• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resistensi Jovi Adhiguna Atas Wacana Diskursus Masyarakat Mengenai Gender (Analisis Isi Kualitatif Video Blog Jovi Adhiguna Hunter Pada Channel Youtube)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Resistensi Jovi Adhiguna Atas Wacana Diskursus Masyarakat Mengenai Gender (Analisis Isi Kualitatif Video Blog Jovi Adhiguna Hunter Pada Channel Youtube)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1

RESISTENSI JOVI ADHIGUNA ATAS WACANA DISKURSUS

MASYARAKAT MENGENAI GENDER (Analisis Isi Kualitatif Video Blog

Jovi Adhiguna Hunter Pada Channel Youtube)

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata I pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Dan Informatika

Oleh:

RISKA SEPRIANI AYUNINGTYAS L100 160 167

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

1

RESISTENSI JOVI ADHIGUNA ATAS WACANA DISKURSUS MASYARAKAT MENGENAI GENDER (Analisis Isi Kualitatif Video Blog Jovi Adhiguna Hunter Pada

Channel Youtube) Abstrak

Jovi Adhiguna dikenal sebagai seorang androgini sehingga dia ditunjuk sebagai salah satu kreator dalam program youtube creators for change yang bertujuan untuk memberikan dampak positif dalam kehidupan masyarakat sebagai representasi kelompok minoritas. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui bagaimana resistensi Jovi sebagai kelompok minoritas dalam perubahan diskursus masyarakat mengenai gender. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi. Sumber data didapatkan melalui 3 video Jovi yang sudah dipilih sesuai kriteria dengan mendokumentasikan potongan-potongan video yang sesuai dengan penelitian ini mengenai resistensi yang dilakukan Jovi sebagai kelompok minoritas dalam perubahan diskursus masyarakat. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Jovi Adhiguna melakukan resistensi atas wacana dominan mengenai gender. Hasil penelitian ini menunjukkan resistensi yang dilakukan Jovi, yaitu dia menegaskan dirinya bukanlah seorang transgender ataupun genderless, bagaimanapun penampilannya dia tetaplah seorang laki-laki, dia menunjukkan dirinya sebagai seorang yang mempunyai kepercayaan diri dan konsisten terhadap pendapatnya, serta menunjukkan dirinya sebagai subjective well-being terhadap kebahagiaan dirinya sendiri.

Kata Kunci: analisis isi kualitatif, diskursus, Jovi Adhiguna, minoritas, resistensi, youtube Abstract

Jovi Adhiguna is known as an androgyny so he was appointed as one of the creators in the YouTube Creators for Change program which aims to have a positive impact on people's lives as a representation of a minority group. This study aims to find out how the resistance of Jovi as a minority group in changing community discourse on gender. The research method used in this study is qualitative content analysis with data collection techniques using documentation. Sources of data were obtained through 3 Jovi videos that had been selected according to the criteria by documenting video clips that were in accordance with this research regarding Jovi's resistance as a minority group in changing community discourse. The formulation of the problem in this study is how Jovi Adhiguna resistance to the dominant discourse regarding gender. The results of this study show that Jovi's resistance, which is that he insists that he is not a transgender or genderless person, however his appearance he is still a man, he shows himself to be confident and consistent with his opinions, and shows himself as subjective well-being towards his own happiness.

Keywords: qualitative content analysis, discourse, Jovi Adhiguna, minority, resistance, youtube

(6)

2 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam dikotomi gender masyarakat dipaksa meyakini bahwa laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminim. Hal ini menyebabkan jika ada yang bertolak belakang dengan keyakinan tersebut maka sudah tidak sesuai dengan budaya masyarakat yang ada. Sehingga diasumsikan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki identitas yang tetap. Butler (1990) mengatakan bahwa identitas adalah sebuah tindakan performativitas yang sifatnya tidak tetap. Haryanto (dalam penelitian yang berjudul konstruksi gender beauty vlogger laki-laki pada youtube, 2017) menyatakan bahwa gender atau identitas seksual baru muncul melalui tindakan performatif yang ditentukan oleh diskursus dalam masyarakat. Tindakan yang terus dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang menghasilkan pengertian tentang seks dan gender yang disepakati secara kultural sebagai penanda identitas perempuan atau laki-laki. Individu menampilkan identitas melalui tindakan performatif tersebut.

Diskursus masyarakat meyakini bahwa gender bersifat mutlak yang tidak dapat berubah-ubah. Hal ini membuat mereka yakin bahwa laki harus bersikap layaknya laki-laki begitu juga dengan perempuan yang juga harus bersikap seperti layaknya perempuan dalam pandangan mereka. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara Laki-Laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi (Fakih, 2006). Diskursus mayoritas meyakini hanya ada dua gender dalam kehidupan bermasyarakat yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan adanya fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang muncul baru-baru ini membuat mereka menganggap bahwa fenomena ini salah dan tidak sesuai dengan diskursus mayoritas. Sehingga saat mereka dihadapkan dengan adanya perubahan yang tidak sesuai dengan diskursus mayoritas, mereka akan menganggap perubahan tersebut adalah sesuatu yang salah. Haryanto (2017) mengatakan bahwa keseluruhan konstruksi identitas sangat bergantung pada tanda-tanda feminim dan maskulin yang dipercaya stabil oleh sebagian besar masyarakat. Sehingga media menunjukkan gender sebagai suatu identitas yang dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai identitas yang tetap yang dilihat dari penampilan diri mereka dalam melihat konstruksi identitas gender.

Menurut Fakih (2006) gender berarti suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Gender diyakini oleh masyarakat sebagai kodrat biologis bukan berdasarkan konstruksi sosial. Konstruksi gender mengalami pergeseran dan perubahan yang selalu berkaitan dengan sosial dan budaya yang ada di

(7)

3

masyarakat. Pergeseran dan perubahan konstruksi tersebut berjalan hingga saat ini yang memunculkan konsep pencampuran peran gender yang dapat berubah-ubah.

Youtube adalah salah satu fenomena baru di dunia media baru yang dapat menjadi sarana untuk mengekspresikan apa yang mereka inginkan. YouTube berkembang menjadi media baru yang populer dikarenakan kemampuannya dalam menjangkau dan memungkinkan individu secara personal dalam memproduksi teks audiovisual sebagai upaya pengekspresian diri (Burgess, 2009). Mereka dapat mengekspresikan diri mereka lewat video blog atau vlog seperti apa yang mereka inginkan yang mungkin saja dapat mempengaruhi khalayak yang melihat. Menurut Molyneaux, et all (2007) vlog merupakan bentuk publikasi online yang memungkinkan semua orang terhubung dengan akses web dan peralatan produksi video yang sederhana seperti komputer, webcam, atau telepon genggam.

Media sosial sekarang ini banyak digunakan untuk menyebarkan berbagai informasi secara cepat. Sehingga banyak orang yang menggunakannya untuk menyebarkan informasi baru yang mungkin dapat membuat perubahan. Salah satu media sosial yang sekarang ini sedang maraknya digunakan yaitu youtube. Youtube dianggap sebagai media sosial yang mudah untuk menyampaikan pesan secara cepat dan tepat kepada para pengikutnya. Sehingga media baru salah satunya youtube dapat memberikan akses kepada minoritas untuk di dengar. Mereka menganggap bahwa dengan menggunakan media baru, apa yang ingin mereka sampaikan dapat mudah didengar dan berharap dapat memberikan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Youtube mencetuskan program creators for change yaitu sebuah inisiatif global yang mendukung kreator yang peduli pada masalah sosial dan memupuk kesadaran, toleransi, dan dapat memberikan dampak positif pada dunia yang dikutip dari akun official youtube. Duta dan rekan creators for change diberikan bimbingan dan dukungan promosi untuk membantu membuat impact project yaitu melalui film yang membahas berbagai topik, penerimaan diri, dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain serta merayakan budaya dan memberikan advokasi untuk mendapatkan empati global.

Jovi Adhiguna adalah salah satu micro-celebrity yang telah mempunyai nama yang cukup besar di dunia beauty vlogger. Menurut Senfit (2008) salah satu konsep yang hadir pada konteks media baru adalah micro-celebrity, yang dipahami sebagai gaya baru online perfomance yang melibatkan tindakan peningkatan popularitas melalui teknologi web seperti video, blog, dan situs jejaring sosial. Kehadiran micro-celebrity bukanlah suatu yang baru di Indonesia. Sejak berkembangnya jumlah pengguna situs jejaring sosial, hadirnya micro-celebrity bukanlah yang tidak mungkin terjadi. Situs jejaring sosial, seperti Facebook,

(8)

4

Twitter, dan Youtube banyak digemari di Indonesia dan dapat memfasilitasi eksistensi

celebrated individual seperti itu.

Jovi Adhiguna juga dikenal sebagai seorang androgini yang diperlihatkan dalam videonya yang berjudul Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 yang ditayangkan pada tanggal 4 Desember 2015 pada menit 18:23 hingga 19:17. Androgini adalah sebuah istilah yang digunakan untuk memberitahukan pembagian peran gender, yaitu karakter maskulin dan karakter feminim dalam waktu yang bersamaan. Menurut Sandra (dalam Bem, 1975) mengatakan, secara psikologis, androgini merujuk pada individu yang memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan standar sex-type yang telah ditetapkan oleh sistem sosial dan kebudayaan masyarakat. Jadi androgini dapat didefinisikan sebagai seorang yang mempunyai karakter maskulin dan feminim pada waktu yang bersamaan, mereka juga mempunyai kualitas sebagai maskulin dan feminim dalam dirinya. Mereka yang bisa menyeimbangkan karakter maskulin dan feminim dalam dirinya, tidak hanya terpaku pada karakter maskulin atau feminim saja adalah individu yang mempunyai identitas gender yang sehat. Keberadaan androgini sendiri di Indonesia mulai diketahui oleh masyarakat seiring dengan munculnya berita yang memuat tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Selain Jovi, ada juga laki-laki androgini yang dikenal lainnya seperti Tex Saverio (perancang busana), Millendaru Prakasa (selebgram), dan Oscar Lawata (perancang busana). Dalam penelitian ini peneliti memilih Jovi sebagai seseorang yang terkenal sebagai seorang androgini karena dia salah satu yang pernah bekerja sama dengan youtube dalam program youtube creators for change yang berfokus pada masalah sosial dengan tujuan dapat memberikan dampak positif pada masyarakat.

Androgini dalam masyarakat masih merupakan kelompok minoritas yang belum dapat sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Sama halnya dengan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), androgini adalah fenomena yang tidak sesuai dengan wacana mayoritas. Wacana mayoritas hanya meyakini dua gender dalam kehidupan yang dapat diterima yaitu laki-laki dan perempuan. Sehingga ada sesuatu yang tidak sesuai dengan wacana mayoritas tersebut adalah sesuatu yang tabu, salah, dan menyalahi kodrat yang diberikan Tuhan. Goenawan (2007) mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin untuk tidak menghubungkan androgini dengan keberagaman homoseksualitas dan transgender atas fenomena yang terjadi. Funay (dalam penelitian yang berjudul representasi androgini jovi adhiguna di video blog youtube, 2018) mengatakan bahwa seorang androgini sering mengalami berbagai bentuk diskriminasi di lingkungan masyarakat karena menyimpang yakni berbeda atau melanggar norma peran gender ideal. Mayoritas hanya akan menerima

(9)

5

apa yang telah mereka yakini yang sudah dipercaya turun-temurun dari budaya mereka, sehingga mereka menganggap kaum minoritas bukanlah bagian dari mereka yang harus dijauhi. Sehingga dalam hal ini Jovi Adhiguna dapat menjadi representatif kelompok minoritas yang belum diterima oleh masyarakat agar masyarakat memiliki perubahan pandangan kepada mereka melalui video dalam akun youtubenya. Salah satunya yaitu Jovi pernah berpartisipasi dalam youtube creators for change yang berjudul 3 Minoritas – Youtube Creators For Change, dia menjadi salah satu kreator yang peduli pada masalah sosial tentang minoritas dimana dalam video tersebut dia menjadi representatif minoritas bersama 3 orang minoritas lainnya yang dalam video tersebut mereka mengungkapkan bagaimana dirinya saat berada dalam masyarakat, serta bagaimana masyarakat memberikan pendapatnya tentang masalah ketiga minoritas tersebut dan berharap dapat memberikan dampak yang positif pada kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dari program youtube creators for change.

Hall (1997) mengatakan bahwa representasi menghubungkan makna dan bahasa. Representasi adalah bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan antara anggota budaya. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan seterusnya. Secara singkat, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Christandi (2013: 15) mengatakan bahwa melalui bahasa (simbol-simbol, tanda tertulis, dan lisan atau gambar) itulah seseorang dapat mengungkapkan pikiran konsep dan ide. Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata “semestinya” ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan.

Jovi ingin kelompok mayoritas mendengar apa yang ingin disampaikan dan dirasakan oleh kaum minoritas saat mereka berada dalam masyarakat. Jovi ingin memberi tahu bahwa bagaimanapun penampilan mereka, mereka tetaplah manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang juga memiliki hak untuk hidup dan melakukan apapun sesuai apa yang mereka inginkan. Sehingga peneliti ingin mengetahui bagaimana Jovi Adhiguna melakukan resistensi atas wacana dominan mengenai gender.

1.2. Gender Dalam Media

Masyarakat modern biasanya dapat menghabiskan berjam-jam menonton televisi setiap minggu, melihat majalah maupun media cetak lainnya, menjelajah internet, memasang papan iklan, pergi ke bioskop dan umumnya mereka tidak dapat menghindari budaya populer dan

(10)

6

iklan. Media dapat menunjukkan situasi dan hubungan dari sudut pandang orang lain, hal ini adalah bagian dari bagaimana media dapat berperan dalam kehidupan seseorang. Media hampir tidak mungkin gagal untuk mempengaruhi cara berperilaku dan harapan seseorang terhadap orang lain.

Tayangan domestik atau drama romantis termasuk sinetron menunjukkan bagaimana tetangga, teman, dan juga kekasih berinteraksi. Majalah khusus wanita dan juga khusus pria berisi mengenai nasihat tentang cara hidup, berpenampilan, dan berinteraksi. Penampilan pahlawan pria dan perempuan dalam film selalu seragam dan tunggal. Pahlawan dalam film tersebut ditunjukkan sebagai seseorang yang memiliki kekuatan dan ketangguhan, sehingga dapat memberikan dampak terhadap penampilan dan preferensi seseorang. Gambaran maupun foto dari seseorang yang menarik tidak mungkin tidak dapat memberikan pengaruh dalam menilai penampilan sendiri ataupun orang lain.

Laki-laki dan perempuan pada umumnya memiliki hak yang sama dengan beberapa pengecualian dalam berbagai undang-undang. Gender sekarang ini umumnya dianggap sederajat, tetapi beberapa minoritas mempunyai pendapat bahwa feminisme telah melangkah terlalu jauh dan sekarang ini laki-laki kesepakatan yang terburuk di masyarakat.

Mayoritas adalah sekumpulan orang-orang yang mendominasi dalam suatu wilayah. Sehingga mereka mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam meresistensi wacana dominan. Mayoritas dianggap sebagai pihak yang aktif, sehingga mereka dianggap mempunyai kekuatan yang lebih daripada minoritas. Wacana dominan mayoritas mengenai gender dapat memunculkan suatu perubahan dalam kehidupan masyarakat. Diskursus mayoritas meyakini hanya ada dua gender dalam kehidupan bermasyarakat yaitu laki-laki dan perempuan. Mayoritas meyakini bahwa gender bersifat mutlak yang tidak dapat berubah-ubah. Salah satu cara mayoritas dalam melakukan wacananya mengenai gender adalah dengan melalui media. Melalui media, mayoritas dapat menjadi pihak yang aktif dalam melakukan wacana dominan mengenai gender yang dapat memunculkan resistensi dalam kehidupan masyarakat.

2. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian analisis isi kualitatif. Arikunto (2009) mengatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini berusaha menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan.

(11)

7

Objek penelitian ini adalah Jovi Adhiguna dengan menggunakan data berupa audio video yang diambil dari channel youtubenya. Unit analisis yang akan diteliti yaitu dialog, gambar visual, dan semua yang terlibat dalam video tersebut. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Peneliti memilih video Jovi ini karena objek adalah orang yang sesuai dengan kriteria yang akan diteliti. Kemudian, dipilih 3 video berdasarkan rumusan masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana Jovi Adhiguna melakukan resistensi atas wacana dominan mengenai gender dengan melihat video yang berjudul: Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 (4 Desember 2015), Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016), dan 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators for Change (12 November 2018). Ketiga video tersebut berdurasi 54 menit 43 detik dipilih karena memiliki kriteria yaitu, di dalam video menunjukkan bagaimana Jovi sebagai minoritas saat berada dalam masyarakat serta tanggapannya terhadap mayoritas, bagaimana tanggapan masyarakat terhadap minoritas, dan bagaimana sebuah video dapat memberikan perubahan yang positif kepada masyarakat.

Teknik analisis data menggunakan analisis isi kualitatif. Mayring (dalam Drisko & Maschi, 2016) mengatakan bahwa analisis isi kualitatif tidak hanya digunakan untuk menganalisis teks berupa konten yang tampak tetapi juga pesan yang tersembunyi yang digunakan untuk menganalisis tema maupun gagasan inti yang ditemukan dalam teks sebagai konten utama. Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan kerangka pemikiran teori-teori queer, yang akan diterapkan dalam hasil dan pembahasan.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan dokumentasi dan observasi. Sumber data didapatkan melalui 3 video Jovi Adhiguna yang sudah dipilih sesuai kriteria dengan mendokumentasikan potongan-potongan video yang sesuai dengan penelitian ini mengenai representasi Jovi Adhiguna sebagai kelompok minoritas dalam perubahan diskursus masyarakat.

3.HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 HASIL

3.1.1 Penegasan Identitas Gender

Genderless adalah suatu keadaan di mana tidak memiliki identitas gender, terlepas dari jenis kelamin fisik yang dimiliki. Genderless tidak sama dengan androgini tetapi keduanya tampak seperti androgini. Hana (dalam penelitian yang berjudul meneropong gender melalui kacamata genderless: sebuah pembacaan butlerian terhadap ancillary justice karya ann

(12)

8

leckie, 2016) mengatakan bahwa genderless tetap merupakan identitas gender, hanya saja gender ini tidak dikategorikan. Mereka mempunyai kebebasan untuk menentukan seperti apa yang mereka pilih. Menjadi genderless merupakan sebuah pilihan. Genderless berbeda dengan gender neutral. Fitriani (dalam penelitian yang berjudul gender in international conflict: women representation in security discourse, 2012) mengatakan bahwa gender neutral adalah sebuah kondisi di mana seseorang tidak memihak pada jenis kelamin tertentu. Mereka tidak mengikat dirinya pada aturan maupun tradisi yang mengharuskan laki-laki harus maskulin sedangkan perempuan harus feminim. Mereka berani mendobrak pemikiran tersebut dan menganggap hal tersebut adalah sebuah aturan lama yang seharusnya dirubah seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir manusia yang lebih milenial. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari video Jovi Adhiguna yang berjudul Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 (4 Desember 2015) dengan pengambilan gambar mdium shot, yakni ia mengatakan bahwasanya :

“Nobody was born genderless, semua orang itu gak mungkin terlahir tanpa gender tapi mereka banyak sekarang yang memilih, karena mereka merasa misalnya aku terlahir sebagai cowok tapi aku merasa diri aku perempuan dan mereka memilih melakukan operasi, menurut aku sih itu kalau kita ngomongin agama menurut agama itu salah tapi pandangan aku pribadi, itu hak mereka itu pilihan hidup mereka.”

Gambar 1: Penampilan Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 (4 Desember 2015) pada menit 18:19 hingga 19:17

Dalam video tersebut Jovi mengatakan bahwa setiap orang tidak mungkin terlahir tanpa gender. Tetapi setiap orang mempunyai pilihan mereka untuk memilih apa yang mereka inginkan, mau menjadi laki-laki atau perempuan atau bahkan menjadi keduanya. Terlihat dalam video tersebut bahwa dia mempunyai pilihan dalam hidupnya, seperti memilih untuk mengekspresikan gendernya dengan berbeda yaitu dalam videonya ditunjukkan dia menggunakan make up yang terlihat dari lipstik, eyeliner, dan eyebrow, dia juga menggunakan aksesoris seperti anting-anting, tindik, cincin, jam tangan dan gelang, selain itu rambutnya yang panjang diikat dengan rapi ke belakang dan poninya yang dibiarkan terurai di depan dengan membawa ponselnya untuk membacakan pertanyaan. Selain itu dalam vlog tersebut terlihat pada tangan dan dada Jovi ada sebuah tatto yang dapat menunjukkan sisi maskulinitasnya sebagai seorang pria. Dia juga mengatakan walaupun menurut agama itu adalah salah tetapi setiap orang memiliki hak dan pilihan terhadap hidup mereka. Jovi

(13)

9

menegaskan bahwa dirinya bukanlah seorang genderless, dia tetaplah laki-laki hanya saja berpenampilan seperti perempuan. Dalam pernyataannya tersebut menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang genderless maupun gender neutral.

Selain itu pernyataan tersebut dikuatkan lagi oleh pernyataan Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“No, bukan terlihat kekinian. This is me. You da mess, bitch. This is me, me. Tanpa dibuat-buat, yang apa adanya gak kayak lo yang ngumpet di belakang handphone.”

Gambar 2: Penampilan Jovi dalam video yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016) pada menit 04:14 hingga 04:41

Dalam video tersebut terlihat Jovi menggunakan baju panjang bermotif berwarna hitam dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai, dan dia juga menggunakan make up seperti lipstik, eyebrow, dan eyeliner, saat menjawab pertanyaan tersebut raut muka Jovi terlihat sebal. Selain itu ekspresi Jovi saat sebal diperlihatkan dengan pengambilan gambar dari medium shot kemudian di zoom in menunjukkan bibirnya saat mengatakan bitch juga ekspresinya yang terlihat malas dan sebal dengan tangannya memegang ponsel untuk membacakan pertanyaan. Dari kedua pernyataan Jovi tersebut menjelaskan bahwa ia mempunyai pilihan terutama mengenai gender pada dirinya. Jovi mengatakan bahwa dirinya memilih untuk menjadi dirinya yang seperti ini yang berbeda dari orang lain bukanlah untuk mengikuti tren yang ada tetapi karena itu adalah bagian dari dirinya yang nyata dan tidak dibuat-buat.

3.1.2 Pengalaman Sebagai Minoritas

Menjadi seorang minoritas adalah yang terberat yang dialami Jovi yang harus dapat ia tahan. Dia kadang merasa berbeda, tidak seperti orang kebanyakan dan juga selalu merasa bahwa dia dipandang sebelah mata karena cara berpakaiannya. Jovi merasa bahwa dia tidak bisa sukses dalam melakukan segala sesuatu. Pernyataan Jovi didukung dengan perkataan dia dalam videonya yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“Being minority is one of the hardest things that i have to go to growing up. Aku selalu tahu aku berpakaiannya berbeda, the way i act is different, selalu merasa dipandang sebelah mata just because of my appearance. Pokoknya aku merasa tidak

(14)

10

bisa sukses dalam melakukan sesuatu.” (“Menjadi seorang minoritas adalah salah satu hal tersulit yang harus dijalani untuk tumbuh dewasa. Aku selalu tahu aku berpakaiannya berbeda, cara saya bertindak berbeda, selalu merasa dipandang sebelah mata hanya karena penampilanku. Pokoknya merasa tidak bisa sukses dalam melakukan sesuatu.”)

Gambar 3: Penampilan Jovi dalam videonya yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018)

Dari pernyataan Jovi tersebut dalam videonya dengan pengambilan gambar medium shot mengatakan perasaannya bahwa menjadi minoritas dalam masyarakat adalah hal yang tersulit yang harus dihadapi ditunjukkan dengan ekspresi Jovi seperti terlihat kecewa. Tetapi saat dia mengatakan bahwa cara berpakaian maupun penampilan yang berbeda dari orang lain, dia mengatakan hal tersebut dengan tersenyum. Dalam video tersebut ditunjukkan bahwa dia menggunakan baju berwarna merah yang memiliki motif tali yang dikat dilehernya seperti model baju perempuan, dia membiarkan rambut panjanganya terurai di belakang, dan juga menggunakan make up dari eyebrow, eyeshadow, eyeliner, serta lipstik. Jovi juga merasa bahwa apapun yang dia lakukan tidak bisa sukses, dia mengatakan hal tersebut disertai raut wajah yang terlihat sedikit tersenyum dengan kecewa. Tanpa disadari mereka memiliki ketakutan tersendiri atas penilaian orang lain karena pasti akan dikucilkan oleh mayoritas.

Kebahagiaan adalah saat diri sendiri bisa menerima diri sendiri apa adanya, menerima semua kekurangan diri sendiri, dapat berdamai dengan diri sendiri dengan begitu seseorangakan bahagia dengan sendirinya. Kunci kebahagiaan adalah dengan mencintai diri sendiri setalah itu seseorang dapat mencintai orang lain. Kebahagiaan adalah saat diri sendiri yang membuat dan sudah ada dalam diri seseorang. Seperti pernyataan dari Dena Rachman dalam video Jovi Adhiguna yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“Happiness is already with in yourself, happiness itu adalah ketika kita udah berdamai dengan diri kita sendiri, we make peace with our self first, kita tahu siapa diri kita, kita accept all our flaws, kita terima segala kekurangan kita dan kita make peace with that dengan begitu kita akan bahagia dengan sendirinya. Kuncinya adalah self love, you have to love yourself first baru kita bisa love others.” (“Kebahagiaan sudah ada dalam dirimu, kebahagiaan itu adalah ketika kita udah berdamai dengan diri kita sendiri, kita berdamai dengan diri sendiri dulu, kita tahu siapa diri kita, kita

(15)

11

menerima segala kekurangan kita, dan berdamai dengan hal tersebut dengan begitu kita akan bahagia dengan sendirinya. Kuncinya adalah mencintai diri sendiri, kamu harus mencintai diri sendiri terlebih dulu baru kita bisa mencintai orang lain.”)

Gambar 4: Penampilan Dena dalam video Jovi Adhiguna yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018) saat dia melakukan hal

disukainya.

Dalam pernyataan Dena tersebut bahwa dia mengatakan bahwa dengan mencintainya dirinya sendiri, dia menjadi subjek dalam dalam dirinya sendiri. Dia merepresentasikan dirinya sendiri sebagai minoritas. Dia mengatakan perasaannya selama ini bagaimana sebagai minoritas, apa saja yang dia lalui sebagai minoritas di tempat di mana mayoritas lebih dominan. Dena menunjukkan bahwa sebagai minoritas memang tidak mudah, dia dikucilkan, dibully karena berbeda dari yang lain. Tetapi dia tetap bertahan dengan cara mencintai dirinya sendiri, dapat menerima kekurangannya, dan berdamai dengan dirinya yang mungkin dilihat oleh orang lain berbeda. Terlihat dalam videonya tersebut saat dia mengatakan tentang mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain, ditunjukkan dengan pengambilan gambar medium shot dan juga menampilkan cuplikan video saat dia terlihat bahagia dengan dirinya saat melakukan pekerjaannya.

Sebagai manusia seharusnya tidak boleh menjelekkan orang lain hanya dari penampilan luarnya saja. Sebagai manusia harus dapat saling menghargai perbedaan yang ada, jangan sampai apa yang orang lain katakan membuat seseorang tidak bisa bebas melakukan apapun seperti yang mereka inginkan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“For me people itu intruded for their opinion doesn’t mean a bad person we don’t know they rise gitu kasarnya. Dan aku tau banget people itu punya tendensi untuk takut akan hal baru akan hal aneh akan hal yang berbeda tapi alangkah baiknya kalau kalian tidak suka atau kalian menurut kalian orang itu aneh just keep your opinion to yourself. Being a content creator, open my mind sampe ke hal-hal yang dulu gak pernah aku pikirin, aku bisa banyak kenal orang dari berbagai penjuru dengan ras yang berbeda, sifat yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, pokoknya semua berbeda-beda dan itu mengajarkan aku untuk lebih menghargai perbedaan dan toleransi gitu loh kasarnya. And i think tolerans is the most beautiful things in the world, world become a better place a beautiful one. (“Menurutku seseorang memaksakan pendapat mereka bukan berarti mereka orang yang jahat, kita tidak tahu

(16)

12

bagaimana mereka bangkit gitu kasarnya. Dan aku tau banget seseorang itu punya tendensi untuk takut akan hal baru akan hal aneh akan hal yang berbeda tapi alangkah baiknya kalau kalian tidak suka atau kalian menurut kalian orang itu aneh, simpan saja pendapatmu sendiri.Menjadi seorang content creator, membuka pikiranku sampe ke hal-hal yang dulu gak pernah aku pikirin, aku bisa banyak kenal orang dari berbagai penjuru dengan ras yang berbeda, sifat yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, pokoknya semua berbeda-beda dan itu mengajarkan aku untuk lebih menghargai perbedaan dan toleransi gitu loh kasarnya. Dan saya pikir toleransi adalah hal yang terindah di dunia, dunia menjadi tempat yang lebih baik dan indah.”)

Gambar 5: Tampilan Jovi dalam video yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018).

Dalam video tersebut saat Jovi mengatakan bahwa orang-orang mempunyai pandangan sendiri atas opininya pengambilan gambarnya ditunjukkan dengan big close up kemudian medium shot, kemudian big close up lagi dan medium shot. Setelah itu saat dia mengatakan orang-orang mempunyai ketakutan pada hal yang berbeda, pengambilan gambarnya menunjukkan tangan Jovi yang berada di atas pahanya kemudian dilanjutkan dengan pengambilan gambar medium shot yang diarahkan kepada wajahnya. Kemudian pengambilan gambarnya dilakukan dengan medium shot lalu ke big close up dengan berulang-ulang.

“I learn there’s no key to judge people based their appearance. Aku juga belajar bener-bener untuk lebih menghargai perbedaan. And see one us, we know orang yang selalu dianggap aneh, orang yang selalu dianggap sebelah mata, dikucilkan, dibully, everything is going to be okay. Don’t let what people say or think define who you are and for me you’re beautiful in your on way and your should impress your diferrent face.” (“Aku belajar bahwa tidak ada hubungannya untuk menilai seseorang dari penampilan mereka. Aku juga belajar bener-bener untuk lebih menghargai perbedaan. Dan lihat salah satu dari kami, kita tahu orang yang selalu dianggap aneh, orang yang selalu dianggap sebelah mata, dikucilkan, dibully, semuanya akan baik-baik saja. Jangan biarkan apa yang orang lain katakan atau pikirkan menentukan siapa kamu dan menurutku kamu cantik dengan caramu sendiri dan kamu harus mengesankan parasmu yang berbeda.”)

Gambar 6: Penampilan Jovi dalam video yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018).

(17)

13

Dalam mengatakan pernyataan tersebut pengambilan gambarnya dari big close up kemudian medium shot yang dilakukan berulang-ulang. Saat Jovi mengatakan bahwa minoritas sepertinya selalu dikatakan aneh, dipandang sebelah mata, dikucilkan , dibully pengambilan gambarnya big close up menunjukkan gerakan tangannya yang diletakkan di atas paha. Setelah itu pengambilan gambarnya kembali dengan medium shot yang ditunjukkan ke arah wajahnya. Jovi mengatakan and for me you’re beautiful in your on way

and your should impress your diferrent face, pergerakan kameranya diperlihatkan dengan tilting dari atas ke bawah untuk menjukkan bahwa seseorang itu cantik dengan dirinya sendiri seperti memiliki keunikan yang berbeda dari yang lain dan juga harus dapat menunjukkan perbedaan dirinya kepada yang lain.

“Just have to keep being yourself there’s nothing wrong with you, kalian jangan takut untuk menjadi diri kamu, you should impress you’re different face, impress perbedaan kamu itu because that’s what i do dari dulu, ngomong ke diri sendiri bahwa it is okay to be different bahwa tidak ada salahnya menjadi diri kamu like i say just keep being yourself, everything is going to be better at first saat aku lagi growing up juga aku ngerasa my whole world is crumbling semua tuh kayak mau hancur, aku bener-bener gak bisa ngelakuin apa-apa but here i am now doing something with my life, bener-bener aku fokus sama semua yang sudah aku lakuin semua yang sudah aku capai sampai saat ini dan itu sih just have to keep being you, don’t ever give up. (“Tetap menjadi diri sendiri, tidak ada yang salah dengan dirimu, kalian jangan takut untuk menjadi diri kamu, kamu harus mengesankan parasmu yang berbeda, mengesankan perbedaan kamu itu karena itulah yang aku lakukan dari dulu, ngomong ke diri sendiri bahwa tidak apa-apa menjadi berbeda bahwa tidak ada salahnya menjadi diri kamu, seperti yang aku bilang tetaplah menjadi diri sendiri, semuanya akan berjalan lebih baik awalnya saat aku lagi tumbuh dewasa juga aku ngerasa seluruh duniaku hancur semua tuh kayak mau hancur, aku bener-bener gak bisa ngelakuin apa-apa, tetapi disini saya melakukan sesuatu dengan hidup saya, bener-bener aku fokus sama semua yang sudah aku lakuin semua yang sudah aku capai sampai saat ini dan itu sih hanya tetap menjadi dirimu, jangan pernah menyerah.”)

Gambar 7: Pengambilan gambar dari samping yang menunjukkan sisi lainnya sesuai dengan kata-kata yang diucapkannya bahwa tidak apa-apa menjadi berbeda.

Dalam videonya tersebut pengambilan gambar awalnya dilakukan dengan medium shot. Ketika dia mengatakan you should impress you’re different face, impress perbedaan

kamu itu because that’s what i do dari dulu, pengambilan gambarnya ditunjukkan dengan big close up yang memperlihatkan wajahnya dari depan dan juga dari samping dengan wajahnya yang menggunakan make up seperti eyebrow, eyeliner, lipstik, serta eyeshadow. Dalam video

(18)

14

tersebut diperlihatkan rambutnya yang panjang terurai dibiarkan di belakang serta menggunakan baju panjang berwarna merah yang terdapat motif tali yang diikat dilehernya seperti model baju perempuan.

Dalam pernyataan Jovi tersebut, dia ingin mengajarkan mereka sebagai manusia yang dapat menghargai perbedaan. Mengajarkan seseorang untuk tidak menjelekkan orang lain hanya dari penampilan luarnya saja. Jovi juga memberitahukan kepada mereka yang menonton videonya agar jangan sampai perkataan orang lain, menjadikan dirimu tidak bebas dalam melakukan apapun. Mayoritas harus dapat belajar menjadi orang yang mempunyai pikiran yang terbuka, bahwa masih banyak hal-hal yang berbeda dapat dijadikan sebuah pelajaran dalam hidup, dapat mengajarkan menghargai perbedaan dan toleransi. Jovi mengatakan bahwa toleransi adalah hal yang sangat indah di dunia dan dengan adanya toleransi, dunia akan menjadi tempat yang sangat nyaman dan indah untuk di tempati.

Seseorang harus percaya diri, tetap menjadi diri sendiri bahwa tidak ada salahnya menjadi berbeda. Tidak ada salahnya untuk menjadi diri sendiri walaupun adalah sesuatu yang berbeda. Seseorang harus berani untuk menunjukkan perbedaan dirinya, tidak ada salahnya untuk menunjukkan perbedaan tersebut dan untuk tidak pernah putus asa dalam melakukan sesuatu. Sehingga dapat fokus pada apa yang ingin dicapai hingga mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan.

Pandangan masyarakat terhadap adanya perbedaan terutama tentang gender masih menjadi hal tabu untuk dibicarakan. Masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki tidak seharusnya berpenampilan selayaknya perempuan begitupun perempuan tidak seharusnya berpenampilan seperti laki-laki. Dalam video yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), ada beberapa masyarakat yang di wawancarai pandangan mereka mengenai ekspresi gender yang berbeda dari identitas gendernya. Ada pro kontra dalam pendapat yang mereka sampaikan, yaitu:

“Dia dikasih A tapi dia malah pengen jadi B” “Kurang enaklah di pandang mata”

“Tidak mensyukuri gitu lho” “Banci”

“Jijik”

“Sebenernya dalam hati lo ngerasa lo perempuan atau lo ngerasa lo cowok, ya gapapa ekspresikanlah diri lo sendiri karena di dunia ini hidup terlalu pendek untuk ngebiarin orang ngejudge lo.”

(19)

15

“Kalau mereka misalnya mau jadi kayak gitu terus kalau dia gak merugikan orang lain kenapa harus dipermasalahkan.”

“Berbeda gak salah, berbeda kan saling melengkapi.”

Dalam beberapa pernyataan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak menerima perbedaan mengenai gender. Masyarakat masih menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan diskursus masyarakat yang selama ini mereka yakini. Tetapi dalam pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa masih ada masyarakat yang menganggap perbedaan mengenai gender bukanlah sesuatu yang salah dan menganggap bahwa perbedaan dapat saling melengkapi.

Seperti halnya dengan tarian lengger lanang, tarian tradisional yang seharusnya tetap dilestarikan itu dianggap tidak sesuai dengan wacana masyarakat yang ada. Penari lengger lanang adalah laki-laki yang harus berdandan layaknya perempuan dengan memakai konde, menggunakan make up seperti perempuan, memakai pakaian tari layaknya perempuan. Masyarakat belum tahu bahwa dibalik tarian tersebut terdapat cerita yang menarik, yang menjadi bagian dari sejarah tarian di Indonesia yang harus dilestarikan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Tora Dinata dalam video yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“Masih banyak masyarakat yang khususnya di Indonesia yang masih banyak yang belum menerima eksistensi lengger lanang karena kan memang pandangan masyarakat berpikiran bahwa kok laki-laki bisa dandan kayak perempuan dimana dia harus memakai konde, harus make up layaknya perempuan terus dia juga berbusana perempuan itu kan sesuatu yang gak lazim dilihat gitu dan karena mereka belum tahu sejarah sebenarnya lengger lanang itu seperti apa kayak gitu.”

Gambar 8: Persiapan para penari Lengger Lanang dengan menggunakan riasan untuk pertunjukkan.

Dengan adanya pernyataan tersebut, bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia masih belum menerima adanya perbedaan. Perbedaan tersebut diperlihatkan dalam video dengan pengambilan gambarnya medium shot saat Tora berbicara kemudian scene selanjutnya menunjukkan saat dia akan menarikan lengger lanang, mulai dia berdandan dengan make up,

(20)

16

menggunakan konde, hingga memakai pakaian serta akseseoris yang menunjang pertunjukkan tersebut. Menjadi seorang minoritas adalah sesuatu yang tersulit yang harus mereka lewati. Mereka selalu dipandang sebelah mata, apapun yang mereka lakukan selalu salah di mata masyarakat umum, hingga mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat sukses dalam suatu hal yang mereka lakukan. Sebagai manusia seharusnya seseorang dapat menghargai perbedaan yang ada, karena dengan adanya perbedaan, mereka dapat belajar toleransi kepada sesama sehingga dapat membuat dunia yang mereka tempati dapat menjadi tempat yang nyaman. Selain itu dari pernyataan tersebut, mereka memberitahukan kepada minoritas yang memiliki perasaan yang sama dengan mereka agar dapat mencintai dirinya sendiri dan harus dapat menunjukkan perbedaan tersebut.

3.1.3 Kritik Atas Pilihan Jovi Adhiguna

Fenomena LGBT dan androgini adalah suatu fenomena yang dipandang oleh mayoritas masyarakat sebagai hal yang tidak lazim. Mayoritas menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan kodrat yang diberikan Tuhan. Mereka menganggap bahwa hal tesebut adalah dosa, sehingga orang-orang yang termasuk dalam fenomena tersebut harus dijauhi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari video Jovi Adhiguna yang berjudul Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 (4 Desember 2015), yakni ia mengatakan bahwasanya:

“...menurut aku sih itu kalau kita ngomongin agama menurut agama itu salah tapi pandangan aku pribadi, itu hak mereka itu pilihan hidup mereka. Kalau kita ngomongin dosa, dosapun yang tanggung diri mereka sendiri. Jadi jangan pusing, selama mereka tidak mengganggu kamu ya udah just let it be or kalau memang itu ya support them dan kalian orang-orang di luar sana yang pemikirannya tidak seluas itu tidak punya hak untuk menjudge orang lain atas keputusan yang mereka lakukan, gitu.”

Gambar 9: Menunjukkan penekanan Jovi tentang pandangan pribadinya terhadap pertanyaan tersebut.

Dalam pernyataan Jovi tersebut, dia mengatakan bahwa dalam agama hal tersebut adalah sebuah dosa. Dalam video tersebut saat dia mengatakan menurut pandangannya, bahwa itu adalah hak mereka, itu pilihan hidup mereka dengan menggerakan tangannya ke dada seperti menegaskan bahwa itulah opini dia terhadap pertanyaan tersebut. Video tersebut menunjukkan Jovi menggunakan make up yang terlihat dari lipstik, eyeliner, dan eyebrow,

(21)

17

dia juga menggunakan aksesoris seperti anting-anting, tindik, jam tangan dan gelang, selain itu rambutnya yang panjang diikat dengan rapi ke belakang dan poninya yang dibiarkan terurai di depan. Penampilan Jovi yang seperti itu menegaskan bahwa inilah keputusannya dan mereka tidak mempunyai hak untuk menghakimi pilihannya. Kalaupun dosa, dosapun yang menanggung diri mereka sendiri. Jadi, selama mereka tidak menganggu, lebih baik

support mereka dan seseorang tidak mempunyai hak untuk menjudge atas keputusan yang mereka lakukan. Menurut kepercayaan yang dianut Jovi, dia mengatakan walaupun dalam agama itu adalah sesuatu yang salah tetapi bagaimanapun itu pilihan hidupnya. kalaupun dosa, dosapun yang menanggung dirinya sendiri. Walaupun dalam kepercayaan Jovi tidak menyebutkan secara spesifik mengenai laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan maupun sebaliknya adalah sesuatu yang dosa, tetapi Jovi mengatakan bahwa dia mengerti bahwa hal tersebut salah menurut pandangan agama. Selain itu background Jovi terdapat hiasan bintang, lambang bintang mempunyai makna dimaksudkan sebagai sebuah cahaya seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Dalam hal ini walaupun Jovi memiliki penampilan yang berbeda dari orang lain dan menurut masyarakat dia tidak sesuai dengan ajaran agama tetapi lambang tersebut dapat menunjukkan bahwa Jovi adalah seseorang yang percaya adanya Tuhan sebagai cahaya bagi kerohanian bagi dirinya.

Banyak orang yang masih menjelekkan orang lain tanpa melihat dirinya sendiri terlebih dahulu. Masih banyak yang memberitahu kepada orang lain dengan kata-kata yang tidak mengenakkan. Terkadang mereka melakukan pelecehan terhadap orang lain yang dijelekkannya. Hal tersebut didukung dengan pernyataan dari Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016), yakni ia menyatakan bahwasanya :

“Gak usah ngomongin kiamat, gak usah ngomongin dosa, kalau lo aja masih mikirinnya paha, aw kan?”

Gambar 10: Jovi saat menjawab pertanyaan dengan tertawa dengan pertanyaan tersebut. Dalam kedua pernyataan Jovi tersebut masih banyak masyarakat yang selalu

menghubungkan fenomena tersebut dengan agama. Masyarakat menganggap apa yang dilakukan Jovi tidak sesuai dengan ajaran agama. Jovi mengatakan bahwa dia tahu hal

(22)

18

tersebut adalah dosa di dalam agama, tetapi dosapun yang akan menanggung diri sendiri jadi selama hal tersebut tidak menggangu orang lain biarkanlah mereka melakukan hal tersebut. Jovi juga mengatakan bahwa tidak perlu bicara tentang dosa kalau kamupun juga masih berdosa, diperlihatkan dalam videonya dengan pengambilan gambar medium shot dengan raut wajahnya yang sebal juga raut wajah yang seperti mengejek dengan tersenyum saat dia menjawab pertanyaan tentang kiamat tetapi hatersnya mengatakan tentang pahanya. Sehingga masyarakat menganggap bahwa hal yang dilakukan Jovi maupun minoritas lainnya sebagai tanda-tanda kiamat, sebagai sebuah dosa yang besar, dan hal tersebut membuat masyarakat tanpa sadar mengucilkan mereka karena perbedaan tersebut.

3.1.4 Ekspresi Gender

Identitas gender adalah suatu keadaan dimana seseorang tahu, merujuk pada pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan terhadap gendernya yaitu laki-laki maupun perempuan. Disisi lain, ada juga seseorang yang merasa bahwa identitas gendernya tidak sesuai dengan seks biologisnya. Hal ini yang kemudian dikenal dengan adanya transeksual atau kategori transgender lainnya. Secara singkat, seseorang dapat merasakan atau melihat dirinya sebagai seorang laki-laki, perempuan, maupun transgender. Hal ini didukung dengan pernyataan Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul Genderless? – Snapchat Q&A Part 2 (4 Desember 2015), yakni ia mengatakan bahwasanya :

“...Oh ya “are you one of them?” No, i’m a guy, i’m dressing like a girl, doesn’t mean i’m genderless.” (“... Oh ya “apakah kamu salah satu dari mereka?” Enggak, aku seorang laki-laki, aku berpakaian seperti perempuan, bukan berarti tidak mempunyai gender.”)

Gambar 11: Jovi saat dia mengatakan dia seorang laki-laki hanya saja berpenampilan seperti perempuan.

Dalam pernyataan Jovi tersebut, dia dengan jelas mengatakan bahwa identitas gendernya adalah laki-laki. Dia hanya berpakaian seperti layaknya perempuan tanpa mengubah identitas gendernya. Ekspresi gender yang diperlihatkan Jovi adalah dengan penampilan layaknya seorang perempuan yang mempunyai rambut panjang, memakai make up dan juga menggunakan aksesoris maupun pakaian sep erti perempuan. Dalam hal ini ekspresi gender Jovi diperlihatkan pada videonya tersebut, dalam video tersebut terlihat Jovi

(23)

19

menggunakan pakaian jaket kulit yang memperlihatkan dadanya, menggunakan make up seperti lipstik, eyeliner, dan eyebrow yang terlihat dalam videonya, dia juga terlihat menggunakan aksesoris seperti anting-anting, gelang juga jam tangan, selain itu rambut panjangnya diikat ke belakang dengan poninya dibiarkan terurai di depan.

Selain itu dalam video yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016), ia mengatakan bahwasanya :

“Do, i look like a ladyboy to you?” (“Apakah aku terlihat seperti waria bagimu?”)

“Emang gue perempuan? Do i look like a girl to you, Rayhan?” (“Emang gue perempuan? Apakah aku terlihat seperti perempuan bagimu, Rayhan?”)

Gambar 12: Ekspresi Jovi saat dikatakan sebagai ladyboy maupun perempuan.

Dalam kedua pernyataannya tersebut dengan tegas Jovi mengatakan bahwa ia bukanlah perempuan ataupun ladyboy. Dia tetaplah seorang pria tetapi hanya berpenampilan seperti layaknya perempuan. Dia mengetahui bahwa identitas gendernya adalah seorang laki-laki dan dia tidak merubah identitas gendernya tersebut. Terlihat dalam beberapa pernyataan Jovi bahwa ia menegaskan identitas dirinya adalah seorang laki-laki hanya saja cara dia dalam mengekspresikan gendernya adalah seperti seorang perempuan. Dia juga tidak suka jika ada orang lain yang menyebutnya perempuan, ladyboy, atau banci yang terlihat dari ekspresinya saat menjawab pertanyaan tersebut. Dia terlihat marah sambil membuka bajunya menunjukkan tubuhnya bahwa dia laki-laki yang diperlihatkan dalam vlog yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12 Januari 2016), saat dia menjawab pertanyaan tentang dia yang dikatakan ladyboy atau perempuan. Semua video yang Jovi memiliki kualitas pengambilan gambar yang cukup bagus dan dilakukan secara profesional, selain itu pengambilan videonya stabil sehingga nyaman untuk dilihat. Ekspresi gender yang ditunjukkan oleh Jovi berbeda dari identitas gender yang dimilikinya. Sartika, Novianti, & Subekti (2019) mengatakan bahwa ekspresi gender adalah sebuah kondisi dimana individu mengekspresikan dirinya sebagai seorang manusia dengan atribut gender. Atribut gender yang dimaksudkan adalah ciri khas yang melekat pada gender tertentu seperti pakaian, ekspresi, gesture, kesukaan, dan lainnya. Misalnya, warna merah muda melekat pada perempuan, gestur tubuh yang kuat melekat pada ciri khas laki-laki, dan lainnya.

(24)

20 3.2 PEMBAHASAN

Moscovici (1980) memperkenalkan teori pengaruh minoritas (minority influence theory)

sebagai reaksi atas ketidakpuasannya terhadap teori-teori psikologi sosial Amerika yang selalu menekankan pada psikologi mayoritas. Moscovici memberikan kritik terhadap teori yang terlalu menekankan minoritas sebagai pihak pasif yang seakan-akan tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Sedangkan, minoritas dapat menjadi pihak yang aktif untuk mengubah opini banyak orang. Gagasan pengaruh minoritas yang diperkenalkan Moscovici dapat menjadi sebuah pendekatan untuk menganalisis fenomena adanya pengaruh minoritas yang dapat membawa perubahan besar di suatu tempat. Misalnya, seorang influencer dari kelompok minoritas dalam dominasi masyarakat mayoritas. Seperti, Jovi Adhiguna sebagai seorang minoritas yang dapat memberikan perubahan pada diskursus masyarakat mengenai gender melalui akun youtubenya. Hal tersebut terbukti dengan dia ditunjuk sebagai salah satu

influencer yang mempresentasikan minoritas dalam program youtube creators for change.

Dalam kasus terpilihnya Jovi Adhiguna sebagai salah satu minoritas yang ikut berpartisipasi dalam program youtube creators for change dapat dilihat bagaimana seorang kelompok minoritas dapat menjadi influencer dalam perubahan pandangan masyarakat mengenai gender. Bagaimana Jovi Adhiguna melakukan resistensi dalam perubahan diskursus masyarakat mengenai gender. Melalui teori pengaruh minoritas akan dapat mengetahui jawaban pertanyaan tersebut. Melihat pada pendekatan teori pengaruh minoritas

(minority influence theory) sebagaimana dijabarkan di atas, maka peneliti meyakini bahwa pendekatan tersebut mempunyai korelasi dengan fenomena terpilihnya Jovi sebagai representasi kelompok minoritas dalam perubahan pandangan masyarakat mengenai gender. Sehingga, peneliti akan menganalisis bagaimana Jovi Adhiguna melakukan resistensi dalam perubahan diskursus masyarakat atas wacana masyarakat mengenai gender.

Adapun asumsi yang dapat dikemukakan peneliti bahwa Jovi dalam beberapa pernyataan selalu konsisten memberikan tanggapannya, dia mengatakan bahwa setiap manusia memiliki hak dan pilihan hidup mereka, meskipun dilihat dari sudut pandang agama hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama. Jovi dengan tegas mengatakan bahwa dia bukanlah seorang genderless, dia seorang laki-laki hanya saja berpenampilan seperti perempuan. Jovi dengan tegas mengatakan bahwa dia bukanlah ladyboy hanya karena penampilannya saja. Dalam pernyataan Jovi tersebut menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang genderless maupun gender neutral. Ekspresi gender yang ditunjukkan oleh Jovi berbeda dari identitas gender yang dimilikinya. Ekspresi gender adalah sebuah kondisi

(25)

21

dimana individu mengekspresikan dirinya sebagai seorang manusia dengan atribut gender. Atribut gender yang dimaksudkan adalah ciri khas yang melekat pada gender tertentu seperti pakaian, ekspresi, gesture, kesukaan, dan lainnya. Misalnya, warna merah muda melekat pada perempuan, gestur tubuh yang kuat melekat pada ciri khas laki-laki, dan lainnya.

Pernyataan Jovi yang mengatakan bahwa dia bukanlah seorang ladyboy hanya karena penampilannya yang berbeda dari identitas gender yang dimilikinya menunjukkan bahwa identitas laki-laki tidak harus maskulin, hal ini didukung oleh pernyataan Butler (1990) yang mengatakan bahwa identitas adalah sebuah tindakan performativitas yang sifatnya tidak tetap, yang selalu berubah-ubah. Merujuk pada teori queer yang menyatakan sebuah pandangan bahwa tidak ada orientasi seksual yang sifatnya natural, sehingga tidak ada pula orientasi seksual yang menyimpang. Sehingga pilihan Jovi untuk menampilkan dirinya berbeda dari identitas gender yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang menyimpang jika merujuk pada teori queer.

Selain itu, Jovi mengatakan bahwa untuk menjadi dirinya sendiri, tidak ada salahnya untuk menjadi diri sendiri walaupun berbeda dari orang lain. Percaya pada diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetap fokus terhadap hal-hal yang diinginkan hingga tercapai serta jangan mudah menyerah. Dena juga mengatakan untuk mencintai diri sendiri, menerima segala kekurangan diri sendiri, dan berdamai dengan segala kekurangan tersebut, maka seseorang dapat bahagia dengan sendirinya. Pernyataan Dena tersebut menunjukan bahwa dia percaya pada dirinya dan mempunyai keyakinan terhadap dirinya hingga dia menjadi seperti sekarang ini.

Pernyataan tersebut sesuai dengan penegasan Nemeth (2012) mengenai konsepsi minoritas yang dapat mempengaruhi mayoritas yaitu dia menyatakan bahwa minoritas harus konsisten dengan pendapatnya dan harus dapat menampilkan dirinya sebagai sosok yang percaya diri dan penuh keyakinan. Sehingga, dengan melihat sikap Jovi tersebut, dia dapat melakukan resistensi dalam perubahan diskursus masyarakat mengenai gender.

Jovi dikenal sebagai seorang Androgini karena penampilannya yang berbeda dari identitas gender yang dimilikinya. Androgini adalah istilah yang digunakan untuk memberitahukan peran gender, yaitu karakter maskulin dan karakter feminim dalam waktu yang bersamaan. Masyarakat masih menganggap bahwa androgini termasuk kelompok minoritas yang belum dapat sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Sama halnya dengan

LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), androgini adalah fenomena yang tidak sesuai dengan wacana mayoritas. Pilihan Jovi untuk berpenampilan seperti perempuan yang berbeda dengan identitas gender yang dimilikinya menyebabkan, dia sering dikatakan

(26)

22

seorang perempuan, ladyboy maupun banci. Dalam beberapa pernyataan tersebut dengan tegas Jovi mengatakan bahwa ia bukanlah perempuan ataupun ladyboy. Dia tetaplah seorang pria tetapi hanya berpenampilan seperti layaknya perempuan. Dalam pernyataan Jovi tersebut menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang genderless maupun gender neutral. Karena dia menegaskan bahwa ia tetaplah seorang laki-laki, di mana hal tersebut menunjukkan identias gendernya. Hal ini menunjukkan bahwa identitas gender bukanlah hal yang tetap dan tunggal. Jovi menunjukkan bahwa identitas laki-laki tidak harus maskulin, hal ini didukung oleh pernyataan Butler (1990) yang mengatakan bahwa identitas adalah sebuah tindakan performativitas yang sifatnya tidak tetap, yang selalu berubah-ubah. Merujuk pada teori

queer yang menyatakan sebuah pandangan bahwa tidak ada orientasi seksual yang sifatnya natural, sehingga tidak ada pula orientasi seksual yang menyimpang. Sehingga hal yang dilakukan Jovi bukanlah sesuatu yang menyimpang jika melihat dari teori queer.

Komunikasi memainkan peran utama dalam membentuk identitas gender. Melalui komunikasi, individu dapat memperkuat atau menentang pandangan gender yang ada. Sehingga saat seseorang melakukan komunikasi, dia berkontribusi untuk membentuk pandangan sosial yang mempengaruhi sejauh mana seseorang dapat mendefinisikan dirinya dan menjalani seperti yang dipilih (Wood, 2008). Peneliti melihat bahwa dalam beberapa pernyataan tersebut mereka selalu mengatakan mengenai love yourself, dalam hal ini mereka menjadi subjek atau being subjective terhadap dirinya sendiri. Diener (2000) mengatakan bahwa subjective well-being merujuk kepada evaluasi manusia terhadap diri mereka sendiri yang berdasarkan respon kognitif (teori) dan emosional. Penilaian ini adalah untuk mengetahui kualitas hidup dan kepuasaan (well-being) seseorang. Subjective well-being

bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang diinginkan setiap orang.

Dalam pernyataan Jovi dalam videonya yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), dia mengatakan bahwa untuk tetap menjadi diri sendiri walaupun berbeda dari orang lain karena tidak ada yang salah dengan menjadi diri sendiri. Dia juga mengatakan untuk tidak mudah menyerah dan terus berusaha sehingga dapat mencapai apa diinginkan. Pernyataan Jovi tersebut menunjukkan dirinya sebagai subjective well-being terhadap kebahagiaan dirinya sendiri.

Selain itu, dalam video tersebut Dena menunjukkan dirinya sebagai subjective well-being terhadap kebahagiaan dirinya sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata-katanya yang mengatakan tentang love yourself first, dengan mencintai diri sendiri seseorang akan lebih bahagia. Merujuk pada pernyataan Dena tersebut bahwa dia dapat mewujudkan

(27)

23

keinginan dalam dirinya sesuai dengan apa yang dia inginkan. Subjective well-being juga ditunjukkan dalam video Jovi yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), yang menunjukkan Tora sebagai salah satu penari Lengger Lanang walaupun tidak secara spesifik mengatakan tentang love yourself, tetapi dia mencintai pekerjaannya sebagai penari yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Dia dengan percaya diri melakukan pekerjaannya sepenuh hati, dia memahami bahwa masyarakat masih belum menerima adanya Lengger Lanang karena tarian tersebut menunjukan laki-laki yang berdandan layaknya perempuan, hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat mengenai gender. Kepercayaan dirinya diperlihatkan dengan konsisten terhadap pekerjaannya dan memahami bahwa masyarakat menganggap pekerjaannya itu tidak lazim karena mereka belum tahu sejarahnya.

4. PENUTUP

Diskursus masyarakat mempunyai wacana dominan mengenai gender. Wacana dominan tersebut menyatakan bahwa hanya ada dua gender yang dianggap oleh masyarakat, yaitu laki-laki dan perempuan. Masyarakat meyakini bahwa gender bersifat mutlak yang tidak dapat berubah-ubah. Sosialisasi gender tersebut dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Sehingga jika ada perubahan mengenai gender, mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang salah yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan norma masyarakat. Sehingga Jovi sebagai salah satu kelompok minoritas melakukan resistensi atas wacana dominan mengenai gender.

Dalam penelitian ini menunjukkan representasi Jovi sebagai minoritas atas resistensi wacana dominan mengenai gender. Jovi menunjukkan bahwa sebagai minoritas dapat menjadi pihak yang aktif dalam perubahan pandangan masyarakat. Jovi Adhiguna sebagai salah satu representasi kelompok minoritas dipilih dalam program youtuber creators for change untuk memberikan perubahan pandangan masyarakat mengenai gender. Jovi dipilih sebagai salah satu perwakilan kelompok minoritas karena dia adalah sosok yang konsisten dengan pendapatnya dan dia juga dapat menampilkan dirinya sebagai sosok yang percaya diri dan penuh keyakinan, sehingga pendapatnya dapat mempersuasi mayoritas.

Jovi dikenal sebagai seorang androgini karena penampilannya yang berbeda dari identitas gender yang dimilikinya. Penampilannya memberikan kesan maskulin dan feminim dalam waktu yang bersamaan. Androgini masih dipandang oleh masyarakat sebagai kelompok minoritas, sama halnya dengan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

(28)

24

Pilihan Jovi yang berpenampilan berbeda dari identitas gendernya menyebabkan dia sering dikatakan perempuan, ladyboy, ataupun banci. Jovi dengan tegas menyatakan bahwa dia tetap seorang laki-laki walaupun berpenampilan layaknya seorang perempuan. Pernyataan Jovi tersebut menunjukkan bahwa identitas gender bukanlah hal yang tetap dan tunggal. Selain itu, pernyataan Jovi tersebut menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang genderless maupun

gender neutral. Bahwa identitas gender laki-laki tidak harus maskulin, hal ini menunjukan bahwa identitas adalah sebuah tindakan performativitas yang sifatnya tidak tetap, yang selalu berubah-ubah. Sehingga tidak ada orientasi seksual yang sifatnya natural dan tidak ada pula orientasi seksual yang menyimpang. Pilihan Jovi yang berpenampilan berbeda dari identitas gendernya bukanlah suatu perilaku orientasi seksual yang menyimpang.

Komunikasi mempunyai peran utama dalam membentuk identitas gender. Saat seseorang melakukan komunikasi, dia berkontribusi untuk membentuk pandangan sosial yang mempengaruhi sejauh mana seseorang dapat mendefinisikan dirinya dan menjalani seperti yang dipilih. Seperti halnya Jovi Adhiguna, Dena, dan Tora dalam video video Jovi yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018), mereka mengatakan untuk love yourself, dengan mencintai diri sendiri seseorang akan bahagia, dan menjadi diri sendiri walaupun berbeda dari orang lain itu bukanlah suatu kesalahan. Jovi mengatakan untuk tidak menyerah, selalu berusaha untuk mencapai keinginannya, dan dapat konsisten terhadap sesuatu yang dilakukan. Hal ini menunjukkan Jovi sebagai subjective well-being terhadap kebahagiaan dirinya sendiri dan memiliki kualitas kepuasaan terhadap keinginan dirinya.

PERSANTUNAN

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar. Terimakasih juga untuk kedua orang tua, keluarga serta teman-teman yang telah memberikan semangat kepada saya. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing ibu Nur Latifah Umi Satiti yang telah memberikan bimbingannya dan juga ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

(29)

25 DAFTAR PUSTAKA

Anindya, A. (2016). Gender fluid dan identitas androgini dalam media sosial. Jurnal Komunikasi. XII (2). Retrieved from http://ejournal.unp.ac.id

Amaya, S., & Gonzales, R. (2019). Introduction to the special issue: Challenges of lgbt research in the 21st century. International Sociology. 34 (4), 371–381. Retrieved From

https://journals.sagepub.com/home/iss

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. New York et Londres: Routledge.

Burgess, J., & Green, J. (2009). Youtube: Digital media and society. United Kingdom: Polity Press.

Chan, L.M. (2017). Emerging currents in communication/lgbtq studies: A review of lgbtq-related articles published in communication journals from 2010 to 2015. International Journal of Communication. 11 (22), 2647-2668. Retrieved From https://ijoc.org

Cook, C. (2018). A content analysis of lgbt representation on broadcast and streaming television. Departmental Honors Thesis. Retrieved From https://scholar.utc.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1133&context=honors-theses

Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American psychologist. 55 (1), 34-43. Retrieved From

https://www.semanticscholar.org/paper/Subjective-well-being.-The-science-of-happiness-and-Diener/1b2a60c638bb5ac8b982c2ece09140f971c8c608

Drisko, J., & Maschi, T. (2016). Content analysis. New York: Oxford University Press. Fakih, M. (2006). Analisis gender & transformasi sosial. Yogyakarta: Kota Pelajar.

Fitriani, F. (2012). Gender in international conflict: Women representation in security discourse. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional. 8 (2). Retrieved from http://journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalIlmiahHubunganInternasiona/article/view/54 5

Funay, C.M. (2018). Representasi androgini Jovi Adhiguna di video blog youtube. Retrevied from https://ejournal3.undip.ac.id

Gauntlett, D. (2002). Media, gender, and identity: An introduction. USA & Canada: Taylor & Francis e-Library.

Gedro, J., & Mizzi, R.C. (2014). Feminist theory and queer theory: Implications for hrd research and practice. Advances In Developing Human Research. 16 (4), 445-456. Retrieved from https://journals.sagepub.com/home/iss

Goenawan, F. (2007). Media teknologi dan masyarakat gender & website. Jurnal Ilmiah Scriptura. 1(2). Retrieved from http://scriptura.petra.ac.id

Hana, F. (2016). Meneropong gender melalui kacamata genderless: Sebuah pembacaan butlerian terhadap ancillary justice karya ann leckie. Jurnal Poetika. IV (1). Retrieved from https://jurnal.ugm.ac.id/poetika/article/view/13314

(30)

26

Haryanto, N. (2017). Konstruksi identitas gender beauty vlogger laki-laki pada youtube. Retrieved from http://repository.unair.ac.id

Ibrahim, A.S. (2009). Metode analisis teks dan wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ilham, B. (2019). Karakter laki-laki dalam program televisi (analisis resepsi peran pria sebagai pekerja rumah tangga dalam program sitkom dunia terbalik di rcti). Komuniti.

11(1). Retrieved from http://journals.ums.ac.id/index.php/komuniti/article/view/5945 Juditha, C. (2014). Realitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (lgbt) dalam majalah.

Jurnal Komunikasi. VI (3). Retrieved from https://journal.untar.ac.id/index.php/komunikasi/article/view/37

Molyneaux, H., K. Gibson, et al. 2007. New visual media and gender: A content, visual and audience analysis of youtube vlogs. Proceedings of the International Communication Association (ICA 2008), Montreal, Canda, May 22-26.

Moscovici, S. (1980). Toward a theory of conversion behavior. In L. Berkowitz (Ed.).

Advances in experimental social phsycology. 13, 209-239. New York: Academic Press. Nemeth, C.J. & Wachtler, J. (1974). Creating the perceptions of consistency and confidence:

A necessary condition for minority influence. Sociometry. 37, 529-540.

Nemeth, C.J. (2012). Minority influence theory. In Van Lange, P.A.M., Kruglanski, A.W., and Higgins, E.T. Handbooks of Theory in Social Pschyology. 2, 362-378. New York: Sage.

Pradika, G.J., Hadi, I.P., & Lesmana, F. (2017). Star studies terhadap konstruksi image androgynous youtuber “jovi adhiguna hunter”. Jurnal Komunikasi. 5 (2). Retrieved from http://publication.petra.ac.id

Rietzer, G. (2012). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sadasri, L.M. (2017). Selebriti mikro di media baru kajian presentasi diri dalam vlog selebriti mikro. Jurnal Komunikasi. 21 (2), 167-181. Retrieved from http://jurnal.kominfo.go.id Sartika, D., Novianti, E., & Subekti, P. (2019). Konstruksi makna ketidakadilan berbasis

gender menurut sudut pandang aktivis women’s march bandung (studi fenomenologi).

Jurnalisa. 5 (2). Retrieved from http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jurnalisa/article/view/10612

Senfit, T. (2008). Comgirls: Celebrity & community in the age of social networks. New York: Peter Lang.

Sobur, A. (2001). Analisis teks media - suatu pengantar untuk analisis wacana, analisis semiotik, analisis framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Subrayogo, I. (2001). Metodologi penelitian sosial agama. Bandung: Remaja Rosda Karya. Syamsiah, N. (2014). Wacana kesetaraan gender. Jurnal Komunikasi. 1(2). Retrieved from

https://media.neliti.com/media/publications/221489-wacana-kesetaraan-gender.pdf Wood, J.T. (2008). Gendered lives: Communication, gender, and culture, eight edition. USA:

(31)

27

Yulidya, S. (2014). Konstruksi gender pada tokoh minions dalam film despicable me 2.

Gambar

Gambar 1: Penampilan Jovi Adhiguna dalam video yang berjudul Genderless? – Snapchat  Q&A Part 2 (4 Desember 2015) pada menit 18:19 hingga 19:17
Gambar 2: Penampilan Jovi dalam video yang berjudul Story Time With Jovi: Hatred (12  Januari 2016) pada menit 04:14 hingga 04:41
Gambar 3: Penampilan Jovi dalam videonya yang berjudul 3 Minoritas – Jovi Adhiguna  Hunter | Creators For Change (12 November 2018)
Gambar 4: Penampilan Dena dalam video Jovi Adhiguna yang berjudul 3 Minoritas – Jovi  Adhiguna Hunter | Creators For Change (12 November 2018) saat dia melakukan hal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa strategi pemasaran syariah merupakan cara suatu perusahaan untuk mencapai tujuan awal dengan memayungi seluruh aktivitas dalam sebuah perusahaan,

Muhammad dan Murtanto (2016) juga mencoba meneliti fraudulent financial statement dengan menggunakan segitiga kecurangan (fraud triangle) yang menemukan bahwa

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Campuran jenis material pada ready mix concrete ini terdiri dari beberapa material khusus seperti penambahan Fly Ash sebagai bahan untuk memaksimalkan kinerja semen agar

Menurut Bank Indonesia, rahn adalah akad penyerahan barang harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau

Surya Borobudur Pratama sebagai berikut : Pada proses ini, customer melakukan proses pemesanan barang dengan mengirim form pesanan (PO) via fax atau melakukan

Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka pada penelitian kali ini akan mencoba menggunakan metode lain, yaitu menggunakan algoritma Naive Bayes untuk

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN PAUD dan PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan