• Tidak ada hasil yang ditemukan

50 Tahun Mempelajari Pembunuhan Massal 1965

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "50 Tahun Mempelajari Pembunuhan Massal 1965"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 Opini

50 Tahun Mempelajari Pembunuhan Massal 1965

(Bagian Pertama)

http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2370-50-tahun-mempelajari-pembunuhan-massal-1965-bagian-pertama.html

Senin, 21 September 2015

Presiden Republik Indonesia Soekarno sedang membaca garis tangan Pemimpin Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong pada kunjungan Bung Karno ke Tiongkok 1956. Keakraban kedua pemimpin inilah yang menakutkan Amerika Serikat, sehingga harus

mendorong sebuah kudeta

militer pada tahun 1965 untuk menjatuhkan Presiden Soekarno (Ist)

Oleh: DR Asvi Warman Adam

Tahun ini orang akan mengingat bahwa setengah abad yang lalu pada tahun 1965, Gerakan 30 September (Gerakan 30 September atau G30S) telah mengambil tempat dalam sejarah Indonesia. Selama 50 tahun telah ada berbagai diskursus tentang kudeta, sebuah usaha yang gagal yang mengarah ke tragedi nasional.

Pada gelombang pertama dari berbagai narasi tentang G30S menyoroti tentang siapa dalang dari gerakan itu. Tentara Indonesia memiliki PKI untuk dikambing hitamkan. Walaupun di Amerika terbit sebuah artikel yang menyatakan bahwa kejadian 30 September adalah urusan internal didalam Angkatan Darat.

Sebuah buku yang berjudul ‘40 Hari Kegagalan G30S, 1 Oktober-10 November 1965’ yang diterbitkan pada 27 Desember 1965 oleh Lembaga Sejarah, Staff Pertahanan dan Keamanan, sebagai sebuah proyek inisiatif mantan Panglima ABRI, Jenderal Nasution dengan menugaskan beberapa sejarawan dari Universitas Indonesia. Hanya dalam waktu seminggu buku itu selesai disusun. Buku itu tidak menggunakan label ‘G30S/PKI’ tapi menyebutkan keterlibatan PKI dalam Kudeta.

(2)

2 Dua orang peneliti, Ben Anderson dan Ruth Mc Vey, meyakini bahwa Angkatan Darat yang terlibat dalam kudeta tersebut, sebagai pandangan yang berbeda. Laporan penelitian mereka dikenal dengan sebutan ‘Cornell Paper’, disinggung dalam media massa

The Washington Post 5 Maret, 1966. Pada awal Februari 1966, sebuah laporan yang sama

oleh Daniel Lev diterbitkan dalam Asian Survey.

Pada tahun 1967, Mayjen Soewarto, Kepala Sekolah Staff dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), datang ke Amerika Serikat mengunjungi Rand Corporation, sebuah lembaga kerjasama yang dibentuk setelah Perang Dunia Ke II sebagai pengawal kepentingan Amerika selama perang dingin. Lembaga ini melakukan berbagai penelitian tentang komunisme di berbagai negara.

Guy Parker seorang peneliti dari lembaga tersebut menyampaikan pada Soewarto keberadaan Cornell Paper dan meminta Soewarto menulis sebuah buku untuk melawan pandangan Cornell Paper. Soewarto kemudian mengirim seorang sejarawan Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam Mahkamah Militer Luar biasa (Mahmilub) yang menghukum orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Dengan bantuan Parker, Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh menulis buku ‘Upaya Kudeta

Gerakan 30 September Di Indonesia’.

Mereka membawa semua dokumen termasuk dokumen persidangan dari Heru Atmodjo. Termasuk didalamnya dokumen pemeriksaan post mortem, visum et repertum dari tubuh enam orang jenderal yang terbunuh dalam G30S.

Ben Anderson, setelah membaca dokumentasi tersebut, menyiapkan sebuah artikel yang menyebabkan kontroversi. Adalah tidak benar menurut Ben, pernyataan koran Angkatan Darat, bahwa mata dari para jenderal dicungkil dan penisnya dipotong.

Alur narasi G30S yang kedua adalah bagian dari kampanye pemerintah Soeharto yang mendoktrin versi sejarahnya. Sejarah Indonesia dalam 6 jilid diterbitkan pada tahun 1975 dan volume ke 6 diedit oleh Nugroho Notosusanto untuk melegitimasikan rejim kebangkitan Orde Baru dalam kekuasaan. Nugroho Notosusanto juga berinisiatif memproduksi film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang dibuat oleh Arifin C. Noer pada tahun 1984. Film ini diputar di TVRI pada tanggal 30 September,--setiap tahun.

(3)

3 Kesaksian Korban dan Pembunuh

Mundurnya Soeharto sebagai Presiden RI di bulan Mei 1998 menandakan fase ketiga dari narasi G30S. Para korban yang selama mulai angkat bicara memberikan kesaksian, memuat sejarah lisan. Beberapa diantaranya menarik perhatian publik seperti, ‘1965:

Tahun Yang Tidak Pernah Berakhir’, ‘Menembus Tirai Asap’, ‘Menguak Kabut Halim’.

Bangsa ini mulai memperbaiki sejarahnya.

Kisah G30S mencapai gelombang keempatnya ketika terbit buku John Roosa yang berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal’ ( Pretext for Mass Murder) yang diterbitkan pada tahun 2008. Sementara itu perdebatan terus berlanjut tentang siapa dibelakang kudeta 1965, --belakangan fokus pada siapa otak pembunuhan massal 1965.

John Roosa dalam bukunya yang dilarang oleh Kejaksaan Agung menyatakan bahwa Gerakan G30S adalah pretext (dalih) untuk pembunuhan massal. Komunisme dihancurkan untuk mendapatkan simpati dari Amerika Serikat dan sekutunya, agar membawa investasi dan pinjaman membantu ekonomi Indonesia.

Pada 15 Desember 1965, tanpa ijin presiden Soekarno, Jenderal Soeharto terbang dengan helikopter ke Cipanas. Dalam rapat yang dipimpin oleh Perdana Menteri Chaerul Saleh, Soeharto menyampaikan penolakan tentara atas rencana nasionalisasi perusahaan minyak milik Amerika Serikat, Caltex.

Film Jagal (The Act of Killing) menjadi tonggak dari gelombang kelima dari narasi G30S. Setahun lalu, korban menceritakan apa yang terjadi. Sekarang tiba waktunya bagi pembunuh untuk bersaksi. Film Jagal memenangkan berbagai festival film di Istambul, Valenciennes, Warsawa dan Barcelona, --kemudian menjadi film terbaik yang dinominasikan untuk mendapat Oscar. Film Jagal mendapatkan perhatian setidaknya selama dua tahun dari hampir semua konferensi para ilmuwan yang dilakukan pengamat Indonesia di Australia, Asia, Eropa dan Amerika.

Film Jagal menggambarkan pembunuhan orang per orang di Sumatera Utara setelah Kudeta G30S. Jagal melakukan dekonstruksi narasi perkembangan dan kampanye intensif selama Orde Baru. Ilmuwan, Ariel Heryanto mengatakan film Jagal sebagai ‘film

yang paling spektakuler dan secara politik sebagai produk yang sangat penting tentang Indonesia yang pernah saya tonton’

(4)

4 Fase terbaru ini mengungkap signifikansi masyarakat internasional dalam menyoroti pembantaian G30S. Berbagai penangkapan, penahanan dan pembunuhan setelah G30S ternyata harus dilakukan, sebagai usaha memasukkan Indonesia kedalam aliansi Amerika Serikat agar Indonesia memenuhi syarat mendapatkan bantuan ekonomi dari barat. Masyarakat Internasional menantang versi Orde Baru tentang sejarah G30S dengan menominasikan film Jagal, hari di berbagai negara. Faktor internasional inilah yang menyebabkan momentum 1965 tidak dihapus dari sejarah.

Rakyat Indonesia sendiri menginginkan kebenaran dalam pengungkapan sejarah walaupun ada beberapa pihak yang menghalangi pengungkapan versi yang berbeda dari yang sudah diekspos oleh Orde Baru,--diantara mereka adalah karena keterlibatannya pada pelanggaran hak asasi manusia dimasa lalu.

*Judul asli tulisan ini adalah ‘Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5

Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan penulis sebagai Keynote Speaker pada

International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.

50 Tahun Mempelajari Pembunuhan Massal 1965

(Bagian Kedua)

Selasa, 22 September 2015

http://www.bergelora.com/opini-wawancara/artikel/2372-50-tahun-mempelajari-pembunuhan-massal-1965-bagian-kedua.html Tahanan politik PKI dalam kerja paksa membuka hutan Pulau Buru (Ist)

Oleh: DR Asvi Warman Adam

Menurut pendapat saya, tragedi 1965 memuat 5 aspek penting. Pertama, Apa sebenarnya yang terjadi pada 30 September 1965 yang membunuh 6 jenderal Angkatan Darat? Siapa otak dari kejadian peristiwa 30 September 1965 itu? Aspek kedua adalah pembantaian massal sebanyak 500 ribu orang di semua daerah di seluruh Indonesia. Aspek ketiga adalah pembuangan 10.000 orang dari Pulau Jawa ke

(5)

5 Pulau Buru pada tahun 1969-1979. Aspek keempat adalah pencabutan passport yang menyebabkan ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri kehilangan kewarganegaraan. Dan Aspek kelima adalah stigmatisasi dan diskriminasi pada korban dan keluarganya. Anak-anak korban tidak bisa menjadi pegawai negeri sipil atau menjadi prajurit militer dan polisi.

Mengungkap Peristiwa 1965 dapat dibagi dalam katagori diatas. Pembunuhan 6 jenderal telah disidangkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengantar belasan orang berhadapan dengan hukuman mati. Tentang otak dari peristiwa G30S masih diperdebatkan sampai hari ini. Berbagai narasi dari setiap peristiwa telah terbuka untuk dipelajari dalam era reformasi.

Sebelum terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memaparkan visi dan misinya yang mendukung 9 agenda prioritas yang dikenal dengan Nawa Cita. Pada agenda keempat dari Nawa Cita tersebut adalah penegakan hukum. Sebagai prioritas salah satunya adalah untuk melindungi hak azasi manusia dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran kasus pelanggaran Hak Asazi Manusia. Namun para menteri kurang mengerti jalan penyelesaian berbagai pelanggaran Hak Azasi Manusia karena tidak membaca dan tidak mengerti Nawa Cita. Padahal semua pelanggaran Hak Asazi Manusia dalam sejarah Indonesai tercatat sejak 1945-2000 .

Salah satu pelanggaran HAM yang paling menjadi perhatian adalah pembantaian massal pada tahun 1965, yang menyebabkan 500.000 orang terbunuh. Belanda selama berkuasa di kepualauan diseluruh Nusantara membunuh 125,000 orang pribumi, 75 ribu diantaranya di Aceh. Ini sebuah angka yang kurang dari jumlah orang yang dibunuh oleh orang Indonesia sendiri pasca tahun 1965.

Komnasham dan Kejaksaan Agung harus secara serius menindak lanjuti temuan pelanggaran-pelanggaran Hak Asazi Manusia agar Nawa Cita benar-benar dapat berjalan. Kasus-kasus yang berhubungan dengan peristiwa 1965 yang bermunculan selama 50 tahun belakangan, masih tetap belum memiliki penyelesaian yang adil.

Lima Solusi

Oleh karenanya, dalam waktu dekat ke depan, Presiden harus mengambil langkah atas nama negera meminta maaf pada korban pelanggaran HAM 1965 dan menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung.

(6)

6 Langkah pertama, untuk kasus-kasus melawan kemanusiaan pada tahun 1965 harus dilakukan pengadilan Ad-hoc.

Langkah kedua, Presiden Indonesia harus meminta maaf pada ribuan patriot yang kehilangan warga negeranya setelah kudeta 30 September 1965. Pada tahun 1960-an Presiden Soekarno mengirim ribuan Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) belajar ke luar negeri untuk bisa meningkatkan pembangunan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Karena dicuragai mendukung Soekarno, para mahasiswa kehilangan kewarga negaraannya. Walaupun, beberapa dari mereka telah berganti warga negara, namun mereka tetap setia setiap tahun merayakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia di Kedutaan Indonesia dan ikut membacakan teks Panca Sila. Mayoritas dari mahasiswa kini berusia 75 tahun, beberapa bahkan telah meninggal dunia.

Langkah ketiga, Presiden Indonesia disarankan untuk membuat pernyataan bahwa pemerintahan dimasa lalu telah berbuat kesalahan dengan membuang lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru dan tinggal dalam pengasingan selama 10 tahun dari tahun 1969-1979. Tanpa pengadilan mereka bekerja dalam kamp-kamp konsentrasi, tidak mengetahui kapan akan dibebaskan. Masyarakat internasional sempat memprotes dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kejahatan atas kemanusiaan di Indonesia.

Langkah keempat adalah, Presiden Republik Indonesia segera meminta maaf kepada anak-anak dan keluarga yang menjadi korban dalam setiap peristiwa yang berawal dari 30 September 1965. Pada tahun 1981, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan instruksi agar keluarga korban tidak diijinkan untuk menempati posisi di pemerintahan dan ketentaraan. Walaupun orang tua mereka bersalah karena terlibat dalam kudeta, pemerintah tidak memiliki hak untuk melarang individual mencari pekerjaan yang dijamin oleh UUD’45. Sementara itu, Presiden perlu segera merespon ganti rugi yang telah disahkan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2011.

Sesuai dengan peninjauan kembali atas Keputusan Presiden Nomor 28/1975, tertanggal 25 Juni 1975, dari Presiden Republik Indonesia sehubungan dengan perlakuan pada kelompok golongan C yang dituduh terlibat Kudeta 30 September 1965,-- Mahkamah Agung telah menetapkan lewat Keputusan MA Nomor 33P/HUM/2011 bahwa-- Keputusan Presiden 28/1975 dan semua peraturan di bawahnya bertentangan dengan Undang- undang yang lebih tinggi.

Mahkamah Agung untuk itu memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keputusan Presiden No 28/1975, sehubungan dengan perlakuan pada orang-orang yang dimasukkan ke dalam Golongan C tersebut.

(7)

7 Era refomasi mengalami kesulitan untuk melahirkan undang-undang pada tahun 2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan setengah hati Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menolak daftar calon anggota KKR yang diajukan oleh komite pemilihan untuk dipilih oleh DPR.

Mahkamah Konsititusi yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqie belakangan menunda Undang-undang KKR dengan menggunakan Ultra Petita. Undang-undang yang dirancang oleh Kementerian Hukum dan HAM tidak pernah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. Padahal sebuah pengadilan HAM Ad-Hoc harus disiapkan setelah KKR mengambil peran menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Langkah kelima, sebuah terobosan dibutuhkan dengan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) lewat Keputusan Presiden untuk bisa ditindak lanjuti segera. Sebuah komisi negara bisa dibentuk oleh Presiden dengan keanggotan terbatas yang akan bekerja dalam waktu yang singkat misalnya 2 tahun.

Tim dari komisi negara itu jangan beranggotakan Kejaksaan Agung atau lembaga hukum lainnya. Karena diantara mereka dicurigai terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, seperti mantan Jaksa Agung Soegih Arto yang bertanggung jawab pada kasus Pulau Buru. Komisi itu harus independen dan saya mengusulkan terdiri dari 9 perempuan yang belasan tahun telah berpengalaman dalam menangai kasus-kasus hak azasi manusia. Komisi ini diharapkan membantu Presiden Joko Widodo untuk membuat terobosan dalam menemukan solusi yang tepat untuk menyelesiakan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang tercantum dalam Nawa Cita. Bangsa ini telah menunggu selama 50 tahun untuk bisa maju tanpa hambatan.

*Judul asli tulisan ini adalah ‘Fifty Years Study Of The 30th September Movement (5 Episode + 5

Aspects + 5 Solutions)’ yang menjadi naskah sambutan penulis sebagai Keynote Speaker pada

International Symposium Indonesian Relations with the World: Japanese Studies 50 years after 1965, di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 18-19 September 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Parameter keterhubungan (interrelationship) ranah sumber ‗kelapa yang sudak rusak‘ dengan ranah target ‗anak gadis yang sudah ternoda‘ dan parameter lingkungan

Amplifikasi PCR untuk daerah ITS-1 rDNA yang paling baik adalah menggunakan pasangan primer ITS5 dan ITS2, sehingga diperoleh produk amplifikasi berukuran 384 pb.. Produk

menjadikan data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku lebih kompleks.. c) Data panel mendasarkan diri pada observasi cross-section yang

Berdasarkan hasil pengujian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dapat tercapai akurasi sistem sebesar 100% memakai fungsi kernel Linear pada setiap situasi berdasarkan umur dengan

Pelaksanaan penelitian di kelas IV MI Salafiyah Kutukan Blora dengan siswa berjumlah 31, menggunakan angket motivasi yang telah divalidasi diperoleh hasil

Dengan diterapkannya algoritma k-means dalam proses clusterisasi APBD maka dapat mengelompokkan dan menentukan jumlah cluster yang tepat, menentukan

Berdasarkan analisa data penelitian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbasis komputer dengan model drills and practice pada pokok bahasan tata nama

Menurut saudara apakah dengan adanya buruh yang mengepul buah kelapa sawit milika. warga