penyiraman

(26)

diukur. Jumlah air yang diberikan dikurangi dengan jumlah air yang tertampung dalam ember dihitung sebagai jumlah kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi). Kebutuhan air (evapotranspirasi) selama masa pertumbuhan tanaman kedelai mulai tanam sampai panen disajikan pada Lampiran 8.

Pengamatan

Pengamatan pada percobaan ini meliputi :

1. efisiensi penggunaan air (EPA) berdasarkan jumlah air yang digunakan untuk pembentukan bijimulai tanam sampai panen, dihitung dengan rumus

EPA (g/liter) = bobot biji kering (g)/evapotranspirasi (liter)

2. berat kering polong per tanaman 3. jumlah polong isi per tanaman 4. jumlah biji per tanaman 5. bobot biji kering per tanaman 6. bobot biji kering 100 butir 7. analisis hara tanah di awal 8. suhu di dalam rumah kaca

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan anova, bila terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT taraf 5%.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Cekaman Aluminium terhadap Pertumbuhan, Perakaran dan Komponen Hasil

Tanaman Kedelai

Hasil pengamatan pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan genotipe berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk, bobot kering bintil akar, panjang akar, umur berbunga, jumlah bunga, fuitset, jumlah polong total dan bobot biji 100 butir.

(27)

Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam respon pertumbuhan dan perakaran genotipe kedelai pada berbagai taraf cekaman kekeringan dan cekaman aluminium (Faktorial RAL)

Keterangan: G = genotipe, K = interval penyiraman, N = netralisasi Al Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam respon tinggi tanaman dan jumlah daun

genotipe kedelai pada berbagai taraf cekaman kekeringan dan cekaman

Keterangan: G = genotipe, K = interval penyiraman, N = netralisasi Al, W = waktu

Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Pertumbuhan dan Perakaran Tanaman Kedelai

(28)

kedelai, mempercepat pembungaan dan umur panen (Jusuf et al. 1993). Gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah penghambatan pertumbuhan akar. Namun demikian Ismunadji dan Mahmud (1993) menambahkan bahwa kejenuhan Al yang tinggi dapat mengurangi jumlah buku, tinggi tanaman, luas daun, pembentukan polong serta produksi kedelai.

Pada penelitian ini pengamatan terhadap peubah pertumbuhan vegetatif dan perakaran yang dilakukan adalah tinggi tanaman, jumlah daun, bobot kering tajuk, panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering bintil akar.

Tinggi Tanaman

Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap dua minggu, dimulai 2 minggu setelah tanam (MST) sampai dengan 8 MST (Tabel 3). Cekaman Al menekan tinggi tanaman kedelai genotipe SP 30-4 pada umur 2, 6 dan 8 MST, dan menekan tinggi varietas Tanggamus pada umur 6 dan 8 MST.

Tabel 3 Respon tinggi tanaman terhadapinteraksi genotipe dan cekaman Al Genotipe Tinggi tanaman (cm)

Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

...2 MST... Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Hal ini disebabkan oleh keracunan Al yang dapat menyebabkan kerusakan dan terhambatnya pertumbuhan akar tanaman. Kerusakan akar yang disebabkan oleh keracunan Al mengakibatkan rendahnya kemampuan tanaman menyerap hara dan air, sehingga tanaman akan kekurangan hara dan mudah kekeringan yang pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Marshner 1995).

(29)

Anjasmoro dan PG 57-1 menunjukkan respon yang toleran terhadap cekaman Al. Diduga kedua genotipe ini memiliki sifat lebih efisien dalam memanfaatkan hara N (Syakhril 1997), Ca, P, Mg, K, Fe, Mn (Sunarto 1993). Sifat yang lebih efisien dalam memanfaatkan hara ini menyebabkan pertumbuhan tajuk yang lebih baik. Perbedaan tinggi tanaman yang tercekam Al dan tidak tercekam Al dapat dilihat pada Gambar 1.

Decoteau (2005) menyatakan bahwa kadar air defisit atau kekeringan dapat menurunkan pembelahan sel dan fotosintesis, karena air mempunyai peranan yang penting sebagai pelarut, media transport, memberikan turgor sel dan bahan baku untuk fotosintesis (Parker 2004). Ismunadji dan Mahmud (1993) dan Yutono (1993) juga melaporkan bahwa kejenuhan Al yang tinggi dapat mengurangi jumlah buku, tinggi tanaman, luas daun serta produksi kedelai.

Gambar 1 Keragaan tinggi tanaman kedelai SP 30-4 dan PG 57-1 yang tercekam Al (kiri) dan tidak tercekam Al (kanan)

Jumlah Daun

Hasil pengujian menunjukkan bahwa respon jumlah daun dipengaruhi oleh interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al. Pada umur 2 MST, cekaman Al menurunkan jumlah daun tanaman kedelai yang mengalami kekeringan 2 hari, dan pada umur 6 MST cekaman Al menurunkan jumlah daun tanaman kedelai yang mengalami kekeringan 2 dan 6 hari. Nilai rata-rata jumlah daun disajikan pada Tabel 4.

Penurunan jumlah daun disebabkan oleh terganggunya pertumbuhan akar. Kerusakan struktur dan fungsi akar oleh adanya Al menyebabkan berkurangnya kemampuan akar menyerap hara dan air yang tersedia sehingga translokasi air dan hara ke bagian tajuk berkurang (Misnen 2010). Sel tanaman akan mengalami siklus pembelahan atau siklus sel untuk dapat tumbuh dan berkembang. Pada saat berlangsungnya siklus sel, terdapat material tertentu yang mengontrol sehingga proses siklus sel berjalan normal yaitu enzim, protein dan hormon. Pada kondisi kekeringan aktivitas hormon sitokinin yang berfungsi dalam pembelahan sel dan menjaga turgor sel menjadi terhambat sehingga tunas tidak dapat terinisiasi dan daun menjadi mudah rontok.

(30)

Tabel 4 Respon jumlah daun terhadap interaksi cekamankekeringan dan cekaman aluminium

Umur

Jumlah daun (helai)

Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

Interval penyiraman

2 hari 6 hari 10 hari 2 hari 6 hari 10 hari 2 MST 3.3a 2.9b 2.9b 2.8b 2.8b 2.9b 4 MST 5.0a 4.9a 4.8a 4.8a 4.8a 4.8a 6 MST 16.2a 13.3b 12.8bc 10.5d 9.5d 10.7cd Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Selain menghambat hormon sitokinin, kondisi kekeringan dapat menghambat aktivitas hormon auksin yang berperan dalam mendorong pembelahan sel batang, daun dan akar yang diproduksi pada meristem apikal. Menurut Horgan (1990), hormon yang berperan dalam pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel serta menunda penuaan adalah sitokinin. Sebaliknya kondisi kekeringan akan meningkatkan produksi hormon etilen. Menurut Lakitan (1996) etilen merupakan hormon yang berperan dalam penuaan daun sehingga daun menjadi gugur.

Bobot Kering Tajuk

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al menurunkan bobot kering tajuk tanaman kedelai. Pada kondisi netralisasi 100% Aldd, peningkatan interval penyiraman menurunkan bobot kering

tajuk tanaman kedelai. Cekaman Al menekan jumlah daun pada setiap tingkat interval penyiraman. Nilai rata-rata bobot kering tajuk tanaman kedelai disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Respon bobot kering tajuk tanaman terhadap interaksi cekaman kekeringan dan cekaman aluminium

Interval penyiraman Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

2 hari 9.52a 3.89d

6 hari 7.08b 2.96d

10 hari 4.76c 2.54d

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

(31)

Selain penghambatan absorbsi hara terjadi juga penurunan aktivitas enzim nitrat reduktase (Fitter dan Hay 1994). Defisiensi hara dan penurunan aktivitas enzim ini menghambat beberapa metabolisme penting dalam tanaman sehingga pertumbuhan bagian atas tanaman turut terhambat (Rengel 1997).

Perkembangan luas daun selama pertumbuhan vegetatif merupakan waktu yang sangat sensitif terhadap kekurangan air. Peningkatan turgor dalam proses pembelahan sel membutuhkan air yang cukup. Oleh karena itu kekurangan air pada waktu ini dapat menyebabkan menurunnya luas daun (Granier dan Tardieu 1999). Penurunan luas dan jumlah daun berasosiasi dengan penurunan aktivitas fotosintesis, yang menyebabkan berkurangnya partisi biomassa tanaman yaitu bobot kering tajuk tanaman.

Panjang Akar

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan genotipe, cekaman kekeringan dan cekaman Al mempengaruhi panjang akar genotipe kedelai. Pada Gambar 2a dan 2b dapat dilihat bahwa cekaman Al tidak mempengaruhi panjang akar SP 30-4 dan Anjasmoro. Pada saat tercekam Al, panjang akar PG 57-1 lebih panjang pada interval penyiraman 10 hari dibandingkan interval penyiraman 2 hari. Pada interval penyiraman 6 hari, panjang akar Tanggamus lebih panjang saat tercekam Al dibandingkan tidak tercekam Al. Semua genotipe menunjukkan respon toleran terhadap Al pada peubah panjang akar, karena memiliki kemampuan memulihkan dan menekan pengaruh buruk dari Al sehingga fungsi akar tidak terganggu. Pertumbuhan akar yang tidak terganggu oleh keberadaan Al akan memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada kondisi tercekam kekeringan.

Genotipe PG 57-1 memperlihatkan mekanisme avoidance terhadap kekeringan pada kondisi tercekam Al. Pada mekanisme ini tanaman mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem perakaran. Mekanisme adaptasi dengan meningkatkan sistem perakaran adalah dengan menghambat pertumbuhan bagian atas karena sebagian besar karbohidrat ditranslokasikan untuk memproduksi akar lebih banyak. Hal ini diduga berhubungan dengan konsentrasi ABA yang meningkat dengan adanya kekeringan yang berperan dalam penghambatan pertumbuhan pucuk daun dan memicu pertumbuhan akar (Wattimena 1988). Hamim (1995) juga menemukan adanya peningkatan panjang akar pada kedelai yang ditanam pada kondisi kekeringan daripada kondisi cukup air.

(32)

Keterangan : Penyiraman 2 hari Penyiraman 6 hari Penyiraman 10 hari Gambar 2 Respon panjang akar genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan

pada kondisi (a) tidak tercekam Al dan (b) tercekam Al

(33)

Bobot Kering Akar

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al mempengaruhi bobot kering akar tanaman kedelai (Gambar 3), tetapi tidak dapat menjelaskan kaitannya dengan faktor genotipe karena interaksi antara perlakuan dengan genotipe tidak berbeda nyata pada peubah ini.Pada kondisi tidak tercekam Al, bobot kering akar belum terlihat tertekan pada interval penyiraman 6 hari, dan mulai tertekan pada interval penyiraman 10 hari. Pada interval penyiraman 10 hari, bobot kering akar tanaman yang tercekam Al maupun yang tidak Al memiliki nilai yang sama.

Berikatannya Al dengan perakaran tanaman menyebabkan penghambatan pembelahan dan perpanjangan sel akar (Matsumoto 1991) sehingga menghambat perpanjangan akar (Marshner 1992) yang secara tidak langsung akan menurunkan bobot kering akar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soepandi et al. (2000), bahwa cekaman Al menekan panjang akar dan bobot kering akar.

Keterangan : Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

Gambar 3 Respon bobot kering akar tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman Al dan kekeringan

Pada kondisi tidak tercekam Al, bobot kering akar semakin menurun dengan semakin meningkatnya periode kekeringan. Kadar air media mempengaruhi kemampuan tanaman untuk membentuk akar. Pada percobaan ini, keempat genotipe tidak memperlihatkan perbedaan kemampuan untuk mempertahankan bobot kering akar pada kadar air media rendah. Bobot kering akar pada kadar air media rendah disebabkan bagian ujung akar yang berperan dalam zona pemanjangan tidak tumbuh dengan baik, begitu juga dengan rambut-rambut akar yang berperan dalam penyerapan air (Aini 2013).

Bobot Kering Bintil Akar

(34)

yang tidak tercekam Al, peningkatan interval penyiraman juga menekan bobot kering bintil akar, tanaman yang diberi perlakuan interval penyiraman 10 hari memiliki nilai bobot kering bintil akar yang secara nyata lebih kecil dibandingkan tanaman yang diberi perlakuan interval penyiraman 2 hari.

Hal ini diduga karena pH yang rendah pada media yang tercekam Al dan adanya peningkatan periode kekeringan sehingga tidak dapat memberikan lingkungan yang optimum untuk pembentukan bintil akar. Pada kondisi tanah dengan pH rendah dapat menekan kerapatan populasi Rhizobium dan merupakan faktor pembatas bagi daya hidup bakteri bintil akar pada kondisi tanpa atau dengan inang (Ningsih dan Anas 2004). Bakteri memerlukan pH 6.0-6.5 untuk pertumbuhan bakteri Rhizobium. Ghulamahdi et al. (2006) menambahkan bahwa budidaya kedelai dengan sistem jenuh air memiliki bobot bintil akar yang lebih besar daripada budidaya jenuh kering dan budidaya kering. Keragaan bintil akar varietas Anjasmoro dapat dilihat pada Gambar 5.

Keterangan : Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

Gambar 4 Respon bobot kering bintil akar tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman Al dan kekeringan

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa interaksi cekaman genotipe dan cekaman Al mempengaruhi bobot kering bintil akar tanaman kedelai (Gambar 6). Cekaman Al menurunkan bobot kering bintil akar semua genotipe tanaman kedelai secara nyata, tetapi dengan nilai penurunan yang berbeda-beda. Penurunan bobot kering bintil akar genotipe PG 57-1 dan Tanggamus lebih besar dibandingkan genotipe SP 30-4 dan Anjasmoro.

(35)

Gambar 5 Keragaan bintil akar varietas Anjasmoro pada kondisi tidak tercekam Al pada periode kekeringan 2 hari

Keterangan: Netralisasi 100 % Aldd Netralisasi 0% Aldd

Gambar 6 Respon bobot kering bintil akar genotipe kedelai terhadap cekaman Al

Pengaruh Genotipe, Cekaman Kekeringan dan Tingkat Netralisasi Al terhadap Komponen Hasil Tanaman Kedelai

Tanaman kedelai lebih sensitif terhadap cekaman kekeringan pada periode awal pembungaan dan pada pertengahan masa pengisian biji. Soepandi et al. (1997) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat mengurangi jumlah polong berisi sehingga menurunkan produksi kedelai. Pada penelitian ini pengamatan terhadap peubah pertumbuhan generatif dan produksi adalah umur berbunga, jumlah bunga, fruitset, jumlah polong total, jumlah polong isi, bobot kering polong, jumlah biji per tanaman dan bobot biji 100 butir.

Umur Berbunga

Hasil pengujian menunjukkan respon tanaman kedelai terhadap cekaman Al berbeda antar genotipe (Tabel 6). Cekaman Al meningkatkan umur berbunga genotipe SP 30-4 dan Tanggamus. Pada peubah umur berbunga, kedua genotipe

0,65a

0,40bc

0,48ab

0,29bcd

0,17cd

0,14d

0,10d

0,06d

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

SP 30-4 Anjasmoro PG 57-1 Tanggamus

B

obot

keri

ng

bint

il

akar

(g)

(36)

ini menunjukkan respon yang peka terhadap cekaman Al. Varetas Anjasmoro dan genotype PG 57-1 menunjukkan respon yang toleran terhadap cekaman Al karena umur berbunga kedua genotipe ini tidak menunjukkan perbedaan antara yang tercekam dan yang tidak tercekam Al.

Terlambatnya pembungaan SP 30-4 dan Tanggamus pada kondisi ini disebabkan tingginya Al dalam media perakaran. Ion Al dapat menghambat pembungaan melalui penghambatan terhadap pertumbuhan akar, sehingga laju alokasi substrat ke bagian tajuk menjadi rendah (Hanum 2004).

Tabel 6 Respon umur berbunga genotipe tanaman kedelai terhadap cekaman Al Genotipe Umur berbunga (hari)

Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

SP 30-4 41.1bc 44.4a

Anjasmoro 35.4d 34.3d

PG 57-1 39.7c 40.9bc

Tanggamus 39.2c 42.2b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Jumlah Bunga

Hasil pengujian menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan genotipe, kekeringan dan cekaman Al mempengaruhi jumlah bunga tanaman kedelai (Tabel 7). Tanaman kedelai varietas Anjasmoro memiliki jumlah bunga yang secara nyata lebih sedikit dibandingkan ketiga genotipe lainnya. Jumlah bunga pada tanaman yang mengalami kekeringan 10 hari nyata lebih sedikit dibandingkan tanaman yang mengalami kekeringan 2 dan 6 hari. Cekaman Al menekan jumlah bunga tanaman kedelai. Rendahnya jumlah bunga pada varietas Anjasmoro diduga disebabkan oleh perbedaan karakter fisiologi dan morfologi dibandingkan ketiga genotipe lainnya.

Tabel 7 Respon jumlah bunga tanaman kedelai terhadap perlakuan genotipe, cekaman Al dan cekaman kekeringan

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

(37)

Fruitset

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al mempengaruhi fruitset tanaman kedelai (Gambar 7). Cekaman Al menurunkan fruitset tanaman kedelai yang diberi interval penyiraman 2 hari dan 6 hari. Pada interval interval penyiraman 10 hari, tanaman yang diberi cekaman Al maupun yang tidak diberi cekaman Al menunjukkan nilai yang sama, yaitu nilai yang terendah.

Keterangan : Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

Gambar 7 Respon fruitset tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al

Bobot Kering Polong

Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan menurunkan bobot kering polong tanaman kedelai yang mengalami kekeringan 6 hari dan 10 hari. Nilai rata-rata bobot kering polong tanaman kedelai disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Respon bobot kering polong tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan

Interval penyiraman Bobot kering polong

2 hari 6.3a

6 hari 1.5b

10 hari 0.6b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Gugur bunga dan gugur polong pada tanaman menyebabkan menurunnya jumlah polong dan bobot polong. Hal ini berhubungan dengan penurunan laju fotosintesis.

Jumlah Polong

Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan cekaman Al menekan jumlah polong semua genotipe tanaman kedelai yang diuji

(38)

(Gambar 8). Pada kondisi tidak tercekam Al, jumlah polong tanaman kedelai semakin menurun dengan semakin meningkatnya periode kekeringan.

Jumlah polong per tanaman adalah peubah yang paling sensitif terhadap kekeringan (Hamayun et al. 2010). Tanaman kedelai memproduksi ABA lebih banyak pada kondisi kekeringan (Hamayun et al. 2010). ABA berperan dalam mempengaruhi konduktansi stomata. Penutupan stomata akan menyebabkan menurunnya pertukaran gas CO2 di daun yang berdampak pada penurunan laju fotosintesis. Potensial air yang rendah juga mengganggu metabolisme karbohidrat di dalam polong dan menginduksi gugur polong (Liu et al. 2004).

Keterangan : Netralisasi 100% Aldd Netralisasi 0% Aldd

Gambar 8 Respon jumlah polong tanaman kedelai terhadap interaksi cekaman Al dan kekeringan

Jumlah Polong Isi

Hasil pengujian menunjukkan bahwa jumlah polong isi dipengaruhi oleh kekeringan. Tanaman yang mengalami kekeringan 6 dan 10 hari memiliki jumlah polong isi yang lebih sedikit dibandingkan tanaman yang mengalami kekeringan 2 hari. Nilai rata-rata jumlah polong isi disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Respon jumlah polong isi tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan Interval penyiraman Jumlah polong isi

2 hari 22.0a

6 hari 5.9b

10 hari 1.9b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Hasil fotosintesis yang berupa fotosintat akan ditranslokasikan dari source

(daun) ke sink (biji). Translokasi fotosintat ini terjadi karena adanya fungsi air sebagai pelarut dan media transpor. Penurunan potensial air menurunkan gradient potensial air antara source dan sink menurunkan laju translokasi fotosintat dari daun ke biji. Aktivitas fotosintesis yang menurun akibat penutupan stomata dan penurunan laju translokasi fotosintat dari source ke sink mengakibatkan

(39)

tertekannya proses pengisian polong tanaman kedelai. Soepandi et al. (1997) juga menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat mengurangi jumlah polong berisi.

Jumlah Biji per Tanaman

Hasil pengujian menunjukkan bahwa cekaman kekeringan mempengaruhi jumlah biji per tanaman kedelai. Cekaman kekeringan menurunkan jumlah biji tanaman kedelai secara nyata (Tabel 10). Hasil penelitian Riwanodja et al. (2003) menunjukkan bahwa cekaman kekeringan pada fase generatif (R3) dapat menurunkan hasil biji kedelai sebesar 62%, karena defisit air berpengaruh terhadap proses metabolik dalam tanaman yang berakibat pada menurunnya pertumbuhan tanaman. Kekeringan pada fase ini menyebabkan penurunan hasil kedelai karena jumlah biji per tanaman yang menurun akibat terjadinya gugur bunga dan gugur polong pada saat fase pembungaan dan pembesaran polong (Liu

et al. 2003).

Tabel 10 Respon jumlah biji per tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan Interval penyiraman Jumlah biji per tanaman

2 hari 44.5a

6 hari 11.1b

10 hari 3.8b

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Bobot Kering Biji 100 Butir

Hasil pengujian menunjukkan bahwa perlakuan genotipe mempengaruhi bobot kering biji 100 butir (Tabel 11). Genotipe SP 30-4 memiliki bobot kering biji 100 butir lebih tinggi dibandingkan ketiga genotipe lainnya. Hal ini diduga disebabkan ukuran biji genotipe ini lebih besar daripada biji genotipe lainnya. Tabel 11 Respon bobot kering biji 100 tanaman kedelai butir terhadap perlakuan

genotipe dancekaman kekeringan

Perlakuan Bobot kering biji 100 butir Genotipe

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa perlakuan cekaman kekeringan mempengaruhi bobot kering biji per 100 butir tanaman kedelai. Nilai rata-rata bobot kering biji per 100 butir disajikan pada Tabel 11.

(40)

bobot biji 100 butir yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi tanpa cekaman.

Efisiensi Penggunaan Air (EPA) Tanaman Kedelai

Pengukuran efisiensi penggunaan air pada penelitian ini berdasarkan bobot biji yang terbentuk per satuan jumlah air yang digunakan. Jumlah air yang dimaksud adalah besarnya evapotranspirasi. Berbagai persamaan hubungan evapotranspirasi dengan jumlah produksi telah dikembangkan. Semakin besar evapotranspirasi akan menyebabkan semakin besar produksi (Tao et al. 2005) Tanaman yang efisien dalam penggunaan air akan mampu membentuk biomassa (biji) dengan bobot yang lebih tinggi per satuan jumlah air yang digunakan. Efisiensi tanaman dalam penggunaan air berkaitan dengan sifat genetik, suhu, intensitas penyinaran, serangan hama, kandungan air media, dan ada atau tidak adanya logam berat pada media.

Terlihat pada Gambar 9a dan 9b bahwa nilai EPA genotipe SP 30-4 dan Tanggamus tertekan karena adanya cekaman Al pada interval penyiraman 2 hari. Sedangkan pada interval penyiraman 6 hari dan 10 hari, penurunan nilai EPA kedua genotipe ini tidak nyata. Hal ini diduga karena nilai EPA kedua genotipe ini lebih banyak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan. Nilai EPA genotipe SP 30-4 dan Tanggamus yang mengalami kekeringan 2 hari tidak berbeda nyata dengan genotipe SP 30-4 dan Tanggamus yang mengalami kekeringan 6 hari, tetapi berbeda nyata dengan genotipe SP 30-4 dan Tanggamus yang mengalami kekeringan 10 hari.

Sedangkan nilai EPA varietas Anjasmoro tidak dipengaruhi oleh keberadaan Al di perakaran, sedangkan genotipe PG 57-1 menunjukkan hal sebaliknya, nilai EPA meningkat dengan adanya cekaman Al. Hal ini diduga karena perlakuan dan pengamatan terhadap tanaman yang tercekam Al dan tidak tercekam Al adalah merupakan tanaman yang berbeda.

Nilai EPA yang tidak dipengaruhi oleh Al disebabkan karena perakaran kedua genotipe ini mampu tumbuh terus pada cekaman Al, sehingga mengurangi efek merugikan dari Al seperti yang ditunjukkan oleh kedua genotipe ini pada peubah panjang akar. Banyaknya air dalam media sehingga mendukung pertumbuhan vegetatif dan generatif yang menyebabkan tingginya nilai EPA kedua genotipe ini. Nilai EPA kedua genotipe ini juga tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan baik pada kondisi tercekam Al maupun tidak tercekam Al.

(41)

Gambar

Tabel 2  Rekapitulasi sidik ragam respon tinggi tanaman dan jumlah daun
Tabel 3 Respon tinggi tanaman terhadapinteraksi genotipe dan cekaman Al
Gambar  1  Keragaan tinggi tanaman kedelai SP 30-4 dan PG 57-1 yang tercekam
Gambar  2  Respon panjang akar  genotipe kedelai terhadap cekaman kekeringan
+7

Referensi

Dokumen terkait

2.1 Kerangka Pemikiran Produktivitas Tenaga Kerja Perempuan Dalam Kegiatan Pengelolaan Kredit Usaha Mandiri 22011 2220(KUM) di Subak Guama Kabupaten Tabanan. PROGRAM

Tanaman kedelai yang mengalami kekeringan pada fase vegetatif mengalami penurunan pertumbuhan dan perkembangan yang sangat besar (Aboyami, 2008), seperti dengan

Berasarkan Tabel 8diketahui bahwa nilai normalitas skor sikap awal, dan sikap akhir siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol terhadap pembelajaran biologi khususnya konsep

Namun demikian meskipun pemerintah juga telah menyelenggarakan program pendanaan dengan satuan pendidikan sebagai basis, yaitu program Bantuan Operasional Sekolah (BOS),

Implementasi kebijakan pengelolaan BCF di perairan Banggai Kepulauan berdasarkan kajian hasil penelitian adalah bahwa kuota jumlah BCF yang boleh ditangkap agar ketersediaannya

Menu Obat pada menu penjualan berisikan Perhitungan Fuzzy Berdasarkan Total Obat Yang Terjual Per Obat, menu ini berfungsi untuk menghitung nilai fuzzy dari

Berdasarkan identifikasi dari Tahapan tahapan siklus hidup produk, maka produk Top Coffe termasuk dalam Tahap pertumbuhan, dimana Produk Top Coffe telah dikenal oleh masyarakat

Pada keluarga Bapak Saim, yang mana dalam orientasi bertaninya telah mengalami pergeseran dikarenakan bahwa tidak ingin mengganggu pendidikan anaknya, bapak Saim