• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengembangan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Daerah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Pengembangan model integrasi kebijakan dan program pencegahan melalui

transmisi seksual (PMTS) ke dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Daerah

I. Pendahuluan

Adalah tujuan bersama untuk mengakhiri epidemi HIV di dunia dengan memperkuat kemampuan sistem kesehatan di tiap-tiap negara termasuk Indonesia dalam fungsinya untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program penanggulangan HIV-AIDS (Yu et al., 2008; WHO, 2007; UNAIDS, 2015). Belakangan upaya penguatan sistem kesehatan nasional untuk penanggulangan HIV-AIDS semakin kencang disuarakan terutama akibat mulai berkurangnya bantuan finansial mitra pembangunan Internasional (International Development Partner – IDP) dalam pelaksanaan intervensi kesehatan spesifik HIV-AIDS, akibatnya untuk menjamin keberlanjutan program dan layanan, integrasi intervensi spesifik HIV-AIDS ke dalam pelayanan kesehatan mainstream menjadi sebuah kebutuhan (UNAIDS, 2015).

II. Latar Belakang dan Rasional

2.1 Keberlanjutan program pencegahan melalui transmisi seksual adalah kunci keberhasilan memerangi epidemi HIV di Indonesia

Epidemi HIV yang telah berlangsung lebih dari dua dekade di Indonesia memperlihatkan pergeseran epidemi yang cukup berarti, setelah berkembang cukup pesat pada kalangan pengguna napza suntik (penasun), epidemi kemudian meledak pada kelompok wanita penjaja seks (WPS) yang dikhawatirkan berperan sebagai jembatan epidemi ke populasi yang lebih umum (Riono and Jazant, 2004; NAC of Indonesia, 2012). Belum reda kekhawatiran kita akan potensi pergeseran epidemi yang didorong oleh penularan pada kelompok WPS, berbagai data surveilans dan juga pemodelan matematika menunjukkan peningkatan yang bermakna kejadian infeksi HIV pada kelompok LSL (MOH of Indonesia, 2008; MOH of Indonesia, 2013). Jika dilihat dari akumulasi jumlah penderita HIV-AIDS dan faktor risikonya yang didominasi oleh kelompok WPS dan LSL termasuk Waria jelas terlihat bahwa upaya penanggulangan epidemi HIV pada kelompok ini adalah kunci keberhasilan menanggulangi epidemi HIV di Indonesia. Selama ini penanggulangan HIV-AIDS pada populasi WPS, LSL dan Waria terutama terlaksana berkat dorongan inisiatif global berupa bantuan finansial yang memiliki konsekuensi berwarna dan dinamisnya perkembangan kebijakan dan program penanggulangan HIV-AIDS pada populasi ini (Yu et al., 2008; PKMK FK UGM, 2015). Di Indonesia, pengaruh ini jelas terlihat dari kampanye utama program penanggulangan yang sejalan dengan kampanye utama dari pemberi dana bantuan. Pada tahun 90an program penanggulangan difokuskan pada penguatan peran masyarakat sipil yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV-AIDS. Kemudian di tahun 2000an mulai terjadi penguatan institusi pemerintah untuk berperan lebih besar dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS terutama dalam penyediaan layanan pencegahan di tingkat primer dan lanjutan seperti klinik IMS, layanan VCT dan ART. Belakangan konsep layanan komprehensif berkelanjutan yang di dalamnya juga melekat pendekatan test and treat menjadi kampanye utama program penanggulangan HIV-AIDS pada populasi kunci yang tidak jauh dari kampanye “90-90-90” nya UNAIDS (PKMK FK UGM, 2015). Apapun warna dan dinamika program penanggulangan HIV-AIDS pada kelompok WPS, LSL dan Waria, hampir seluruhnya merupakan intervensi kesehatan spesifik yang bertujuan untuk mencegah penularan HIV melalui transmisi seksual dengan komponen utama berupa perubahan perilaku berisiko terutama penggunaan kondom serta akses dini terhadap diagnosa dan pengobatan IMS dan HIV. Hanya saja, meskipun intervensi kesehatan spesifik yang berfokus pada kelompok populasi kunci telah terbukti lebih efisien untuk diterapkan terutama pada negara-negara dengan keterbatasan sumber daya, telah dilaporkan beberapa kelemahan diantaranya: 1) berkembangnya sistem ganda atau paralel dalam sistem

(2)

2

kesehatan, 2) kekhawatiran akan tergerusnya sumber daya dari sistem kesehatan kepada intervensi kesehatan spesifik yang memiliki skema pendanaan perbeda, serta yang paling ditakutkan adalah 3) lemahnya insentif dan adopsi sistem kesehatan terutama di daerah untuk mendukung upaya penanggulangan yang kemudian mengancam keberlanjutan program (Atun et al., 2010; Suharni et al., 2015). Untuk itu diperlukan upaya yang secara sistematis untuk mengintegrasikan upaya kesehatan spesifik pencegahan melalui transmisi seksual terutama pada populasi berisiko tinggi pada tatanan keorganisasian sistem kesehatan pada umumnya dengan memperhatikan aspek struktural dan fungsional yang mampu secara optimal menjamin keberlangsungan layanan di tingkat akar rumput (Suharni et al., 2015; PKMK FK UGM, 2015; Atun et al., 2010).

2.2 Kebutuhan pengembangan model layanan dan kebijakan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) ke dalam sistem kesehatan nasional

Bahwasanya integrasi telah menjadi kebutuhan untuk menjamin keberlanjutan program dan pelayanan kesehatan, konsep dan bagaimana pola atau model integrasinya ke dalam sistem kesehatan yang ada masih menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Atun et al., 2010; Frenk, 2009). Secara umum hasil kajian dari rangkaian penelitian I dan II Kebijakan dan Program HIV & AIDS Dalam Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, yang merupakan program kerjasama antara PKMK FK UGM dengan Department of Foreign Affairs (DFAT), menunjukkan bahwa terdapat variasi tingkat integrasi dan tingkat efektivitasnya terhadap cakupan layanan kesehatan. Variasi tersebut terutama berada dalam konteks perbedaan kemampuan daerah terutama pendanaan dan kapasitas SDM, serta besarnya masalah atau perbedaan tingkat epidemi. Hasil kajian I dan II juga menunjukkan bahwa tatanan kebijakan penanggulangan HIV-AIDS termasuk untuk program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) telah tersusun dari tingkat nasional dan juga daerah, hanya saja dalam tatanan pelaksanaan ditemukan banyak masalah (PKMK FK UGM, 2015; Suharni et al., 2015). Diperlukan upaya sistematis dalam kerangka penelitian ilmiah untuk menyusun model layanan dan kebijakan dan program PMTS yang sesuai dengan perbedaan kapasitas daerah dan situasi epidemi berbagai daerah di Indonesia. Penelitian ini adalah kegiatan ketiga (III) dari rangkaian penelitian Kebijakan dan Program HIV & AIDS Dalam Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia, yang merupakan program kerjasama antara PKMK FK UGM dengan Department of Foreign Affairs (DFAT).

III. Tujuan

Secara umum penelitian ditujukan untuk menjawab dua pertanyaan utama berikut:

1. Model layanan yang terintegrasi seperti apakah yang bisa digunakan untuk menjamin keberlangsungan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) di pelayanan kesehatan dasar (primary health care)?

2. Model kebijakan operasional seperti apakah yang dibutuhkan untuk menjamin terlaksananya integrasi program PMTS di tingkat layanan dasar?

Tujuan dari outline ini adalah memberikan pedoman bagi peneliti dalam menyusun model kebijakan program pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) dan sekaligus membantu audiens terpilih memahami dan memberikan input terhadap model yang dihasilkan tim peneliti dalam melakukan kajian pengembangan model kebijakan dan program PMTS.

Kajian ini akan terdiri dari 3 kegiatan utama yaitu:

1. Studi literatur (literature review) yang utamanya ditujukan untuk menyusun model integrasi di tingkat layanan (delivery of health care) program PMTS. Dalam bagian metode akan dijelaskan tujuan dan cakupan review, serta hasil dan perubahan dari program PMTS (global dan lokal),

(3)

3

implementasi program PMTS (dari aspek relevansi, efektivitas, efisiensi dan keberlangsungan), serta model pelayanan kesehatan dalam program PMTS yang akan dikembangkan (penjelasan pilar dalam PMTS yang dipertahankan dan yang dikembangkan; tata kelola pelayanan kesehatan dalam program PMTS serta langkah-langkah praktis dalam memobilisasi dukungan).

2. Studi Delphi dengan tujuan untuk membentuk konsensus

Model pelayanan kesehatan dalam

program PMTS dan kebijakan pendukungya

yang ideal dan komprehensif

3. Penyusunan dokumen

Model pelayanan kesehatan dalam program PMTS dan kebijakan

pendukungya yang terintegrasi dalam SKN

Outline ini dibuat berdasarkan pengetahuan yang ada dari tim peneliti, informasi yang didapat dari literatur serta informasi dari para peneliti yang telah melakukan kajian terhadap kebijakan HIV dan AIDS. IV. Metode dan Rencana Operasional Kajian

Penelitian III Kebijakan dan Program HIV & AIDS Dalam Kerangka Sistem Kesehatan di Indonesia menggunakan pendekatan multi methods dengan beberapa cara pengumpulan data sebagai berikut:

1. Literature review untuk mengidentifikasi model integrasi kebijakan program PMTS di tingkat pelayanan kesehatan dasar dalam sistem kesehatan nasional Kegiatan studi literatur akan dilakukan terhadap:

a. Publikasi ilmiah (peer reviewed) internasional untuk mengidentifikasi berbagai model integrasi pelayanan kesehatan dalam program PMTS

b. Publikasi ilmiah (peer reviewed) nasional untuk mengidentifikasi masalah, efektifitas program dan rekomendasi perbaikan program pencegahan melalui transmisi seksual yang selama ini telah diidentifikasi

c. Dokumen yang terkait kebijakan dan program PMTS dari Kemenkes, KPAN, internasional dan lokal, serta penelitian PKMK akan menjadi acuan dalam mengidentifikasi model kebijakan operasional pelanan kesehatan dalam program PMTS di masa mendatang melalui penelitian ini.

d. Data sekunder sebagai penunjang, seperti proyeksi HIV-AIDS, data laporan kasus, dll terutama untuk menampilkan cakupan dan dampak program PMTS.

2. Review oleh kelompok pakar melalui metode Dephi

Delphi akan dilaksanakan dalam 2 tahap dengan peserta yang berbeda (pakar dan praktisi) untuk memperoleh input dan konsensus terhadap

Model pelayanan kesehatan dalam program PMTS

dan kebijakan pendukungya

yang diajukan oleh peneliti. Hal ini penting, untuk validasi dan meningkatkan kredibilitas hasil penelitian sebelum disebarluaskan ke khalayak lebih luas. Rangkuman metodologi, rencana operasional dan timeframe dapat dilihat dalam tabel berikut

Rencana Operasional Timeframe

1. Kerangka konsep Minggu II Feb

2. Workshop peneliti untuk membahas kerangka konsep model

(4)

4

Rencana Operasional Timeframe

3. Literature review

a) Literature review kajian data sekunder penunjang cakupan dan dampak program PMTS

b) Literature review kajian PMTS (5 daerah dari penelitian tahap 2 : Medan, Surabaya, Bali, Surabaya dan Papua) dan

kebijakan PMTS di Indonesia

c) Literature review kajian PMTS (hasil penelitian internasional) d) Literature review PMTS (hasil penelitian di Indonesia)

Minggu I – II Maret

4. Draft final model dan draft instrumen Delphi Minggu ketiga Maret 5. Meeting finalisasi intrument Delphi di Jakarta Minggu keempat Maret 6. Delphi I pada praktisi Minggu keempat Maret 7. Delphi II pada pakar Minggu Kedua April 8. Meeting pasca Delphi di Jakarta Minggu Ketiga April 9. Penyempurnaan laporan merespon hasil Delphi Minggu Keempat April 10. Pengiriman laporan ke adviser penelitian Akhir minggu IV April 11. Pertemuan di Yogya plus adviser: Finalisasi pengembangan

model Akhir minggu kedua Mei

12. Diseminasi oleh tim PKMK Akhir Mei

V. Tujuan dan Cakupan Review Literatur

Kajian ini bertujuan untuk memetakan, menilai serta memberikan pandangan mengenai model kebijakan program PMTS yang ideal dan komprehensif, serta terintegrasi dengan sistem kesehatan nasional dan daerah. Kajian pengembangan model kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat efektifitas program PMTS, yang mungkin akan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di masa mendatang.

Dalam review ini, tim peneliti akan melihat:

Dimensi 1: Hasil dan perubahan terhadap epidemi terkait intervensi program PMTS yang telah dilakukan

1. Model PMTS secara global (contoh negara lain)

Untuk memperoleh bukti ilmiah terkait integrasi intervensi kesehatan spesifik berupa pencegahan melalui transmisi seksual ke dalam sistem kesehatan nasional dan daerah di tingkat delivery of care, literature review dilakukan dengan melakukan pencarian peer reviewed article di database PubMed dengan menggunakan kata kunci: ((vertical[Title/Abstract]) OR (horizontal[Title/Abstract]) OR (integrat*[Title/Abstract]) OR (coordinat*[Title/Abstract]) OR (co-ordinat*[Title/Abstract]) OR (link*[Title/Abstract])) AND ((program*[Title/Abstract]) OR (care[Title/Abstract]) OR (service*[Title/Abstract]) OR (delivery of health care, integrated[MeSH Terms])) AND

(5)

5

((HIV[MeSH Terms]) OR (STDs[MeSH Terms])). Pencarian menemukan 3524 artikel potensial untuk dikaji untuk melihat apakah memenuhi kriteria yang diinginkan peneliti. Tahap pertama peneliti melakukan skrining judul dan menghasilkan 861 artikel yang dilanjutkan dengan analisis abstrak untuk melihat apakah memiliki kriteria yang diinginkan. Tahap ini kemudian menghasilkan 28 artikel yang dilanjutkan dengan mengunduh full text artikel untuk dikaji kelayakannya masuk dalam review final.

Cakupan review akan meliputi topik-topik berikut:

 Seting daerah atau area intervensi, seting pemberian pelayanan (care delivery system) dan populasi atau kelompok target;

 Intervensi spesifik yang diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan, deskripsi, durasi, perbandingan, dan ada tidaknya ko-intervensi;

 Karakteristik studi seperti rancangan dan durasi;

 Partisipan studi yang meliputi unit analisis, jumlah partisipan dalam kelompok intervensi dan pembanding;

 Dampak atau outcomes dari studi dan intervensi yang dilakukan;

 Tingkat dan kualitas dari integrasi meliputi kepemimpinan dan tata kelola, pembiayaan, perencanaan, pemberian pelayanan, monitoring dan evaluasi;

 Faktor lingkungan kebijakan atau contextual factors: kesinambungan atau sustainability, peluang atau opportunities, dan keinginan/kemauan untuk integrasi atau desirability.

2. Perkembangan, cakupan dan distribusi pelaksanaan program PMTS di Indonesia

Dalam perkembangannya program PMTS di Indonesia diawali dengan pengobatan IMS secara massal pada kelompok WPS melalui pendekatan gejala simptomatis (keluhan dan tanda fisik), kemudian dilengkapi dengan pemeriksaan lab sederhana agar pengobatan lebih tepat sesuai jenis bakteri/virus yang ditemukan. Selanjutnya intervensi pengobatan IMS yang masih berfokus pada perubahan perilaku WPS mengalami tantangan dari pelanggan WPS, kelompok disekitar lokasi seks, tokoh agama dan lintas sektor. Hal ini mempengaruhi tingkat cakupan, praktek penggunaan kondom (relasi kuasa, kondom tabu) dan keberlangsungan intervensi. Dalam perjalanannya pola transmisi seks terus mendominasi penularan HIV di Indonesia dengan indikasi peningkatan prevalensi HIV pada populasi LSL dan pasangan discordant couple (pasangan risti) – proyeksi infeksi baru, laporan kasus, surveillans. Sehingga model program PMTS terkini yang dikembangkan bagi kelompok resiko tinggi dan rentan (pedoman PMTS KPAN, Permenkes 21 tahun 2013, serta pedoman LKB tahun 2014). Untuk mengkaji cakupan dan distribusi pelaksanaan program PMTS di Indonesia, review dilakukan pada dua kelompok literatur yaitu publikasi peer reviewed di jurnal internasional dari hasil kajian atau penelitian nasional terkait penularan melalui transmisi seksual dan berbagai pedoman dan laporan PMTS yang tersedia terutama di lembaga KPAN dan Kementerian Kesehatan RI.

Pencarian artikel peer reviewed dilakukan di database PubMed dengan menggunakan kata kunci: ((HIV[MeSH Terms]) OR (STDs[MeSH Terms])) AND ((care[Title/Abstract]) OR (program*[Title/Abstract]) OR (service*[Title/Abstract]) OR (prevent*[Title/Abstract])) AND (Indonesia[Title/Abstract]) Filters: Humans. Pencarian menemukan 108 artikel yang kemudian diskrining untuk melihat apakah sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Tahap pertama skrining dilakukan pada judul artikel dan menghasilkan 58 artikel yang kemudian dilanjutkan dengan skrining abstrak. Tahap ini menghasilkan 36 artikel untuk diunduh full text-nya. Keseluruhan full text kemudian

(6)

6

dinilai kesesuaiannya dengan kriteria yang ditetapkan. Secara umum akan ada dua kelompok artikel yang dikumpulkan yaitu kelompok artikel yang hanya membahas besaran masalah HIV dan risiko penularan melalui transmisi seksual melalui berbagai pendekatan baik kuantitatif maupun kualitatif. Kelompok yang kedua adalah artikel yang membahas intervensi spesifik untuk mengurangi resiko penularan melalui transmisi seksual pada populasi kunci di Indonesia.

Sementara itu sumber dokumen pedoman dan laporan kegiatan penanggulangan HIV melalui transmisi seksual di Indonesia diperoleh dari:

 KPAN  Kemenkes RI  Laporan FHI  HCPI  Sumber lain

Cakupan review pada kedua kelompok literatur tersebut akan meliputi:  Tingkat epidemi yang dilaporkan pada populasi kunci

 Besaran masalah dan gambaran risiko penularan melalui transmisi seksual

 Kondisi lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan kebijakan yang berpengaruh terhadap masalah dan gambaran risiko penularan melalui transmisi seksual

 Jika ada seting intervensi untuk mengurangi atau mencegah risiko penularan melalui transmisi seksual meliputi:

o Intervensi spesifik yang dilakukan, deskripsi, durasi, perbandingan, dan ada tidaknya ko-intervensi;

o Karakteristik studi seperti rancangan dan durasi;

o Partisipan studi yang meliputi unit analisis, jumlah partisipan dalam kelompok intervensi dan pembanding;

o Dampak atau outcomes dari studi dan intervensi yang dilakukan;

Dimensi 2: Proses dan implementasi, termasuk respon daerah dan kajian kasus untuk intervensi spesifik program PMTS yang dinilai relevan, efektif dan berkelanjutan

Untuk melihat proses dan implementasi program PMTSdi tingkat layanan kesehatan (delivery of care)

maka kajian dilakukan terhadap hasil studi kasus penelitian tahap kedua penelitian kebijakan yang telah

dilaksanakan PKMK UGM. Terdapat lima laporan kajian yang telah dihasilkan yaitu:

Studi kasus penanggulangan melalui transmisi seksual pada kelompok LSL di Bali; hasil kajian tim

Universitas Udayana

Studi kasus penanggulangan melalui transmisi seksual di Papua; hasil kajian Universitas

Cendrawasih

Studi kasus penanggulangan melalui transmisi seksual pada kelompok WPS di Kupang; hasil

kajian tim Universitas Nusa Cendana

Studi kasus penanggulangan melalui transmisi seksual pada kelompok WPS di Medan; hasil

kajian tim Universitas Sumatera Utara

Studi kasus penanggulangan melalui transmisi seksual pada kelompok LSL di Surabaya; hasil

kajian tim UNAIR

(7)

7

Dari kelima laporan tersebut ditambah dengan berbagai informasi lain dari hasil review literatur

internasional dan nasional, kajian akan dilakukan untuk melihat aspek-aspek berikut:

1.

Relevansi program PMTS (desain, strategi dan pendekatan) dalam prioritas pembangunan nasional dan daerah (terutama kesehatan).

Tim peneliti sepakat untuk melihat integrasi program PMTS ke dalam sistem kesehatan melalui pendekatan empat pilar dalam Pedoman Program Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual tahun 2010 dari KPAN dan kemudian diperkuat dengan dimasukkannya empat pilar ini kedalam permenkes nomor 21 tahun 2013 serta pedoman Layanan Komprehensif HIV- IMS Berkesinambungan tahun 2012. Keempat pilar tersebut adalah 1) Intervensi struktural untuk meningkatkan dukungan dan peran lintas sektor; 2) Komunikasi perubahan perilaku untuk mengurangi jika tidak meniadakan perilaku berisiko; 3) Manajemen logistik untuk mendukung mengurangan risiko seperti kondom dan lubrikan serta logistik terkait lainnya; terakhir 4) Penapisan dan pengobatan IMS secara tepat.

Kajian akan dilakukan untuk melihat apakah kondisi epidemi daerah telah sesuai dengan prioritas sektor kesehatan untuk penurunan prevalensi HIV melalui transmisi seksual. Bagaimana prioritas tersebut akan dilihat dari berperannya fungsi-fungsi sistem kesehatan diantaranya: 1) manajemen dan peraturan; 2) pembiayaan program penanggulangan; 3) sumber daya manusia; 4) pengaturan alat dan obat kesehatan; 5) manajemen data dan informasi; 6) keterlibatan atau partisipasi masyarakat terutama kelompok terdampak; serta 7) upaya kesehatan (WHO, 2007).

Secara spesifik kajian akan melihat bagaimana implementasi integrasi PMTS dalam keenam fungsi sistem kesehatan tersebut tergambar dalam bentuk layanan PMTS di tingkat delivery of care dalam hal ini level layanan kesehatan dasar atau lebih khususnya Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan milik pemerintah yang perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasinya ada sepenuhnya dalam kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota.

2. Efektifitas program PMTS (tujuan vs pencapaian)

Untuk menilai efektifitas program PMTS dalam kerangka kerja integrasi layanan maka indikator yang digunakan adalah cakupan terhadap layanan yang disediakan yang dapat diukur dalam tiga variabel utama yaitu availibility (ketersediaan layanan), affordability (keterjangkauan layanan dari aspek finansial) dan acceptability (penerimaan layanan terutama oleh populasi kunci).

Kajian ini akan menggali kemajuan dan hambatan program PMTS di daerah, serta peran pemerintah daerah untuk menjadikan program PMTS sebagai bagian dari tanggungjawab daerah. Kemajuan di daerah akan berpengaruh pada tingkat cakupan, perubahan perilaku populasi kunci serta keterlibatannya dalam program PMTS di daerah tsb (PL LSL ditempatkan di Puskesmas meningkatkan kunjungan komunitas LSL).

3. Keberlanjutan

Prekondisi dan mekanisme yang telah dijalankan oleh para advokat HIV (KPAN/KPAD/Kemenkes/OMS, dll) sehingga pemerintah daerah mengadopsi program PMTS menjadi bagian dari program kesehatan di nasional dan daerah sangat penting untuk menjamin keberlanjutan program PMTS.

(8)

8

Kajian ini akan melihat langkah-langkah yang telah dilakukan oleh para advokat HIV untuk mempengaruhi prioritasi dan alokasi pembiayaan untuk program PMTS baik secara langsung maupun tidak langsung. Termasuk dukungan yang diberikan selama proses koordinasi, pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta replikasi dari pelaksanaan program PMTS tersebut.

Dimensi 3: Model program PMTS

Asumsi dasar pengembangkan model program PMTS yang terintegrasi di tingkat layanan dasar adalah akan terjadinya peningkatan efektifitas layanan yang dapat digambarkan dalam kerangka sistem pada gambar 1, dimana integrasi pada fungsi-fungsi sistem kesehatan nasional dan daerah akan mendorong terlaksananya empat pilar layanan PMTS untuk mencapai output yang diinginkan berupa peningkatan akses layanan, peningkatan cakupan program dan termasuk peningkatan kualitas layanan. Perbaikan output ini yang kemudian akan mendukung perubahan perilaku untuk menurunkan risiko penularan IMS dan HIV yang berujung pada penurunan infeksi baru IMS dan HIV.

Secara lebih spesifik terdapat 6 alasan utama yang mendasari pentingnya pengembangan model integrasi program PMTS di tingkat layanan dasar:

 Beban penyakit HIV-AIDS sangat besar, dampaknya tidak hanya dari sisi kesehatan penderita tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi keluarganya

 Masalah IMS dan HIV-AIDS secara nyata memiliki singgungan dengan berbagai masalah kesehatan lain yang sering dilaporkan pada layanan mainstream

 Kesenjangan cakupan layanan atau kaskade pelayanan IMS dan HIV-AIDS di Indonesia masih lebar, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan layanan PMTS ke dalam layanan dasar akan membantu mengurangi kesenjangan tersebut

 Layanan dasar mainstream tersebar secara lebih baik, hal ini membantu meningkatkan akses ke layanan

 Pemberian layanan di tingkat yang paling dasar diharapkan mampu mengurangi stigma dan diskriminasi

 Integrasi layanan PMTS di level layanan dasar dapat meningkat cost-effectiveness program Meskipun alasan untuk melakukan integrasi program PMTS di tingkat layanan dasar sudah cukup kuat dan berdasar, terdapat beberapa kendala utama yang harus diperhatikan dalam pengembangannya, diantaranya:

 Selama ini melalui bantuan MPN layanan PMTS khususnya pilar 2 komunikasi perubahan perilaku dan juga pilar 3 logistik alat pencegahan berada dalam sistem yang terpisah dengan sistem mainsteram (paralel)

 Manajemen informasi belum dikelola dengan baik, jarang terjadi sharing informasi yang efisien antara sektor terlibat

 Masalah pembayaran, selama ini dalam banyak hal pembiayaan SDM kesehatan yang terlibat dalam layanan PMTS berbeda dan menimbulkan sekat di dalam organisasi baik di level pengambilan kebijakan maupun pelaksanaan atau implementasi

Terkait hambatan di atas, dalam pengembangan model integrasi PMTS ke dalam sistem kesehatan di tingkat layanan dasar maka tim peneliti akan mengacu pada tiga konsep atau model layanan yang sering digunakan secara tumpang tindih tetapi sesungguhnya jelas berbeda (Blount, 2003):

(9)

9

 Co-ordinated, dimana pemberian layanan dilakukan di level primary care atau layanan dasar

tetapi layanan aktualnya dilakukan di seting yang berbeda

 Co-located, dimana pemberian layanan dilakukan di primary care atau layanan dasar tetapi layanan aktualnya dilakukan dalam ruang dan waktu yang berbeda hanya saja masih dalam institusi atau secara fisik gedung yang sama

 Integrated, dimana pemberian layanan dilakukan dalam kesatuan layanan umum atau mainstream yang ada di organisasi pemberi pelayanan kesehatan dasar

Selain 3 model layanan di atas kerangka lain yang juga bermanfaat dan perlu mendapat pertimbangan adalah collaboration continuum yang dikembangkan oleh (Doherty et al., 1996) yang membagi kontinum integrasi layanan ke dalam lima tingkatan yaitu:

1. Minimal; layanan layanan berada dalam seting yang terpisah dengan SDM dan tata kelola yang berbeda serta berkomunikasi secara periodik

2. Basic at distance; layanan layanan berada dalam seting yang terpisah dengan SDM dan tata kelola yang berbeda tetapi berkomunikasi secara periodik untuk membahas permasalahan yang dihadapi program maupun permasalahan yang dialami target atau sasaran program dan layanan 3. Basic on site; layanan layanan berada dalam satu kesatuan organisasi layanan dan berbagi fasilitas

tetapi memiliki sistem dan culture yang berbeda

4. Close partly integrated; layanan layanan berada dalam satu kesatuan organisasi, berbagi fasilitas, berbagi sistem dan budaya kerja yang sama misalnya dalam hal penggunaan informasi terkait hasil layanan dan pengembangan layanan. Terdapat komunikasi yang regular face to face antara penyedia layanan untuk membahas hasil layanan, hambatan dan rencana pengembangan kedepannya.

5. Close fully integrated; layanan layanan berada dalam satu tim kerja, keseluruhan layanan spesifik merupakan bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan dasar

Selanjutnya model yang dikembangkan juga akan memperhatikan tiga hal berikut:

 Perbedaan epidemi daerah, apakah epidemi terkonsentrasi atau meluas termasuk kemudian sebaran (besar dan distribusi) populasi kunci di daerah. Unsur dalam pilar 1, 2, 3, 4: secara detail akan dijelaskan perbedaan pendekatan antara daerah dengan epidemi terkonsentrasi dan epidemi meluas

 Perbedaan kemampuan sumber daya (finansial, SDM dan fasilitas) dalam mendukung terselenggaranya layanan dalam 4 pilar PMTS

 Peta pemangku kepentingan dari program PMTS (nasional s.d. daerah)

Pelaksana  Siapa pelaksana ideal dan pelaksana praktis dalam sistem ketatanegaraan yg lebih besar dari sistem kesehatan, misalnya jika idealnya outreach MARP dilakukan oleh OMS tetapi realistisnya dalam model mungkin dilakukan oleh pekerja sosial honorer pemerintah daerah di bawah Puskesmas.

Kemitraan  di dalam lingkar intervensi HIV dan non-HIV di tingkat daerah dan nasional

Konsekuensi dari pemilihan kegiatan dan pelaksana praktis akan menentukan kemitraan utama dan kemitraan secondary dari program PMTS.

Berdasarkan asumsi dasar bahwa integrasi dalam fungsi-fungsi sistem kesehatan akan mendukung terlaksananya program PMTS yang lebih efektif dan terdapatnya perbedaan epidemi serta kemampuan sumber daya daerah maka kebutuhan pengembangan variasi model layanan PMTS dapat digambarkan dalam tabel 1. Berdasarkan matriks dalam tabel 1 tersebut tim peneliti merencanakan untuk mengembangkan 2 model praktis program PMTS di tingkat layanan dasar dengan merinci kebutuhan

(10)

10

tingkatan integrasi masing-masing pilar PMTS beserta masalah yang ada serta usulan solusi atas masalah integrasi tersebut. Selanjutnya tim peneliti juga akan mengembangkan model integrasi kebijakan pada sistem kesehatan di tingkat nasional dan daerah yang dapat mewujudkan terlaksananya model integrasi di tingkat layanan. Untuk dapat memetakan kebutuhan integrasi pada enam fungsi sistem kesehatan berdasarkan kerangka kerja WHO (WHO, 2007) maka analisis terhadap masalah fungsi dan dimensi masing-masing fungsi sistem kesehatan dan solusinya akan disarikan ke dalam tabel 2. Gambaran awal kajian program PMTS per model praktis dan dukungan integrasi kebijakan yang diperlukan disarikan ke dalam tabel 3.

(11)

11

Gambar 1. Kerangka sistem integrasi program HIV ke dalam fungsi sistem kesehatan akan meningkatkan efektifitas PMTS di tingkat layanan dasar

Integrasi dalam fungsi sistem

kesehatan

Manajemen dan regulasi

Pembiayaan

SDM

Obat dan alat kesehatan

Data dan informasi

Partisipasi masyarakat

Pilar PMTS

Proses-luaran

Efek-Dampak

Peningkatan peran

pemangku kepentingan

Komunikasi perubahan

perilaku

Tata kelola alat

pencegahan (kondom

dan lubrikan)

Penatalaksanaan IMS:

skrining dan pengobatan

Ketersediaan layanan

Keterjangkauan layanan

Kualitas layanan

Penurunan perilaku

berisiko

Penurunan kejadian

infeksi baru IMS-HIV

(12)

12

Tabel 1. Kebutuhan pengembangan model integrasi program HIV ke dalam fungsi sistem kesehatan untuk mendukung pelaksanaan PMTS di tingkat layanan dasar

4 pilar PMTS Jenis epidemi

Epidemi terkonsentrasi Epidemi meluas

Peningkatan peran pemangku kepentingan

Model praktis layanan terintegrasi pada epidemi

terkonsentrasi

Model praktis layanan terintegrasi pada epidemi meluas

Komunikasi perubahan perilaku Tata kelola alat pencegahan: kondom dan lubrikan

Penatalaksanaan IMS: skrining dan pengobatan

Tabel 2. Pemetaan masalah integrasi kebijakan berdasarkan fungsi sistem kesehatan untuk mendukung terlaksananya model praktis PMTS

Fungsi sistem kesehatan

Terkonsentrasi Meluas

Masalah Solusi Masalah Solusi

Tata kelola pembiayaan SDM

obat dan alat kes data dan informasi partisipasi

masyarakat

Tabel 3. Gambaran awal kajian model praktis PMTS dan kebutuhan integrasi fungsi sistem kesehatan

4 Pilar PMTS Layanan/Kegiatan Fungsi Sistem Kesehatan

Peningkatan peran pemangku kepentingan

Permenkes 128/2004, 75/2014

- Koordinasi dg community organizer (pokja lokalisasi) Peluang pada:

- Lokakarya Mini Bulanan - LokMin Tribulanan - Musyawarah Masyarakat (tahunan)

Regulasi / Tatakelola Pembiayaan

(13)

13

4 Pilar PMTS Layanan/Kegiatan Fungsi Sistem Kesehatan

Komunikasi perubahan perilaku High Risk

PMTS community organizers Outreach workers

Social media

(WPS, Waria, LSL, HRM) Fiskal daerah: fokus pd IPP coordinated akan ada analisis tambahan analisis fiskal daerah (PAD & dana hibah)

 Tata kelola

- Regulasi belum ada spesifik mengatur

- Saat ini vertikal, donor driven - Dilakukan oleh LSM

 Pembiayaan

- Regulasi Permendagri utk alokasi HIV

- Sumber pembiayaan mayoritas donor: tdk fleksibel, tdk sustainable

- Sumber pembiayaan: beberapa APBD (Denpasar, Surabaya) tdk sesuai kebutuhan, OW tidak terkontrol (monitoring lemah) - Kemungkinan didanai melalui

Desa - Kementerian Desa (Desa Sehat)

 SDM

- Regulasi belum ada (high risk) - Donor driven (kontrol)

- LSM, Peer

 Obat dan alat kesehatan  Data dan informasi

- Regulasi tdk ada - Donor driven - Survey KAP  Partisipasi masyarakat - Sumber Umum: Promkes, Kespro (PKPR),

Sosialisasi (KIE), Penyuluhan HIV ke sekolah,

Potensi: sosialisasi ke masyarakat (Pokja 3 PKK)

 Tatakelola  Pembiayaan

Regulasi: promosi kesehatan atau dana program HIV?

Swasta: perusahaan kondom  SDM

- Regulasi sudah ada (Promotor Kes)

 Data dan informasi

(14)

14

4 Pilar PMTS Layanan/Kegiatan Fungsi Sistem Kesehatan

public campaign

 Partisipasi masyarakat Tata kelola alat pencegahan:

kondom dan lubrikan

High Risk Condom outlet Outreach workers Puskesmas

Kondom Mandiri (koperasi) cth. Merauke

 Tata kelola  Pembiayaan  SDM

 Obat dan alat kesehatan  Data dan informasi --> bagaimana monitoring Distribusi/penjualan kondom. Utk High Risk: laporan Outreach workers, condom outlet

Utk umum: Susenas dan integrasi laporan KIA

 Partisipasi masyarakat

KPAN, BKKBN (Surat Edaran: kondom dual function)

Lubrikan konsentrasi pd LSL, Waria Umum (incl. High Risk)

Commercial Outlet Bidan praktek (bidan andalan?)

Penatalaksanaan IMS: skrining dan pengobatan

- Pedoman Tatalaksana IMS

UKP  Sindrom  Simple Lab Apakah “Doherty 1-5” dg layanan KIA/SRH? UKM  Penapisan IMS pd WPS + Waria  Penapisan LSL (Klinik Carlo)  PPT pd WPS SDM

Obat dan alat kes Data dan informasi Tata kelola

Rujukan masalah kesmas ke Dinkes pdhal kapasitas kurang memadai Pembiayaan

SDM

Obat dan alat kesehatan Data dan informasi Partisipasi masyarakat

(15)

15

VI. Protokol studi Delphi atau uji ahli

Tehnik Delphi atau uji ahli adalah suatu cara untuk mendapatkan konsensus terhadap suatu model diantara para pakar dan praktisi melalui pendekatan intuitif (Rayens and Hahn, 2000; Linstone and Turoff, 1975). Uji ahli dalam studi ini akan dilaksanakan dalam 2 tahap dengan peserta yang berbeda (pakar dan praktisi) untuk memperoleh input dan konsensus terhadap model kebijakan PMTS yang dihasilkan dari hasil studi literatur. Hal ini penting untuk validasi dan meningkatkan kredibilitas pengembangan model integrasi program PMTS ke dalam sistem kesehatan di tingkat layanan dasar sebelum disebarluaskan ke khalayak lebih luas.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang akan dilakukan tim peneliti untuk menghasilkan konsensus atas model yang diajukan:

1. Identifikasi masalah dan atau isu

Perumusan summary atau technical brief model integrasi program PMTS ke dalam sistem kesehatan di tingkat layanan dasar atau primer.

2. Identifikasi responden

Berdasarkan model yang telah dikembangkan dan mempertimbangkan keahlian serta “power” atau pengaruh dari para pakar dalam pengembangan kebijakan dan program penanggulangan HIV di Indonesia peneliti menentukan dan memilih pakar yang manaruh perhatian dan tertarik bidang tersebut, yang memungkinkan ketercapaian tujuan. Jumlah responden paling tidak sesuai dengan sub-permasalahan, tingkat kepakaran (expertise), dan atau kewenangannya.

Tabel 4. Sebaran responden Delphi pada pakar

Fungsi Sistem Institusi Nama Pakar

Regulasi

HSS & Integrasi Universitas Indonesia Prof. Wiku

Pembiayaan Universitas Indonesia Dr. Mardiati Nadjib

SDM PPSDM

Logistik

 Obat & Regensia Bina Farmasi

 Kondom UGM Prof. Siswanto

Sistem Informasi Pusdatin (Siknas) Partisipasi Masyarakat Promosi Kesehatan

Pilar 1 Institusi Nama Pakar

Pilar 1 KPAN

Pilar 2 BKKBN,

Kemenkes, Binfar

(16)

16

Pilar 3 Subdit AIDS,

CHAI Pilar 4 HIVOS, Linkages Promosi Kesehatan Sita Laksmi, Ciptasari Prabawanti

3. Pengembangan instrumen Delphi

Tim peneliti kemudian menyusun butir-butir instrumen berdasarkan model yang berhasil dikembangkan. Pertanyaan dalam bentuk open-ended questions, kecuali jika menyangkut isu atau topik yang memang sudah spesifik.

4. Pelaksanaan putaran (ronde) Delphi

Peneliti akan mengirimkan kuesioner pada putaran pertama kepada responden pakar, selanjutnya mengkaji instrumen dan menganalisis jawaban instrumen yang telah dikembalikan. Analisis dilakukan dengan menggunakan tehnik tematik analisis. Berdasarkan hasil analisis, peneliti merevisi instrumen yang akan digunakan pada kelompok praktisi dan melakukan tahapan yang sama seperti ronde sebelumnya.

Putaran 1 pada praktisi di 8 Kota di Indonesia  Medan  DKI  Surabaya  Makasar  Manokwari  Maraoke  Denpasar  Kupang

Masing-masing kota akan diwakili oleh seluruh responden kunci penelitian kebijakan tahap 1 dan 2. Putaran 1 pada pakar di Jakarta.

5. Klarifikasi masalah dan atau isu penting

Jika tim mengalami kesulitan dan keraguan dalam merangkum, peneliti dapat meminta klarifikasi kepada responden. Dalam teknik Delphi biasanya digunakan hingga 3-5 putaran, tergantung apakah konsensus terbentuk tetapi dalam studi ini karena keterbatasan waktu dan lokasi Delphi yang cukup banyak, putaran hanya akan dilakukan dua kali, masing-masing satu kali pada satu kelompok responden pakar dan praktisi.

6. Lokakarya hasil

Lokakarya untuk membahas hasil analisis putaran pertama dan kedua, jika diperlukan tim peneliti akan mengundang pakar dan praktisi yang dapat memberikan input bermakna untuk mencapai tujuan uji ahli dalam mengembangkan model integrasi program PMTS ke dalam sistem kesehatan di tingkat layanan primer.

7. Perumusan laporan final model model integrasi program PMTS ke dalam sistem kesehatan di tingkat layanan primer

(17)

17

Daftar Pustaka

Atun R, de Jongh T, Secci F, et al. (2010) A systematic review of the evidence on integration of targeted

health interventions into health systems. Health policy and planning 25: 1-14.

Blount A. (2003) Integrated primary care: Organizing the evidence. Families, Systems, & Health 21: 121.

Doherty W, McDaniel S and Baird M. (1996) MD. FIVE LEVELS OF PRIMARY CARE/BEHAVIORAL

HEALTHCARE COLLABORATION.

Frenk J. (2009) Reinventing primary health care: the need for systems integration. The Lancet 374:

170-173.

Linstone HA and Turoff M. (1975) The Delphi method: Techniques and applications: Addison-Wesley

Reading, MA.

MOH of Indonesia. (2008) Mathematic Model of HIV Epidemic in Indonesia 2008-2014, Jakarta: Ministry

of Health Of Indonesia.

MOH of Indonesia. (2013) Estimation and Projection of HIV/AIDS in Indonesia 2011-2016 (Estimasi dan

Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2011-2016). Jakarta: MOH of Indonesia.

NAC of Indonesia. (2012) Indonesia country report on the follow up to the declaration of commitment on

HIV-AIDS (UNGASS), Jakarta: NAC of Indonesia.

PKMK FK UGM. (2015) Kebijakan HIV-AIDS dan Sistem Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: PKMK FK

UGM.

Rayens MK and Hahn EJ. (2000) Building consensus using the policy Delphi method. Policy, politics, &

nursing practice 1: 308-315.

Riono P and Jazant S. (2004) The Current Situation of the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia. AIDS

Education and Prevention 16: 78-78-90.

Suharni M, Hersumpana, K CL, et al. (2015) Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS Ke Dalam

Sistem Kesehatan. Yogyakarta: PKMK FK UGM.

UNAIDS. (2015) Ending the AIDS epidemic: the advantage of cities. Kenya: UNAIDS.

WHO. (2007) Strengthening Health Systems to Improve Health Outcomes. WHO’s Framework for Action.

Yu D, Souteyrand Y, Banda MA, et al. (2008) Investment in HIV/AIDS programs: Does it help strengthen

Gambar

Tabel 2. Pemetaan masalah integrasi kebijakan berdasarkan fungsi sistem kesehatan untuk mendukung  terlaksananya model praktis PMTS
Tabel 4. Sebaran responden Delphi pada pakar

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tinjauan ekonomi Islam bahwa usaha ternak ayam potong yang berada di Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis dari segi produksi telah sesuai dengan syariat Islam, sedangkan

Pada saat Peraturan Walikota ini mulai berlaku, maka Peraturan Walikota Surabaya Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pedoman Harga Ganti Rugi atau Sumbangan terhadap Bangunan dan Fasilitas

Selain itu adanya kontaminasi total bakteri yang tinggi juga dapat disebabkan oleh penanganan yang kurang hegienis dimana kontaminasi berasal dari tangan pekerja, alat

peristiwa yang terjadi berdampak pada perubahan kehidupan seseorang maka peristiwa tersebut dapat diklasifikasikan sebagai sebuah berita ; kedua adalah aktualitas

Pembelajaran matematika pada materi soal konsep cerita tentang perkalian dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan alat peraga tabel perkalian, dan teknik

Pindahkan kertas saring dan isinya ke cawan semula, uapkan dengan hati-hati di atas penangas air, kemudian masukkan ke dalam tanur pada suhu 525 ± 25 oC sampai abunya bebas

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara bimbingan belajar terhadap motivasi belajar

DAVYSUKAMTA & PARTNERS Structural Engineers Secara struktur , gedung tinggi adalah suatu gedung dimana rancangannya ditentukan oleh stiffness. DAVYSUKAMTA &