• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG AGRIBISNIS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEDESAAN DI NUSA TENGGARA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG AGRIBISNIS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEDESAAN DI NUSA TENGGARA BARAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KAMBING MENDUKUNG

AGRIBISNIS DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEDESAAN DI

NUSA TENGGARA BARAT

YAHANES G.BULU,MASHUR ,SASONGKO W.R.dan A.MUZANI

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tengara Barat

ABSTRACT

The Opportunity of Goat Development in Agribusiness Support and Economic Village Growth in West of Nusa Tenggara).-. Populasi ternak kambing di Nusa Tenggara Barat selama 7 tahun terakhir mengalami penurunan sebesar

21,4%, yang disebabkan perubahan iklim, tingkat kelahiran rendah dan tingkat kematian ternak realtif tinggi. Tingkat kelahiran kambing yang rendah dan tingkat kematian tinggi terutama disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi pemeliharaan kambing yang sangat rendah. Beberapa hasil pengkajian mengenai ternak kambing melaporkan bahwa tingkat reproduksi (kesuburan) ternak kambing relatif rendah yang disebabkan oleh penerapan teknologi pakan (manajemen pemberian pakan) yang sangat kurang. Potensi wilayah NTB yang sebagian besar adalah lahan kering mempunyai peluang yang cukup besar untuk pengembangan ternak kambing berorientasi agribisnis. Pengembangan ternak kambing pada lahan kering dengan dukungan teknologi, pemanfaatan sumber daya lokal, pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan tani maka memungkinkan untuk meningkatkan produksi ternak kambing. Ternak kambing merupakan salah satu komoditi peternakan yang efesien, mudah dipelihara dan cepat menghasilkan, sehingga sangat relevan dan cocok untuk dikembangkan pada petani kecil di wilayah pertanian marginal. Pengembangan pertanian lahan kering melalui peningkatan produktivitas ternak kambing memerlukan dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan yang potensial untuk pengembangan peternakan dan pemberdayaan petani miskin yang sebagian besar berada di wilayah lahan kering.

Kata kunci: Pembangunan pertanian, produksi, ternak kambing, agribisnis, pertumbuhan ekonomi, dan kawasan pedesaan

PENDAHULUAN

Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tergolong wilayah kering beriklim kering di kepulauan nusa tenggara. Seperti halnya dengan daerah-daerah lain bahwa masyarakat tani di NTB masih terkonsentrasi pada kegiatan produksi komoditas tanaman pangan dan usaha peternakan yang sebenarnya mempunyai kontribusi sangat besar terhadap pendapatan rumah tangga masih merupakan usaha sampingan. Menurut KASRYNO

(2003) bahwa kecenderungan tersebut disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan yang bias pada beras telah merobah pola konsumsi dan pola produksi. Kondisi ini membuat ketergantungan pada beras yang tinggi, sedangkan kemampuan memproduksi terbatas.

Peluang pengembangan ternak kambing di NTB memiliki daya saing yang cukup tinggi, di mana luas lahan kering yang berpotensi untuk pengembangan kambing mencapai ± 1,7 juta hektar. Kambing merupakan ruminansia yang mampu beradaptasi baik pada wilayah kering beriklim kering, karena dapat memanfaatkan

berbagai sumber pakan hijauan seperti rumput alam, jerami tanaman, dan terutama daun-daunan pohon yang lebih disukai kambing (PARKINS et al.,

1986, PANJAITAN dan TIRO, 1996 dan

DJAYANEGARA danSETIADI,1999).

Pemeliharaan ternak kambing di NTB sebagian besar dilakukan oleh petani kecil pada wilayah lahan kering. Menurut SIBANDA et al., 1999 dalam

DAHLANUDDIN (2002), bahwa sebagian besar

populasi kambing di dunia dimiliki oleh peternak tradisional dengan skala kecil (small holder farming). Kambing merupakan yang efesien dalam memanfaatkan lahan marginal (SHARMA et al.,

1992). Disamping itu ternak kambing cepat berkembang biak dengan kemampuan beranak 2–3 ekor dengan frekuensi melahirkan dua kali setahun (PAAT et al.,1993).

Populasi ternak kambing di NTB pada tahun 2003 mencapai 282.500 ekor (BPS,2003) di mana populasi terbesar dipelihara di lahan kering

(SUWARDJI danTEJOWULAN,2002). Populasi ternak

kambing dari tahun 1997–2003 mengalami penurunan sebesar 21,4% yang disebabkan oleh faktor perubahan iklim, tingkat kelahiran rendah,

(2)

Tabel 1. Perkembangan populasi ternak kambing di Nusa Tenggara Barat

Populasi ternak kambing menurut kabupaten (ekor) NTB

Lobar Loteng Lotim Sumbawa Dompu Bima Mataram

1997 29.094 62.352 90.306 26.262 32.630 100.212 2.208 343.064 1998 30.904 64.079 63.214 41.663 37.020 34.327 1.978 273.184 1999 27.756 56.120 42.049 52.373 13.275 40.141 2.349 234.063 2000 27.221 51.346 44.990 62.708 15.088 38.069 1.455 240.877 2001 29.385 49.068 45.747 57.225 17.039 38.534 2.227 239.225 2002 31.423 50.049 48.393 62.417 17.821 42.455 2.067 254.625 2003 33.795 70.571 48.168 63.557 21.217 42.715 2.447 282.500 Sumber: Data sekunder diolah

dan tingkat kematian tinggi. Rendahnya tingkat kelahiran dan tingkat kematian kambing yang tinggi lebih disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi pemeliharaan kambing yang sangat rendah, terutama penerapan komponen teknologi pakan yang sangat kurang pada musim kemarau

(YOHANES et al.,2004). Keadaan curah hujan yang

selalu berubah setiap tahun mempengaruhi kemampuan padang rumput dalam menampung jumlah ternak yang digembalakan, terutama pada curah hujan rendah jumlah rumput yang tumbuh berkurang. Daerah-daerah yang mempunyai stocking rate (jumlah ternak yang digembalakan pada suatu unit lahan pada waktu tertentu) lebih kecil dibandingkan pada daerah curah hujan sedang atau tinggi. Keadaan ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ternak yang dicerminkan melalui performans produksi yang lebih rendah di daerah dengan curah hujan rendah dibandingkan pada daerah curah hujan sedang

(MASHUR, 1991). MUZANI et al, (2000),

melaporkan bahwa pemberian pakan hijauan yang relatif kurang, baik dari segi jumlah maupun mutunya sehingga menyebabkan tingkat kesuburan kambing sangat rendah. Pola pemeliharaan kambing dengan digembalakan pada siang hari di padang pengembalaan merupakan suatu ciri usaha ternak kambing tradisional yang cenderung sebagai usaha sampingan. Hal tersebut menyebabkan tingkat pengetahuan mereka mengenai manajemen pakan sangat kurang, peternak hanya bergantung pada jenis hijauan tertentu saja.

Populasi kambing di NTB menempati urutan kedua setelah sapi Bali, sehingga memungkinkan dalam pengembangan kambing yang efesien dan berdaya saing pada lahan marginal. Rata-rata pemilikan ternak kambing oleh petani di pulau Lombok berkisar antara 4,4–4,7 ekor per rumah tangga (DAHLANUDDIN et al., 2002; YOHANES et

al., 2004). Dengan pemilikan yang relatif rendah sangat sulit untuk mendukung usaha agribisnis di pedesaan, sehingga diperlukan strategi peningkatan produksi untuk meningkatkan pemilikan kambing per rumah tangga hingga mencapai skala ekonomi minimum. Usaha peternakan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pedesaan yang belum dikembangkan dengan teknologi maju akan cenderung tergusur (KASRYNO, 2003).

Pengembangan komoditi peternakan ke depan dengan dukungan “industry cluster” dan penguasaan aset produktifnya yang relatif merata berpeluang sebagai sumber pertumbuhan ekonomi pedesaan.

ISI TINJAUAN

Peluang Pengembangan Ternak Kambing

KASRYNO (2003), mengatakan bahwa tantangan

dan peluang pembangunan pertanian dan pedesaan kawasan timur sangat bervariasi, yaitu 1) tingkat kemiskinan masih tinggi; 2) pemanfaatan sumberdaya alam belum optimal; 3) ada kecenderungan merosotnya kemampuan produksi komoditi pertanian; 4) kearifan lokal yang sudah cenderung memudar; 5) belum ada terobosan teknologi untuk mendukung perkembangan kearifan lokal pertanian; 6) nilai tambah ekonomi yang tinggal di pertanian dan pedesaan relatif kecil, sebagian besar mengalir keluar; 7) desentralisasi manajemen pembangunan seharusnya dapat merubah kinerja pembangunan pedesaan; dan 8) permintaan komoditi unggulan di kawasan timur Indonesia cenderung meningkat cepat.

Ditinjau dari potensi lahan, populasi kambing dan ketersediaan pakan hijauan ternak terutama di pulau Lombok dimana sebagian besar petani

(3)

menanam tanaman legume turi memungkinkan pengembangan agribinis ternak kambing di NTB. Semua peternak di pulau Lombok memiliki tanaman turi meskipun sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan. Penanaman turi dilakukan di lahan sendiri atau lahan garapan. Bagi peternak yang tidak memiliki lahan menanam turi di lahan orang lain dengan sistem bagi hasil

(DAHLANUDDIN,et al,2002) yaitu daun turi untuk

peternak dan batang kayu pohon turi untuk pemilik lahan. Hal ini merupakan strategi bagi peternak untuk mengatasi kekurangan pakan hijauan terutama pada musim kemarau, sehingga kebiasaan yang sudah terpola itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ternak kambing.

Prospek pasar ternak kambing baik pasar lokal maupun nasional serta ekspor cukup besar dengan harga yang bersaing. Selama tahun 2001-2002 tercatat jumlah ternak kambing dari pulau Lombok yang di antar pulaukan mencapai 7.579 ekor. Jumlah pemasukan ternak dari NTT pada tahun yang sama sebanyak 5.334 ekor. Sedangkan jumlah kambing yang di potong dari tahun 1997–2003 mengalami penurunan seiring dengan penurunan populasi kambing. Di pihak lain harga kambing dan kulit kambing/domba terus meningkat setiap tahunnya. Harga kambing meningkat sebesar 35,9% dari tahun 1997–2003, sedangkan harga

kulit kambing meningkat sebesar 75,9% (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan ada kecenderungan bahwa harga kambing akan meningkat terus, walaupun jumlah kambing yang di potong menurun. Ternak kambing yang di datangkan dari NTT sebagian besar adalah ternak bibit. Sebagian besar status pemilikan kambing yang dipelihara oleh petani kecil adalah kambing milik orang lain yang dipelihara dengan sistem bagi hasil. Para petani kecil di lahan kering mempunyai kemauan untuk memelihara kambing, namun kemampuan ekonomi (permodalan) yang tidak mencukupi sehingga keinginan itu tidak tercapai. Kemampuan petani kecil untuk mengakses permodalan pada lembaga keuangan formal sangat kecil karena mereka dihadapkan pada persyaratan-persyaratan peminjaman yang dianggap sangat rumit.

Jumlah rumah makan dan restoran sebagai pemasok daging kambing di NTB masih tergolong relatif kurang, hal ini seiring dengan tingkat konsumsi daging kambing sebagian besar masyarakat relatif rendah. Namun mempunyai kecenderungan terjadi peningkatan pengeluaran per kapita untuk konsumsi daging pada setiap tahunnya. Rata-rata pengeluaran untuk konsumsi daging dari tahun 2000–2003 berkisar antara Rp. 5.038,32–Rp. 6.333,44/kapita per bulan atau terjadi peningkatan sebesar 20,4%.

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pemotongan Kambing, Harga Kambing Dan Harga Kulit Kambing/Domba Di NTB Tahun Jumlah pemotongan kambing

(ekor)

Perkembangan harga kambing (Rp/ekor)

Perkembangan harga kulit kambing (Rp/lembar) 1997 10.887 250.000 6.500 1998 10.036 265.000 7. 000 1999 8.524 273.000 8.500 2000 7.965 270.000 9.500 2001 6.654 300.000 11.000 2002 4.741 350.000 22.500 2003 7.435 390.000 27.000

Sumber: Data sekunder diolah

Tabel 3. Rata-rata peningkatan/kapita/bulan untuk konsumsi daging masyarakat desa dan kota Rata pengeluaran (Rp)

Tahun

Kota Desa Rata-rata

2000 5.157,03 7.641,33 6.005,44

2001 7.820,91 3.469,99 5.038,32

2002 7.872,31 4.016,29 5.442,15

2003 8.813 5.044 6.333

(4)

Peningkatan pengeluaran per kapita untuk konsumsi daging dan meningkatnya permintaan ternak kambing dari luar daerah maupun negara Arab Saudi dan Malaysia, menunjukkkan peningkatan harga kambing dari tahun 1997–2003 sebesar 35,9% (Tabel 3). Perkembangan konsumsi daging dan permintaan ternak kambing, merupakan peluang yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan ternak kambing di Nusa Tenggara Barat. Jumlah pemotongan kambing terbesar hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu terutama pada setiap hari raya agama (Idul Fitri dan Idul Adha). Namun demikian permintaan pasar lokal akan daging kambing belum dapat dipenuhi. Demikian halnya permintaan akan kambing potong dari Arab Saudi dan Malaysia belum dapat dipenuhi.

Strategi Pengembangan Ternak kambing

Ternak kambing mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kehidupan sebagian besar masyarakat petani di pedesaan sehingga diperlukan upaya-upaya peningkatan produktivitas ternak kambing. Hal ini karena ternak kambing mempunyai peranan pada tiga aspek utama yaitu aspek biologis, ekonomi dan sosial budaya masyarakat yang memungkinkan pengembangan ternak kambing (SUTAMA,2004)

Strategi peningkatan produksi kambing dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi pemeliharaan yaitu komponen teknologi pakan, teknologi reproduksi, komponen teknologi kandang, komponen teknologi penyapihan dan teknologi pengendalian penyakit. HOGAN (1996)

menyoroti produktivitas kambing mengatakan bahwa perbaikan genetik tanpa diimbangi dengan penyediaan nutrien yang mencukupi justru akan memperbesar kesenjangan antara potensi genetik dan produksi yang dapat dicapai. Berdasarkan hal tersebut, DAHLANUDDIN et al. (2002), menyatakan bahwa peningkatan produktivitas ternak ruminansia melalui perbaikan pakan yang strategis dan berkelanjutan lebih relevan untuk kondisi Indonesia; di mana dengan pemilikan ternak kambing yang umumnya sangat kecil, yang dipelihara secara tradisional akan lebih mudah meningkatkan produktivitas ternak dengan pengembangan sumberdaya pakan lokal yang berkualitas tinggi dalam sistem usahatani mereka.

Agar usaha ternak kambing yang dilakukan pada skala usaha agribisnis yang berkelanjutan maka diperlukan 20 ekor kambing induk per rumah tangga yang harus dipelihara dengan jumlah tenaga kerja keluarga yang terlibat sebanyak 4 orang. Jika rata-rata kemampuan kambing beranak 1,5 ekor

maka jumlah kambing yang lahir selama satu tahun mencapai 60 ekor. Gambaran tersebut diasumsikan bahwa petani tidak ada pekerjaan lain selain usahatani pangan. Dengan demikian usaha ternak kambing dapat menjadi sumber pendapatan utama yang sangat menguntungkan. Akan tetapi usaha ternak kambing yang ber orientasi agribisnis harus didukung oleh penggunaan teknologi pemeliharaanyang disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat.

Pengembangan ternak kambing pada lahan kering harus dilakukan melalui pendekatan sumberdaya alam (ketersediaan sumber daya lokal), sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan.

JOHNSON (1985), mengatakan bahwa sumberdaya

manusia, sumberdaya alam dan teknologi merupakan faktor saling terkait dalam pembangunan pertanian yang dipayungi oleh suatu kelembagaan sebagai faktor penggerak suatu kesatuan sistem produksi guna menunjang keberlanjutan pertanian. Fungsi dari keempat faktor tersebut saling menunjang, jika salah satunya tidak berfungsi maka akan berpengaruh pada sub sistem lain.

Faktor teknologi dan kelembagaan merupakan faktor yang paling lemah dalam pengembangan ternak kambing di NTB. Secara umum pemeliharaan kambing masih dilakukan secara tradisional. Musim kemarau merupakan musim paling sulit bagi petani dalam penyediaan pakan hujauan ternak sehingga cenderung menggembalakan ternaknya. Untuk mengatasi kesulitan pakan hujauan pada musim kemarau petani menanam tanaman turi dan gamal pada keliling lahan, namun masih dalam jumlah yang relatif sedikit sehingga tidak mencukupi persediaan pakan bagi ternak. Demikian halnya pemanfaatan jerami tanaman sebagai pakan ternak masih tergolong rendah. YOHANES et al, (2004),

melaporkan bahwa pemanfaatan jerami jagung, padi gogo, kacang tanah dan kacang hijau sebagai pakan ternak relatif rendah yaitu rata-rata 16,7%. Tingkat penerapan teknologi pemeliharaan kambing oleh sebagian besar peternak kambing di NTB sangat rendah. Oleh karena itu dalam pengembangan ternak kambing diperlukan dukungan teknologi dari sumber teknologi (Balit, BPTP, PT dan Swasta) yang sesuai dengan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya lokal. Sumberdaya alam NTB sangat sesuai untuk pengembangan kambing termasuk pengembangan pakan hijauan ternak serta pemanpaatan limbah pertanian (Gambar 1). Akan tetapi diperlukan Teknologi alternatif seperti teknologi pengawetan jerami dan teknologi reproduksi yang disesuaikan dengan kondisi petani.

(5)

Gambar 1. Strategi pengembangan ternak kambing di lahan kering

Sumberdaya manusia merupakan faktor penentu dalam penerapan teknologi. Kualitas sumberdaya manusia yang sudah berpengaruh terhadap tingkat penerapan teknologi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam penerapan teknologi pemeliharaan dan pemberdayaan petani melalui penguasaan kelembagaan tani adalah menyangkut aspek-aspek kelembagaan antara lain perilaku (perilaku sosial). Aspek-aspek perilaku menyangkut pola-pola kelakuan petani dalam pemeliharaan kambing, tujuan, prioritas, kebutuhan dan fungsi dari tata kelakuan.

Pengembangan ternak kambing dapat dilakukan melalui pendekatan sistem secara integratif. Pengkajian BPTP NTB di lokasi poor farmer kabupaten Lombok Timur yang dilakukan melalui pendekatan pemanfaatan sumberdaya lokal, teknologi dan kelembagaan menunjukkan bahwa terdapat perubahan perilaku petani dalam pemeliharaan kambing dari pola ekstensif menjadi pola pemeliharaan semi intensif. Tingkat penerapan teknologi yang meliputi komponen teknologi kandang, komponen teknologi reproduksi, komponen teknologi pengendalian penyakit, komponen teknologi pakan, dan teknologi penyapihan relatif lebih baik (27,6%) dibandingkan sebelum dilakukan pengkajian hanya mencapai 10,4% (YOHANES et al,2004). Tingkat penerapan teknologi tersebut masih tergolong rendah yang

disebabkan oleh berbagai faktor antara lain faktor ekonomi (permodalan) dan faktor psikologis.

KESIMPULAN

Secara umum potensi wilayah pertanian lahan kering di NTB mempunyai peluang yang cukup besar dalam pengembangan ternak kambing yang dapat mendukung agribisnis di pedesaan. Ternak kambing merupakan ternak yang efesien, mudah dipelihara dan cepat menghasilkan serta dapat dipelihara oleh petani kecil. Pengembangan ternak kambing dengan dukungan teknologi dan pemberdayaan kelembagaan akan mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani kecil. Harga kambing yang semakin meningkat dan meningkatnya permintaan kambing dari luar daerah maupun negara Arab Saudi dan Malaysia untuk kebutuhan hewan korban merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan bagi pengambilan kebijakan dalam pengembangan ternak kambing di Nusa Tenggara Barat. Pengembangan ternak kambing pada lahan merginal yang berorientasi agribisnis akan mendukung pertumbuhan ekonomi pedesaan. Pengembangan ternak kambing dapat dilakukan melalui pendekatan sistem usahatani secara integratif sehingga menjamin ketahanan dan keberlanjutan sistem. Sumber Teknologi (Balit, BPTP, PT dan Swasta Kebijakan Pemerintah Pengembangan HMT dan pemanfaatan limbah pertanian

Sumber daya alam (pemanfaatan sumberdaya lokal) Alternatif teknologi pemeliharaan kambing Sumber daya manusia Kelembangaan Peningkatan produktifitas kambing

(6)

DAFTAR PUSTAKA

BADAN PUSAT STATISTIK PROPINSI NTB., 1997–2003

Nusa Tenggara Barat dalam Angka Mataram. DAHLANUDDIN,MASHUR,A.ZAINURI,T.PANJAITAN dan

A. MUZANI. 2002. Pengembangan model

peternakan kambing Bbrbasis tanaman turi. Laporan Akhir Kegiatan.Kerjasama BPTP NTB dengan Lembaga Penelitian Universitas Mataram. DJAJANEGARA andA.B.SETIADI, 1999. Goat production

in Indonesia. Proc. of an International Seminar on Goat Production in the Asian Humit Tropics Prince of Songkla University, Thailand. 28 -31 May. HOGAN, J. 1996. Methods For Studying Ruminant

Nutrition. In: Ruminant Nutrition and Production

in the Tropics and Subtropics. B.BAKRIE,JHOGAN,

J.B.LIANG,A.M.M.TAREQUE and R.C.UPADHYAY. (Eds.). Monograph No. 36. ACIAR Cambera JOHNSON,BRUCE,F.danPETER KILBY, 1985. Agriculture

and Structural Transformation. Oxford University

Press. New York.

MUZANI A.,WILDAN ARIF.N,.SASONGKO WR,ACHMAD

SAUKI, 2000. Uji adaptasi pemeliharaan kambing

Peranakan Etawah mendukung SPAKU kambing. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP) Mataram. MASHUR, 1991. Respon kambing Peranakan eEtawah

yang dipelihara secara tradisonal terhadap kondisi lingkungan yang diukur melalui performans produksi di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Tesis, Fakultas Pascasarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung. (Tidak dipublikasikan). PAAT, P.C., P. PONGSAPAN dan D. BULO. 1993.

Penggemukan kambing PE dengan suplementasi daun leguminosa dan sumber energi. Laporan Tahunan Penelitian Sub Balai Penelitian Ternak, Gowa.

PANJAITAN, T. S., B. TIRO, dan A. BAMUALIM, 1996.

Tatalaksana reproduksi untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing di pulau Timor. Pros. Seminar Hasil-hasil Penelitian Pertanian Nusa Tenggara. BPTP Naibonat, Kupang 28–29 Nopember 1996.

ROUCEK dan WARREN, 1962. Sosiology Intriduction.

Little Field Adams & Co, Paterson.

SHARMA,K.,J.L.OGRA andN.K.BHATTACKARYA. 1992.

Development of Agro. Silvispasture or Goats. In:. Research in Goats Indian Experience. R.R. LOKESHWER (Ed.). CIGR. Makhdoom, Mathura,

India. pp 66-73.

SUTAMA, I. KETUT, 2004. Teknologi reproduksi ternak

kambing. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi Pertanian, BPTP Nusa Tenggara Barat, Tanggal 2 Maret 2004 di Mataram. SUWARDJI dan S. TEJOWULAN. 2002. Pengembangan

pertanian lahan kering terpadu dengan penerapan konsep “Master BLEQ” di Propinsi NTB. Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL). Fakultas UNRAM, Mataram.

YOHANES G.BULU,SASONGKO WR,K.PUSPADI,NURUL

AGUSTINI, dan AWALUDIN HIPI, 2004. Laporan

penelitian analisis kelembagaan sistem Usahatani ternak kambing pada lahan kering di Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB. (Tidak dipublikasikan).

KASRYNO dan FAISAL, 2003. Tantangan dan Peluang

Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Kawasan Indonesia Timur. Makalah disampaikan pada Regional consultation Workshop III. Agticulture and Rural Development Strategy (ARDS) Study. Mataram 11 Desember 2003.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan populasi ternak kambing di Nusa Tenggara Barat
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pemotongan Kambing, Harga Kambing Dan Harga Kulit Kambing/Domba Di NTB  Tahun  Jumlah pemotongan kambing
Gambar 1. Strategi pengembangan ternak kambing di lahan kering

Referensi

Dokumen terkait