• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi bagi pelaku perzinaan dalam Pasal 284 KUHP:Perspektif Hukum Pidana Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sanksi bagi pelaku perzinaan dalam Pasal 284 KUHP:Perspektif Hukum Pidana Islam"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORITIS TINDAK PIDANA PERZINAAN

A. Definisi Zina dan Sumber Hukum

1. Definisi Zina

Zina secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan bahwa zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat.1

Ibnu Rusyd mendefinisikan zina sebagai persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah yang sah atau semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya. Menurut H.A. Dzajuli, dengan mengutip ulama Malikiyyah, zina adalah

mewathui’nya laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dan dilakukan dengan sengaja. Adapun ulama Syafi’iyyah, masih dari sumber yang sama, mendefinisikan zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak syubhat dan secara naluriah memuaskan hawa nafsu.2

1

Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 106

2

(2)

Beberapa definisi yang telah yang dikemukakan oleh para ulama tentang pezinaan itu, kiranya yang lebih tepat adalah yang terdapat dalam mazhab Syafi’i yaitu:

Memasukkan alat kelamin kedalam alat kelamin, yang diharamkan menurut zatnya, terlepas dari segala kemungkinan kesamaran dan secara alami perbuatan itu disenangi.3

Definisi yang diberikan di atas dapat ditarik hakikat yang merupakan kriteria dari perzinaan itu, yaitu:

a. Zina itu perbuatan memasukkan apa yang bernama alat kelamin laki-laki atau zakar ke dalam apa yang bernama alat kelamin perempuan atau vagina atau faraj. Dalam arti ini alat apa saja yang dimasukkan selain dari zakar tidak disebut zina. Begitu pula memasukkan zakar ke lubang mana saja dari tubuh perempuan selain vagina tidak disebut zina.

b. Perbuatan hubungan kelamin itu menurut zat atau substansinya adalah haram. Hal ini mengandung arti bila keharamannya itu bukan bersifat substansil atau karena faktor luar atau keadaan, tidak disebut zina. Umpamanya suami haram melakukan hubungan kelamin dengan istrinya yang sedang menstruasi. Keharaman di sini bukan karena substansinya, tetapi karena faktor luar.

3

(3)

c. Perbuatan hubungan kelamin itu pada dasarnya secara alamiah disenangi, yaitu dengan manusia yang hidup. Hal ini berarti hubungan kelamin dengan sosok mayat dan dengan hewan tidak disebut zina.

d. Perbuatan hubungan kelamin itu disebut zina dengan segala akibat hukumannya bila pada perbuatan itu telah bebas dari segala kemungkinan kesamaran atau syubhat seperti bersetubuh dengan perempuan yang diyakininya istrinya, ternyata orang lain.4

Menurut Hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh ulama, kecuali perbedaan hukumnya. Menurut sebagian ulama tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada diluar kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas. Zina diharamkan dalam segala keadaan.

KUHPidana memang menganggap bahwa persetubuhan di luar perkawinan adalah zina, namun tidak semua perbuatan dapat dihukum. Perbuatan zina yang memungkinkan untuk dihukum adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang telah menikah sedangkan zina yang dilakukan oeh laki-laki maupun wanita yang belum menikah tidak termasuk dalam larangan

(4)

tersebut. Pasal 284 ayat ke. 1 a dan b. Penuntutan terhadap pelaku zina itu sendiri hanya dilakukan atas pengaduan dari salah satu pasangan yang terlibat dalam kasus ini, atau mereka yang merasa tercemar akibat perbuatan tersebut. Oleh karena itu, kalau mereka semua diam, tidak ada yang merasa dicemari atau tidak merasa dirugikan, mereka dianggap melakukannya secara sukarela dan tentu tidak dihukum.5

Tindak pidana zina dalam hukum Islam berbeda dengan tindak pidana zina dalam hukum konvensional. Hukum Islam menganggap setiap hubungan badan yang diharamkan sebagai zina dan pelakunya harus dihukum, baik pelakunya orang yang sudah menikah maupun belum, sedangkan hukum konvensional tidak menganggap setiap hubungan badan yang diharamkan sebagai zina. Tindak pidana zina dijatuhkan kepada pelaku yang sudah bersuami dan beristri. 6

2. Sumber Hukum Tindak Pidana Perzinaan

Dasar hukum mengenai perzinaan di dalam hukum Islam juga terjadi perbedaan dengan hukum positif. Dalam hukum positif perbuatan zina (perzinaan) diatur di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) tepatnya mengenai bab kejahatan terhadap kesusilaan. Pada pasal 284 KUHP7 ayat (1)” diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan:

5 Rahmat Hakim, op. Cit, hlm. 69-70 6

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid IV, PT Kharisma Ilmu, hlm. 151

7 Andi Hamzah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP&KUHAP), Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hlm. 114

(5)

a. Seorang laki-laki yang telah kawin yang melakukan mukah. (overspel), padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

b. Seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan mukah;

a. Seorang laki-laki yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin,

b. Seorang perempuan yang tidak kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya”.

Pada ayat (2): “tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga”.

Rumusan ketentuan pasal 284 KUHP tersebut maka unsur-unsur perzinaan adalah sebagai berikut: adanya persyaratan telah kawin; adanya pengaduan dari suami atau istri yang tercemar, dan si turut serta harus mengetahui bahwa pasangannya terikat perkawinan. Berdasarkan ketentuan pasal 284 KUHP, apabila laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya belum menikah dan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan sebagai perzinaan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Dengan kata lain, ketentuan pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan

(6)

peluang kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain.8

Berbeda pengaturan dengan yang ada di dalam hukum Islam. Di dalam hukum Islam sumber hukum Islam ialah al-quran, As Sunnah/Al Hadist dan Al Ra’yu. Dalam Al-quran diantaranya diatur di dalam surat An-Nur ayat 2, An-Nisa ayat 15, Al-Isra ayat 32, dan An-Nur ayat 30-31. Garis hukum yang termuat didalam surat-surat tersebut ialah sebagai berikut:

1. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina hukuman dari tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali cambukan.

2. Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina dalam poin 1diatas, tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.

3. Pelaksanaan hukuman kepada pezina harus disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman.

4. Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji dalam bentuk zina harus disaksikan oleh 4 orang saksi.

5. Janganlah kamu mendekati zina karena zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu pekerjaan yang buruk.

6. Wanita yang beriman harus menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.

8 Lidya Suryani Widayati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah

(7)

Dasar hukum tentang perbuatan zina di dalam hadist cukup banyak diantaranya ialah hadist riwayat Abu Hurairah ra, Sayyidina Umar bin Khattab ra. Ibnu Abbas, Zaid bin Khalid ra, Abdullah bin Umar ra, Ubadah bin ash-Shamit ra. Garis hukum yang termuat didalam hadist-hadist tersebut ialah sebagai berikut9:

1. Rasulullah SAW telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina. Kemaluanlah yang menentukan dalam berbuat zina atau tidak.

2. Seorang pezina tidak akan berzina jika ketika itu dia berada dalam keimanan.

3. Sesungguhnya Allah mengutus Rasulullah SAW mengatur tentang hukuman rajam. Kemudian Rasul melakukannya dan diikuti oleh para sahabat.

4. Hukum rajam yang terdapat dalam Al-quran harus dilaksanakan oleh manusia kepada pezina yang pernah kawin, baik laki-laki maupun perempuan bila terbukti bukti yang nyata dan atau dia telah hamil atau pengakuannya sendiri.

5. Rasulullah SAW menjatuhkan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun kepada pemuda yang melakukan zina dengan istri orang, sedang istri orang tersebut dihukum rajam.

Dasar hukum antara hukum positif dan hukum Islam jelas berbeda, dimana dalam hukum positif memberikan peluang terjadinya perzinaan dengan sanksi yang tidak tegas dan hanya diberikan pada yang sudah nikah sementara yang

(8)

belum tidak dikenai sanksi. Dalam hukum Islam jelas diatur dengan baik dari Al-quran dan Hadist Rasulullah SAW untuk menjauhi zina karena merupakan perbuatan yang buruk dan keji sehingga sanksinya berat sekali dalam hukum Islam berupa rajam dan cambuk 100 kali serta diasingkan.

B. Unsur-unsur Tindak Pidana Perzinaan

Beberapa definisi zina yang dikemukakan oleh para ulama tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah zina itu ada dua, yaitu

1. Persetubuhan yang diharamkan, dan

2. Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.10

1. Unsur pertama, persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina a. Persetubuhan dalam farji

Persetubuhan yang diharamkan dan dianggap zina adalah wati

(persetubuhan) di dalam farji (vagina), di mana zakar (penis) di dalam farji seperti batang celak di dalam botol celak atau seperti timba di dalam sumur. Persetubuhan dianggap zina, minimal dengan terbenamnya hasyafah (pucuk zakar) pada farji atau yang sejenis hasyafah, jika zakarnya tidak mempunyai

hasyafah. Menurut pendapat yang kuat, zakar tidak disyaratkan ereksi.

Memasukkan pucuk zakar atau sebagiannya dianggap zina walaupun zakar masuk kedalam liang vagina tanpa menyentuh dindingnya. Meskipun tidak mengeluarkan sperma, memasukkan pucuk zakar tetap dianggap zina. Meskipun

(9)

ada pelapis antara penis dan vagina, selama pelapisnya tipis dan tidak menghalangi rasa dan kenikmatan, persetubuhan tetap dianggap zina.11

b. Persetubuhan dalam dubur

Imam malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Syi’ah Imamiyah, dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa persetubuhan yang diharamkan, baik dalam kubul maupun dubur, pada laki-laki maupun perempuan, hukumnya sama. Pendapat ini juga disepakati oleh Muhammad dan Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah. Alasan mereka menyamakan persetubuhan dubur dan zina dalam satu makna sehingga menyebabkan wajibnya hukuman-hukuman hudud adalah adanya persetubuhan yang diharamkan. Ia termasuk zina, terutama karena Al-qur’an telah menyamakan keduanya.12

c. Menyetubuhi istri melalui dubur

Para ulama sepakat bahwa suami yang menyetubuhi istri melalui dubur tidak dijatuhi hukuman hudud karena istri adalah tempat persetubuhan dan suami adalah pemilik persetubuhan istrinya. Akan tetapi, para fukaha berbeda pendapat mengenai cara melakukan. Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Yusuf dan Muhammad keduanya murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tersebut adalah zina dan menurut hukum pokok harus dijatuhi hukuman hudud. Akan tetapi, hukuman ini dihindarkan karena adanya syubhat kepemilikan dan perbedaan pendapat mengenai kehalalan perbuatan tersebut. Dengan demikian pelakunya wajib ditakzir.13

11Abdul Qadir Audah, jilid IV, loc. Cit, hlm. 154 12 Ibid

(10)

d. Menyetubuhi mayat

Menurut Imam Abu Hanifah, menyetubuhi perempuan lain yang sudah mati bukanlah zina, begitu juga perempuan yang memasukkan zakar laki-laki lain yang sudah mati ke dalam farjinya. Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’I dan Hanbali.

e. Menyetubuhi binatang

Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, menyetubuhi hewan dan binatang pada umumnya tidak dianggap zina, tetapi dianggap maksiat yang wajib ditakzir. Hukum ini juga berlaku bagi perempuan yang menyerahkan dirinya untuk binatang, seperti kera. Mereka tidak melihat perbuatan ini sebagai zina. Alasannya, seandainya perbuatan ini dianggap zina, maka wajiblah hukuman hudud yang disyariatkan untuk menghentikan perbuatan tersebut, padahal yang perlu dihentikan adalah perbuatan yang jalannya terbuka lancar. Menyetubuhi hewan bukan perbuatan yang perlu dihentikan karena orang-orang berakal dan orang-orang bodoh sekalipun tidak berminat melakukannya walaupun sebagian tertarik karena dorongan nafsunya. Jadi, perbuatan ini tidak perlu dilarang karena secara naluriah tidak ada orang yang ingin melakukannya.14

f. Anak di bawah umur dan orang gila menyetubuhi perempuan ajnably

Tidak ada hukuman hudud atas anak di bawah umur atau orang gila yang menyetubuhi perempuan ajnably (bukan istri dan hamba) karena tidak ada kepatutan hukum atas keduanya. Anak di bawah umur tidak boleh dijatuhi hukuman hudud kecuali setelah dewasa dan orang gila tidak boleh dijatuhi

(11)

hukuman hudud kecuali setelah sembuh. Akan tetapi, anak di bawah umur harus ditakzir atas perbuatannya jika ia sudah mumayiz.15

g. Orang berakal dan baligh menyetubuhi anak perempuan di bawah umur atau perempuan gila

Para fukaha juga berbeda pendapat mengenai orang dewasa berakal dan baligh yang menyetubuhi anak perempuan dibawah umur atau perempuan gila. Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menyetubuhi perempuan gila dewasa harus dijatuhi hukuman hudud. Begitu juga orang dewasa berakal dan balig yang menyetubuhi anak perempuan gila atau atau tidak gila, selama ia berhasil menyetubuhinya walaupun hubungan intim tersebut tidak mungkin bagi orang lain. Jika menyetubuhi anak di bawah umur tidak berhasil bagi pelaku, ia tidak dijatuhi hukuman hudud, tetapi harus ditakzir atas perbuatannya.16

h. Persetubuhan dengan syubhat

Para fukaha lainnya menganggap sahih hadis, “hindarkanlah hudud dengan syubhat”. Mereka sepakat bahwa persetubuhan yang mengandung syubhat tidak mewajibkan hukuman hudud. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai sesuatu yang dianggap syubhat. Pangkal perbedaan dalam menganggap syubhat adalah perbedaan dalam menilai. Sebagian berpendapat bahwa kondisi tertentu dianggap syubhat, sedangkan sebagian yang lain tidak menggap syubhat.17

15Ibid 16Ibid 17Ibid

(12)

i. Menyetubuhi mahram

Menyetubuhi mahram adalah zina dan mewajibkan hukuman hudud. Jika seseorang menikahi mahramnya, pernikahan tersebut dianggap batal. Jika ia menyetubuhi istrinya, ia wajib dijatuhi hukuman hudud.18

j. Persetubuhan dalam Pernikahan yang Batal

Setiap nikah yang secara ijmak dianggap batal, seperti pernikahan kelima, menikahi perempuan yang bersuami atau menikahi perempuan yang ditalak tiga sebelum menikah dengan orang lalin, persetubuhan di dalamnya adalah zina dan pelakunya wajib dijatuhi hukuman hudud. Akad pernikahan tidak dianggap sah dan tidak memengaruhi hukuman. Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, ulama Zahiriyah dan Zaidiyah, Abu Yusuf, dan Muhammad-dua murid Imam Abu Hanifah-juga sepakat dengan pendapat ini.19

k. Persetubuhan dalam pernikahan yang diperselisihkan

Perbedaan pendapat antar fukaha mengenai keabsahan nikah ini dianggap syubhat dalam persetubuhan dan menghapus hukuman hudud. Akan tetapi, ulama Zahiriyah mewajibkan hukuman hudud atas setiap persetubuhan yang terjadi dalam pernikahan yang batal atau rusak.

l. Persetubuhan karena dipaksa

Para ulama sepakat tidak ada hukuman hudud atas orang yang dipaksa berzina. Pemaksaan dianggap syubhat menurut ulama yang mengatakan syubhat dan hukuman hudud gugur karena ada syubhat.20

18Ibid 19Ibid 20 Ibid

(13)

m.Tersalah dalam bersetubuh

Untuk kesalahan menyetubuhi yang diharamkan, tidak ada ampunan dan hal itu syubhat. Demikian kesepakatan para fukaha. Seorang laki-laki wajib dijatuhi hukuman hudud jika ia memanggil perempuan yang haram baginya lalu menyetubuhui perempuan lain yang datang karena menduga itu adalah perempuan yang ia panggil. Jika ia memanggil perempuan yang haram baginya lalu yang datang adalah istrinya dan ia menyetubuhi dengan dugaan bahwa yang ia gauli adalah perempuan lain, tidak ada hukuman hudud atasnya. Alasannya, tidak ada keharaman farji walaupun ia berdosa karena dugaannya.21

n. Rela disetubuhi

Para fukaha sepakat bahwa kerelaan disetubuhi tidak dianggap syubhat. Orang yang menyetubuhi perempuan lain yang rela disetubuhi dianggap zina. Hukum ini tetap berlaku meski perempuan tersebut sudah mendapat izin dari walinya atau suaminya. Zina tidak bisa dihalalkan melalui pemberian dan izin. Tidak seorang pun bisa menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Jika seorang perempuan menghalalkan dirinya, penghalalannya dianggap batal dan perbuatannya tetap dianggap zina.

o. Pernikahan setelah melakukan zina

Menurut sebuah riwayat dari Abu Yusuf dan Imam Abu Hanifah, menikah dengan perempuan yang sudah diajak berzina adalah syubhat yang bisa menghalangi hukuman hudud. Berdasarkan riwayat ini, orang berzina dengan perempuan lalu ia menikahinya, ia tidak dijatuhi hukuman hudud. Alasannya

(14)

perempuan tersebut sudah menjadi milik suaminya atas dasar pernikahan dan ia berhak bersenang-senang. Ia sudah memenuhi kebutuhannya pada tempat yang ia miliki dan ini menjadi syubhat yang bisa menghalangi hukuman hudud.

p. Menyetubuhi perempuan yang wajib diqishas

Bila seorang mempunyai hak qishas atas seorang perempuan lalu ia menyetubuhinya, ia wajib dijatuhi hukuman hudud. Kepemilikan hak kisas atas perempuan tidak dianggap syubhat yang bisa menghalangi hukuman hudud. Alasannya, hak kisas untuk membunuh si perempuan tidak membuat si laki-laki berhak bersenang-senang dengan farjinya.22

q. Musahaqah

Musahaqah juga disebut dengan as-sahq dan at-tadaluk (lesbi), yaitu hubungan seksual sesama perempuan. Para ulama sepakat tidak ada hukuman hudud atas perbuatan tersebut. Hukumannya adalah takzir karena perbuatan tersebut termasuk maksiat yang tidak ada hukuman hududnya. Jika hadis Abu Musa ini sahih, berarti ia menyifati perbuatan tersebut sebagai zina, padahal perbuatan tersebut tidak sama dengan zina yang wajib dijatuhi hukuman hudud karena lesbi adalah sanggama tanpa memasukkan, sedangkan zina yang wajib dijatuhi hukuman hudud adalah zina yang memasukkan. Karenanya, lesbi termasuk perbuatan yang wajib dijatuhi hukuman takzir, bukan hudud, sama seperti lelaki yang bersanggama dengan perempuan tanpa memasukkan penis kedalam farji.23

r. Istimna (Masturbasi)

22Ibid 23Ibid

(15)

Istimna (masturbasi) seorang lelaki dengan menggunakan tangan perempuan lain (bukan istri dan hambanya) tidak dianggap zina. Begitu juga seorang laki-laki yang memasukkan jari-jarinya ke dalam farji perempuan. Akan tetapi, kedua perbuatan tersebut adalah maksiat yang wajib ditakzir, baik atas laki-laki maupun perempuan, keluar sperma maupun tidak.

s. Tidak mampu mengajukan syubhat

Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, ketidakmampuan pelaku mengajukan syubhat tidak dianggap syubhat. Mereka mengatakan bahwa orang bisu dan orang gila wajib dijatuhi hukuman hudud jika zinanya ditetapkan berdasarkan bukti. Mereka juga menerima pengakuan orang bisu yang menggunakan tulisan dan bahasa isyarat selama isyaratnya bisa dipahami tanpa ada keraguan.24

t. Ingkarnya salah satu pelaku zina

Menurut Abu dan Muhammad mereka sepakat dengan pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Zaidiyah. Menurut mereka, orang yang mengaku harus dijatuhi hukuman hudud sesuai pengakuannya dan pengakuan ini tidak memengaruhi pemberian hukuman kepada pihak yang ingkar. Alasannya, pengakuan hanyalah hujah bagi orang yang mengaku. Tidak terbuktinya zina atas orang yang ingkar tidak mengakibatkan syubhat pada orang yang membuat pengakuan.25

24Ibid 25Ibid

(16)

u. Salah satu pihak mengaku ada hubungan suami-istri

Jika salah satu pelaku mengaku berzina sedang pihak yang lain mengaku memiliki hubungan suami-istri, tidak ada hukuman hudud atas keduanya. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal. Alasannya, klaim pernikahan memungkinkan adanya kebenaran. Pengakuan tentang adanya pernikahan melahirkan syubhat. Dengan demikian, hukuman hudud menjadi gugur karena ada kemungkinan pengakuan tersebut benar.26

v. Selaput darah utuh

Menurut Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbali, dan Syi’ah Zaidiyah, utuhnya selaput darah adalah syubhat bagi orang yang dituduh berzina. Seandainya ada empat orang memberi kesaksian zina lalu beberapa perempuan tepercaya memberi kesaksian bahwa perempuan tersebut masih gadis, maka perempuan ini tidak wajib dijatuhi hukuman hudud karena ada syubhat. Adapun para saksi tidak diberi hukuman hudud.

2. Unsur Kedua, Sengaja Bersetubuh

Tindak pidana zina, pelaku zina laki-laki maupun perempuan disyaratkan mempunyai kesengajaan atau niat melawan hukum. Niat melawan hukum dianggap terpenuhi jika pelaku melakukan perbuatan zina dan ia tahu bahwa ia menyetubuhi perempuan yang haram baginya. Juga kalau perempuan yang berzina menyerahkan dirinya dan tahu bahwa orang yang menyetubuhinya tidak halal baginya.

(17)

Jika salah satunya melakukan perbuatan secara sengaja dan ia tidak tahu keharamannya, tidak ada hukuman hudud atasnya. Hal ini sama dengan orang yang didatangkan kepadanya seorang perempuan selain istrinya lalu ia menyetubuhinya dengan keyakinan bahwa perempuan tersebut adalah istrinya. Begitu juga dengan perempuan yang dibawa kepada laki-laki yang bukan suaminya lalu ia menyerahkan diri kepada laki-laki tersebut karena mengira itu suaminya. Demikian juga dengan laki-laki yang menemui perempuan di tempat tidurnya lalu ia menyetubuhinya dengan keyakinan bahwa perempuan tersebut adalah istrinya. Juga perempuan yang mendapati laki-laki di tempat tidurnya kemudian ia menyerahkan dirinya dengan keyakinan bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya. Tak berbeda dengan perempuan yang menikah dan ia masih mempunyai suami yang ia sembunyikan dari suaminya yang kedua, maka suami keduanya tidak wajib dijatuhi hukuman hudud selama ia tidak tahu pernikahan yang pertama. Begitu juga dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada suami, yang telah menceraikannya dengan talak ba’in, sementara ia tidak tahu kalau laki-laki tersebut sudah menceraikannya.27

Tujuan niat melawan hukum disyaratkan harus satu waktu dengan melakukan perbuatan yang diharamkan. Jika seseorang bermaksud berzina dengan perempuan lain lalu secara kebetulan ia mendapati perempuan di tempat tidurnya dan ia menyetubuhinya dengan keyakinan bahwa perempuan tersebut adalah istrinya, ia tidak dianggap berzina. Alasannya, tidak ada tujuan berbuat tindak pidana saat melakukan perbuatan tersebut. Begitu juga jika ia bermaksud

(18)

menyetubuhi perempuan ajnabi (bukan istri dan budaknya), tetapi salah, justru menyetubuhi istriya, ia tidak dianggap berzina meskipun ia berniat menyetubuhi perempuan ajnabi. Hal ini dikarenakan persetubuhan yang dilakukan tidak diharamkan.28

C. Hukuman Terhadap Pelaku Zina

Dengan turunnya surat An-Nur (24) : 2, dan penjelasan oleh al-Hadits Rasulullah SAW, maka hukuman untuk pezina dirinci menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Hukuman Bagi Zina Ghairu Muhsan

Zina ghair muhsa zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum pernah berkeluarga. Hukumannya ada dua macam, yaitu:

a) Hukuman dera

Apabila jejaka dan perawan melakukan perbuatan zina, mereka dikenai hukuman dera seratus kali. Hal ini didasarkan kepada firman Allah SWT surat an-Nur (24) : 2















































28Ibid

(19)







“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman29"

Dan juga berdasarkan al-Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i dari Ubadah ibn Al-Shamit yaitu:

لاق معلص تملصلا نب ةدابع نعو

:

ينعاوذخ معلص هللللاوسر لاق

,

ينعاوذخ

,

لايبس نهل الله لعج دقف

,

ةئام دلج ركبلاب ركبلا

,

ةنس يفنو

,

ةئام دلج بيثلاب بيثلاو

,

مجرلاو

(

ملسم هور

)

Dari Ubadah ibnu Shomit SAW bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ambilah (hukum) dariku. Ambilah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan dirajam.” (periwayat Muslim).30

Hukuman dera adalah hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu hakim tidak boleh mengurangi, menambah, menunda pelaksanaannya, atau menggantinya dengan hukum lain. Disamping telah ditentukan oleh syara’, hukuman dera juga merupakan hak Allah

29

Al-Huda, Mushaf Al-qur’an Terjemah Al-Huda, Al-Huda, Depok, 2002, hlm. 351

30

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, PT Media Utama, Depok, 2015, hlm. 325

(20)

SWT atau hak kemasyarakatan, sehingga pemerintah atau individu tidak berhak memberi pengampunan.31

b) Pengasingan selama satu tahun

Hukuman yang kedua untuk zina ghair muhsan adalah hukuman pengasingan selama satu tahun. Hukuman ini didasarkan kepada al-Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’I dari Ubadah ibn Al-Shamit tersebut di atas.

Menurut mereka, pengasingan itu tidak harus dilaksanakan secara tertib, yaitu mendahulukan hukuman pukul, kemudian hukuman buang atau sebaliknya. Akan tetapi mereka hanya mensyaratkan agar hukuman buang dilakukan ke suatu negeri dimana jarak antara pembuangannya berjarak yang sama dengan jarak yang sudah dibolehkan mengqasar. Sedangkan apabila hukuman buang itu dijatuhkan atas diri seorang wanita, maka haruslah disertai oleh mahramnya, sekalipun memakan biaya. Dan pembiayaan ini sendiri menjadi tanggung si wanita yang terhukum.32

Sedangkan menurut Imam Malik dan Auza’i, hukuman buang itu hanya berlaku bagi jejaka merdeka yang berzina, tidak bagi wanita. Yang disebut terakhir ini (wanita) merdeka tidak dikenai hukuman buang, sebab mereka merupakan aurat yang harus disembunyikan.

Lain halnya dengan imam yang lain, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman buang tidak mutlaq seperti hukuman pukul. Pembuangan bisa

31Ahmad Wardi Muslich, op. cit. hlm. 30

32 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz IX diterjemahkan oleh Moh. Nabhan Husein, Alma’arif, Bandung, 1993, hlm. 98

(21)

saja dijatuhkan manakala dipandang perlu. Tetapi jangka waktunya ditetapkan menurut kebijaksanaan hakim.33

2. Hukuman Bagi Zina Muhsan

Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki/ perempuan yang sudah berkeluarga (beristri/bersuami) dengan perempuan/laki-laki yang sudah atau belum berkeluarga. Hukuman untuk pelaku zina muhsan ini adalah:

a) Dera seratus kali

Hukuman dera seratus kali didasarkan kepada firman Allah SWT surat an-Nur ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i, dari Ubadah ibn Shamit tersebut di atas.

b) Rajam

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya.34 Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hampir semua ulama.

Dasar hukum untuk hukuman rajam yaitu al-Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Nasa’i, dari Ubadah ibn Shamit tersebut di atas.

33

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 26

34 Abdul Al-Qadir Al-Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islami, Juz II, Daar kitab Al-Arabiy, hlm. 384

(22)

Menurut Imam Al-Hasan, Ishak, ibn Mundzir, golongan Zhahiriyyah, Syi’ah Zaidiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman dera atau jilid seratus kali tetap dilakukan terhadap zina muhsan disamping hukuman rajam. Alasannya adalah bahwa Al-Qur’an menjadikan hukuman jilid sebagai hukuman yang asasi untuk jarimah zina, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat

an-Nur ayat 2. Kemudian datang al-Hadits yang menjelaskan hukum rajam bagi yang sudah berkeluarga. Dengan demikian maka pelaksanaannya wajib digabungkan antara hukuman tersebut.35

Sedangkan menurut Imam Malik, Syafi’I, Abu Hanifah dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman untuk pelaku zina muhsan cukup dengan rajam saja dan tidak digabungkan dengan jilid atau dera. Alasannya ialah bahwa menurut mereka ditinjau dari segi makna (arti dan tujuan hukum), menurut kaidah yang umum, hukum yang lebih ringan tercakup oleh hukuman yang lebih berat karena tujuan hukuman adalah untuk pencegahan. Apabila hukuman dera digabungkan dengan hukuman rajam maka hukuman tersebut tidak ada arti dan pengaruhnya terhadap pencegahan.36

D. Sanksi Zina Menurut Hukum Pidana Islam dan KUHP

Menurut kamus bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, hukuman

(sanksi) berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam bahasa arab hukuman (sanksi) disebut dengan iqbal (singular) dan uqubah

(plural). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa hukuman (sanksi)

35

Ahmad Wardi Muslich, loc. Cit. hlm. 34-35 36 Abdul Al-Qadir Al-Audah, Jus II, op. cit, hlm. 385

(23)

merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan lain, hukuman (sanksi) merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran (makiat) perintah syara.37

Dalam buku hukum pidana di indonesia Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreinging) kepada mereka yang melakukan pelanggaran norma. Sanksi mempunyai tugas agar norma yang sudah ditetapkan itu ditaati dan dilaksanakan. Sanksi merupakan alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.38 Dari pengertian sanksi diatas maka sanksi tindak pidana perzinaan termasuk dalam kategori pelanggaran norma kesusilaan.

Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan sanksi yang amat berat, baik hukum rajam, karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Dalam hukum pidana islam hukuman (sanksi) bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Dasar hukum dera atau cambuk seratus kali. Adalah firman Allah swt: QS-An-Nur ayat (2).39

37

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 59 38

Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 48 39 http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/10/17analisis-yuridis-tindak-pidana-perbuatan-zina-perzinahan-dalam-perspektif-hukum-islam/ diunduh tanggal 14 desember 2014 jm 07:54

(24)

KUHPidana memang menganggap bahwa persetubuhan di luar perkawinan adalah zina, namun tidak semua perbuatan zina dapat dihukum. Perbuatan yang memungkinkan untuk dihukum adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang telah menikah sedangkan zina yang dilakukan laki-laki maupun wanita yang belum menikah tidak termasuk larangan tersebut. Pasal 284 KUHP disebutkan: (1) diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan: k-1 (a) seorang laki-laki yang telah kawin melakukan mukah. (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. (b) seorang perempuan yang telah kawin melakukan mukah.40

Tindak pidana perzinaan dalam hukum Islam sanksinya adalah dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina ghair muhsan serta dirajam dan dera seratus kali bagi pezina muhsan. Akan tetapi bentuk hukuman yang berupa rajam, sudah ada sebelum turunnya surat an-Nur ayat 2 yang menjadi landasan hukuman, disamping itu hukum rajam merupakan bentuk sanksi yang pertama dilaksanakan terhadap pelaku perzinaan dari kaum yahudi dengan memakai kitab mereka. Pasal 284 KUHP ayat (1) tidak memberikan hukuman yang berat sebagaimana hukum Islam, pasal 284 KUHP ayat (1) hanya memberikan hukuman pidana penjara selama-lamanya Sembilan bulan.

Hukum konvensional mengancamkan hukuman penjara bagi pelaku zina. Hukuman ini sebenarnya tidak menimbulkan rasa sakit/sengsara pada diri pelakunya yang bisa mendorongnya untuk meninggalkan kenikmatan yang

(25)

dinantikannya di balik tindak pidana, juga tidak bisa menimbulkan faktor tandingan terhadap faktor pembangkit nafsu untuk melakukan tindak pidana.

Hukum Islam memiliki keistimewaan karena mampu memerangi tindak pidana dari sisi psikologis sebelum memerangi dari sisi perasaan materiil (badaniah) ketika menjadikan hukuman dera sebagai hukuman bagi pelaku zina. Sebaliknya, hukuman yang ditetapkan oleh hukum konvensional tidak dapat menyentuh faktor-faktor pendorong, baik psikologi maupun perasaan materiil pelaku, karena kendati hukuman penjara layak untuk menangani tindak pidana selain zina, ia tidak dapat menangani tindak pidana zina.41

41

Referensi

Dokumen terkait

Dari persepsi netizen Indonesia, jika pemerintah ingin merevisi logo Asian Games 2018, empat hal utama yang perlu diperhatikan adalah logo perlu memiliki tampilan dan

Pendidikan Kewarganegaraan atau sering disebut dengan PKn merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib di Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006

sesuai dengan dasar pengambilan keputusan hipotesis, apabila F hitung > F tabel yang dimana nilai dari F hitung dan F tabel sebesar 67.136 > 3.07, maka

Untuk mengetahui proses itu, penulis melakukan wawancara dengan 2 (dua) narasumber dari Tempo, wartawan dan redaktur yang menulis berita Jokowi, dan 2 (dua)

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Alwani (2007) yang meneliti pengaruh kecerdasan emosional terhadap kinerja auditor pada KAP di kota Semarang menunjukkan

Pentingnya ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan supaya dapat menimbulkan reaksi bagi para pelaku pasar modal dipengaruhi oleh profitabilitas (Baridwan, 2004:5),

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

Luas tanah 10.441 M2 dan luas bangunan 4075 M2 yang terdiri ruang pameran tetap, ruang pameran temporer, ruang perpustakaan ruang laboratorium, ruang