• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUSTIFIKASI FILOSOFIS STATUS MORAL HEWAN DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP LINGKUNGAN DALAM AMPHIBIAN CAMPAIGN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JUSTIFIKASI FILOSOFIS STATUS MORAL HEWAN DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP LINGKUNGAN DALAM AMPHIBIAN CAMPAIGN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JUSTIFIKASI FILOSOFIS STATUS MORAL HEWAN DAN

IMPLEMENTASINYA TERHADAP LINGKUNGAN DALAM AMPHIBIAN

CAMPAIGN

Lefita Gozali

Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424, Indonesia

E-mail: lefitagozali@yahoo.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai permasalahan reflektif yang terjadi akibat munculnya spesiesisme yang mempunyai efek berkelanjutan bagi spesies amfibi maupun bagi lingkungan. Amfibi sebagai indikator kesehatan lingkungan telah mengalami keterancaman serius dan kematian prematur di seluruh dunia dengan berbagai penyebab yang kompleks. Hal itu didasarkan pada aspek spesiesisme yang telah mengakibatkan begitu banyak kerugian bagi spesies lain, bahkan bagi manusia sendiri. Selanjutnya, amphibian campaign muncul dalam melakukan gerakan konservasi amfibi yang tetap membutuhkan berbagai pertimbangan moral. Pembenaran etis status moral hewan ini dilandasi oleh pemikiran Peter Singer dalam menjunjung tinggi nilai moral untuk semua being melalui pertimbangan yang adil atas kepentingan, dan subjects-of-a-life Tom Regan dengan anggapan bahwa semua being adalah subjek moral yang mempunyai inherent

value sehingga harus menjadi prioritas dasar dalam melakukan pertimbangan etis perilaku manusia terhadap spesies

lain. Dimana dari penerapan prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi landasan bagi pelestarian lingkungan yang berefek langsung terhadap spesies manusia maupun non-manusia.

Philosophical Justification Moral Status of Animals and its Implementation towards

Environmental in Amphibian Campaign

Abstract

This thesis discusses about reflection problem that caused by speciesism aspect which having a sustained effect for amphibian species as well as for the environment. Amphibians as indicators of environmental health have suffered serious threatened and premature death worldwide with a variety of complex causes. It was based on the aspects speciesism that has caused so much harm to other species, even the humans themself. Furthermore, amphibian campaign appeared in amphibian conservation movement that still requires moral considerations. Philosophical justification of the moral status of animals is based on the thought of Peter Singer in upholding moral values for all

being through equal consideration of interest and subjects-of-a-life Tom Regan with the assumption that all being is the

subject moral that has inherent value, so that should be a priority basis in conducting ethical human behavior towards other species. And then from the application of these principles can be the foundation for the environmental conservation that effect directly for human and non-human species.

Keywords: Speciesism, amphibi, amphibian campaign, equal consideration of interest, subjects-of-a-life, environmental conservation.

1. Pendahuluan

Manusia dalam kehidupannya pasti akan selalu berusaha untuk melakukan berbagai cara demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang dilakukan manusia tentu akan berpengaruh bagi lingkungan

sekitarnya, misalnya manusia membutuhkan air mineral setiap hari untuk bertahan hidup, cara mereka mendapatkannya secara langsung atau tidak langsung pasti akan berinteraksi atau berpengaruh terhadap alam

(3)

dan lingkungan sekitarnya, ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak negatif tersebut sering kita alami dewasa ini, yaitu masalah krisis lingkungan. Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral atau persoalan perilaku manusia. Cara pandang yang menyebabkan krisis lingkungan saat ini bersumber dari model antroposentrisme. Tanpa kita sadari, kita terlalu sulit untuk menghentikan kerusakan lingkungan hidup dengan lingkungan kebudayaan di sekitar kita yang cara berpikirnya sangat tidak pro pada keselamatan lingkungan hidup itu sendiri. Dalam Land

Ethic, Aldo Leopold ingin mengubah cara pandang

manusia yang hanya melihat bumi dan segala isinya seperti budak di zaman dulu kala, yaitu hanya sebagai alat. Pernyataan ini memiliki satu asumsi dasar bahwa kita hanya mampu mengatasi krisis dan kerusakan lingkungan hidup jika kita sudah berani keluar dari pemahaman kita mengenai alam semesta yang bersifat antroposentris. Melalui etika antroposentrisme, banyak persoalan baru yang kian muncul akibat ketakterhinggaan kepuasan manusia dalam mengelola alam berserta isinya. Salah satu bentuk dari persoalan itu adalah munculnya spesiesisme dimana diabaikannya spesies lain sebagai makhluk hidup dan lebih mengunggulkan spesies manusia dengan semua kepentingannya. Hal ini tentu akan mengakibatkan dampak negatif pada spesies non-manusia, dimana dalam hal ini manusia sebagai pelaku moral seharusnya memberikan status moralnya terhadap semua spesies melalui prinsip pertimbangan yang adil atas kepentingan mereka. Dari prinsip inilah kemudian terdapat justifikasi filosofis melalui pemikiran filsuf Peter Singer dan Tom Regan yang mempunyai interest atas perlakuan etis mereka terhadap hewan.

Contoh kasus yang penulis terapkan dalam membahas persoalan ini yaitu dalam penyelenggaraan

amphibian campaign yang terjadi pada tahun 2008. Di

dalam amphibian campaign kita dapat melihat perilaku komunitas manusia dalam menyelamatkan spesies amfibi, baik penyelamatan amfibi dari perilaku manusia yang telah menggunakan amfibi hanya sebagai alat untuk kepentingan mereka, seperti yang telah dilakukan oleh organisasi PETA ataupun penyelamatan amfibi di dalam lingkungan yang sudah sangat tidak layak sebagai tempat tinggal mereka, seperti yang telah dilakukan beberapa pemersatu organisasi dunia pada tahun 2008.

Amphibian campaign muncul akibat terjadinya keterancaman amfibi di seluruh dunia yang mengakibatkan kepunahan prematur dari berbagai jenis amfibi. Prinsip dasar amphibian campaign itu sendiri ingin mendorong berbagai ranah masyarakat agar memiliki kesadaran bahwa amfibi adalah salah satu spesies yang harus dijaga kelestariannya di alam. Hal itu dikarenakan, peran amfibi sangat besar di dalam pelestarian lingkungan, dimana amfibi merupakan indikator penting dalam kesehatan lingkungan, dan hal tersebut dapat menjadi peringatan bagi semua spesies baik hewan dan manusia. Mereka sangat mengandalkan

lingkungan untuk kelangsungan hidupnya karena kulit mereka sangat sensitif terhadap kontaminan lingkungan, seperti pencemaran, polusi, dan sebagainya Selain itu, amfibi juga merupakan komponen penting bagi keseimbangan eksosistem. Singkatnya, semakin banyak amfibi yang eksis di suatu lingkungan maka tingkat kesehatan lingkungan tersebut semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Dan hal ini akan ikut dirasakan untuk semua spesies manusia maupun non manusia. Visi yang di tekankan dalam amphibian campaign yaitu ingin melihat amfibi dunia dapat aman di alam liar. Dan dari visi inilah kemudian muncul suatu tindakan yang akan dijalankan oleh beberapa organisasi dunia dalam melestarikan spesies amfibi. Dalam kasus ini, penulis akan memberikan pembenaran filosofis dari eksistensi amfibi yang layak untuk diberikan status moral karena amfibi merupakan subyek moral yang mempunyai

interest atau kepentingan, serta being yang mempunyai subject-of-a-life yang harus menjadi prioritas utama

dalam pertimbangan kita dalam memperlakukan spesies lain dengan sikap yang baik.

Di dalam penelitian ini, penulis sebagai pelaku moral akan melakukan pertimbangan moral dan justifikasi filosofis status moral hewan yang akan memiliki dampak langsung terhadap lingkungan melalui amphibian campaign dari beberapa pemikir, diantaranya Peter Singer dan Tom Regan dalam mempertimbangkan status moral spesies lain, dan menjawab krisis lingkungan dari keterancaman amfibi melalui Land Ethic Aldo Leopold dan juga prinsip-prinsip dasar dari Deep Ecology Arne Naess.

Amphibian campaign tidak dapat saya benarkan

ataupun saya tolak dalam semua hal. Dalam hal ini, perlu pertimbangan yang harus kita lihat terhadap semua aspek, karena banyak faktor kompleks yang terdapat di dalamnya. Spesies amfibi seharusnya kita lihat sebagai dirinya sendiri yang mempunyai status moral dan kepentingan dalam dirinya. Manusia mempunyai nilai moral dan berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini juga berlaku bagi setiap kehidupan di alam ini, termasuk amfibi.

Penulis menggunakan pemikiran Peter Singer sebagai dasar dari penelitian skripsi ini. Peter Albert David Singer adalah seorang pemikir Australia yang banyak bergelut di bidang etika. Obyek kajian yang dibahas oleh Peter Singer ini sangat luas melingkupi berbagai isu-isu yang terjadi di dunia, meliputi masalah lingkungan, seperti permasalahan penggunaan alam, hak hewan hingga kemiskinan, kematian (taking life), kehidupan, dan sebagainya.

Peter Singer mempunyai prinsip dasar moral yaitu equal consideration of interest. Menurut Singer, kita dapat memberikan perlakuan yang sama pada relasi sesama manusia, hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama. Oleh karena itu, prinsip perlakuan yang sama menuntut agar semua manusia harus

(4)

diperlakukan secara sama karena mereka mempunyai kepentingan yang sama, lalu Singer memperluas argumennya untuk semua makhluk hidup. Dalam hal ini, Singer berargumen menyangkut konsistensi moral. Pertimbangan dan kepedulian moral kita kepada sesama manusia harus konsisten, hal ini juga berlaku untuk semua spesies yang mempunyai ciri sama atau serupa dengan manusia dan mempunyai kepentingan yang sama. Dalam hal ini, manusia dan hewan sama-sama mempunyai kemampuan untuk merasakan sakit dan senang. Yang menjadi dasar dari argumen Singer tersebut adalah aspek sentience, kemampuan untuk merasakan sakit, sedih, menderita, gembira, dan sebagainya. Aspek ini sama-sama dimiliki manusia dan hewan. Manusia dan hewan sama-sama memiliki kepentingan yang sama, yaitu tidak mau disakiti. Oleh karena itu, pertimbangan dan kepedulian moral harus berlaku juga untuk hewan. Tidak ada justifikasi moral apapun jika kita tidak mempertimbangkan secara serius perasaan sakit yang dialami oleh spesies tertentu. Tidak peduli apapun nilai dari makhluk tersebut, prinsip perlakuan yang sama menuntut agar perasaan sakit itu diperhitungkan secara sama dengan perasaan sakit serupa, sejauh bisa dilakukan perbandingan pada makhluk lain. Jika makhluk tersebut tidak mampu menderita atau senang, itu tidak menjadi persoalan disini (Singer, 1993: 57-58). Maksud Singer dalam memberi pertimbangan moral yang sama kepada semua makhluk ini, tidak juga menganggap manusia dan hewan mempunyai nilai yang sama begitu saja. Singer juga mengakui bahwa kepentingan makhluk hidup yang satu berbeda dengan kepentingan mahluk hidup lain sehingga pertimbangan moral yang diberikan juga akan berbeda bobotnya. Tetapi jika kepentingannya sama, harus diberikan bobot perhatian yang sama pula. Misalnya, kepentingan manusia dalam memakan daging hewan tidak lebih besar daripada kepentingan hewan dalam menghindari penderitaan. Membunuh bagi Singer sudah melanggar kepentingan makhluk itu sendiri, dengan membunuh kebahagiaan being di dunia akan berkurang. Oleh karena itu, kesadaran diri sangat penting untuk melihat kepentingan suatu being sehingga membunuh dibenarkan selama makhluk tersebut tidak mempunyai kesadaran diri.

Untuk mengangkat permasalahan status moral ini, penulis juga akan menambahkan pemikiran animal

rights dari Tom Regan dari pemikirannya mengenai subjects-of-a-life. Regan berpendapat bahwa beberapa

hewan mempunyai hak dan hak ini mempunyai obligasi moral yang kuat dalam setiap being. Seperti Singer, Regan juga menyalahkan semua perlakuan manusia yang mengakibatkan efek negatif kepada hewan, seperti praktik-praktik spesiesisme. Dengan berbuat kekerasan kepada hewan, itu berarti kita tidak menghormati nilai intrinsik yang beberapa hewan miliki.

Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa pemikiran dari filsuf environmentalism untuk

memberikan suatu pemikiran lebih akan lingkungan kita saat ini yang menjadi salah satu penyebab akan keterancaman amfibi. Dari pemahaman mengenai etika lingkungan ini, kita dapat mengetahui bahwa lingkungan sangat berkaitan erat dengan status moral hewan, dimana dampak yang ditinggalkan dari cara pandang kita dalam memperlakukan spesies lain secara langsung dan tidak langsung akan terlihat dan dirasakan oleh kita sendiri di dalam alam ini, seperti

global warming, pencemaran udara, tanah longsor, dan

sebagainya.

2. Spesiesisme dan Pengaruhnya

Terhadap Amfibi

Spesiesisme diperkenalkan pertama kali oleh

Richard Hood Jack Dudley Ryder yang merupakan

seorang psikolog berkebangsaan Inggris. Ryder menulis sebuah pamflet yang dicetak pribadi dengan judul speciesism pada tahun 1970 sebagai kritik dari perilaku manusia dalam eksperimen terhadap hewan. Spesiesisme itu sendiri merupakan pembedaan dari nilai, hak, atau pertimbangan khusus kepada suatu

being semata-mata atas dasar keanggotaan spesies

mereka. Speciesism is a prejudice or attitude of bias in

favor of the interests of members of one’s own species and against those of members of other species.(Peter S.

Wenz, 2000: 88)

Spesiesisme sudah mulai ada sejak abad sebelum masehi dan saat ini pun permasalahannya masih terus berlanjut. Masalah yang tidak akan pernah berakhir jika manusia masih saja mempertahankan ego-nya untuk menganggap bahwa spesies mereka lebih unggul dibandingkan dengan spesies lain sehingga mereka dapat melakukan apapun terhadap being yang lain. Jika kita berbicara mengenai spesiesisme, pikiran kita tidak dapat dilepaskan dari aspek antroposentrisme dimana alam dianggap bersifat instrumentalis yang digunakan semata-mata hanya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Anggapan semacam itu tentunya akan menimbulkan dampak terhadap being lain dari tindakan yang kita lakukan.

Setiap being, baik manusia atau hewan mempunyai nilai mereka sendiri yang pantas untuk dihargai. Manusia dan hewan adalah sentient being yang mampu merasakan sakit atau senang. Setiap being yang mempunyai interest seharusnya diberikan pertimbangan moral yang adil untuk mereka.

Penulis akan membahas awal mula munculnya spesiesisme dimulai dari zaman yunani, abad pertengahan, renaisans, sampai dengan zaman pencerahan dan setelahnya. Pembagian ini berdasarkan kepada pemikiran tradisi Barat melalui beberapa pemikir pada zamannya, tradisi Barat sendiri sangat berpengaruh besar dalam lahirnya spesiesisme hingga saat ini.

(5)

Zaman Yunani

Pada Aristoteles kita dapat menemukan pemikiran spesiesisme yang terjadi pada masa Yunani di tradisi Barat. Aristoteles sangat mendukung perbudakan. Dia berpikir bahwa sebagian manusia adalah budak alami dari nature, menurutnya perbudakan ini layak dan memang seharusnya ada untuk mereka (Singer, 2002:188). Pernyataan Aristoteles ini merupakan suatu pemahaman dari sikapnya terhadap hewan. Aristoteles menyatakan bahwa hewan ada untuk melayani kepentingan manusia, meskipun hal tersebut tidak ada di dalam kitab suci. Alam dan hewan merupakan pelayan bagi manusia karena kapabilitas yang dimiliki alam lebih inferior dibandingkan dengan kapabilitas manusia. Alam hanya sebuah hierarki rendah dan diperuntukkan bagi kepentingan manusia.

Zaman Abad Pertengahan

Salah satu filsuf abad pertengahan yang cukup mendapat perhatian berasal dari Thomas Aquinas dalam karyanya yang berjudul Summa Theologica. Thomas Aquinas merupakan seorang tokoh filsafat Kristiani. Aquinas berusaha untuk mendamaikan pengetahuan teologi dengan kebijaksanaan duniawi dari para filsuf.

Di dalam permasalahan spesiesisme ini, Aquinas mencoba memberikan argumen dalam pembelaannya terhadap kitab suci. Kita tidak dilarang dalam membunuh apapun kecuali pembunuhan terhadap manusia. Aquinas hanya memberikan ruang untuk dosa-dosa terhadap Tuhan, diri sendiri, atau tetangga kita. Sementara menurutnya, tidak ada dosa yang akan kita terima dari perbuatan kita terhadap hewan ataupun alam.

Sesuatu yang tidak sempurna seperti non-manusia memang ada untuk hal yang lebih sempurna seperti manusia. Tumbuhan hanya hidup saja, begitu juga dengan hewan, dan hewan ada semata-mata hanya untuk manusia. Oleh karena itu, tidak melanggar hukum jika manusia menggunakan tanaman untuk kebaikan hewan, dan hewan untuk kebaikan manusia. Zaman Renaisans

Pada zaman renaisans, kita dapat menemukan pemikiran spesiesisme pada Descartes. Descartes merupakan salah satu filsuf modern yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Dari analisisnya mengenai geometri dan mekanika, Descartes mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdiri dari materi diatur oleh prinsip-prinsip mekanistik seperti yang terjadi pada jam. Hal ini terjadi juga pada tubuh manusia yang terdiri dari materi, dan merupakan bagian fisik dari alam semesta. Dengan begitu, apakah manusia dapat dikatakan juga seperti mesin yang perilakunya ditentukan oleh hukum alam. Untuk meluruskan persoalan tentang manusia ini, Descartes membawa gagasannya mengenai jiwa. Menurut

Descartes, alam semesta ini terdiri dari dua macam hal, yaitu hal-hal dari roh atau jiwa serta hal-hal yang bersifat fisik atau materi. Manusia memiliki kesadaran yang terdapat jiwa abadi di dalamnya, yang bertahan di dalam tubuh yang fisik. Descartes percaya bahwa jiwa diciptakan oleh Tuhan. Dari semua materi yang ada, hanya manusia saja yang memiliki jiwa.

Zaman Pencerahan dan Sesudahnya

Eksperimen yang dilakukan manusia terhadap hewan menyadarkan beberapa filsuf bahwa hewan dan manusia mempunyai sistem organ yang sama. Meskipun tidak ada perubahan radikal yang terjadi, tetapi hal ini lebih meningkatkan sikap manusia terhadap hewan atas beberapa pertimbangan. Beberapa pengakuan muncul secara bertahap bahwa hewan mampu menderita dan kita seharusnya memberikan beberapa pertimbangan untuk mereka. Pada abad ke-18 ini kita juga kembali menemukan nature. Ide-ide keagamaan dari status manusia tidak menghilang, mereka tetap ada tetapi dengan sikap baru yang lebih bijak. Jean-Jacques Rousseau telah mengakui kekuatan argumen untuk vegetarianisme, meskipun hal itu tidak ada di dalam praktiknya secara langsung. Pada zaman pencerahan ini, pemikiran antara filsuf satu dengan filsuf lain berbeda-beda dalam menanggapi perilaku mereka terhadap hewan.

Menurut beberapa filsuf, manusia mempunyai alasan mengapa manusia memakan daging hewan, hal itu dikarenakan bahwa hewan tidak memiliki antisipasi yang dimiliki oleh manusia ketika menghadapi kematian. Kamatian pada hewan terjadi dengan singkat dan tanpa mengalami rasa sakit yang nanti pada akhirnya juga akan dihadapi oleh mereka. Schopenhauer dan Bentham mempunyai pertimbangan bahwa penderitaan terlibat dalam membesarkan dan menyembelih hewan secara komersial. Dalam hal ini, mereka tidak menyetujui proses penyembelihan yang kejam terhadap hewan, namun mereka terus mendukung proses mengkonsumsi produk-produknya, dan membenarkan praktiknya.

Keterancaman Spesies Amfibi

Spesiesisme, seperti yang sudah dijelaskan diatas sudah mulai berkembang dari zaman Aristoteles sampai kepada saat ini. Hal itu tentu saja telah menyebabkan berbagai macam bentuk ketidakwajaran pada perilaku manusia terhadap hewan maupun perilaku manusia terhadap alam. Salah satu akibat yang ditimbulkan dari budaya spesiesisme dalam kehidupan manusia yaitu menurunnya populasi terhadap spesies non-manusia, khususnya amfibi. Keterancaman amfibi mulai diperhitungkan beberapa tahun terakhir ini karena semakin minimnya kuantitas amfibi yang dapat di temukan di sekitar lingkungan kita. Menurut data yang didapat dari IUCN telah menunjukkan bahwa sedikitnya 1,856 jenis atau 32% terancam punah, sedikitnya 9 jenis punah sejak 1980, 113 spesies tidak ditemukan lagi

(6)

akhir-akhir ini dan 43% dari semua jenis mengalami penurunan populasi.

Seperti yang kita ketahui, banyak sekali peran amfibi di alam ini, antara lain amfibi sangat berperan dalam keseimbangan sistem ekologi, amfibi sangat berkontribusi terhadap produktivitas pertanian dan pengendalian epidemik. Selain itu, amfibi juga berperan sebagai indikator bagi kesehatan lingkungan. Kita dapat melihat bahwa kesehatan amfibi dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan ekosistem. Dengan kata lain, adanya amfibi di alam ini telah menunjukkan lingkungan yang sehat dan akibatnya semua spesies dapat merasakan efek positifnya, baik manusia maupun non manusia. Tetapi dibalik itu semua, terdapat justifikasi yang cukup kuat yang mengharuskan kita memberikan status moral untuk spesies amfibi pada dirinya sendiri karena amfibi adalah amfibi yang tetap mempunyai kepentingan sendiri dan merupakan spesies komunitas biotis yang harus kita hargai kehidupan dan keberadaannya.

Banyak faktor yang menyebabkan amfibi menjadi salah satu spesies paling terancam saat ini dan masalah itu sangat kompleks pada kenyataannya. Mulai dari praktik spesiesisme yang menggunakan spesies amfibi secara langsung untuk kepentingan manusia, seperti amfibi untuk makanan, amfibi untuk bahan dunia mode, amfibi untuk hewan peliharaan, amfibi sebagai bahan percobaan, sampai kepada dampak spesiesisme yang mengakibatkan krisis lingkungan, seperti hilangnya lahan basah dan hutan yang menjadi tempat tinggal amfibi, tingginya tingkat pencemaran atau polusi, perubahan iklim, dan munculnya penyakit pada amfibi. Berikut ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai praktik-praktik spesiesisme tersebut, baik praktik secara langsung maupun secara tidak langsung.

3. Tinjauan Umum Amphibian Campaign

Setelah kita mengetahui spesiesisme dan dampak yang terjadi pada spesies lain, khususnya amfibi, disini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai tindakan yang dilakukan oleh beberapa organisasi perlindungan hewan dunia yang melakukan suatu gerakan yang disebut

amphibian campaign yang terjadi pada tahun 2008.

Gerakan ini semata-mata bertujuan untuk membantu secara langsung spesies amfibi di alam yang sudah mengalami keterancaman yang serius sampai menimbulkan kematian prematur akibat berbagai macam penyebab yang kompleks. Disinilah amphibian

campaign berperan dalam menanggulangi permasalahan

tersebut. Di dalam melihat gerakan amphibian

campaigan disini, tentu kita juga harus melakukan

pertimbangan moral dalam melihat semua realita yang ada.

Seperti yang kita ketahui, amfibi memainkan peran penting di alam ini sebagai penyeimbang sistem ekologi, mereka juga memberikan kontribusi terhadap

produktivitas pertanian dan pengendalian epidemi. Selain itu, amfibi juga menjadi indikator bagi kesehatan lingkungan dimana kesehatan mereka menunjukkan tingkat kesejahteraan ekosistem. Oleh karena itu, ketika spesies amfibi menunjukkan penurunan populasi di alam, hal tersebut merupakan suatu peringatan bagi semua spesies dimana lingkungan saat ini sudah mulai terganggu. Amfibi juga merupakan salah satu spesies yang hidupnya sangat bergantung pada lingkungan dimana ia tinggal. Dan hal ini tentu saja akan ikut dirasakan oleh semua spesies manusia maupun non manusia.

Beberapa organisasi atau asosiasi dunia mulai peduli akan keberadaan amfibi dan tergugah untuk melakukan suatu tindakan etis dalam menyelamatkan kehidupan spesies amfibi ini yang kurang mendapatkan perhatian dalam masyarakat luas, seperti ASG (Amphibian Specialist Group), WAZA (World

Association of Zoos and Aquaria), dan PETA (People for the Ethical Treatment of Animal) yang telah

melakukan suatu kampanye amfibi. Kampanye tersebut diadakan dengan tujuan memberikan kesadaran penuh kepada masyarakat dunia, bahwa amfibi bukan alat, bahan, ataupun objek untuk kebutuhan manusia, mereka juga mempunyai hak untuk hidup bebas di habitat yang seharusnya mereka tempati dan itu adalah tugas kita sebagai pelaku moral untuk menjaga mereka di alam liar, hal tersebut sesuai dengan visi Amphibian AArk.

Aksi konkret dari amphibian campaign ini yaitu dengan menghemat ratusan bahkan ribuan spesies amfibi dengan cara penangkaran di kebun hewan, akuarium, dan lembaga lainnya, di mana spesies yang akan punah tersebut akan dipertahankan di penangkaran sampai mereka dapat masuk ke alam liar yang saat ini sangat tidak layak untuk kelangsungan hidup mereka. Hal ini dapat memainkan peran penting dalam memberikan kelangsungan hidup jangka panjang untuk amfibi. Tanpa pengelolaan penangkaran langsung dari upaya konservasi, ratusan spesies amfibi akan punah di dalam habitatnya yang sangat tidak layak huni saat ini. Hal ini juga diumumkan oleh IUCN yang mengatakan bahwa semua hewan yang terancam termasuk amfibi memerlukan kebun hewan, penangkaran, dan akuarium untuk menyelamatkan mereka dalam jangka pendek sampai tindakan konservasi yang memadai untuk mengamankan populasi liar dapat dikembangkan.

4. Justifikasi Filosofis Status Moral Hewan

dalam Pelestarian Lingkungan

Peter Singer

Singer merupakan seorang utilitarian. Menurutnya, utilitarianisme adalah sebuah teori etis dimana kita seharusnya bertindak untuk memaksimalkan kepuasan yang diharapkan dari kepentingan semua being dengan pertimbangan yang adil. Hal tersebut merupakan perluasan dari prinsip

(7)

pertimbangan yang adil atas kepentingan. Act in such a

way as to maximize the expected satisfaction of interests in the world, equally considered. (Singer, 2006:14).

Maksud dari prinsip pertimbangan yang adil atas kepentingan (equal consideration of interests), yaitu harus mempertimbangkan secara adil interest atau kepentingan setiap makhluk hidup. Prinsip ini bukan berarti bahwa setiap makhluk hidup akan diperlakukan secara sama tetapi justru berbeda karena masing-masing memiliki self-interest yang berbeda-beda. Prinsip utilitarianisme Peter Singer ini merupakan suatu hal yang universalis karena utlitarianisme memperhitungkan kepentingan semua orang yang terkena dampak oleh suatu tindakan, terlepas dari jenis kelamin, ras kebangsaan, atau ciri-ciri lainnya. Untuk itu, kita harus menguniversalkan interest, kita harus memperluas pandangan sempit atas interest pribadi kita menjadi pandangan yang adil dan luas untuk semua interest. Dimana dalam hal ini universalitas Singer telah menunjukkan bahwa tidak semata-mata manusia saja yang diperhatikan atau dilihat kepentingannya, tetapi juga non-manusia seperti amfibi harus diperhitungkan sama seperti manusia.

Utilitarianisme dikatakan juga welfarist karena mendefinisikan apa yang etis dalam hal kesejahteraan semua being, yang dapat kita pahami sebagai kepuasan (atau ketidakpuasan) kepentingan suatu being. Sebagian besar orang mempunyai interests seperti kesehatan yang baik, pekerjaan yang baik, dan sebagainya. Semua kepentingan tersebut bisa direduksi menjadi lebih general yang kemudian akan menghasilkan interest untuk menjalankan kehidupan yang menyenangkan tanpa rasa sakit. Dengan demikian, utilitarianisme mempromosikan aturan etika yang berusaha untuk memenuhi kepentingan semua being, khususnya untuk kehidupan yang menyenangkan tanpa rasa sakit. Jika kita melihat gerakan yang dilakukan oleh para

amphibian campaign, kita dapat melihat secara

langsung bahwa kesejahteraan spesies amfibi akan semakin dihargai kehidupannya sebagai salah satu being yang juga mempunyai status moral, dan hal ini tentunya akan menjadi prioritas manusia sebagai pelaku moral dalam membuat keputusan moral yang selalu didasari pertimbangan-pertimbangan etis untuk setiap tindakannya.

Utilitarianisme disebut juga sebagai konsekuensialis, hal ini dikarenakan utilitarianisme menilai kebenaran atau kesalahan dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya dari hasil yang disebabkan oleh tindakan tersebut, sejauh mana tindakan memenuhi kepentingan. Konsekuensi seringkali dapat diprediksi dan dibandingkan secara akurat dengan sedikit lebih dari sekedar common sense. Dari prinsip ini, kita dapat melihat konsekuensi dari tindakan yang akan kita lakukan, jika konsekuensinya lebih banyak dibandingkan manfaatnya, maka tidak perlu untuk dilakukan. Dalam contoh amphibian campaign tersebut, kita dapat melihat bahwa manfaat yang di dapat lebih

besar dibandingkan konsekuensi negatifnya, hal tersebut dikarenakan dengan adanya gerakan tersebut semakin banyak manusia di dunia yang menyadari bahwa ada permasalahan yang terjadi pada spesies lain akibat dari ulah manusia yang menyimpang, yang pada akhirnya merugikan manusia itu sendiri. Selain itu, amphibian

campaign juga telah menyadarkan manusia bahwa

masih ada kehidupan non-manusia yang harus kita hargai dan kita berikan banyak pertimbangan moral, karena hanya manusialah yang mampu membuat keputusan moral dalam semua tindakan yang akan mereka lakukan.

Kemudian, utilitarianisme juga dapat dikatakan agregatif karena utilitarianisme merupakan sebuah gabungan dari kepentingan semua being yang terkena dampak oleh suatu tindakan. Untuk membuat keputusan, kita perlu melihat intensitas, durasi, dan jumlah kepentingan yang terkena dampaknya oleh semua tindakan yang mungkin saya lakukan. Kemudian, kita harus memilih suatu tindakan yang mengakibatkan “the

greatest good for the greatest number”. Dengan

demikian keputusan utilitarian mengutamakan interest atau kepentingan sebagai orientasi utama dalam setiap pengambilan keputusan. Jadi dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa hewan juga memiliki status moralnya sendiri dengan semua pertimbangan etis yang harus diperhatikan. Manusia sebagai pelaku moral harus melakukan semua tindakan yang didasari dengan pertimbangan yang adil terhadap kepentingan semua spesies yang akan terkena imbas dari tindakan kita. Tom Regan

Teori Animal rights Tom Regan berbeda dari

animal liberation Peter Singer, animal liberation lebih

bertumpu kepada nilai utilitarian yang berusaha memaksimalkan kesenangan atau kepuasan preferensi. Manusia harus menghindari perilaku yang menyakitkan terhadap hewan. Sedangkan Animal rights seperti hak asasi manusia dimana manusia dibebaskan dari perhitungan utilitas. Para pendukung animal rights seperti Tom Regan, mengklaim bahwa banyak hewan yang cukup mirip dengan manusia sehingga layak mendapatkan hak yang sama.

Pendekatan Tom Regan sangat dipengaruhi oleh tradisi Kantian dalam etika moral. Tetapi dasar untuk

inherent value terletak pada kapasitas untuk bertindak

secara otonom. Untuk menjelaskan hal ini, Regan memperkenalkan perbedaan antara moral agent dan

moral patients. (Singer, 2006:113). Moral agent

merupakan being yang mempunyai mental kuat, bebas dan rasional, mereka dapat memilih atas semua tindakan yang ingin mereka lakukan, dan mereka juga dapat bertanggung jawab akan pilihan-pilihan tersebut.

Sedangkan moral patients adalah being yang mengalami kelemahan mental yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami dan memilih. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dipahami sebagai moral

(8)

atas apa yang mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan. Tetapi moral patients ini dapat ditindaklanjuti juga secara moral.

Sebagian besar filsuf lebih menggeluti dalam tatanan moral agent dalam membangun moral standing. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana moral agent dan moral patients dalam menjelaskan inherent value dalam diri mereka? Mengapa hal itu salah, untuk memperlakukan agents atau patients sebagai makanan, tujuan, atau budak?

Menurut Regan mereka adalah subjects-of-a-life. Regan berpendapat bahwa keadilan menuntut kita untuk memperlakukan semua orang dengan inherent value dengan cara menghormatinya. Respect principle mengidentifikasikan pandangan Regan sebagai seorang egalitarian dari teori keadilan. Keadilan menuntut agar kita memperlakukan orang dengan hormat. Karena

inherent value tidak dapat direduksi ke dalam jenis nilai

lainnya. Kita tidak bisa bersikap hormat kepada being yang mempunyai inherent value ketika kita masih berpikir bawa mereka mempunyai nilai yang berguna atau hanya sebagai sarana untuk yang lainnya. Being dengan inherent value memiliki hak untuk diperlakukan dengan hormat yang sama karena semua being mempunyai inherent value-nya masing-masing. Mereka memiliki kehidupan dan haknya sendiri untuk hidup. Hewan memiliki inherent value dan ini menuntut kita agar memperlakukan mereka dengan hormat. Kita memiliki kewajiban primafacie yang kuat untuk tidak menyakiti mereka.

Land Ethics: Aldo Leopold

Etika bagi Leopold adalah evolusi. Land Ethics dibangun berdasarkan proses sejarah, pertumbuhan, dan perkembangan sehingga kita dapat menjelaskan etika dan pengembangan etika biologis. Leopold menggunakan model Darwin untuk menjelaskan perkembangan etika. Darwin mengklaim bahwa etika berevolusi, dan bahwa evolusi ini bersifat sosial. Di dalam karyanya A Sand County Almanac, Leopold mengatakan “during the three thousand years which

have since elapsed (from the era of Odysseus), ethical criteria have been extended to many fields of conduct, with corresponding shrink-ages in those judged by expediency only. This extension of ethics...is actually a process in ecological evolution”. (Leopold, 1949:201)

Dalam kehidupan kita, ada semacam batasan kebebasan terhadap perilaku manusia untuk bertindak, seperti yang Leopold katakan: An ethic, ecologically is a

limitation on freedom of action in the struggle for existence. (Leopold, 1949:202). Menurut Darwin,

perilaku etis dan proses etika ditemukan dalam sosialisasi masyarakat. Etika terwujud dalam rangka memfasilitasi kerjasama sosial. Oleh karena itu, etika dan masyarakat yang korelatif akan berubah dalam hubungannya satu sama lain.

Banyak hewan yang memiliki kehidupan sosial, begitu juga dengan manusia. Untuk hewan-hewan

sosial, perjuangan hidup ini lebih efisien dilakukan dalam masyarakat, ada manfaat untuk kelangsungan hidup dalam lingkungan sosial. Oleh karena itulah, etika terwujud karena kita tidak bisa hidup dalam pengaturan sosial tanpa semacam pembatasan kebebasan oleh tindakan kita, atau kita tidak akan bisa bertahan tanpa etika.

No Ethics → No Society → No Survival

Bukan karena manusia adalah makhluk etis, hal itu dikarenakan karena manusia adalah makhluk sosial, tetapi manusia dapat dikatakan makhluk etis sejauh kita adalah makhluk sosial juga. Artinya, semakin intens sosial kita sebagai hewan, yang lebih kompleks adalah struktur etis kita. Leopold mengatakan:

All ethics so far evolved rest upon a single premise: that the individual is a member of a community of interdependent parts. His instincts prompt him to compete for his place in the community, but his ethics prompt him also to co-operate (perhaps in order that there may be a place to compete for). (Leopold, 1949, p.

203-4)

Eksistensi kita sebagai manusia cenderung lebih mengingat adanya suatu masyarakat di dalam komunitas kita, dan untuk berkembang dalam masyarakat harus ada semacam aturan sebagai pembatas dari kebebasan bertindak yaitu etika. Di dalam land ethic, Leopold ingin menunjukkan bahwa komunitas moral seharusnya jauh lebih inklusif, bumi dan segala isinya bukan hanya sekedar obyek bagi manusia, tapi mereka juga mempunyai nilai bagi diri mereka sendiri. “Land, like

Odysseus' slave-girls, is still property. The land relation is still strictly economic, entailing privileges but no obligations.”(Leopold, 1949:203)

Leopold ingin mendobrak cara pandang seperti itu yang melihat bahwa bumi dan segala isinya hanya sebagai alat dan obyek untuk kepentingan ekonomis bagi manusia. Alam hanya dieksploitasi dan dimanipulasi demi kepentingan ekonomis manusia saja. Menurut Leopold, segala sesuatu di bumi ini adalah komunitas biotis yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri, terlepas dari alam ini menunjang kebutuhan manusia atau tidak. Bumi dan segala isinya harus dilihat sebagai satu kesatuan yang saling menunjang dan saling terkait, oleh karena itu, kita tidak dapat melepaskan ataupun mengutamakan satu dengan yang lainnya, alam ini tidak bisa dilihat sebagai property bagi manusia. Dalam land ethic, Leopold ingin memperluas batas komunitas di bumi ini yang mencakup pula tanah, air, tumbuhan, dan hewan.

Bagi Leopold, komunitas biotis juga komunitas etis. Leopold ingin memperluas etika untuk mencakup pula perlakuan manusia terhadap alam, terhadap bumi, dan segala isinya, bukan perlakuan manusia yang mementingkan manusia lainnya dengan cara mengeksploitasi alam secara cuma-cuma demi kepentingannya sendiri. Dalam land ethic, manusia sama seperti makhluk lain, hanya sebagai anggota di bumi ini. ”The extension of ethics to this third element

(9)

in human environment is, if I read the evidence correctly, an evolutionary possibility and an ecological necessity.” (Leopold, 1949:203)

Dengan adanya etika bumi, hak bumi beserta isinya tetap berada dan berkembang dalam keadaan alamiah, selain itu kita sebagai manusia juga akan memiliki sikap hormat terhadap komunitas lain di luar manusia sebagai sesama anggota biotis. Kita juga sebagai manusia seharusnya menyadari bahwa alam dan segala isinya saling menunjang dan saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi hal ini sulit dilakukan jika manusia tidak memberikan kasih sayang, hormat, dan sikap ingin menjaga akan bumi beserta seluruh isinya. “No

important change in ethics was ever accomplished without an internal change in our intellectual emphasis loyalties, affections, and convictions.”(Leopold,

1949:209-210)

Yang menjadi fokus perhatian dalam land ethic adalah bumi, komunitas biotis, dan bukan individu spesies dan makhluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, nilai yang terkandung di alam beserta seluruh isinya di bumi ini ditentukan berdasarkan sejauh mana mereka mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotis. “A thing is right when it tends to

preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community. It is wrong when it tends otherwise.”

(Leopold, 1949:224-225)

Dalam hal ini, manusia boleh saja membunuh atau menebang pohon tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejauh tidak menganggu dan merusak integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotis.

Deep Ecology: Arne Naess

Deep ecology diperkenalkan pertama kali pada

tahun 1972 oleh seorang pemikir Norwegia, Arne Naess. Berbeda dengan Aldo Leopold yang lebih menekankan komunitas biosfer atau makhluk hidup dalam penerapan teorinya, Arne Naess justru melibatkan semua entitas alam dalam komunitas ekologis, baik biotik maupun abiotik. Menurut Naess, semua entitas di alam ini memiliki nilai moral yang setara untuk dipertimbangkan. Tidak ada satupun kepentingan yang dianggap lebih tinggi derajatnya daripada kepentingan yang lain.

Deep ecology sangat menolak antroposentrisme

yang melihat alam hanya sebagai alat untuk manusia. Manusia bukan lagi menjadi pusat alam semesta, semua entitas di alam semesta ini adalah subyek moral yang harus kita jaga dan kita hargai keberadaannya, hal ini termasuk spesies non-manusia. Menurut Naess, manusia dan dunia memang sesuatu yang terpisah tetapi kita tidak terpisah jauh dengan alam, “The world and I are

not that far apart, perhaps not even by so much as a millimeter” (Naess, 2003:23). Dalam hal ini, Naess

ingin mengatakan bahwa manusia adalah salah satu anggota dari komunitas ekologi sama seperti entitas lain

yang semuanya saling menunjang antara satu dengan yang lain.

Deep ecology Arne Naess dikenal sebagai ecosophy, yang berasal dari kata “eco” yang berarti

rumah tangga dan “sophy” yang berarti kearifan. Jadi,

ecosophy berarti kearifan mengatur hidup selaras

dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. (Keraf, 2002:78) Untuk menghadapi krisis lingkungan yang tidak ada penyelesaiannya ini, Naess sangat menekankan agar manusia dapat mengubah gaya hidupnya agar selaras dengan alam, misalnya menurunkan pola konsumsi dan produktifitas yang tidak ramah pada lingkungan. Menurutnya, semakin banyak sumber daya yang dieksploitasi, maka semakin meningkat juga kerusakan alam dan pencemaran lingkungan. Sumber daya yang dimaksud bukan hanya sumber daya seperti air, bentangan alam, dan sebagainya tetapi termasuk juga sumber daya hewan, semakin banyak kita mengeksploitasi hewan dengan mengganti hutan menjadi peternakan besar-besaran hal itu juga dapat meningkatkan kerusakan alam dan pencemaran lingkungan atau dengan kata lain ketika kita sudah menggunakan spesies non-manusia sebagai tujuan dalam mencapai kepuasan kita, hal itu tentu secara langsung akan merusak lingkungan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Deep ecology mempunyai beberapa prinsip, yaitu biospheric egalitarianism, non-antroposentrisme, self-realization, pengakuan dan penghargaan terhadap

keanekaragaman ekologis dalam suatu hubungan simbiosis, dan adanya perubahan dari politik menuju

ecopolitics. (Keraf, 2002:91)

Biospeheric egalitarianism yaitu pengakuan

bahwa semua organisme dan makhluk hidup mempunyai kedudukan yang sama dari satu keseluruhan yang terkait di alam. Prinsip kedua, yaitu non-antroposentrisme dapat dikatakan bahwa manusia merupakan bagian dari alam, dan bukan merupakan hal yang terpisah sehingga manusia tidak lagi mempunyai alasan untuk menjadi pusat alam semesta. Kemudian,

self-realization merupakan realisasi manusia untuk

mengembangkan potensi dirinya. Menurut Naess, realisasi diri manusia tidak lain adalah pemenuhan dan perwujudan semua kemampuannya yang beraneka ragam sebagai makhluk ekologis dalam komunitas ekologis. Dari sini muncul kesadaran bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan komunitas ekologis. (Keraf, 2002:93) Prinsip keempat yaitu pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman ekologis dalam suatu hubungan simbiosis. Dimana dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa pentingnya keanekaragaman ekologis yang saling menguntungkan satu sama lain. Keanekaragaman ini harus dipertahankan karena akan mempertahankan kelangsungan ekosistem itu sendiri. Atas dasar prinsip ini, manusia justru diperkenankan untuk memenuhi kebutuhan vital dari alam ini, tetapi bukan berarti manusia dapat mencemari dan merusak habitat dari

(10)

spesies lain atas dasar alasan yang tidak jelas dan tidak penting. Prinsip yang terakhir yaitu, perubahan politik menjadi ecopolitics, persoalan lingkungan harus masuk kedalam ranah politik agar tidak hanya melibatkan individu saja tetapi juga dapat menyentuh struktur-struktur dasar ekonomi dan ideologis. Dengan demikian,

ecopolitics ini setidaknya dapat memberikan kesadaran

moral, kultural, dan politis mengenai kesatuan asasi dan alamiah antara manusia, hewan, dan tumbuhan. Prinsip

ecopolitics ini menuntut untuk dihentikannya kebijakan

ekonomi dan politik yang mempunyai tujuan utama meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan gaya hidup yang konsumtif. Itu semua seharusnya diubah menjadi kebijakan yang berwawasan lingkungan baik di tingkat daerah, nasional, maupun global. (Keraf, 2002:96)

Dari semua penjelasan tersebut, terdapat pembuktian bahwa pentingnya penerapan status moral hewan dari manusia sebagai pelaku moral dalam memandang spesies lain sangat bermanfaat bagi terciptanya perbaikan lingkungan. Dimana manusia tidak lagi hanya memikirkan dirinya saja tetapi juga memikirkan kehidupan lain dengan melakukan perlakuan etis terhadap semua spesies, dan semua tindakannya didasari dengan pertimbangan yang adil terhadap kepentingan yang akan terkena imbas dari tindakan kita kepada semua being yang ada.

5. Kesimpulan

Keterkaitan antara status moral hewan dengan lingkungan memang tidak dapat dilepaskan begitu saja, krisis lingkungan yang saat ini manusia rasakan sehingga mengakibatkan keterancaman bagi spesies amfibi merupakan bukti dari sifat antroposentris yang pada akhirnya melahirkan spesiesisme dalam diri manusia. Dari sifat spesiesisme tersebut kemudian terjadilah keterancaman amfibi, dimana terdapat banyak penyebab kompleks yang mengakibatkan hal tersebut, diantaranya penangkapan amfibi yang berlebihan untuk digunakan dalam praktik spesiesisme, seperti amfibi untuk makanan, amfibi untuk bahan dunia mode, amfibi untuk percobaan, dan amfibi untuk hewan peliharaan. Praktik spesiesisme terhadap penyalahgunaan amfibi ini dapat kita hakimi dengan keras karena hal tersebut mengakibatkan pain kepada suatu spesies tanpa melihat kepentingan atau interest spesies tersebut. Dalam hal ini, kita dapat merujuk kepada pemikiran Singer bahwa pertimbangan yang adil atas kepentingan harus diterapkan dalam perilaku kita kepada semua spesies, baik manusia atau non-manusia.

Selain itu, keterancaman amfibi juga disebabkan oleh faktor lain dari perilaku manusia yang bersifat antroposentris terhadap alam atau lingkungan, yang pada akhirnya tetap akan merugikan spesies amfibi itu sendiri. Akibat yang ditimbulkannya antara lain, perusakan habitat amfibi, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim. Kita tidak dapat mengatakan bahwa

hilangnya habitat amfibi, pencemaran lingkungan, dan perubahan iklim memang sudah seharusnya demikian, hal itu dapat kita hindari jika di dalam diri manusia sudah tertanam sikap peduli dan menghargai spesies lain selain manusia, dalam hal ini dikatakan bahwa tidak hanya spesies non-manusia saja, tetapi juga penghargaan untuk semua entitas di dalam komunitas ekologi, dimana terjadi kesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang Arne Naess katakan bahwa manusia hanya salah satu being yang ada di dalam komunitas ekologi, sama seperti yang lainnya. Di dalam Land Ethic, Aldo Leopold juga ingin mengubah cara pandang manusia yang hanya melihat bumi dan segala isinya seperti budak di zaman dulu kala, yaitu hanya sebagai alat. Leopold berpendapat bahwa manusia boleh saja membunuh hewan tertentu atau menebang pohon tertentu untuk memenuhi kebutuhannya asalkan tindakan itu tidak mengganggu dan merusak integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotis. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita hidup selaras dengan alam beserta semua aspek di dalamnya tanpa merusak alam itu sendiri atau mengolahnya untuk kepentingan yang tidak terlalu dibutuhkan.

Masalah tersebut kemudian di coba di atasi oleh

amphibian campaign yang merupakan perwujudan aksi

konkret atas kepedulian manusia akan bahaya kepunahan amfibi. Keterancaman amfibi merupakan hal serius yang harus kita perhatikan karena amfibi berperan penting dalam kehidupan di alam ini, seperti keseimbangan sistem ekologi, membatasi penyebaran serangga, termasuk juga yang menyebarkan penyakit. Selain itu mereka dapat berkontribusi terhadap produktivitas pertanian dan pengendalian epidemik, serta sebagai indikator penting untuk kesehatan lingkungan dimana tingkat kesejahteraan suatu lingkungan dapat dilihat dari eksistensi amfibi di lingkungan tersebut. Indikator lingkungan yang sehat dapat kita ketahui melalui eksistensi amfibi, semakin amfibi terus eksis di suatu lingkungan, semakin sehat lingkungan tersebut. Visi yang di tekankan dalam

amphibian campaign yaitu ingin melihat amfibi dunia

dapat aman di alam liar. Ini semua dilakukan semata-mata agar mencapai pembenaran filosofis dalam mengangkat status moral hewan, dimana semua non-manusia harus masuk ke dalam daftar perhitungan pertimbangan moral.

Oleh karena itu, beberapa organisasi perlindungan hewan dunia bersatu untuk membuat suatu kampanye amfibi dengan berkontribusi dan memberikan pengarahan kepada masyarakat mengenai penyebab keterancaman amfibi dan akibat yang ditimbulkannya, selain itu mereka juga membuat suatu penangkaran sementara untuk amfibi sampai mereka dapat diterima kembali oleh alam, dimana habitat alami amfibi saat ini sangat tidak layak untuk mereka tempati. Untuk masalah ini diperlukan suatu pertimbangan moral mengenai penangkaran seperti apa yang seharusnya diberikan

(11)

untuk para amfibi. Dimana Peter Singer mengatakan bahwa semua tindakan kita harus didasari dengan pertimbangan yang adil terhadap kepentingan semua spesies yang akan terkena imbas dari tindakan kita. Kemudian hal tersebut di rigid-kan oleh Tom Regan dengan alasan bahwa hak hewan untuk hidup sama seperti hak asasi manusia dimana tidak ada alasan dalam bentuk apapun jika kita tidak menghargai kehidupan hewan.

Dari jalannya permasalahan tersebut yang dimulai dari sifat antroposentrisme dan spesiesisme, terdapat banyak permasalahan yang kompleks dan memerlukan pertimbangan moral dalam menanggapi semua hal tersebut dengan melihat semua interest yang ada pada tiap spesies. Amphibian campaign disini merupakan sebuah contoh nyata dimana masih ada komunitas dunia yang peduli terhadap perilaku manusia terhadap spesies lain, walaupun pada kenyataannya

amphibian campaign juga tidak pernah dapat lepas dari

kacamata pertimbangan moral. Dan hal ini menunjukkan kepada kita bahwa perubahan perilaku kita ke arah yang positif dalam berperilaku terhadap spesies lain sangat berarti demi terciptanya lingkungan yang sehat dan harmonis. Perilaku etis kita terhadap spesies lain, khususnya amfibi dapat berupa banyak hal, misalnya dengan menggunakan produk yang ramah terhadap lingkungan, seperti kertas yang dapat didaur ulang, tidak menggunakan pestisida berlebihan yang dapat merugikan kehidupan spesies amfibi, tidak mengambil hewan liar seperti amfibi untuk dijadikan hewan peliharaan, tidak menggunakan amfibi sebagai makanan (swike/frog legs), mengganti penelitian ilmiah (pembedahan) terhadap amfibi dengan Digital Frog 2.5, melestarikan sumber daya alam dengan mengurangi sikap konsumtif, dan sebagainya. Selain itu, dalam hal pembangunan pemerintahan, sangat diperlukan perubahan politik yang lebih pro terhadap lingkungan atau yang berwawasan lingkungan, dimana pemerintah saat ini lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan segala efek negatifnya bagi lingkungan. Kemudian, hal lain yang dapat kita terapkan sebagai wujud peduli kita terhadap spesies lain adalah dengan vegetarianisme, banyak manfaat yang dapat kita ambil dari hidup vegetarian. Gagasan utama di balik menjadi vegetarian adalah secara tidak langsung seseorang akan mengurangi polusi atau pencemaran lingkungan, menghemat air dan energi, serta berhenti berkontribusi terhadap pembukaan hutan. Hal itu semua dapat sangat membantu menciptakan kehidupan yang harmonis dalam segala aspek di alam semesta ini, dimana alam semesta sudah tidak lagi bersahabat dan menyebabkan banyak efek negatif terhadap semua being. Tetapi apabila ingin tetap mengonsumsi hewan, maka konsumsilah hewan yang tidak berasal dari pabrik peternakan, hewan yang selama hidupnya memiliki kebebasan hidup, dan tidak menderita akibat pemaksaan manusia dalam penggunaan teknologi terhadap dirinya.

Alam semesta yang mencakup manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, bentangan alam, serta komponen ekologi yang lainnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Apalagi beranggapan bahwa manusia memiliki interest yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Sifat antroposentris seperti itu harus kita hindari karena akan banyak menimbulkan masalah lain. Dengan kita menjaga alam, alam juga akan melindungi kita dari berbagai macam bencana, begitu juga jika kita menghargai kehidupan hewan, dalam hal ini amfibi, amfibi pun akan berbalik melindungi kita melalui keseimbangan dan kesejahteraan alam ini. Kita tidak dilarang dalam menggunakan alam ini untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia asalkan tidak menganggu dan merusak integritas, stabilitas, dan keindahan semua entitas di alam ini.

Oleh karena itu, dengan menghindari diri kita dari sifat antroposentris dan spesiesisme, kita dapat memberikan pertimbangan moral yang adil atas interest terhadap semua spesies, dan hal ini akan menyelaraskan dan mengharmonisasikan semua entitas di muka bumi ini.

Daftar Acuan

Buku Acuan

Singer, Peter. Animal Liberation. 2002. New York: HarperCollins Publishers Inc.

--- Practical Ethics. 1993. Cambridge University Press.

--- Is Act-Utilitarianism Self-Defeating? In

The Philosophical Review, vol. 81. 1972. Cornell

University.

--- The Ethics of What We Eat. 2006. Melbourne: The Text Publishing Company. --- In Defense of Animals. 2006. Blackwell

Publishing Ltd.

Leopold, Aldo. 1949. A Sand County Almanac. New York: Oxford University Press.

Bertrens, K. 2007. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Naess, Arne. 2003. Life’s Philosophy. Translated by

Roland Huntford. The University of Georgia

Press

Billington, Ray. 2003. Living Philosophy: An

Introduction to Moral Thought. London and New

York: Routledge.

Palmer, Clare. 2006. Teaching Environmental Ethics. Leiden: Brill Academic Publishers.

Des Jardins, Joseph R. 1997. Environmental Ethics: An

Introduction to Environmental Philosophy.

Wadsworth Publishing Company.

Regan, Tom. The Case for Animal Rights. 1983. Berkeley: University of California Press.

(12)

Suseno, Frans Magnis. 1997. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius

Majalah

Kusrini M.D. (2007). Konsevasi Amfibi di Indonesia: Masalah Global dan Tantangan. Media Konservasi Vol. XII, No. 2 Hlm. 89 – 95. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosiwata.

(2012, May 20). Froglog, Conservation news for the

herpetological community. Vol. 102, No. 3.

Karya Ilmiah atau Thesis

Utami, Praychita. 2009. Pertimbangan Etis dalam Perlakuan Manusia Terhadap Hewan, skripsi pada program Sarjana Humaniora Studi Filsafat FIB UI. Depok

Tuminello, Joseph A. 2012. Invasive species management: An animal ethics perspective,

disertasi pada program studi Philosophy di

Colorado State University. Diakses dari http://proquest.umi.com/pqdlink?Ver=1&Exp=10

-30-2017&FMT=7&DID=2683867491&RQT=309& attempt=1 pada tanggal 21 Oktober 2012. Media Elektronik

The Moral Status of Animals. (2010). (http://plato.stanford.edu/entries/moral-animal/) diakses tanggal 24 September 2012.

Pusat Penelitian dan Konservasi Amfibi. (2010). (http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6 175) diakses tanggal 18 September 2012

Amphibians.(2009).(http://ngm.nationalgeographic.com/

2009/04/amphibian/holland-text/2) diakses tanggal 21 September 2012.

Habitat Destruction. (http://savethefrogs.com/) diakses

tanggal 29 Agustus 2012.

Amphibian AArk. (2008).

(http://www.amphibianark.org/) diakses tanggal 15 September 2012)

2008 Year of the Frog. (2008).

(http://www.waza.org/en/site/conservation/2008-year-of-the-frog) diakses tanggal 17 September 2012

Brookstone Stops Selling Frog-O-Spheres. (2011).

(http://www.peta.org/b/thepetafiles/archive/2011/ 01/25/victory-brookstone-stops-selling-frog-o-spheres.aspx) diakses tanggal 27 Agustus 2012)

Amphibian Specialist Group.

(http://www.amphibians.org/asg-amphibian-specialist-group/) diakses tanggal 17 September 2012

Learn About PETA.

(http://www.peta.org/about/learn-about-peta/default.aspx) diakses tanggal 16 September 2012

The Hedonistic Calculus.

(http://philosophy.lander.edu/ethics/calculus.html ) diakses tanggal 29 November 2012

Referensi

Dokumen terkait

dampak dari pembangunan jalan tol Cileunyi – Sumedang - Dawuan tersebut. Jadi kesiapan masyarakat pada penelitian ini adalah suatu kesiapan dari. masyarakat Desa Gudang,

Penyusunan Rencana Kinerja Tahunan BKAD Kabupaten Bantul Tahun 2019 merupakan pemenuhan kebutuhan aspek perencanaan kebijakan pelaksanaan tugas dalam kurun waktu 1

Namun bendahara Masjid Jamik An-Nur menjelaskan tujuan dari laporan keuangan yang dibuat oleh Masjid Jamik An-Nur Sekayu adalah untuk menyediakan informasi

Bila dalam suatu wadah semprotkan busa pada dinding bagian dalam jangan pada cairan yang terbakar, searah dengan angin dan bila hanya suatu ceceran semprotkan pada pangkal api

Respon yang sesuai dengan yang diharapkan oleh komunikator terhadap pesan yang diterima khalayak merupakan salah satu tujuan komunikasi. Respon tersebut merupakan

Data Masukan Yang Diharapkan Pengamatan Kesimpulan Klik Menu Pencatatan Aktiva/inventaris Menampilkan form Pencatatan Aktiva/inventaris Dapat melihat tabel Pencatatan

“Cinta kasih harus dipupuk setiap hari dan mengingatkan kita untuk membantu orang, 50 sen yang dipergunakan untuk kegiatan sosial tidak akan memengaruhi hidangan

 Sebelum gas alam didinginkan dan dicairkan pada Main Heat Exchanger 5E-1 pada suhu yang sangat rendah hingga menjadi LNG, proses pemisahan (fractination) gas alam dari