• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Soe Hok Gie

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemikiran Politik Soe Hok Gie"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

Pemikiran Politik

Soe Hok Gie

DISUSUN

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S1)

di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

O

L

E

H

CHRIST FANDI TARIGAN

030906017

Program Study Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : WARJIO, S.S, M.A

Dosen Pembaca : Drs. ANTHONIUS P SITEPU, M.A

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK SKRIPSI

PEMIKIRAN POLITIK SOE HOK GIE

Christ Fandi Tarigan 030906017

Program Studi Ilmu Politik

Tulisan ini adalah hasil penelitian yang berjudul “ Pemikiran Politik Soe Hok Gie”. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; Melihat keterkaitan munculnya gerakan mahasiswa dengan gerakan civil society secara umum. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat sebagai variabel yang terpisah dari gerakan civil society secara umum, sehingga perlu melihat gambaran secara umum bagaimana keterkaitan gerakan mahasiswa dengan proses demokratisasi dan kemunculan civil society secara umum? Mengidentifikasi latar belakang beberapa kelompok gerakan mahasiswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam kaitan dengan ini, penting juga untuk melihat visi politik dan perspektif demokratisasi para aktivis yang memelopori masing-masing kelompok gerakan. Ada benang merah dan perbedaan yang menonjol di antara kelompok gerakan mahasiswa ? Mengidentifikasi orientasi, visi dan arah gerakan mahasiswa masa ankatan “66 dalam menghadapi proses demokratisasi secara luas yang sedang dalam proses ini. Terhadap isu apa saja, kelompok gerakan akan dipersatukan dan isu yang mana yang membedakan mereka?

Adapun cara yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut adalah dilakukan dengan cara analisis deskriptif sejarah yaitu menganalisis data-data yang bersumber dari buku-buku, koran-koran,dokumen-dokumen serta sarana lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

Pada penelitian ini peneulis memperoleh hasil yaitu pada studi pemikiran yang secara discourse yang dituang didalam catatan harian dan koran-koran yang telah ditulis Soe hok gie mengenai transis peralihan kekuasan Soekarno-Soeharto. Dimana banyak demontrasi-demontrasi yang menentang kebijakan Soekarno dan dari perpecahan mahasiswa mengenai ideologi antara ‘political force’ dan moral force’ (1966-1969). Dengan demikian, era Transisi Soekarno-Soeharto sesuai dengan fakta pemikiran Soe Hok Gie, mahasiswa harus bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat sipil. Demontrasi adalah awal mula dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan tanpa memperhatikan masyarakat sipil.

Kata-kata kunci (key words) : Mahasiswa, Demontrasi, Kekuasaan,

Pemerintahan, Organisai KAMI,

(3)

Departemen Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI INI DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN

NAMA : CHRIST FANDI TARIGAN

NIM : 030906017

DEPARTEMEN : ILMU POLITIK

JUDUL : PEMIKIRAN POLITIK SOE HOK GIE

MEDAN, 15 DESEMBER 2008

Menyetujui

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(WARJIO, S.S, M,A) (Drs. ANTHONIUS P SITEPU, MA) NIP.13231810 NIP : 132 215 084

Ketua Departemen

(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP : 132 215 084

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan didepan panitia penguji skripsi ILMU POLITIK

FISIP USU pada :

HARI : Senin

TANGGAL : 15 Desember 2008

PUKUL : 10.00 wib s/d selesai

TEMPAT : Ruang Sidang FISIP USU

PANITIA PENGUJI

Ketua Penguji : INDRA KESUMA, S.IP, Msi (………)

NIP : 132 306 950

Penguji I : WARJIO, S.S, M.A (...)

NIP : 132 215 084

Penguji II : Drs. Anthonius P Sitepu, M.A (...)

(6)

PERNYATAAN

PEMIKIRAN POLITIK SOE HOK GIE.

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya

ataupun pendapat yang pernah ditulis atau yang telah pernah diterbitkan

oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan

dalam daftar pustaka.

Medan, 24 Maret 2008

CHRIST FANDI TARIGAN

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hamba persembahkan kepadaMU ya Allah, Tuhan

seru sekalian alam. Maha suci Engkau ya Rabbi, yang telah memberikan hamba

kesempatan untuk hidup di dunia yang fana ini. Engkaulah yang Maha Pengasih

lagi Maha Penyayang.

Syalawat berangkai salam kepada junjungan dan teladan umat manusia,

Baginda nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga suci beliau dan para

sahabat yang tetap setia meneruskan perjuanganmu.

Terima kasih saya ucapkan kepada :

1. Orang tua tercinta, ayahanda Rudiar Tarigan dan Ibunda Anitasia yang

telah memberikan segalanya baik waktu dan pendidikan dan telah sabar

menyuruh saya untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih tak terhingga

untukmu kedua orang tuaku, engkau telah memberikan yang terbaik

buatku, engkau yang selalu menghadirkan aku didalam setiap doa-doamu.

Semoga limpahan kasih sayang ALLAH SWT. selalu bersamamu.

2. Dekan FISIP USU, bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA.

3. Bapak Heri Kusmanto selaku pembimbing saya, juga orang tua buat saya

yang telah memberikan banyak nasehat dan kepedulian kepada saya.

4. Pak Warjio, teman diskusi yang sangat membatu dalam membimbing

dalam skripsi saya Terima kasih banyak yang telah mengerti saya.

5. Pak Anthonius yang telah menjadi Dosen wali saya, sejak saya kuliah di

Ilmu Politik sambai sekarang telah membantu saya.

6. Buat adikku, Denny, Putri dan Ardi, yang selalu menjadi hari-hari

(8)

Nyusul kata nya ngeliat abang wisuda senang. Buat lah Papa dan Mama

bangga kepada Kita. Buat adik ku Ardi, jangan banyak main nya.

7. Buat teman-teman seperjuanganku; Tata sobat ku (sukses ya S-2 nya di

UGM, mudah-mudahan Cita-cita mu tercapai), Rolan sobat ku (Cepat wak

Gas terus), anyar (Casper q...), Veni, coky, Mimi, Andi, Prima, Fufu

(cepatan wak biar rame-rame kita wisuda nya, jangan malas-malas lagi gas

terus), Zulfan Efendi Rambe (Maju terus wak menjadi Ketum HMI

Cabang Medan), Raty (kapan kawin?), aulia (jaga tikom tuh jangan, kan

lumayan buat cari jodoh), Miqdat (ingat kul dat), isan, sri, (sukses yah,

kerja keras ya biar cepat kawin), dika (cocok jadi Pelawak amatir), ana

(mandiri Wak, cair!), rika , uti (cepat lah kawinnya, biar makan ayam

kami), abas (sukses wak di Pelembangnya), walid (cepat Kawin koe), adq,

ali, dayat, nuning, putra, juple, dini. Terima kasih deh bwat kelen smua,

smoga persahabatan qta tetap abadi. Bwat andi, mimi, fai, yuda, pipi,

surya, yos dan semuanya yg mungkin lupa kusebutkan.

8. Spesial thanks to my soulmat n my spirit “Nanda”, wanita yg perhatian n

sabar ma aq, paling setia, dan u’r the best deh pokoknya. Thanks for

everything bwatmu Ay q.

9. bwat rajab, titin, riri, elis, eko, doni, bimbi, wendi arifin, ana, ari, heni,

fera, lia, irna Sorri nyusahin kalian, aq berbuat karena aq mendapatkan

semua nya di HMI .

10. bwat adinda-adindaqu: lomang, pakde, dayat, kiki, nia, ama, anti, mimi

ndut, rie, tika, b-doel, dina, jaga semangat kalian, masih ada satu tahun

(9)

menyerah mundur penghianat. Bwat anak 06, diah, amar, roni, ulfa, rian,

ial, adel, anol dan yg gak bs kusebutkan satu per satu.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah ...8

C. Pembatasan Masalah ...9

D. Tujuan Penelitian ...10

E. Manfaat Penelitian ...10

F. Kerangka Toeri ...10

F.1. Hegemoni dan Politik Demokrasi menurut Laclau dan Mouffe ...10

F.2. Gerakan Mahasiswa dan Kebangkitan Gerakan Sosial. ...15

G. Metodologi Penelitian ...20

G.1. Metode Penelitian ...20

G.2.Teknik Pengumpulan Data ...20

G.3. Teknik Analisa Data ...21

H. Sistematika Penulisan ...22

BAB II : RIWAYAT HIDUP SOE HOK GIE A. Asal-Usul Soe Hok Gie Sebagai Sorang Pemikir ...23

B. Kesadaran Seorang Aktivis Politik ...25

(11)

D. Komitmen Politik dan Intimidasi ...28

E. Diantara Kompromi dan Sikap Resi ...29

F. Pembunuhan Massal dan Tahanan Politik ...30

G. Perjalanan Gie Di Australia ...31

H. Pendakian Gunung Bukan Pelarian ...33

BAB III : CATATAN SANG DEMONSTRAN A. Disekitar Demonstrasi-Demontrasi Mahasiswa di Jakarta ...38

A.1. Meletusnya Demonstrasi I ...40

A.2. Meletusnya Demonstrasi II ...46

A.3. Kabiner Dwikora ”Gaya Baru” ...47

B. Perubahan Orientasi Pergerakan KAMI Menjadi Politik...49

B.1. Hakikat Pergerakan KAMI ...50

B.2. Radio Ampera dan Identifikasi Diri KAMI ...55

B.3. Pola Pergerakan KAMI yang bersifat Politik ...57

B.4. Kelemahan-Kelemahan KAMI ...61

B.5. Masa Depan KAMI ...64

C. Setelah Tiga Tahun ...65

C.1. Mahasiwa Menjadi Anggota Parlemen...67

(12)

BAB IV : Peranan Soe hok Gie dalam Melihat Permasalah Mahasiswa dan

Pemerintahan Indonesia

A.Pemikiran Politik Soe Hok Gie sebagai Cendekiawan Muda terhadap

Pemerintahan ...77

B. Manusia-Manusia Baru setelah Kemerdekaan ... 103

BAB V : KESIMPULAN ... 122

(13)

ABSTRAK SKRIPSI

PEMIKIRAN POLITIK SOE HOK GIE

Christ Fandi Tarigan 030906017

Program Studi Ilmu Politik

Tulisan ini adalah hasil penelitian yang berjudul “ Pemikiran Politik Soe Hok Gie”. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; Melihat keterkaitan munculnya gerakan mahasiswa dengan gerakan civil society secara umum. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat sebagai variabel yang terpisah dari gerakan civil society secara umum, sehingga perlu melihat gambaran secara umum bagaimana keterkaitan gerakan mahasiswa dengan proses demokratisasi dan kemunculan civil society secara umum? Mengidentifikasi latar belakang beberapa kelompok gerakan mahasiswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam kaitan dengan ini, penting juga untuk melihat visi politik dan perspektif demokratisasi para aktivis yang memelopori masing-masing kelompok gerakan. Ada benang merah dan perbedaan yang menonjol di antara kelompok gerakan mahasiswa ? Mengidentifikasi orientasi, visi dan arah gerakan mahasiswa masa ankatan “66 dalam menghadapi proses demokratisasi secara luas yang sedang dalam proses ini. Terhadap isu apa saja, kelompok gerakan akan dipersatukan dan isu yang mana yang membedakan mereka?

Adapun cara yang digunakan dalam pemecahan masalah tersebut adalah dilakukan dengan cara analisis deskriptif sejarah yaitu menganalisis data-data yang bersumber dari buku-buku, koran-koran,dokumen-dokumen serta sarana lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

Pada penelitian ini peneulis memperoleh hasil yaitu pada studi pemikiran yang secara discourse yang dituang didalam catatan harian dan koran-koran yang telah ditulis Soe hok gie mengenai transis peralihan kekuasan Soekarno-Soeharto. Dimana banyak demontrasi-demontrasi yang menentang kebijakan Soekarno dan dari perpecahan mahasiswa mengenai ideologi antara ‘political force’ dan moral force’ (1966-1969). Dengan demikian, era Transisi Soekarno-Soeharto sesuai dengan fakta pemikiran Soe Hok Gie, mahasiswa harus bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat sipil. Demontrasi adalah awal mula dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan tanpa memperhatikan masyarakat sipil.

Kata-kata kunci (key words) : Mahasiswa, Demontrasi, Kekuasaan,

Pemerintahan, Organisai KAMI,

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah

memainkan peranan yang sangat penting sebagai kekuatan yang secara nyata

mampu mendobrak rezim otoritarian. Dan jika kita lihat pengalaman historis

perjuangan bangsa, kita akan menemukan bahwa mahasiswa selalu memainkan

peranan penting dalam setiap perjuangan. Demikian pula, gerakan mahasiswa

pada masa reformasi ini akan menjadi bagian yang terpatri dalam sejarah

perjalanan bangsa Indonesia.1

Meskipun demikian, dari kenyataan di lapangan harus diakui bahwa

gerakan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan reformasi bukanlah kekuatan

yang solid. Keragaman latar belakang, motivasi, visi politik serta orientasi

masing-masing kesatuan aksi telah menjadikan gerakan mahasiswa tidak bisa

dilihat sebagai entitas yang homogen. Apalagi jika dilihat dalam

perkembangannya kemudian, sangat sulit menempatkan unsur mahasiswa

sebagai satu barisan monolitik dari civil society.2

Keragaman yang berujung pada friksi dan perselisihan tersebut sangat

tampak dalam periode pasca mundurnya Soekarno-Soeharto. Salah satu fenomena

yang bisa ditangkap adalah dalam tahap pengorganisasian kelompok gerakan, Terlalu banyak varian dan

afiliasi terhadap kelompok-kelompok lain yang kemudian muncul sebagai variasi

gerakan mahasiswa.

1

Farchan Prisma, Analisis Kekuatan Politik Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1995. hak : 112

2

(15)

yang dalam perkembangannya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan

dalam pengorganisasian ini bisa dilihat sebagai indikasi adanya keragaman

gerakan mahasiswa tersebut dalam hal visi politik, latar belakang, orientasi dan

dalam beberapa hal juga afiliasi politik.3 Hal yang menjadi ironi adalah bahwa

pergeseran pengorganisasian ini menjadi salah satu penyebab semakin

menurunnya kekuatan gerakan mahasiswa sebagai salah satu unsur civil society4

Soe hok gie adalah salah satu tokoh penting mahasiswa. Ia termasuk salah

satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya Angkatan ’66. yang tengah mengawal proses transisi politik yang sedang berjalan ini.

5

Sebuah sebuah

angkatan dalam sejarah gerakan kaum terpelejar muda di Indonesia yang nyaris

jadi legenda. Tahun-tahun antara sebelum 1967- dan setelah 1969 merupakan

masa yang paling produktif bagi Soe Hok Gie. Dimana pada saat itu yang terjadi

di tanah air adalah periode transisional selalu ditandai dengan situasi kondusif

bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru, kalau hendak mengatakan : radikal.6

Namun, kesadaran subyektif Soe hok gie juga turut menentukan.

Walaupun situasinya kondusif, kalau tidak memiliki keprihatinan sosial politik,

tentu monomen itu akan lewat begitu saja. Ini hal yang membedakan Gie dengan Indonesia saat itu sedang konflik, belum ada kekuasaan yang mengatur semuanya,

belum ada sentralisasi dan penyeragaman produksi gagasan. Situasi seperti ini

memungkinkan munculnya pemikiran-pemikiran baru dari mana saja.

3

Ibid, hal : 129

4

A.Prasetyantoko, S.E, dkk, Gerakan mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. P.T Alumni, Bandung, 2001. hal : 2

5

Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : V

6

(16)

aktifis-aktifis mahasiswa pada masa itu, terutama sikap konsistennya. Sementara

rekan seperjuangannya yang lain sebagian besar larut pada struktur kekuasaan,

Gie memilih untuk tidak ikut arus dalam kekuasaan.

Pemikiran Soe Hok Gie, baik yang lisan maupun tulisan, senantiasa

menjadi perhatian banyak pihak. Tindak-tanduknya merupakan bagian dari apa

yang diyakininya. Antara tindakan dan kata-kata sinkron dalam hidup

sehari-hari Soe Hok Gie. Seorang Indolog terkemuka yang kebetulan teman dekat Soe

Hok Gie; Ben Anderson, pernah memuji Soe Hok Gie, sebagai pemuda yang

berani, karena dialah yang melontarkan pertama kali, tentang adanya penahanan

besar-besaran di pelosok Jawa dan Bali, tanpa proses pengadilan.7

Dalam tulisannya “Kuli Penguasa atau Pemegang Saham”

Bagian ini tidak bisa dipisahkan ketika di negeri ini terjadi peralihan

kekuasaan, dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Serangkaian

kegelisahan dan pertanyaan segera muncul. Bagaimana nasib bangsa ini

setelah dalam kendali militer. Bagaimana kelanjutan kolaborasi mahasiswa dan

militer setelah jatuhnya Presiden Soekarno, bagaimana peran teknokrat setelah

bergabung dalam rezim Soeharto, bagaimana konsistensi gerakan mahasiswa

Indonesia di masa Orde Baru, dan lain sebagainya.

8

, Soe Hok

Gie mempersoalkan keberlangsungan peran teknokrat dalam hegemoni militer

masa Orde Baru. Dari tulisan ini, kita menjadi maklum, bahwa ternyata

kelahiran Orde Baru bukanlah hal yan

7

Benedict Anderson, the idea of power in Javanese Culture, dalam Stan ley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : vii

8

(17)

ketika di akhir tahun 1950-an, Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan

Darat) di bawah pimpinan Brigjen Soewarto, merekrut kalangan akademisi,

terutama akademisi yang menjadi korban Soekarno, seperti Prof. Sadli dan

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja.9

Dalam setiap tulisannya, rasa idealisme Soe Hok Gie teras

Kerja-sama yang erat antara akademisi

(kemudian lebih dikenal sebagai kaum teknokrat) dan militer, masih terus

berlangsung hingga kini.

Di masa awal Orde Baru, keterlibatan universitas sebagai pusat ilmu

(dari mana kaum teknokrat berasal), memberikan peran yang tidak penting

pada pemerintah militer setelah tahun 1966.

tidak mampu menyembunyikan rasa galaunya dalam melihat realita di

masyarakat, jika dihubungkan dengan idealisme kaum muda. Bagaimana

idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi

verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan10.Mempertahankan idealisme

ternyata bukan pekerjaan ringan, dan itu dirasakannya sendiri, ketika ia

bergulat dalam catatan hariannya: “Di Indonesia hanya ada dua pilihan.

Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus

menjadi idealis, sampai batas sejauh-jauhnya”11

Dengan kesedihan yang mendalam, ia melihat bagaimana rakyat di

pedesaan dan mahasiswa kampus tercabik-cabik oleh perlombaan kepentingan

politik arus atas. Dalam “Menaklukkan Gunung Slamet”, ia bercerita tentang .

9

Stan ley, Aris Santoso,Ibid, hal : ix

10Indonesia Raya, 5

Januari 1970 Stanley, Aris Santoso,Soe hok Gie : Zaman Peralihan, Jakarta : Gagas Media, 2005 hal : 115

11

(18)

pandangannya dalam melihat Indonesia yang sebetulnya tidak berubah.

Hipokrisi, cakar-cakaran, korupsi, dan tukang kecap masih menonjol. Malah

para pemimpin mahasiswa yang tadinya kelihatan ‘idealis’ mendadak terserang

dekadensi moral. Hidup rakyat kecil selalu dikepung slogan.

Sebagai seorang bekas aktivis mahasiswa ia pernah menjabat sebagai

Ketua Senat Mahasiswa FSUI dan seorang pendiri Mapala UI), Soe Hok Gie

tahu benar betapa tidak sehatnya dunia kemahasiswaan. Termasuk dikampusnya

sendiri. Dalam tulisan “Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah” 12

Persoalan peran yang harus diambil oleh seorang intelektual bagi

masyarakat adalah persoalan klasik, karena persoalannya senantiasa

berputar-putar pada pertanyaan yang sama, yaitu dilema yang dihadapi kaum intelektual

dalam menjalankan peranannya di

; Soe Hok

Gie dengan gaya keterusterangannya yang khas, mencoba membongkar

kebobrokan di kalangan mahasiswa UI.

Menurutnya, kebobrokan di lingkungan kecil setingkat kampus,

sebenarnya merupakan pencerminan adanya kebobrokan pada lingkaran lebih

luas: masyarakat dan pemerintahan. Kritik-kritik Soe Hok Gie terhadap dunia

mahasiswa, agaknya masih relevan untuk diterapkan masa kini. Karena sama

dengan dulu, mahasiswa-mahasiswa kita sekarang sangat berorientasi pada

pemuasan kepentingan diri sendiri, tidak peka lagi pada masalah-masalah

kemasyarakatan di tanah air.

bersikap dingin atau selalu siap ikut turun langsung menangani persoalan.

12

(19)

Sementara yang terjadi di negeri kita, peran intelektual ‘sebatas’ pelegitimasian

struktur penguasa. Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini, agaknya ada

pergeseran peran intelektual.

Di masa pergerakan, kaum intelektual pula yang paling lantang

menuntut dekolonisasi, seperti Soekarno, Hatta dan Tan Malaka.13

Edward Shils telah memberi kerangka pemikiran tentang posisi

intelektual di negara sedang berkembang. Menurut Shils, di

negara-negara sedang berkembang, politik merupakan gelanggang yang tak mungkin

dihindarkan kaum intelektual.

Dan di masa

kini pun banyak bermunculan intelektual ‘muda’ (maksudnya seusia Soe Hok

Gie dulu) yang sering mempersoalkan secara kritis fenomena kemasyarakatan

dan tirani kekuasaan. Agaknya hakikat intelektual memang sama dari waktu ke

waktu. Selalu mempertanyakan, mencemaskan, memperingatkan, menegur,

dan selalu tertakdir untuk kerap kali menerima pukulan balik dari penguasa.

14

Betapa pun ia berusaha ‘menjaga jarak’.

Membaca kembali tulisan-tulisan Soe Hok Gie, nampaknya almarhum telah

melakukan apa yang harus diambil oleh kaum intelektual. Khususnya di negara

berkembang seperti Indonesia ini. Seperti halnya pidato Bung Hatta di UI

tahun 1957, yang pernah berharap pada sekalian intelektual (istilah Bung Hatta

“intelegensia”)15

, untuk membangun Indonesia yang adil dan demokratis,

(20)

Soedjatmoko juga pernah mengajukan pemikiran yang tak kalah

abstraknya. Bahwa peran intelektual di negara berkembang memang berat.

Karena ia harus menghasilkan gagasan-gagasan yang jernih bagi per-

kembangan masyarakatnya di masa depan, tanpa harus terpukau pada

kekuasaan.16

Batasan yang lebih konkret datang dari kakak Soe Hok Gie sendiri, Arief

Budiman. Arief Budiman mengandaikan peran intelektual sebagai seorang resi,

yang dalam waktu-waktu tertentu meninggalkan pertapaannya untuk

mengabarkan keadaan yang buruk. Sambil berharap penguasa akan mengubah

keadaan buruk tersebut. Sebagaimana tampilan seorang resi, intelektual juga

diasumsikan tidak memulai pamrih politik.17

Selama hidupnya, almarhum telah melakukannya. Kalau pengandaian

resi hendak diterapkan pada Soe Hok Gie, ia ibarat resi yang tak pernah duduk

tenang di

berhubung demikian banyaknya kekacauan yang akan ia ungkapkan. Pernyataan

terakhir ini tidaklah mengada-ada, karena hampir semua ketimpangan yang

terjadi dalam masyarakat pernah ia ungkapkan, baik lisan maupun tulisan.

Daya tarik tulisan Soe Hok Gie adalah keterusterangannya dalam

menerobos kabut emosi dan kemunafikan. Kejernihan dan ketajaman pikirannya

melihat gejala-gejala lama dalam wujud baru dengan bahasa yang lugas, sering

membuat orang yang membaca tulisannya merah padam.

16

Ibid, hal : xiiv

17

(21)

la juga tak segan-segan mengkritik rekan-rekannya sesama aktivis

mahasiswa. Seperti yang ia lakukan bagi wakil-wakil mahasiswa yang duduk

dalam DPR-GR,18

2.1 Melihat keterkaitan munculnya gerakan mahasiswa dengan gerakan civil

society secara umum. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa tidak bisa dilihat

sebagai variabel yang terpisah dari gerakan civil society secara umum,

sehingga perlu melihat gambaran secara umum bagaimana keterkaitan dengan cara mengirimkan perlengkapan kecantikan

(wanita), yang dimaksudkan agar wakil-wakil mahasiswa tersebut semakin

tampil manis di mata pemerintah. Padahal wakil-wakil mahasiswa itu adalah

rekan seperjuangannya dulu, saat bersama-sama menumbangkan Presiden

Soekarno. Tetapi di mata Soe Hok Gie, komitmen perjuangan mereka menjadi

tidak jelas, ketika mereka berlomba-lomba mencari kreditan mobil Holden.

Langkah parodi Soe Hok Gie ini sempat membuat mereka terperangah. Namun

sayang, momentum ini tidak terus bergulir, karena Soe Hok Gie keburu

meninggal dunia.

Dengan alasan di atas, studi terhadap latar belakang dan motivasi gerakan

menjadi penting dilakukan agar diperoleh peta tentang kemajemukan gerakan

mahasiswa tersebut. Sekaligus bisa mendapatkan gambaran tentang arah dan

orientasi gerakan mahasiswa.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

18

(22)

gerakan mahasiswa dengan proses demokratisasi dan kemunculan civil

society secara umum?

2.2 Mengidentifikasi latar belakang beberapa kelompok gerakan mahasiswa

yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam kaitan dengan ini,

penting juga untuk melihat visi politik dan perspektif demokratisasi para

aktivis yang memelopori masing-masing kelompok gerakan. Ada benang

merah dan perbedaan yang menonjol di antara kelompok gerakan

mahasiswa ?

2.3 Mengidentifikasi orientasi, visi dan arah gerakan mahasiswa masa

ankatan “66 dalam menghadapi proses demokratisasi secara luas yang

sedang dalam proses ini. Terhadap isu apa saja, kelompok gerakan akan

dipersatukan dan isu yang mana yang membedakan mereka?

C. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari terjadinya ruang lingkup penelitian yang terlalu luas

sehingga mengaburkan penelitian, maka penulis menetapkan batasan-batasan

spesifik mengenai hal-hal yang akan diteliti. Adapun batasan-batasan tersebut

adalah :

1. Memberi gambaran yang relatif umum dari Tulisan Soe hok Gie tentang

bagaimana wacana demokrasi yang berkembang dikalangan aktifis gerakan

mahasiswa.

2. Menganalisa bagaimana peran pergerakan mahasiswa angkatan ’66 dalam

menentang pemerintahan Soekarno, dalam kontek pemikiran Soe Hok Gie

(23)

D. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang

induktifterhadap sejarah, latar belakang, motifasi dan orientasi gerakan

mahasiswa di Indonesia pada periode 1966

2. dengan informasi tersebut, diharapkan mampu menjadi peta bagi studi yang

lebih mendalam mengenai latar belakang keadaan masa kini dan prospek

gerakan mahasiswa kedepan.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis bertujuan untuk meningkatkan serta mengembangkan

kemampuan berpikir dan menulis serta mampu untuk lebih mendalami

fenomena yang tejadi didalam sejarah politik Indonesia

2. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

F. Kerangka Teoritis

F.1. Hegemoni dan Politik Demokrasi - Radikal menurut Laclau dan

Mouffe

Laclau dan Mouffe menguraikan sejumlah revolusi demokratik dalam

masyarakat Barat yang berlangsung semenjak Revolusi Perancis. Dengan merujuk

pada analisa Claude Lefort mengenai mode institusi sosial baru, Laclau dan

Mouffe memandang Revolusi Perancis sebagai momen kunci dari revolusi

demokratik, di mana Revolusi Perancis merupakan afirmasi dari kekuatan rakyat

(24)

pembayangan sosial (social imaginary). Patahan yang dibuat Revolusi Perancis

dengan ancien régime disimbolisasikan dengan Declaration of the Rights of

Man.19

“Our thesis is that if fascism was possible it was because the working class, both in its reformist and its revolutionary sectors, had abandoned the arena of popular-democratic struggle”.

Revolusi demokratik lainnya adalah perjuangan kaum buruh di abad

sembilanbelas yang mengkonstruksi tuntutan mereka berdasarkan perjuangan

untuk kebebasan politik. Contoh yang diambil oleh Laclau dan Mouffe adalah

gerakan Chartism di Inggris, yang dapat dilihat pada peran fundamental dari

ide-ide radikalisme Inggris, yang dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Juga gerakan

dewan-dewan pabrik di Italia dan Jerman pada akhir perang dunia pertama, dalam

hal pembentukan gerakan dan menentukan tujuan-tujuan perjuangannya. Dalam

feminisme pertanyaan-pertanyaan yang lahir adalah pertama akses perempuan

terhadap hak-hak politik, kemudian kesamaan dalam ekonomi, dan yang lebih

kontemporer adalah kesamaan dalam domain seksualitas.

Sebelum perang dunia kedua, muncul rejim-rejim fasis di negara-negara

Eropa, seperti Jerman dan Italia. Bangkitnya fasisme ini merupakan krisis bagi

gerakan buruh. Menurut Laclau, bangkitnya fasisme dikarenakan krisis dalam

gerakan buruh, di mana salah salah satu keberhasilan fasisme adalah

kesuksesannya dalam “memisahkan” “rakyat” dan kelas pekerja. Ini yang oleh

Laclau disimpulkan dengan,

20

19

Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 155.

20

(25)

Jadi bagi Laclau dan Mouffe, gerakan sosial harus mampu membangun

revolusi demokratik yang bersifat populis, yang dapat mengakomodir tuntutan

berbagai macam kelompok-kelompok seperti: kaum urban, kaum ekologis,

anti-otoriterian, anti-institusional, feminis, anti-rasis, gerakan etnis, gerakan regional,

dan juga gerakan kaum minoritas dan kaum minoritas secara seksual.

Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, analisis

terhadap gerakan sosial Laclau dan Mouffe di dasarkan pada empat posisi teoritis,

di mana sebagian di antaranya telah coba diuraikan. Gagasan pokok dari agenda

politik gerakan sosial kiri yang ditawarkan oleh Laclau dan Mouffe adalam

perjuangan untuk membangun apa yang mereka sebut demokrasi radikal-plural,

dalam konteks munculnya antagonisme-antagonisme sosial baru dalam

masyarakat kapitalisme maju.

Tesis Laclau dan Mouffe adalah bahwa gerakan sosial baru merupakan

ekspresi dari antagonisme yang muncul dalam memberikan respon terhadap

formasi hegemoni yang diinstal (installed) secara utuh di negara-negara Barat

pasca perang dunia kedua, sebuah formasi dalam krisis saat itu. Format hegemoni

tersebut diletakkan pada tempatnya semenjak awal abad ini. Juga adanya

gerakan-gerakan sosial sebelum perang dunia kedua, namun berkembang secara utuh

setelah perang, sebagai respon terhadap hegemoni dari formasi sosial yang baru.21

Dalam formasi sosial baru ini, Laclau dan Mouffe melihat bukan hanya

melalui penjualan tenaga individu-individu ditempatkan pada dominasi modal,

tetapi juga melalui partisipasi mereka dalam banyak hubungan-hubungan sosial

21

(26)

lainnya. Banyak ruang kehidupan sosial yang saat ini mengalami penetrasi oleh

hubungan-hubungan kapitalisme, sehingga sepertinya hampir mustahil untuk

keluar dari hubungan-hubungan tersebut. Budaya, waktu luang, kematian, seks,

dan lainnya, saat ini menjadi wilayah-wiilayah bagi ekspansi modal untuk

memperoleh keuntungan. Formasi sosial baru ini yang melahirkan sejumlah

antagonisme sosial baru. Untuk menghadapi formasi sosial baru inilah, Laclau dan

Mouffe menawarkan agenda demokrasi radikal-plural, sebagai agenda baru

gerakan sosial untuk membangun sosialisme.

Istilah radikal dalam konsepsi demokrasi plural, bisa bermakna antara lain:

Pertama, demokrasi haruslah pluralis-radikal dalam artian pluralitas dari

identitas-identitas yang berbeda tidaklah transenden dan tidak didasarkan pada dasar

positif(is) apapun. Demokrasi radikal-plural dapat diintepretasikan sebagaimana

dinyatakan Laclau dan Mouffe sebagai “the struggle for a maximum

automatization of spheres on the basis of the generalization of the

equivalential-egalitarian logic”.22

Kedua, demokrasi radikal-plural, adalah di mana pluralisme dalam

demokrasi, dan perjuangan untuk kebebasan dan persamaan (freedom and

equality) yang dihasilkan, haruslah diperdalam (deepened) dan diperluas ke

seluruh wilayah kehidupan masyarakat.23

22

Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 167.

23

Chantal Mouffe, The Return of the Political, hlm. 18-19.

Interpretasi ini melihat demokrasi

radikal-plural memerlukan pluralisasi demokrasi dan pemindahan revolusi

(27)

Laclau dan Mouffe menyatakan bahwa,

“[…] every project for radical democracy implies a socialist dimension, as it is necessary to put an end to capitalist relations of production, which are the root of numerous relations of subordination; but socialism is one of the components of radical democracy, not vice versa”.24

Jadi perjuangan demokrasi radikal plural akan melibatkan di dalamnya

sosialisasi produksi, tetapi “bukan berarti hanya buruh” yang mengatur,

sebagaimana yang dipancangkan Marxisme klasik, namun partisipasi sepenuhnya

dari semua subyek dalam pembuatan keputusan-keputusan mengenai apa yang

akan diproduksi, bagaimana diproduksi, dan format bagaimana produk-produk

akan didistribusikan.25

Jadi tugas utama demokrasi radikal adalah memperdalam revolusi

demokratik dan mengkaitkan berbagai perjuangan demokratik yang beragam.

Tugas seperti itu mensyarakatkan penciptaan posisi-posisi subyek baru yang dapat

menerima berbagai artikulasi yang sudah muncul secara umum, seperti

anti-rasisme, anti-seksisme dan anti-kapitalisme.26

“[…] requires from the Left an adequate grasp of the nature of power relations, and the dynamics of politics. What is at stake is the building of a new hegemony. So our motto is: ‘Back to the hegemonic struggle’”.

Bagi Laclau dan Mouffe ini yang kemudian menjadi,

27

24

Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy, hlm. 178.

25

Ibid.

26

Chantal Mouffe, The Return of the Political, hlm. 18.

27

(28)

F.2. Gerakan Mahasiswa Dan Kebangkitan Gerakan Sosial

Secara teoretis dapat dipertanyakan apa gerangan yang menjadi penyebab

lahirnya sebuah gerakan sosial? Literatur ilmu politik menyediakan tiga

pandangan teoretis.

Pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh

kondisi yang memberikan kesempatan (political opportunity) bagi gerakan

itu. Pemerintahan yang moderat, misalnya, memberikan kesempatan yang lebih

besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat

otoriter. Kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih

besar ketimbang di negara yang demokrat. Sebuah negara yang berubah dari

represif menjadi lebih moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini,

akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosial yang selama ini

terpendam di bawah permukaan.28

28

Denny JA, Menjelaskan Gerakan Mahasiswa, Kompas, 25 April 1998, hal : 2

Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena

meluasnya ketidak-puasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat

tradi-sional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan

kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan

yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan

lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini

akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluasnya

(29)

Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata

masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak. Adalah

sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan,

membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi

terlibat dalam gerakan.29

Ketiga pandangan ini dapat kita gabungkan dengan sedikit modifikasi

untuk menjelaskan lahirnya gerakan mahasiswa di Tanah Air saat ini.

Jelaslah gerakan ini dilahirkan oleh meluasnya ketidakpuasan di kalangan

masyarakat luas. Krisis ekonomi dan ketidakpuasan atas situasi politik

melahirkan baik gerakan mahasiswa di tahun 1966 ataupun di tahun 1998.30

Gerakan ini juga disebabkan oleh pemerintah yang lebih moderat terhadap

oposisi. Sifat moderat ini tidak harus berupa sikap sebenarnya dari

pemerintahan tapi moderat karena dipaksa oleh lingkungan. Di tahun 1966,

pemerintah lebih moderat karena terjadinya pelemahan di kalangan

pemerintah sendiri. Elite di pemerintahan semakin terbelah dan

Bedanya, krisis ekonomi di tahun 1966 itu bertumpang tindih dengan

polarisasi ideologis masyarakat (antara komunis dan antikomunis) di era

perang dingin. Saat ini, krisis ekonomi 1998 bertumpang tindih dengan

sesuatu yang kurang ideologis, seperti keraguan atas kompetisi birokratis

pemerintah (korupsi, kolusi, nepotisme). Krisis di tahun 1966 secara

keseluruhan memang lebih sensitif. Namun setelah tahun 1966, krisis 1998

lah yang terbesar.

29

Ibid, hal : 2

30

(30)

terpolarisasi antara pendukung dan anti-Soekarno. Perpecahan elite ini

memberikan kesempatan politik (political opportunity) yang lebih besar bagi

timbulnya gerakan sosial menentang kekuasaan.

Dalam memahami arah perkembangan politik di Indonesia, telah terjadi

suatu sakralisasi terhadap ideologi dan politik sebagai sesuatu yang tidak boleh

dipersoalkan lagi. Masyarakat berada dalam sebuah tatanan yang bisu karena

tidak diperkenankan melakukan diskusi dan pengembangan wacana seputar

ideologi dan poltik. Karena itu, dipakailah konsep massa mengambang sebagai

pelengkap dari orientasi pembangunan yang bertumpu pada proses modernisasi.

Dengan demikian, negara telah memainkan peranannya untuk memonopoli

kebenaran (monopoly of truth). Dengan landasan kehidupan negara dan

masyarakat yang timpang seperti ini, perkembangan di bidang teknologi clan

ekonomi telah mengakibatkan tercabut masyarakat dari akarnya. Pada kondisi

seperti ini, umumnya masyarakat akan memiliki empat kecenderungan dalam

berpikir, yaitu : a) tumbuhnya reifikasi, b) manipulasi, c) fragmentasi dan d)

individual isasi.31

Reifikasi adalah suatu anggapan bahwa segala sesuatu harus bisa

diwujudkan dalam bentuk-bentuk lahiriah dan bisa diukur secara kuantitatif.

Kepuasan baru muncul apabila orang dihadapkan pada barang secara material,

angka, statistik, tingkah laku lahiriah, rupa, suara, ucapan dan lain-lainnya.

Gejala reifikasi ini dalam perkembangannya akan melahirkan bentuk-bentuk

materialisme (orientasi hanya pada meteri) dan legalisme, formalisme dan

31

(31)

ritualisme. Pendeknya, gejala reifikasi ini akan menjadikan sikap-sikap yang

sama sekali tidak kritis.

Gejala manipulatif adalah sesuatu yang umum dalam dunia modern.

Kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia yang semakin bervariasi

memunculkan berbagai bentuk manipulasi keinginan manusia yang bertumpu

pada pemuasan kebutuhan manusia yang tidak ada batasnya. Pola hidup

konsumtif dan hedonis adalah sesuatu yang sangat berhubungan dengan fungsi

manipulatif dari media massa dan teknologi.

Fragmentasi terjadi ketika dalam suatu masyarakat terjadi sistem

pembagian kerja yang sangat terspesialisasi sehingga manusia menjadi menyatu

dengan identitas sempitnya dan meninggalkan identitas sosialnya. Akibatnya,

manusia hanya dianggap sebagai kumpulan manusia dengan kotak-kotak

jabatan, kedudukan, keahlian, tidak mempribadi atau impersonal. Di balik

penghargaan yang terlalu berlebihan terhadap profesi, keahlian dan jabatan,

martabat manusia yang seharusnya mendasari penghargaan itu semakin

ditinggalkan.

Sementara individualisasi terjadi manakala manusia semakin

merenggangkan ikatan dirinya dengan masyarakatnya. Peranan individu menjadi

dominan dalam kehidupan masyarakat. Keadaan seperti ini mendorong

tumbuhnya sikap individualisme dan egoisme yang tidak sehat. Individualisme

yang mempunyai kepercayaan terhadap kemampuan dirinya dalam berprestasi

(32)

tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cenderung bertindak serakah dan

destruktif.

Demikianlah kondisi masyarakat yang berada dalam ujung tanduk

modernisasi. Masyarakat menjadi memiliki ciri-ciri yang semakin terseret pada

perpecahan dan pertentangan yang tajam antara kepentingan individu dan

masyarakat. Tidak konkruennya perkembangan ekonomi, sosial dan budaya

akan mengakibatkan masyarakat berada dalam tegangan yang rentan terhadap

pertarungan kepentingan individualistis.

Untuk menjelaskan perubahan sosial dari perspektif transisi dinamika

masyarakat ini tidaklah mudah, karena berkaitan dengan banyak faktor sosial

budaya selain faktor politik. Dan dalam kerangka hubungannya dengan model

negara otoritarian, sistem politik yang disertai dengan perkembangan idelogi dan

organisasi telah gagal melakukan pembaruan untuk mengimbangi perkembangan

yang terjadsi pada ranah sosial seperti dalam hal ekonomi, teknologi dan sistem

informasi.

Munculnya kesadaran masyarakat sipil akan muncul dalam bentuk

kekuatan sosial yang bervariasi bukan saja yang berdimensi politik tetapi juga

sosial. Demikian juga dengan agenda yang dibawa oleh kelompok-kelompok

dalam masyarakat sipil juga akan sangat bervariasi.

Ciri khas gerakan sosial pada masa ini adalah terfragmentasi dan relatif

moderat. Gerakan sosial gaya baru (new social movement) ini ditandai dengan

munculnya kelompok-kelompok sosial yang memiliki minat besar di bidang

(33)

Gerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan rezim Soekarno

adalah gerakan mahasiswa yang lahir pada konteks zaman tertentu, yaitu zaman

yang diliputi oleh gejolak revolusi akibat krisis ekonomi. Ada banyak hal yang

menyebabkan munculnya gerakan mahasiswa di Indonesia. Dan jawabannya

selalu berada pada dua areal penting, yaitu penyebab internal dan penyebab

eksternal.

G. Metodologi Penelitian

G.1 Metode Penelitian

Metodologi adalah suatu keseluruhan landasan nilai-nilai (yang

menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika, norma yang menjadi

aturan-aturan standar yang dipergunakan untuk menafsirkan dan menyimpulkan data

penelitian, didalamnya termasuk kriteria untuk menilai kuantitas hasil

penelitian.32

32

Bagong Suyanto, Sutinah (Ed), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan,

(Jakarta:Kencana, 2005) hal 223

Di dalam menguji kebenaran hipotesis harus diperoleh data-data

yang diperlukan dalam penelitian,

G.2. Tehnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu

suatu analisis yang sifatnya berdasarkan penjelasan dan keterangan tentang objek

yang dibahas dari sumber-sumber yang ada hubungannya dengan objek yang

(34)

Penelitian kulitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan

data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang

dapat diamati dari rang-orang yang diteliti.33

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan

gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang

terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan dan sumber lain akan Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data tersebut adalah dengan

Library research (Penelitian Kepustakaan) yang sering juga disebut dengan

metode dokumentasi. Penelitian dengan menggunakan studi pustaka ini dilakukan

dengan cara menelusuri, mengumpulkan, dan membahas bahan-bahan informasi

dari karangan-karangan yang termuat dalam buku, artikel-artikel yang termuat

dalam jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu

kepada apa yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan

data dari berbagai sumber yang berasal dari perpustakaan maupun jurnal-jurnal

yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemudian semua data yang telah

dikumpulkan disusun terlebih dahulu sebelum dilanjutkan ketahap berikutnya

untuk memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk

memperoleh hasil dari penelitian tersebut kemudian memberi kesimpulan

terhadap data yang dianalisi tersebut.

7.3 Tehnik Analisa Data

33

(35)

diexplorasi dengan menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan sejarah

secara mendalam tentang permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori,

definisi konsep, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data

dan analisa data, serta sistematika penulisan.

BAB II : Riwayat Hidup Soe Hok Gie.

BAB III : Di Sekitar Demonstrasi-Demonstrasi Mahasiswa Di Jakarta

Bab ini berisikan tentang Tulisan-tulisan Soe hok Gie dalam

melihat relita Politik Indonesia pada Pemerintahan Soekarno dan

Pemikiran Soekarno dalam menjalankan Pemerintahan.

BAB IV : Peranan Soe hok Gie dalam Melihat Permasalah Mahasiswa

dan Pemerintahan Indonesia

Bab ini berisikan tentang data yang diperoleh dan analisis data

mengenai Kondisi perpolitikan Mahasiswa dan Pemerintahan

Indonesia pada Era Transis yang berimbas pada Masyarakat.

BAB V : Penutup

(36)

BAB II

Riwayat Hidup Soe Hok Gie

A. Asal-Usul Soe Hok Gie Sebagai Sorang Pemikir

Soe Hok Gie lahir 17 Desember 1942. Ia adalah putra keempat dari

keluarga penulis produktif, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Usia 5 tahun,

adik Arief Budiman ini masuk sekolah Sin Hwa School, sekolah khusus untuk

keturunan Cina34

Suatu saat, ia bedebat dengan sang guru. Sang guru pun marah. Namun

kata Hok Gie, “Aku sebetulnya tak menganggapnya perang, hanya bertukar

pikiran saja... kalau angkaku ditahan – model guru tak tahan kritik – aku akan . Lulus SD, ia meneruskan ke SMP Strada dan kemudian di

SMA Kanisius, Jakarta. Masa kecilnya tentu saja tak luput diwarnai dengan

baku hantam dan kenakalan sejenisnya. Ia pun kadang bolos sekolah agar bisa

keluyuran ke perpustakaan seperti di British Council atau pergi ke toko buku.

Sejak muda, Hok Gie juga telah memperlihatkan ketidaksenangan atas

segala bentuk ketidakadilan. Saat dihukum guru ilmu buminya, ia menulis

catatan hariannya, “Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras bagai

batu. Biar aku dihukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Wajar saja bila ia

sewot berat. Nilai yang seharusnya 8 dipotong hingga tinggal 5. Padahal

menurutnya, dia adalah murid terpandai di bidang itu. Lelaki yang tak pernah

berpakaian necis ini dikenal sebagai murid yang ‘cerewet’. Kalau sang guru

salah, ia tak sungkan mendebat. Meski kena makian. Hok Gie tak peduli.

34

(37)

mengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan.

Sebetulnya tak sedemikian maksudnya...Aku tak mau minta maaf. Memang

demikian kalau dia bukan guru yang pandai. Tentang karangan saja dia lupa.

Guru model gituan, yang tak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah.

Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”35

Kebiasaan surat-menyurat semenjak di sekolah menengah berlanjut

hingga ia menjadi dosen UI. Namun, isinya hampir berubah total. Mulai awal

1966, hampir semua surat Hok Gie lebih mirip diskusi masalah politik

kebangsaan. Kepada dua sahabatnya, Thung dan Boediono, Hok Gie Pengalaman nyaris tidak naik kelas tatkala SMP dijadikannya sebuah

pelajaran berharga. Hok Gie bukan hanya tak pernah lagi tidak naik kelas, tapi ia

selalu meraih nilai di atas rata-rata.

Hok Gie tak cuma hobby dengan bacaan, ia juga sering menulis. Tak

hanya puisi yang ia ubah, buku harian pun penuh dengan goresan rajin

tintanya. Jarang ia alpa merekam kesehariannya. Di buku itu, Hok Gie bicara

tentang intisari buku-buku yang dicernanya, perdebatan dengan teman-teman,

kegiatan sehari-hari, hingga kisah kasihnya. Tak cuma itu, urusan bolpoin

hilang pun ikut ditulisnya.

Setelah catatan harian, pria ini juga rajin menulis surat kepada

teman-teman akrabnya. Isinya tentang keresahan pikiran-pikirannya atau sekadar

banyolan. Ngalor-ngidul tak karuan. Melalui surat, ia berkomunikasi dan

mendiskusikan keadaan dan lingkungan sekitarnya dengan orang lain.

35

(38)

menumpahkan semua perasaannya. Terutama yang menyangkut pengkhianatan

intelektual para pejuang Orde Baru. Selain itu, ia juga menuliskan pikirannya di

koran-koran.

B. Kesadaran Seorang Aktivis Politik

Bopeng-bopeng kehidupan politik mulai mengusik pada masa remaja.

Hok Gie memberikan uangnya yang tinggal Rp. 2,50 kepada seseorang yang

sedang makan kulit mangga. Perasaannya begitu gundah. “Ya, dua kilometer

dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin lagi tertawa-tawa,

makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang

malang.”36

Pikiran-pikiran tentang politik mulai tumbuh dan berkembang dalam diri

Hok Gie. Bahkan mewarnai seluruh hidup pria yang percaya bahwa, hakikat

kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan

itu.Lulus dari SMA Kanisius, Jakarta, Soe Hok Gie meneruskan ke Universitas

Indonesia, jurusan Sejarah. Namun setelah melewati masa perpeloncoan,

pelahap buku-buku berat ini kecewa. Keluhnya, Anak sastra Jerman tidak tahu

karangan Goethe, jangankan puisipuisi Holderius atau Thomas Mann. Seorang

anak sastra Sunda bahkan berkata: “Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

adalah karangan Goethe. Orang-orang boleh ketawa deh.”37

Soe Hok Gie selalu disibukkan dengan pikiran-pikirannya. Penggemar

lagu Blowing in The Wind ini butuh teman diskusi yang setara. Maklum, ia

adalah pelahap buku-buku sastra, filsafat, dan politik. Buku-buku itu

36

Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES,Jakarta, 2005. hal : 69

37

(39)

menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan dan perdebatan dalam dirinya. Ikut

memperkaya dan mematangkan pribadi pria berperawakan kecil ini. Tak heran

bila ia selalu resah. Seperti pengakuannya,”...I’ll always be gelisah, and unable

to live in peace.”

C. Terjun Kekancah Aktivisme Politik

Dunia mahasiswa kian menyuburkan kegiatan berpikirnya. Diskusi

menjadi makanan

juga aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), tempat di mana ia sering

bertukar pikiran dengar beberapa tokoh terkemuka yang kemudian hari

membantu Presiden Soeharto.38

Ketika keadaan ekonomi Indonesia kian amburadul, Soe Hok Gie pun

bagai cacing kepanasan. Resah, catatnya, “Kalau rakyat Indonesia terlalu

melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi

maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” 39

Tiada hari tanpa demonstrasi bagi Soe Hok Gie. Rapat sana sini,

menggalang demonstrasi ke sana kemari. Mengadakan protes kepada pemerintah

akan situasi ekonomi yang menukik tajam. “Aku the happy selected few yang

dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam

perjuagan bangsanya... dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan bahwa mereka Tak pelak,

lahirlah sang demonstran.

38

Ibid, hal : 88

39

(40)

dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri

di bawah pimpinan patriot-patriot universitas.”40

Pada 1966, ketika mahasiswa banjir ke jalan dengan aksi Tritura-nya,

Hok Gie termasuk dalam barisan paling depan. Kabarnya, ia adalah salah satu

tokoh kunci dari terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.41

Terutama yang menyangkut konsep asimilasi lewat kawin campur. Ia

menjadi penentang Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Chan yang

tampaknya lebih bersimpati kepada komunis. Simpatinya diberikan kepada Tap

Thiam Hien, S.H. yang gigih menentang kepemimpinan Siauw Gion Chan. Sebagai seorang peranakan Tionghoa, Hok Gie juga terlibat dalam upaya

penyatuan bangsa. Pada awal 1960-an muncul dua kelompok besar golongan

peranakan Tionghoa di Indonesia, yaitu Badan Permusyawaratan

Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembinaan Kesatuan

Bangsa (LPKB). Hok Gie agaknya lebih setuju dengan pendekatan yang

dilakukan LPKB.

42

Sebagaimana Baperki, bagi beberapa orang, LPKB juga sebuah alat

politik. Kritik-kritik Hok Gie pada LPKB membuat ia dipecat dari lembaga yang Bulan Februari 1963 Hok Gie ikut sebagai delegasi pemuda yang setuju

dengan asimilasi menemui Presiden Soekarno. “Saya sungguh kikuk,” ujar Hok

Gie tentang pertemuan tersebut: Maklum ia terpaksa meminjam setelan jas yang

kepanjangan. Dan itu membuatnya jadi jengah.

40

Ibid., hal. 130

41

Stan ley, Aris Santoso Op.Cit., hal. 299

42

(41)

semula diharapkannya bisa menyatukan bangsa yang sedang mengalami

polarisasi. Hok Gie bukan cuma dipecat, ia didesas-desuskan sebagai orang yang

telah membocorkan rahasia intern LPKB, mau menjadi pahlawan kaum buruh,

mengidap “hero complex” bahkan dituduh agen PKI yang sengaja disusupkan ke

tubuh LPKB.

D. Komitmen Politik dan Intimidasi

Dunia politik yang dimasuki Hok Gie menimbulkan banyak sandungan.

Bukan hanya dalam urusan cinta saja ia harus gagal, tapi juga harus menghadapi

berbagai intimidasi dan teror.

Suatu kali Hok Gie mendapat surat kaleng dari seseorang yang mengaku

diri sebagai pecinta Bung Karno. Rupa-rupanya, si pengirim surat kaleng

tersebut marah dengan kritik-kritik dalam tulisan Hok Gie di Mingguan

Mahasiswa Indonesia. Si pengirim surat memaki-maki

Hok Gie dengan kata-kata: pencopet, babi, coro, tekek dan kata-kata

kotor lainnya. “Cina yang tahu diri, sebaiknya kamu pulang saja ke

negerimu!”43

Hok Gie menghadapi semua intimidasi dan ancaman dengan

tenang-tenang saja. Ibunya gundah dan sempat mengingatkannya, “Gie, untuk apa . Bukan cuma itu, si pengirim surat mengancam akan membuat

cacat seumur hidup. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang

sudah mulai dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau malam hari,”

ancam si pembuat surat kaleng.

(42)

semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapatkan uang.” Hok

Gie hanya tersenyum dan berkata,”Ah, Mama tidak mengerti.”

Begitulah cara Hok Gie menjawab berbagai tekanan terhadap dirinya.

Dengan sebuah senyuman.

E. Diantara Kompromi dan Sikap Resi

Bagi banyak orang, Hok Gie adalah orang yang jujur, berani dan sekaligus

Makanya, ia kerap bentrok.

Hok Gie mengidentikkan gerakan yang dilakukannya sebagai sebuah

gerakan moral.44

Agaknya Hok Gie telah mengerjakan apa yang telah disepakati

banyak orang tentang peran yang harus diambil oleh kaum intelektual, yaitu

peran resi. Seorang resi yang mengetahui sebuah keadaan buruk akan bergegas

meninggalkan pertapaannya untuk mengabarkan keadaan yang bisa

tersebut. Dan ketika keadaan telah berubah baik, sang resi akan kembali ke

Namun, kadang Hok Gie menjadi tidak sabar, melihat kadaan buruk terus

berlarut-larut. Dalam kondisi demikian, ia bisa menjadi seorang anarkis.

“Kadang-kadang saya berpikir apakah tidak lebih baik meledakkan dunia ini

agar supaya semuanya berakhir?”45

(43)

Hok Gie kecewa pada mantan teman-teman seperjuangannya yang

berebut kekuasaan dan hidup enak. Tapi ia tak pernah

menjaga jarak. Namun, tidak jarang Hok Gie dihinggapi

sering berdiskusi dengan teman-teman seperjuangannya dalam kedinginan angin

gunung di Cimacan tentang nasib mereka.

Diskusi tersebut ditulisnya dalam surat kepada seorang kawannya. “Gue

teringat dengan diri gue sendiri dan diri teman-teman lain. Kita semua terdidik

dalam suasana untuk berontak terhadap semua kemunafikan”. Kita biasa terlatih

untuk melawan kesewenang-wenangan. Dan kita semua punya keahlian untuk

bikin pekerjaan-pekerjaan aneh yang terlarang, radio gelap, PTPG, atau

memimpin demonstrasi. Tetapi suatu masa, kalau sekiranya negara kita sudah

beres, tentu keahlian seperti kita-kita ini tidak akan ada gunanya. Yang

diperlukan dalam suatu masyarakat mapan adalah orang-orang yang patuh,

yang tekun teliti seperti tukang arloji, yang bisa mengurus pabrik sepatu atau

bisa jadi bookkeeper.

F. Pembunuhan Massal dan Tapol

Pada dasarnya, Hok Gie memang seorang yang berpandangan humanis.

Ketika sekitar 80 ribu tahanan eks’ G30S diarbitrasi dalam tahanan tanpa

proses pengadilan, Hok Gie melontarkan kritik-kritik pedas lewat media

massa. Barangkali Hok Gie adalah orang pertama yang memprotes perlakuan

pemerintah Orde Baru terhadap sebagian warganya itu. Maklum, ketika itu

angin yang tertiup sedang kencang-kencangnya mendukung pengganyangan

(44)

Hok Gie mengkritik keras atas dijadikannya orangorang yang

berindikasi Gestapu/PKI sebagai objek pemerasan baru. “Selain harus melapor,

mereka harus membeli apa yang dinamakan gambar Pancasila di Koramil.

Mereka wajib beli surat tanda bukti lapor.” Pemberian stigma secara khusus

dalam kartu tanda penduduk yang berindikasi PKI, menurut Hok Gie, tidak ada

bedanya dengan cara-cara yang pernah dipakai Nazi untuk orang-orang

Yahudi.46

Antara 8 Oktober 1968 sampai 3 Januari 1969, Hok Gie mendapat

kesempatan untuk melawat ke Amerikaan Australia. Selama hampir 70 hari

perjalanan dihabiskannya dari kampus ke G. Perjalanan Gie Di Australia

mahasiswa dan intelektual yang kebanyakan tergabung sebagai Generasi Bunga.

Hok Gie menemukan bagaimana perlakuan orang kulit putih terhadap

orang-orang “Negro”, bagaimana kaum muda Amerika menentang invasi

negaranya di Vietnam, bagaimana kaum Hippies mencoba melawan

establishment dan sebagainya. Ada banyak hal yang disaksikan oleh Hok Gie

dan membawanya pada kesimpulan, bahwa di mana-mana telah terjadi

kebusukan. “Betapa banyak ketidakadilan di dunia ini. Tidak hanya di

Indonesia, tapi juga di mana-mana di seluruh dunia. Di Guatemala, di Vietnam,

di Amerika Serikat, di Rusia, di Ceko, di Afrika dan lain-lainnya. Seolah dunia

46

(45)

ini adalah tumpukan sampah dari nafsu dan ketamakan manusia.”47

Hok Gie adalah manusia biasa yang kadang juga mengalami rasa lelah,

stagnan dan kadang bingung. Dalam beberapa kesempatan, kepada

kaan-kawannya Hok Gie selalu mengaku bingung. Pernah suatu kali Hok Gie ditawari

posisi di sebuah media massa. Jawaban Hok Gie, sebagaimana ditulis dalam

sebuah surat untuk sahabatnya, sudah jelas, “Gue nggak mau, gue mau tetap jadi

orang bebas dan tetap jadi cross boy. Enak deh.” Cita-cita Hok Gie memang jadi

manusia bebas.

Dan, ada

banyak kaum muda berupaya ke luar dari proses pembusukan itu.

Di antara kesibukan diskusi di kampus-kampus, Hok Gie sempat

menyusuri lorong-lorong kawasan lampu merah. Ia menyaksikan betapa

Amerika dipenuhi berbagai persoalan sosial. Dari mahasiswa Indonesia yang

tengah belajar di AS, Hok Gie baru tahu bahwa pejabat Indonesia kalau ke luar

negeri paling hobi ‘naik’ dan merasakan kenikmatan ‘kuda putih.’

Hok Gie menuliskan sejumlah pengalaman keluyuran di AS-nya di

berbagai media massa. Ia menyuguhkan sejumlah problem kemanusiaan dan

sosial atas dasar moralitas.

48

Tanggal 13 Mei 1969, Hok Gie lulus ujian sarjana. Skripsi yang

ditulisnya membahas tentang sikap paradoksal manusia dalam sejarah yang

berjudul “Mereka yang Berada di Persimpangan Jalan.” Menjadi sarjana tak

membuat Hok Gie

(46)

merasakan adanya jarak dengan dunia saya yang lama dan amat saya cintai,

dunia mahasiswa.”

Secara emosional, Hok Gie mengaku sulit menyesuaikan diri dengan

situasi baru sebagai seorang dosen. Kepada seorang kawan karibnya, Hok Gie

menumpahkan kegundahannya, “Gue sekarang telah selesai dan kerja di FSUI.

Rasanya gue nggak punya tujuan hidup. Gue dapat kamar kerja, dapat meja dan

dapat jabatan. Jadi birokrat perguruan tinggi. Rasanya aneh sekali... Jadi bapak

dosen yang terhormat!. Kursi tempat gue duduk rasanya ada pakunya. Hidup

gue jadi rutin, tidak menarik.”

Pasca mahasiswa bagi Hok Gie adalah masa yang paling tidak menarik.

Untung ia punya sejumlah kolega mahasiswa dan sahabat yang mau mengerti.

H. Pendakian Gunung Bukan Pelarian

Semenjak mahasiswa Hok Gie telah mulai mencintai gunung. Bersama

kawan-kawannya ia mendirikan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala)

UI. Kegiatan Mapala adalah tempat Hok Gie melantunkan lagu-lagu

pembebasan ala Joan Baez dan Bob Dylan. Hingga kini Mapala UI menjadi

organisasi mahasiswa di bidang pendakian gunung yang lain terkemuka di

Indonesia.

Dengan perlengkapan yang bisa terbilang masih sederhana, gunung demi

gunung di daerah Jawa Barat didakinya. Pada tahun 1967, ia mulai mencoba

mendaki gunung tertinggi di Jawa Tengah, Gunung Slamet.

Bagi Hok Gie, gunung bukan sekadar pelepas stress. Tapi, gunung

(47)

tempat yang jauh dari semua fasilitas dan penuh dengan kesulitan orang yang

mengalami ujian, apakah dia seorang yang selfish atau orang yang mau

memikirkan orang lain. Perjalanan menuju puncak gunung adalah sebuah sarana

interaksi dengan masyarakat yang sangat baik.

“Kami tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh

dari hipokrisi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat

kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat

ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.

Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik

yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,”49

Lewat sejumlah persiapan yang cukup panjang, pada Desember 1969,

Hok Gie bersama kawan-kawannya berangkat menuju Puncak Semeru lewat

kawasan Tengger. Ia meninggalkan catatan terakhir dalam buku hariannya.

“Saya punya perasan untuk selalu ingat pada kematian.” Tapi Hok Gie tetap

berkeinginan bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-27 di atas atap tertinggi

Pulau Jawa tersebut.

jelas Hok Gie kepada beberapa

pengusaha yang membantunya saat akan mendaki Gunung Slamet.

Gunung bukan merupakan tempat pelarian bagi Hok Gie, tapi adalah

tempat belajar. “Hanya di puncak gunung aku merasa bersih,” ujar Hok Gie

kepada seorang kawannya. Sebagai seorang yang terlanjur jatuh cinta pada

gunung, Hok Gie bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa

yaitu Gunung Semeru.

(48)

Cita-Cita Mati Muda

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan Yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan

Yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.50

Bagi Hok Gie, hidup ibarat sebua

Itulah sepucuk puisi kesayangan Hok Gie. Puisi filsuf Yunani itu

mengusik kalbu serta membayangi langkahnya. Bayang kematian. Hok Gie

pernah menulis surat kepada kawannya, Riandi, “Jangan ditanyakan..., mereka

pasti akan senang sekali kalau saya mati karena jatuh dari puncak gunung.”

berkesempatan menikmati sebuah perjalanan yang penuh warna dan sarat

makna.Seperti tulisannya dalam sebuah surat, “Sebelum saya mati, saya masih

dapat berkata ya, saya telah hidup dan meresapi panas dan hujan.”

Hok Gie akhirnya memang tewas terkena gas beracun di Puncak Semeru.

Sebelumnya ia berujar, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya.

Saya merasa seperti monyet tua dikurung di kebun binatang dan tidak punya

kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan yang kasar dan keras untuk

seminggu kira-kira. Diusap oleh angin dingin yang seperti pisau atau berjalan

memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dekat dan menyatu dengan alam.”

Cita-cita Hok Gie untuk mati ditengah alam betul-betu

mengatakan, “Orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

Namun, ia mungkin tak pernah menduga bahwa kepergiannya merepotkan

teman-teman seMapalanya. Tapi, barangkali ia memang pergi dengan bahagia,

seperti ucap sepenggal puisi itu. “Berbahagialah mereka yang mati muda.”

50

(49)

TEPAT 25 tahun lalu, 16 Desember 1969, di ketinggian hampir 3.676

meter dpl puncak Mahameru, seorang tokoh mahasiswa meninggal dunia. Soe

Hok Gie

Dhanvantari Lubis, gara-gara terjebak gas beracun. Ia gugur hanya sehari

sebeIum hari ulang tahunnya.

Hok Gie meninggal di tengah berbagai kegelisahan. Ia menghadapi

kenyataan, bekas teman aktivis mahasiswanya telah melupakan perjuangan

sebelumnya. Sebagai tokoh Angkatan ‘66 lebih memburu hal-hal yang berbau

keduniawian ketimbang memikirkan perbaikan pasca-perubahan. Mantan aktivis

mahasiswa yang duduk dalam DPR-GR malah berebut mendapatkan

kredit-kredit mobil Holden, mobil mewah saat itu51

Sahabat-sahabat Hok Gie mengenangnya sebagai seorang yang tajam

pikirannya, rajin membaca, tekun menguji sendiri pengetahuan yang diperoleh

kepada kenyataan kehidupan di tengah rakyat. “Dalam hampir setiap hal atau

masalah, ia merupakan batu penguji yang kokoh untuk sikap yang berani dan .

Perjalanannya ke puncak Semeru merupakan bagian dari upaya

melupakan kegundahannya pada republik yang dicintainya. Sebelum berangkat,

Hok Gie sempat mengirimkan perlengkapan benda peranti dandan kepada

sejumlah wakil mahasiswa di DPR-GR. “Semoga anda makin tampil manis di

mata pemerintah”, pesannya kepada teman-teman seperjuangannya dulu.

Sayang, Hok Gie keburu pergi untuk selama-lamanya.

51

(50)

independen, hati yang bersih dan pikiran yang murni,”52

52

ibid hal : 294

tulis Adnan Buyung

Nasution. Memang, secara esensi, pada dasarnya pria bertubuh kecil ini adalah

-seorang modernisator yang populis.

(51)

BAB III

CATATAN SANG DEMONSTRAN

A. DI SEKITAR DEMONSTRASI-DEMONSTRASI MAHASISWA DI

JAKARTA53

Pada tanggal 1 Oktober di Jakarta terjadi kudeta dari Partai Komunis

Indonesia (PKI). Tetapi karena tindakan yang tegas dari Mayor Jenderal

Soeharto, usaha coup ini dapat dihancurkan sama sekali.54

Sejalan dengan arus yang ada dalam masyarakat, di dunia universitas pun

terjadi pergolakan-pergolakan. Diadakan tindakan-tindakan pengamanan

terhadap unsur-unsur yang terlibat baik secara langsung, maupun tidak langsung

terhadap PKI. Para mahasiswa juga ikut aktif dalam usaha-usaha membersihkan

dunia perguruan tinggi dari unsur-unsur PKI. Usaha-usaha mereka diwujudkan

dengan mendirikan sebuah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

(KAMI), di mana tergabung organisasi-organisasi ekstra maupun

intrauniversiter. Bersama-sama dengan unsur-unsur progresif lainnya, KAMI

ikut aktif dalam usaha-usaha pembersihan dunia perguruan tinggi dari

unsur-unsur PKI/Gestapu (Gerakan September 30).55

Dalam pada itu situasi berkembang terus. Usaha-usaha pembasmian

PKI ternyata tidak berkembang secara semestinya. Banyak menteri yang

53

Stanley, & Santoso, Aris, Soe hok Gie : Zaman peralihan , Jakarta. Gagas Media, 2005, hal : 3

54

Dr. Darsono Prawironegoro, ANALISIS GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 DITINJAU DARI

SUDUT FILSAFAT,

55

Referensi

Dokumen terkait

Hurşit o, lâkin hurşiti muzlim, M aşrık k ararmış, yanmakta mağrıp!. M atem libasım aksile

pengenaan pajak yang tinggi dalam keadaan darurat. Beliau menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan. percaya akan efisiensi sistem pasar bebas. Selain itu

Aktiva tetap berwujud adalah Aset yang berwujud yang didapat/diperoleh dengan kondisi siap pakai ataupun dibangun terlebih dahulu dan dipakai dalam aktivitas operasi entitas

pengertian bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat.. dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam

Sumber pencahayaan yang digunakan yaitu pencahayaan alami dan pencahayaan buatan. Pada area yang mendapatkan cahaya matahari langsung, dapat diantisipasi dengan

mengetahui bagaimana system penyelenggaraan makanan yang digunakan, apakah system penyelenggaraan makanan yang dilakukan sesuai dengan tujuannya, apakah makanan yang

Dalam penelitian ini, pemberitaan tentang pelayanan BPJS Kesehatan pada surat kabar merupakan stimulus dan respon yang diharapkan adalah citra BPJS Kesehatan di

Daftar Kelompok Petani-Nelayan Kecil (KPK) Penerima Pinjaman Modal Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani- Nelayan Kecil (P4K)