• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

19

KETERHUBUNGAN ANTARA KEHIDUPAN MANUSIA DENGAN DUNIA FISIK-BIOLOGIS ALAM SEMESTA DIEKSPRESIKAN DALAM UNGKAPAN METAFORIK PADA KOMUNITAS TUTUR ACEH DI DESA TRUMON ACEH

SELATAN: KAJIAN EKOLINGUISTIK Nuzwaty

Universitas Islam Sumatera Utara Medan Sumatera Utara, Indonesia

nuzwaty@gmail.com Abstract

This study talks about the interrelationship of bio-fisical nature of environtment with the language used by the language community of Bahasa Aceh in Trumon. The study covered by eco-linguistics which focused on metaphors that related to ecological environment, such as flora and fauna which evolved in human‟s cognitive. The theory applied is a collaboration of eco-linguistics theories those are three dimension social praxis theory and theory of ecolinguistics parameters. The method employed was qualitative approach and the data obtained was from eight informants who were born and live in Trumon. All of them are above fifties and they also married the locals. The result shows that in general the metaphorical expressions of Bahasa Aceh in Trumon are structured by the nature of flora and fauna that exist in local surroundings as the source domain that mapped to human‟s behavior or his manner as the target domain. The source domain imposed some structure on the target by virtue of mapping that characterizing the metaphors. The relationship of both was processed in thought of the language users, and also respected to the convention of the language community.

Keywords: metaphor, interrelationship, diversity, environment, social praxis, source domain, target domain

PENDAHULUAN

Kesalingterhubungan bahasa dan kebudayaan dengan lingkungan alam merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-347 SM), Cratylus, dan lainnya memandang bahasa hanya sebagai sarana komunikasi dalam mengungkapkan atau mentransfer ide-ide, inspirasi, dan faham filsafati hasil perenungan mereka saja. Eksistensi bahasa pada awalnya hanya dipahami sebagai media komunikasi, tetapi lambat laun pemahaman mereka terhadap bahasa berubah secara signifikan. Perubahan tersebut ditandai dengan adanya upaya untuk menempatkan bahasa sebagai objek material kajian dan mempopulerkannya sebagai filsafat bahasa.

Pada awalnya para filosof sudah mulai mengkaji bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam yang tertangkap oleh indera manusia, kemudian diolah di dalam pikiran mereka sehingga menghasilkan sederetan nama-nama benda yang dirujuknya. Akhirnya, melahirkan sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari alam, sehingga implementasi kajian bahasa dikaitkan dengan ecoregion atau lingkungan alam tempat bahasa itu ada atau digunakan, yang bermuara kepada munculnya beberapa terminologi seperti adanya terminologi onomatophe, metafora, adanya part of speech, analogi versus anomaly, fisei

dan nomos dan lainnya, (Lyons,1995: 4-7), Djojosuroto (2007: 54-56). Pemahaman

tentang kecenderungan bahwa semua bahasa di seluruh dunia dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat bahasa itu digunakan, juga dibicarakan oleh Sapir (1912), Haugan (1972), Fill dan Muhlhausler (2001:14), dan beberapa pakar Eropa lainnya. Haugan (1972) memelopori sebuah kajian bahasa berkolaborasi dengan kajian lingkungan

(2)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

20

yang disebutnya sebagai Ecology of Language yang saat ini sudah dikenal sebagai Eco-linguitics.

Keterpengaruhan bahasa dengan lingkungan alam juga dapat dilihat dari ungkapan bahasa Aceh pada umumnya seperti terungkap pada ungkapan Laen lhok laen buya, laen

kreung laen eungkeut yang dapat mengandung atau mengekspresikan banyak makna.

Leksikon nama lhok ‗lubuk‘ adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar. Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon lhok secara leksikal memiliki makna denotasi referensial eksternal yang merujuk entitas-entitas tertentu (lihat Cummings, 2007: 54; Verhaar, 2006: 389) seperti orang, benda, atau keadaan yang nyata. Makna leksikal yang terkandung di balik leksikon nama ruang tertentu di sungai, dalam hal ini lhok adalah ‗bagian sungai atau danau yang dalam‘.

Pengetahuan dan pengalaman penutur bahasa Aceh tentang lingkungan sungai yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan pengenalan, pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur yang tentunya bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi dengan kondisi sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal (kreung) itu, seperti juga dengan biota eungkeut ‗ikan‘ dan buya ‗buaya‘ ataupun entitas-entitas di lingkungan sosial. Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan cakupan makna denotasi, makna konotasi yang disepakati, daya cipta para penuturnya memproduksi ungkapan atau peribahasa tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada sejumlah leksikon krueng ‗sungai‘ dalam laen krueng laen eungkeut menjadi ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat tuturnya dan terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu umumnya berlangsung secara lisan.

Bagi komunitas penutur bahasa Aceh di Desa Trumon, interelasi dan interaksi terjadi terus-menerus. Misalnya, dengan bue ‗kera‘, dengan eungkeut ‗ikan‘, dengan abo ‗siput‘, dengan glang ‗cacing tanah‘ dengan boh timun ‗buah mentimun‘, dan tentunya dengan aneka ragam hayati dan nonhayati yang ada di lingkungan hidup mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberi peluang untuk menciptakan ungkapan-ungkapan metaforik yang kaya makna sosial budaya sekaligus juga memperkaya bahasa dan budaya Aceh pula.

Masyarakat DesaTrumon masih sangat mencintai lingkungan alamnya. Adalah kenyataan dan kebanggaan bagi mereka karena masih terawatnya kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan Cagar Alam Leuser yang mendapatkan pengakuan internasional dan perlindungan hukum. Hutannya yang berupa rimba belantara menyimpan flora langka yang tumbuh secara liar. Fauna, seperti satwa yang hidup liar juga terekam secara leksikal dalam bahasa Aceh seperti rimueng ‗harimau‘, gajah ‗gajah‘, rusa ‗rusa‘. Habitat liar ini tetap dijaga kelangsungan hidupnya oleh pemerintah setempat. Semua ini dapat dijadikan wisata ilmiah untuk kemajuan semua bidang ilmu pengetahuan. Paru-paru alam di kawasan ini masih mampu bekerja dengan sempurna memelihara kesinambungan kesehatan ekologi dan ekosistem.

Mencintai dan merawat lingkungan alam, serta hidup berdampingan dengan alam menjadi bagian harmonisasi kehidupan masyarakat Desa Trumon. Hidup berdampingan dengan alam bukan berarti bahwa masyarakat Trumon hidup terisolasi dan tidak mengenal peralatan elektronik. Pergeseran penggunaan peralatan tradisional disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang serba praktis. Hal ini menjadikan beberapa kata dan istilah menjadi asing di telinga komunitas tutur karena sudah tidak digunakannya lagi peralatan tersebut di Desa Trumon. Misalnya geunuku, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur kelapa sudah berganti dengan mesin pengukur kelapa. Ketergusuran geunuku akibat dari sudah tidak dipergunakan lagi, tidak berpengaruh pada penggunaan metafora GEUNUKU HAN MATA TIMAH, yang berasal dari ranah sumber geunuku. Metafora

(3)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

21

ini masih tetap digunakan dalam komunikasi keseharian masyarakat Trumon. Contoh tuturan yang paling umum adalah:

Jino jih GEUNUKU HAN MATA TIMAH.

sekarang org III tgl kukuran tanpa mata timah.

Secara harfiah tuturan ini bermakna: Sekarang dia kukuran kelapa tanpa mata timah. Makna leksikal, jino ‗sekarang‟, jih ‗dia‘, geunuku ‗kukuran kelapa‘, han ‗tanpa‘, mata timah (mata kukuran kelapa yang terbuat dari besi bergerigi). Makna metaforik yang terkandung dalam tuturan tersebut adalah seorang pejabat yang pada saat menduduki jabatan dan berpangkat tinggi, orang tersebut bersikap sombong, angkuh, dan ditakuti oleh bawahannya, tetapi setelah pensiun kesombongannya sirna dan didiskreditkan dalam pergaulan di masyarakat.

Keunikan ungkapan metaforik yang terbentuk oleh keberadaan lingkungan alam atau ecoregion seperti ini layak untuk dikaji dan dapat menjadi pertimbangan dalam penelitian bahasa dan fungsi referensial bahasa yang berkorelasi dengan ekologi atau ecoregion. Kajian ini difokuskan kepada penelusuran metafora sebagai perangkat kebahasaan yang terkait dengan lingkungan alam Desa Trumon (ecoregion). Kajian ini juga akan memberi deskripsi tentang keterhubungan kehidupan manusia dengan dunia fisik-biologis alam semesta yang diekspresikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan metaforik.

REFERENSI

Kajian ini berada di bawah payung ekolinguistik. Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian bahasa dan ekologis. Kajian ini dapat pula didefinisikan sebagai sebuah kajian interaksi bahasa-bahasa dan lingkungan atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan (Haugen, 1972:323). Fokus kajian berada pada bingkai ekolinguistik, maka teori-teori yang dipaparkan sebagai referensi adalah ekolinguistik yaitu kajian bahasa yang secara teoritis dipadukan dengan ekologi dan ekosistem.

Lingkungan alam atau ekosistem sekitar tempat masyarakat bermukim dapat memengaruhi kognitif atau cara berpikir dalam mengungkapkan maksud tertentu seperti yang dinyatakan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:104), termasuk pula ke dalamnya ungkapan-ungkapan metaforik yang digunakan oleh komunitas tutur pada suatu lingkungan ecoregion tertentu. Fokus kajian dipusatkan kepada bentuk metafora atau ungkapan-ungkapan metaforik yang menjadikan lingkungan alam yaitu flora, fauna serta mineral dan kehidupan manusia sebagai referensi atau ranah sumber yang berada di dalam kognitif penutur bahasa tersebut. Ranah sumber tersebut dipetasilangkan kepada manusia atau hewan sebagai tujuan atau ranah target.

Beberapa istilah ataupun terminologi ekolinguistik dikolaborasikan dengan teori kognitif linguistik digunakan sebagai rujukan dalam kajian ini. Dalam kajian ekolinguistik dikenal ada tiga parameter ekolinguistik yang diadopsi dari parameter ekologi. Parameter ekolinguistik dimaksud bermanfaat untuk menggambarkan keterkaitan bahasa dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat atau komunitas tutur, periksa (Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Parameter-parameter tersebut dikenal sebagai parameter kesalingterhubungan (interrelationship), parameter keberagaman (diversity), dan parameter lingkungan (environment).

Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan (interrelationship) linguistik dan ekologi merupakan hubungan timbal balik mahluk di lingkungan alam tertentu (ecoregion) dengan ekologinya. Hal ini terpantul pada metafora yang bernuansa isu lingkungan dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas (Fill dan Muhlhausler, 2001:1).

(4)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

22

.Parameter keberagaman (diversity) yaitu keberagaman khazanah kosa kata sebuah bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya, tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, seperti topografi iklim, biota, curah hujan, lingkungan sosial dan lingkungan budaya berkaitan dengan hubungan pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, dan lain lain (Fill dan Muhlhausler, 2001:2). Keberagam jenis spesies fauna, flora di satu lingkungan alam (ecoregion) paralel dengan keberagaman kosakata bahasa di dalam lingkungan sosial masyarakat bahasa tersebut. Keberagaman biota ini akan memperkaya khasanah kosakata bahasa tersebut. Keberagaman juga dapat ditujukan kepada hubungan ranah sumber dan ranah target dalam metafora. Kepada sebuah ranah target dapat diaplikasikan beberapa ranah target, demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat berasal dari beberapa ranah sumber.

Parameter lingkungan (environment), yaitu hubungan antara ekologi dengan spesies fauna dan flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut, termasuk pula ke dalamnya lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat sebuah bahasa berada dan digunakan. Dalam kaitannya dengan ungkapan-ungkapan metaforik, keberadaan, kondisi dan sifat spesies fauna dan flora ataupun kandungan mineral di dalam lingkungan ekologi (ecoregion) tersebut dijadikan sebagai ranah sumber yang berfungsi sebagai referensi, kemudian dipetasilangkan kepada ranah target sehingga terbentuk mefora.

Selain parameter-parameter yang telah disebutkan di atas, ekolinguistik mengenal pula teori tiga dimensi sosial praxis (The Three Dimension of Social Praxis). Teori tiga dimensi sosial praksis merupakan teori ekolinguistik yang banyak digunakan oleh Odense School yang didirikan oleh Bang dan Door (1998). Untuk mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan yang bertalian dengan penjelasan tentang norma-norma bahasa lingkungan, teori ini direprentasikan dalam bentuk kerangka teori.

Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut adalah; pertama dimensi ideologikal (the ideological dimension), yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem psikhis seseorang yang ekpresikan dalam bahasanya. Kemudian dimensi sosiologikal (sociological dimension) yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin dan memelihara hubungan individual secara kolektif, seperti rasa saling menyayangi satu sama lain, di antaranya rasa saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama teman, dan saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga adalah dimensi biological (biological dimension) yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan alam serta seluruh isinya termasuk kedalamnya spesies flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organism. Berdasarkan teori dialektikal ini tidak ada satu kejadianpun atau perwujutan mono dimensi atau mono-logikal.

Lindo dan Jeppe (2000:11), menjelaskan bahwa aktivitas bernafas sebenarnya bukan sekadar kegiatan bio-logikal manusia, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mental dan sosial manusia. Dalam kajian ekolinguistik tiga dimensi sosial praxis ini mengandung arti bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari sosial praxis. Oleh sebab itu kajian linguistik perlu mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan kedua pakar ini, ekolinguistik merupakan sebuah kajian keterhubungan bio-, sosio-, dan ideo-logikal dimensi bahasa, sehingga hubungan mental, kognitif, lingkungan sosial harus saling bahu membahu.

Dalam pandangan ekolinguistik bahwa norma-norma bahasa merupakan bagian dari praksis sosial (sosial praxis), sehingga pakar ekolinguistik berpandangan bahwa bahasa merupakan produk sosial dari semua kegiatan manusia. Namun, pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau memodifikasi kegiatan-kegiatan

(5)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

23

manusia dan praksis sosial manusia. Ini berarti adanya sebuah hubungan dialektikal bahasa dengan praksis sosial. Dalam hubungan dialektikal tersebut praksis sosial mendominasi bahasa karena praksis sosial tanpa bahasa mungkin saja terjadi, tetapi baik secara historis maupun secara logis, bahasa tanpa praksis sosial mustahil terjadi. Menurut Lindo dan Jeppe (2000:9) bahwa hubungan dialektikal dimaksud adalah hubungan individu - individu yang berbeda yang menjadi bagian dari keseluruhan.

Beberapa istilah yang akan digunakan adalah ranah sumber (source domain), ranah yang dijadikan sebagai referensi atau sumber informasi dalam pembentukan sebuah metafora yang dipetasilangkan (mapped) ke ranah target. Ranah target (target domain) yaitu ranah yang yang menjadi sasaran disebabkan oleh adanya kesaman sifat, karakter, dan atau kondisi seseorang ataupun suatu keadaan, sehingga membentuk sebuah metafora.

METODOLOGI

Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif atau deskriptif kualitatif. Tempat yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Desa Trumon Aceh Selatan. Dipilihnya desa tersebut sebagai lokasi penelitian dengan memerhatikan beberapa alasan dan pertimbangan keilmuan. Pertama, desa ini masih berada dalam lingkungan alam (ekologi) yang masih menyimpan kekayan flora dan fauna hutan yang sangat cocok untuk kajian ekolinguistik. Kedua, masyarakat desa Trumon merupakan masyarakat bilingual dalam repertoar bahasa Aceh dan bahasa Indonesia. Ketiga, masih adanya generasi tua yang dapat dijadikan informan dan tersedianya kumpulan hadih maja (ungkapan-unkapan) yang berhubungan dengan lingkungan alam. Dari dalam materi tersebut dapat dibedah metafora yang berhubungan dengan lingkungan alam. Selanjutnya, lingkungan buatan yaitu puing istana kerajaan Trumon dapat pula dijadikan pertimbangan historis dan budaya yang terkait dengan bahasanya.

Penjaringan data dilakukan secara purposive (bersengaja) dengan melibatkan delapan orang informan. Tiga orang berasal dari perangkat lembaga adat yang dipilih dari enam orang jumlah perangkat lembaga adat. Pemilihan tiga orang dari lembaga adat untuk dijadikan informan karena hanya ke tiga orang tersebut yang mempunyai banyak waktu luang dan mereka pula yang berumur di atas lima puluh tahun. Mereka merupakan penduduk yang secara turun temurun menetap di desa tersebut.

Metode yang digunakan dalam penyediaan data adalah metode simak melalui perekaman dan pencatatan. Metode simak menurut Mahsun (2005:90) tidak hanya berpatokan kepada penggunaan bahasa secara lisan, tetapi metode simak juga dapat dilakukan pada penggunaan bahasa secara tertulis. Metode simak yang penulis lakukan pada informan dengan cara teknik perekaman dan penulisan dalam pertemuan bersemuka antara informan dan penulis, didampingi oleh peneliti pendamping. Pertemuan bersemuka ini kebanyakan dilakukan di dalam rumah informan dan di rangkang ‗seperti panggung kecil‘ yang berada di halaman depan rumah informan. Metode simak terhadap penggunaan bahasa secara tertulis, penulis dapatkan dari kumpulan hadih maja yang ditulis oleh salah seorang informan bapak Ubaidilla (dapat dilihat di lembar lampiran 4), yang belum dipublikasikan.

Teknik analisis data menggunakan metode padan ekstralingual yaitu menghubungkan antara masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa. Hal berada di luar bahasa dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial Desa Trumon yang bertautan dengan alam semesta, yaitu bentuk flora dan fauna yang dijadikan sebagai ranah sumber dalam pembentukan dan penggunaan metafora. Hubungan antara lingkungan atau ekologi dan bahasa yang akan diungkap adalah yang berkaitan dengan metafora.

(6)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

24

Ungkapan-ungkapan yang diperoleh dari penelitian ini berjumlah 51, tetapi hanya akan ditampilkan sebanyak 8 metafora dari 2 ranah sumber flora untuk 3 metafora kemudian 2 dari ranah sumber fauna untuk 5 metafora. Hal ini dilakukan karena sebagian data sudah dibahas oleh Nuzwaty dkk dalam jurnal internasional (IOSR Journal of Humanities and Social Scince).

PEMBAHASAN

Untuk memudahkan pembahasan bentuk metafora ditulis dalam huruf kapital dan ranah sumber ditulis dalam huruf bercetak tebal. Berikut akan dipaparkan hasil penelitian. Pembahasan diawali dengan pembahsan pada klompok flora dan disusul oleh kelompok fauna.

Kelompok Flora

Boh Ue (Cocos Nusifera)

Boh Ue atau ue yaitu kelapa dalam bahasa Indonesia. Sebagaimana lazimnya di hampir seluruh pedesaan di bumi nusantara tumbuh pohon kelapa. Demikian pula halnya dengan desa yang sudah ditanami pohon kelapa sejak pada zaman kerajaan Trumon baik di pekarangan, kebun, maupun di sepanjang pantai. Kedekatan relasi yang berlangsung secara turun temurun dalam kehidupan sosial (dimensi sosiologikal) tampak pada pemahaman mereka tentang karakter biologis (dimensi biologikal) pohon kelapa ini muncul beberapa metafora dalam tuturan-tuturan di Desa Trumon. Satu di antaranya adalah: UE TUPE KAB. (ue ‗kelapa‘, tupe ‗tupai‘, kap ‗digigit‘). Secara harfiah UE TUPE KAB bermakna ‗kelapa sudah digigit tupai‘.

Kelapa sering menjadi makanan tupai. Ketika, memakan buah kelapa pada umumnya tupai menggigit sampai merusak isi dalam kelapa, tetapi adakalanya tupai hanya menggigit sebagian kulit luarnya saja. Dari pengalaman empiris masyarakat setempat melihat bahwa kelapa yang sudah digigit oleh tupai walaupun gigitan hanya pada kulit luarnya saja, dapat menjadikan kelapa-kelapa tersebut gugur sebelum matang atau tua. Dari situasi seperti ini muncul metafora UE TUPE KAB. Makna metaforis dari metafora ini ditujukan kepada seorang anak dara yang sudah ternoda. Sama halnya dengan buah kelapa yang sudah digigit tupai dianggap sudah tidak berharga dan berguna lagi.

Parameter keterhubungan (interrelationship) ranah sumber ‗kelapa yang sudak rusak‘ dengan ranah target ‗anak gadis yang sudah ternoda‘ dan parameter lingkungan (environment) yaitu rusaknya buah kelapa akibat dari gigitan tupai terjadi secara alamiah dalam lingkungan alam dan dijadikan sebagai ranah sumber ditranformasikan kepada ranah target yaitu manusia (anak dara atau gadis), kondisi ini terjadi dalam mental dan kognitif (dimensi ideologikal) komunitas bahasa di Trumon dan dianggap sebagai sebuah peristiwa alamiah (dimensi biologikal) yang dialami oleh buah kelapa yang sudah digigit tupai menjadi rusak sampai ke dalam isinya. Walaupun kerusakan dalam isi buah tidak kelihatan secara implisit tetapi buah kelapa tersebut sudah rusak dan menyebabkannya gugur sebelum waktunya dan jarang sekali buah kelapa seperti ini laku di jual di pasar. Peristiwa atupun keadaan seperti ini dalam lingkungan sosial (dimensi sosiologikal) ditranformasikan kepada keadaan seorang anak dara yang sudah ternoda sebelum hari pernikahannya secara sah terjadi.

Selain metafora UE TUPE KAB masih terdapat metafora yang berasal dari ranah sumber ue, tetapi bukan buah kelapa yang dijadikan sebagai ranah sumber. Ranah sumber tersebut adalah pelepah kelapa yang ditranformasikan ke ranah target yaitu suatu kebiasaan yang dilakukan manusia. Metafora dimaksud adalah: TUKOK UE RHOT PUREUDEE, secara harfiah pelepah kelapa jatuh ke pangkal pohon.

(7)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

25

Karakter biologis pohon kelapa tumbuh tinggi menjulang dan terus menjulang jauh dari permukaan bumi. Namun, setinggi apaun pohon kelapa tersebut tumbuh jika sudah tua, secara alami (dimensi bilogikal) pelepah kelapa akan jatuh ke pangkal pohon. Peristiwa alamiah ini berinterelasi dengan peristiwa yang dilakukan manusia dalam hal ini, menyangkut kepada kepergian seseorang untuk merantau meninggalkan tanah kelahiran dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Generasi muda Trumon pada umumnya gemar merantau, meninggalkan kampung halaman untuk mencari sumber kehidupan yang lebih baik. Ketika sudah berhasil ataupun ketika mereka sudah merasa bahwa mereka sudah menjelang tua lazimnya mereka akan kembali ke kampung halaman. Mereka berusaha untuk kembali pulang ke tanah kelahiran walaupun mereka sudah berada jauh sekali dari kampung halaman dan sudah lama meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan pohon kelapa yang sudah tumbuh tinggi jauh dari permukaan bumi, suatu ketika pelepah pasti jatuh ke pangkal pohon yaitu ke asalnya.

Parameter keterhubungan (interrelationship) yaitu keterhubungan keadaan ranah sumber yaitu gugurnya atau jatuhnya pelepah kelapa ke cabang asalnya dengan para perantau ke kembali ke daerah asalnya atau tanah kelahirannya dalam kognitif (dimensi ideologikal). Parameter lingkungan (environtment) antara peristiwa alamiah yang terjadi pada kehidupan pohon kelapa dengan kehidupan manusia yang gemar merantau (dimensi biologikal) merupakan dua pengalaman empiris yang dianggap sama dalam konitif (dimensi ideologikal) dan kehidupan sosial (dimensi sosiologikal) masyarakat Trumon. Semua kenyataan ini membentuk metafora TUKOK UE RHOT PUREUDEE yang menjadikan pelepah kelapa sebagai ranah sumber dan manusia perantau sebagai ranah target. Contoh tuturan yang lazim diucapkan orang tua ataupun sanak keluarga, ketika melepas keberangkatan seseorang adalah seperti contoh berikut:

Bek tuo TUKOT UE RHOT PUREUDE

jangan (tidak boleh)‘ lupa kembali menata kehidupan di kampung halaman Makna metaforik tuturan ini adalah ‗kalau sudah merantau jangan lupa pulang ke kampung halaman dan menetap di sana‘. Selain kedua metafora yang telah dijelaskan sebelumnya masih ada metafora yang beranah sumber kelapa atau ue yaitu: UE LAKEE DHEN. Metafora UE LAKEE DHEN secara harfiah bermakna ‗kelapa minta dahan‘. Karakter biologis pohon kelapa hanya mempunyai pelepah tempat tumbuhnya daun, berbeda dengan lazimnya pohon lain, yaitu daun-daun pohon keluar dari cabang-cabang atau dahan - dahan pohon.

Pemahaman tentang karakter biologis pohon kelapa yang tidak mungkin memiliki dahan terekam di dalam kognitif masyarakat tutur (dimensi ideologikal) seterusnya ditranformasikan suatu keadaan yang mengekspresikan sesuatu kemustahilan yang diperoleh oleh seseorang dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkannya dan tidak menyadari kelemahannya. Situasi seperti ini dinyatakan dalam ungkapan metaforik: UE LAKEE DHEN ‗orang tidak sadar akan kelemahannya‘ atau ‗orang yang berharap kepada sesuatu yang mustahil ia dapatkan. Contoh situasi yang dapat digambarkan oleh metafora ini umpamanya seseorang yang hanya memiliki tingkat pendidikan tamatan sekolah dasar tetapi berusaha mencalonkan diri menjadi bupati, kepadanya akan dikatakan orang: Jih (dia) UE LAKEE DHEN. Secara harfiah ‗dia pohon kelapa yang minta tangkai‘ Makna metaforis dari ucapan itu adalah ‗dia mengharapkan sesuatu yang mustahil diperolehnya‘.

Parameter keterhubungan (interrelationship), yaitu adanya keterhubungan antara dua hal yang mustahil terjadi. Kemustahilan yang pasti tidak akan terjadi pada pohon kelapa yaitu pohon kelapa tidak akan pernah mempunyai cabang. Parameter lingkungan (environtment), berkaitan dengan peristiwa alamiah yang terkandung di dalam kehidupan

(8)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

26

pohon kelapa yaitu memiliki cabang pohon dipetakan kepada sesuatu yang mustahil didapatkan oleh seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginannya. UE LAKEE DHEN dalam kognitif (dimensi ideologikal) masyarakat Desa Trumon dipetasilangkan kepada ranah target yaitu manusia yang mengharapkan sesuatu yang mustahil di perolehnya.

Lada (Piper nigrum)

Lada dalam bahasa Indonesia disebut lada atau merica. Di Desa Trumon pohon lada dibudidayakan oleh masyarakat dan pertanian lada di desa ini pada umumnya merupakan ladang pertanian yang diwariskan secara turun temurun. Pohon merica merupakan tanaman primadona di zaman kejayaan kerajaan Trumon. Ini disebabkan karena harga merica sangat tinggi dan merupakan salah satu komuditas yang diincar oleh kolonial Belanda.

Lada bernilai ekonomis tinggi dan terekam secara koletif dalam kognitif masyarakat tutur (dimensi ideologikal) memunculkan metafora: LADA TEUNGOH TANGKOH, yang secara harfiah bermakna lada yang sedang menjadi atau sedang subur atau sedang berbuah banyak. Keadaan itu berpengaruh positif terhadap kehidupan si pemilik kebun yang menjadikannya hidup berkecukupan dan makmur. Makna metaforis dari LADA TEUNGOH TANGKOH ditujukan kepada sesorang yang memiliki pendapatan ataupun penghasilan yang sedang meningkat sehingga kehidupannya menjadi lebih makmur.

Parameter keterhubungan (interrelationship) yaitu keterhubungan suatu gambaran pengalaman dalam kehidupan sosial (dimensi sosial) bahwa memiliki kebun lada yang subur akan menciptakan kehidupan yang makmur. Dalam kognitif (dimensi ideologikal) masyarakat Desa Trumon pemikiran seperti ini sudah lazim. Parameter lingkungan (environment) tentang kesuburan pohon yang menghasilkan buah yang melimpah berimbas kepada penghasilan si pemilik pohon atau kebun, menjadikan merica atau lada sebagai metafora LADA TEUNGOH TANGKOH, yang menjadikan lada sebagai ranah sumber dipetakan kepada ranah target yaitu kondisi kemakmuran manusia. Kemakmuran yang peroleh para petani merica dalam kehidupan sosial (dimensi sosial) sungguh sangat dirasakan oleh masyarakatnya. Hal ini terjadi karena keduanya menunjukkan kesamaan situasi sosial (dimensi sosial) yaitu melambangkan kemakmuran di dalam kehidupan sosial komunitas tersebebut. Sebagai contoh tuturan yang ditujukan kepada sesorang yang sedang mendapatkan kemakmuran ini dapat berupa:

Jino jih nyan LADA TEUNGOH TANGKOH.

saat ini dia itu

Makna metafora dari tuturan ini adalah ‗hidupnya sudah makmur sekarang‘. Saat ini pohon merica sudah tumbuh kurang subur dan hampir diabaikan keberadaannya dan sudah tidak lagi menjadi tanaman primadona, akan tetapi metafora untuk menyatakan kemakmuran seseorang atau masyarakat tetap digunakan metafora LADA TEUNGOH TANGKOH. Metafora ini digunakan secara konvensi masyarakat bahasa Desa Trumon. Karakteristik metafora LADA TEUNGOH TANGKOH adalah bercirikan konvensi masyarakat. Berikut ini akan dibahas ungkapan metaforik yang menjadikan fauna sebagai ranah sumber.

Kelompok Fauna Kameng (Capra Hircus)

Kameng dalam bahasa Indonesia disebut kambing. Hewan ini merupakan hewan ternak yang banyak berkembang biak di Desa Trumon. Hampir setiap keluarga memelihara kambing. Memelihara kambing sudah dilakukan oleh masyarakat sejak

(9)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

27

puluhan tahun yang lalu, secara turun temurun sehingga hampir setiap rumah mempunyai kandang kambing. Kehidupan serta karakteris biologis hewan ini dipahami dan menjadi pengetahuan empirik yang terekam dalam kognitif anggota masyarakat Desa Trumon memunculkan beberapa metafora satu diantaranya adalah KAMENG KAP SITEUK,

KAMENG KAP SITEUK, secara harfiah bermakna, kambing makan atau menggigit daun upih atau pelepah daun pinang. Daun upih yang dimakan oleh kambing biasanya pelepah pohon yang masih muda, yang belum tumbuh tinggi atau pohon yang baru tumbuh. Daun upih sebenarnya bukan makanan hewan ini, namun adakalanya hewan ini memakan daun nipah.

Secara alamiah dan berdasarkan pengalam empirik melalui indra penglihatan masyarakat tutur bahwa kambing suka berjalan bergerombol, dan jika seekor kambing makan upih, biasanya akan disusul oleh kambing lainnya yang ada dalam gerombolan tersebut padahal daun upih bukan termasuk makanan ternak untuk hewan ini. Keikutsertaan semua kambing memakan daun upih yang terjadi secara alami terekam dalam kognitif (dimensi ideologikal) anggota masyakakat Desa Trumon memunculkan metafora KAMENG KAP SITEUK ditujukan pada seseorang yang ikut-ikutan melakukan pekerjaan atau perbuatan yang dilakukan oleh orang lain padahal perkerjaan tersebut tidak memberikan manfaat padanya dan metafora ini biasanya ditambahkan kata meuron-ron berbondong-bondong untuk lebih menekankan maksudnya, seperti pada contoh berikut ini:

Meuron-ron lagee KAMENG KAP SITEUK.

Contoh kegiatan yang dapat dikaitkan dengan KAMENG KAP SITEUK adalah seseorang yang ikut-ikutan demonstrasi tanpa mengetahui maksud demontrasi tersebut serta kegiatan itu tidak memberi manfaat baginya.

Parameter keterhubungan (interelationship) dan parameter lingkungan (environtment) yaitu antara keterhubungan kambing makan upih dengan manusia yang ikut - ikutan melakukan sedangkan dia sendiri tidak tahu manfaat dari pekerjaan itu. KAMENG KAP SITEUK dijadikan sebagai ranah sumber dipetakan kepada ranah target yaitu seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pekerjaan atau perbuatan secara ikut-ikutan saja sedangkan pekerjaan itu tidak memberi manfaat baginya,. Terbentuknya metafora ini karena adanya pengalaman empiric yang terekam melalui indra penglihatan dalam keseharian yang akhirnya terekam dalam mental atau kognitif komunitas Desa Trumon. Kegiatan kambing menggigit daun upih secara berkelompok ditranformasikan kedapa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan cara ikut-ikutan dan kegiatan tersebut memberi manfaat baginya.

Selain dari metafora KAMENG KAP SITEUK, masih ditemukan metafora lainnya yang menjadikan kameng sebagai ranah sumber adalah KAMENG TUTONG ULEE. Secara harfiah makna dari ungkapan ini adalah kambing yang kepalanya terbakar. Secara alamiah kambing yang kepalanya terbakar pastilah kalut dan mengembik dengan suara gaduh dan berlari tunggang langgang. Situasi yang terjadi secara alamiah ini membentuk sebuah metafora yang mengandung makna metaforis ditujukan kepada seseorang atau sekelompok orang yang sedang kalut menghadapi keadaan dan tidak tahu atau lupa cara penyelesaiannya. Untuk mengatasinya dia hanya berjalan hilir-mudik.

Metafora ini juga dialamatkan pada seseorang yang rumahnya berantakan karena baru selesai dibongkarnya untuk mencari sesuatu yang hilang. Hal ini disebabkan oleh kelalaiannya sendiri sehingga dia lupa di mana dia menyimpan atau meletakkan barang tersebut. tuturan yang dapat dijadikan contoh adalah:

(10)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

28

Arti harfiah dari tuturan ini adalah: Mengapa nak seperti kambing kepelanya terbakar. Makna metaforis yang terkandung dari tuturan ini adalah: mengapa nak kamu kalut sekali

Parameter keterhubungan (interelationship) dan parameter lingkungan (environtment) dalam pemetaan ranah sumber KAMENG TUTONG ULEE yang berkenaan dengan pengalaman alamiah dalam konteks sosial (dimensi sosial) dengan rekaman dalam kognitif (dimensi ideologikal) masyarakat Desa Trumon kepada ranah target disebabkan oleh adanya persamaan sifat ketika seekor kambing terbakar kepalanya menjadi kalut dan kesakitan dengan seseorang atau sekelompok orang ketika kalut karena kehilangan sesuatu yang berharga yang menyebabkannya bersusah payah membongkar semua lemari dan tempat-tempat penyimpanan barangnya.

Selain dari dua metafora yang menempatkan kambing sebagai ranah sumber, masih ditemukan metafora yang didukung ranah sumber kambing yaitu KAMENG LAM UJEUN, secara harfiah bermakna: kambing kehujanan atau kambing mandi hujan. Berdasarkan pengalaman empirik masyarakat Desa Trumon melalui indra penglihatan, ketika hari hujan biasanya kambing berusaha lari untuk menghindar dari hujan. Secara alami, kambing takut dengan air terutama air hujan (dimensi biologikal) karena kalau hewan ini kena hujan dia sengsara dan jika di sekitar kandang tidak diberi perapian dapat mengakibatkannya sakit dan dapat pula berakhir dengan kematiannya.

Keadaan kambing yang kehujanan tersebut terekam dalam kognitif masyarakat tutur dan membentuk satu metafora KAMENG LAM UJEUN yang ditranformasikan kepada seseorang yang hidupnya sangat melarat dan tertimpa musibah penyakit. Untuk kebutuhannya sehari-hari banyak diterimanya dari belas kasihan orang lain. Parameter kesalingterhubungan (interrelationship) yaitu keterhubungan antara keadaan kambing yang kehujanan atau KAMENG LAM UJEUN dengan manusia atau seseorang yang kehidupannya sangat susah atau dapat dikatakan tingkat hidupnya berada dalm garis kemiskinan. Parameter kesalingterhubungan dan parameter lingkungan (environment) memposisikan KAMENG LAM UJEUN sebagai ranah sumber dipetakan kepada seseorang yang melarat sebagai ranah target.

Keubeue (Bos Bubalus)

Keubeue dalam bahasa Indonesia disebut kerbau merupakan binatang peliharan di desa Trumon. Pada zaman dahulu kerbau dipekerjakan untuk membantu para petani membajak sawah. Pada masa kini pekerjaan kerbau ini sudah digantikan dengan mesin atau traktor. Secara alamiah (dimensi biologikal) kerbau suka berkubang di lumpur yang mengakibatkan badannya penuh ditutupi oleh lumpur sehingga tubuhnya kelihatan kotor. Kejadian yang terjadi secara alami ini memunculkan sebuah metafora KEUBEUE MEULEUHOP yang secara harfiah bermakna kerbau berlumpur atau kerbau berkubang. Makna metaforis KEUBEUE MEULEUHOP ditujukan kepada seseorang yang suka berbuat kejahatan atau suka berbuat dosa. Dalam kehidupan sosial (dimensi sosiologikal) orang yang demikian dianggap (dimensi ideologikal) oleh masyarakat sebagai orang yang bergelimang dosa. Ketika orang tua mengetahui anak sudah mulai dekat dengan orang yang demikian, sangat lazim orang tua sianak mengingatkan si anak dengan menggunakan tuturan:

Hai nyak bek toe ngon KEUBEUE MEULEUHOP ‗Anakku sayang jangan dekat dengan kerbau yang berlumpur‘. Makna metaforik tuturan orang tua tersebut berbentuk nasihat yang mengisaratkan sebuah larangan agar anaknya tidak berteman dengan orang tersebut, karena orang tersebut suka berbuat dosa atau orang yang bergelimang dosa.

Parameter keterhubungan (interrelationship) dan parameter lingkungan (environment) dalam kogitif masyarakat di Desa Trumon memetakan ranah sumber

(11)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

29

berupa kerbau berlumpur yang secara alamiah kebiasaan ini merupakan kebiasaan lazim atau yang disukai kerbau, ditujukan kepada ranah target yaitu seseorang yang suka berbuat dosa atau yang bergelimang dosa.

Selain metafora KEUBEU MEULEUHOP masih ada metafora lainnya yang berasal dari ranah sumber kerbau yaitu: KEUBEU MEUROT LAM NGOM, secara harfiah makna ucapan tersebut adalah kerbau makan rumput dalam padang ilalang. Secara alamiah makanan kerbau adalah rumput. Di Desa Trumon hewan ini digembala secara berkelompok ke padang rumput. Kerbau-kerbau ini biasanaya tidak akan masuk ke padang ilalang karena padang ilalang hanya ditumbuhi oleh ilalang dan pada umumnya rumput tidak banyak tumbuh di sana karena sudah ditutupi oleh ilalang. Menjadi suatu hal yang tidak lazim jika kerbau makan rumput di padang atau di dalam ilalang. Ketidaklaziman tersebut membentuk sebuah metafora KEUBEU MEUROT LAM NGOM yang ditranformasikan kepada ranah target yaitu seseorang yang mempunyai kebiasaan hidup terpisah dari anggota masyarakatnya.

Anggota masyarakat di Desa Trumon tidak lazim hidup memisahkan diri dari lingkungan masyarakatnya. Mereka hidup berdampingan dan saling membantu, bahu membahu dalam mengisi kehidupan mereka. Jika ada salah seorang dari anggota masyarakatnya yang menjauhkan atau memisahkan diri dari kehidupan bermasyarakat dan tidak perduli dengan lingkungan masyarakatnya orang tersebut akan mendapatkan predikat: KEUBEU MEUROT LAM NGOM, atau Lagee KEUBEU MEUROT LAM NGOM.

Parameter keterhubungan (interrelationship), parameter lingkungan (environtment), dan parameter keberagaman (deversity) pada ranah sumber KEUBEU MEUROT LAM NGOM yang dipetakan kepada ranah target yaitu manusia dalam kognitif (dimensi ideologikal) komunitas Desa Trumon berdasarkan keadaan yang tidak lazim dilakukan oleh seekor kerbau yaitu makan terpisah dari rombongannya ditempat yang tidak sesuai dengannya. Ranah target manusia juga tidak lazim bagi anggota masyarakat Desa Trumon hidup memisahkan diri dari kehidupan dalam masyarakat di tempat tinggalnya.

SIMPULAN

Pada hakikatnya, metafora di Desa Trumon terbentuk dari pengalaman inderawi anggota masyarakat dan dari interelasi sifat-sifat alamiah dengan kejadiaan atau keadaan yang dialami ataupun diamati oleh masyarakat tutur bahasa Aceh di Desa Trumon. Interelasi sifat alamiah dengan kejadiaan atau keadaan dimaksud adalah kondisi dan karakter biologis flora, fauna yang bertalian dengan ekologi di sekitar lingkungan alam Desa Trumon (ecoregion) yang seterusnya terekam secara verbal dalam kognitif masyarakat tutur melalui tatanan tiga dimensi sosial praksis menjadikan semua itu (flora, fauna, non- flora dan non- fauna) sebagai ranah sumber dipetasilangkan melalui parameter ekolinguistik kepada manusia atau kondisi, perilaku, dan keadaan manusia sebagai ranah target. Pemetaan silang ini terjadi karena adanya kesamaan pada ciri-ciri ataupun karakteritik keduanya yang diperoleh secara empirik sebagai bukti empiris yang diamati dan dipahami oleh anggota masyarakat tutur dalam kehidupan sosial mereka.

Interdependensi karakter fisik-biologis flora, fauna, dan benda ataupun manusia yang menetap atau yang pernah hidup di Desa Trumon dan lingkungan alam tertentu (ecoregion) sebagai ranah sumber yang dipetasilangkan kepada manusia sebagai ranah sumber bertalian dengan kondisi dan perilakunya ataupun karakter manusia tersebut berlokasi di mental dan kognitif anggota masyarakat tutur. Peristiwa atau kondisi tersebut kemudian direalisasikan dalam komunikasi verbal di kehidupan sosial masyarakat tutur.

(12)

Jurnal TUTUR, Vol. 3 No. 1. Pebruari 2017 ISSN 2442-3475 ASOSIASI PENELITI BAHASA-BAHASA LOKAL (APBL)

30

Metafora-metafora yang digunakan dalam komunikasi verbal pada interaksi sosial masyarakat Desa Trumon dapat dikategorikan sebagai metafora konseptual. Disebut demikian karena metafora yang digunakan di Desa Trumon bercirikan konseptual alamiah dalam interrelasi dan interdependensi unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia serta lingkungan alam yang mendukungnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, H. Sayed Mudhahar. 1992. Ketika Pala Mulai Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan). Tapak Tua: Pemerintah Daerah Aceh Selatan.

Athaillah dan Abdullah Faridan. 1984. Ungkapan Tradisisonal sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh. Jalarta: DEPDIKBUD.

Cruse, D Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. New York: Oxford University Press.

Denzin, Norman. K dan Lincoln, Yvonna. S. 2009. Handbook Of Qualitative Research: Seri Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (Eds). 2001. The Ecolinguistics Reader: Language,

Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.

Grix, Jonathan. 2004. The Foundations of Research. New York: Palgrave Macmillan. Goatly, Andrew. 1997. The Language Of Metaphors. London and New York: Routledge. Hasjim M. K. 1977. Peribahasa Aceh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Haugen, Einer. 1972.The Ecology of Language. Standford, CA: Standford University Press.

Kovecses, Zoltan. 2006. Languange, Mind, And Culture: A Practical Introduction. New York: Oxford University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Kastamonu Üniversitesi: Fen-Edebiyat, Eğitim, Orman ve İnebolu Su Ürünleri fakülteleri; Sağlık, Beden Eğitimi ve Spor, Sivil Havacılık yüksek okulları, Meslek Yüksek

%etelah menerima surat usulan dari Kepala Kantor Pertanahan Ka+upaten Ku+u Raya, maka tahap selanjutnya adalah Kepala Kantor  :ilayah mem+uat surat keputusan

15 H. Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam h.. c) ﻞﻤﻋ dimana masing-masing dari kedua yang berserikat mengeluarkan harta yang sama seperti harta yang dikeluarkan oleh pihak yang

 Memfasilitasi pertemuan forum polisi dan masyarakat secara berkala (setidaknya dilakukan sekali dalam satu bulan). Tujuannya adalah untuk menciptakan saluran -

Sebagian besar para nasabah memilih produk Term Life-PLAN 99 Syari'ah (Perlindungan Jiwa). 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi minat nasabah untuk memilih asuransi

Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti melakukan credibility dengan triangulasi yaitu dengan cara mengecek data yang diperoleh melalui beberapa sumber. Data

Responden yang menyatakan memilih karena ketokohan, belum tentu memiliki tingkat pengetahuan seputar latar belakang, rekam jejak ataui visi misi dari masing-masing

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep