• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Sosial, Kepribadian, dan Demografi Terhadap Sikap Serta Intensi Pembelian Batik Printing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Faktor Sosial, Kepribadian, dan Demografi Terhadap Sikap Serta Intensi Pembelian Batik Printing"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Faktor Sosial, Kepribadian, dan Demografi

Terhadap Sikap Serta Intensi Pembelian Batik Printing

Anya Safira

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Program Studi Manajemen

Sri Daryanti

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Program Studi Manajemen

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap serta intensi pembelian konsumen untuk batik printing sebagai barang tiruan (counterfeit). Batik printing dapat dikategorikan sebagai produk tiruan karena tidak sesuai dengan definisi dan teknik batik yang sesungguhnya dan hanya berusaha untuk menyerupainya. Secara historis, batik printing tersebut memang diperkenalkan dengan tujuan menyaingi kain batik asli. Lebih rincinya, penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan pengaruh dari faktor sosial (informative susceptibility, normative susceptability), kepribadian (value consciousness, integritas, personal gratification), dan demografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran) terhadap sikap dan intensi pembelian batik printing. Pengolahan data dengan Structural Equation Modelling (SEM) serta regresi berganda yang dilakukan terhadap 257 responden menemukan bahwa variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap konsumen adalah normative susceptibility, sedangkan variabel-variabel lainnya tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik. Penelitian ini juga menemukan bahwa sikap terhadap pemalsuan secara signifikan mempengaruhi intensi pembelian batik printing.

Kata kunci: batik printing, sikap terhadap pemalsuan, dan intensi pembelian.

(2)

ABSTRACT

This research aims to study the attitude and purchase intention of Indonesian consumers for batik printing as a counterfeit product. Batik printing can be categorized as a counterfeit product because it does not comply with the real definition and technique of batik, but only tries to imitate the end product. Historically, batik printing was actually introduced to compete against the original batik. More specifically, the research attempts to investigate the effects of social factors (informative susceptibility, normative susceptibility), personality factors (value consciousness, integrity, personal gratification), and demographic factors (gender, age, education, expenditure) on attitude towards counterfeiting and purchase intention of batik printing. The data analysis of 257 respondents using Structural Equation Modelling (SEM) and multiple regression shows that the only variable that has a significant effect on attitude towards counterfeiting is normative susceptibility, whereas the other variables do not have a statistically significant effect. This research also found that attitude towards counterfeiting has a significant effect on purchase intention of batik printing. The implications and suggestions from these findings are also discussed.

Key words: batik printing, attitude towards counterfeiting, and purchase intention

1. PENDAHULUAN

Batik adalah warisan budaya Indonesia yang semakin berkembang mengikuti perubahan zaman. Bagi umumnya masyarakat Indonesia, batik dianggap sebagai hasil kerajinan asli yang diwariskan dari bergenerasi-generasi lalu (Purwanto, 2005 p.125). Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, juga telah mendapatkan pengakuan internasional dengan ditetapkannya oleh UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk

(3)

Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak tanggal 2 Oktober 2009 (Muftisany, 2012).

Meningkatnya permintaan terhadap batik tentunya menuntut pengrajin untuk berproduksi dalam skala besar dengan mengedepankan efisiensi. Perkembangan dalam bidang teknologi juga turut menjadi faktor pendorong munculnya batik printing, yaitu batik yang diproduksi dengan menggunakan mesin. Batik printing ini dapat menghasilkan kain bermotif batik hingga ratusan meter dalam satu kali produksi. Maraknya batik printing yang ada di pasaran menjadi suatu permasalahan sendiri dan dapat mengancam keberadaan batik asli. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), yang dimaksud batik adalah bahan tekstil hasil pewarnaan secara perintangan dengan menggunakan lilin batik sebagai zat perintang, berupa batik tulis, batik cap, serta batik kombinasi tulis dan cap (Batik Mark). Maka batik printing tidak dapat dikategorikan sebagai batik asli. Beberapa pengusaha batik mengeluh karena batik printing lebih dipilih masyarakat secara umum yang dinilai tidak menghargai pengrajin batik yang asli.

Terkait masalah tersebut, konsumen batik sebenarnya merupakan pihak paling dirugikan karena pengetahuan konsumen batik di Indonesia tampaknya sangat terbatas. Kebanyakan konsumen sulit membedakan batik tulis, batik cap, batik kombinasi dan aneka produk batik printing. Hal ini membuat konsumen rentan untuk tidak menyadari apakah batik yang mereka beli asli atau hanya tergolong printing.

Penelitian terdahulu (Tom et al., 1998; Cordell et al., 1996; Bloch et al., 1993) telah mengidentifikasi bahwa terdapat dua faktor pendorong perilaku pembelian barang tiruan, yaitu harga yang menarik dan juga self-image yang dimiliki konsumen produk tiruan.

Ang, Swee Hoon, Peng Sim Cheng, Lim, E. A. C., dan Siok Kuan Tambyah. (2001) memperluas penelitian terkait perilaku pembelian barang tiruan dengan menambahkan beberapa faktor berikut:

(4)

b. Perceived harm/benefit terhadap pemilik asli karya tersebut, industrinya, serta masyarakat

c. Moralitas dari pembelian barang tiruan d. Pengaruh sosial

e. Faktor-faktor kepribadian

Poin satu sampai dengan tiga terangkum dalam variabel sikap terhadap pemalsuan, sedangkan pengaruh sosial serta faktor-faktor kepribadian dipecah lebih lanjut menjadi beberapa variabel. Faktor sosial mencakup informative susceptibility dan normative susceptibility, sedangkan faktor kepribadian mencakup value consciousness, integritas dan personal gratification. Dengan penambahan beberapa faktor tersebut, diharapkan bahwa akan didapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang perilaku pembelian produk tiruan, lebih khususnya terkait batik printing. Kemudian dari pemahaman tersebut, akan muncul insight dalam mencari cara-cara terbaik untuk mendorong pelestarian batik asli dan bukan produk tiruannya.

2. LANDASAN TEORI

Perilaku pembelian konsumen dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, dan personal. Dari ketiga faktor tersebut, faktor budaya memiliki pengaruh yang luas dan mendalam (Kotler dan Keller, 2009). Menurut Schiffman dan Kanuk (2007), budaya merupakan penentu dasar seseorang dalam menentukan keinginan dan tingkah lakunya. Setiap wilayah memiliki budaya yang berbeda, yang mempengaruhi keluarga dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya, dan budaya juga mengatur bagaimana cara berinteraksi di lingkungan dan masyarakat luas. Budaya dapat mempengaruhi dan dipengaruhi faktor-faktor lain seperti faktor sosial, demografi dan kepribadian.

Pengaruh sosial (social influence) adalah pengaruh orang lain terhadap perilaku konsumen. Besarnya pengaruh tekanan sosial bergantung pada kerentanan (susceptibility) konsumen terhadap tekanan tersebut. Consumer susceptibility adalah kebutuhan untuk

(5)

mengasosiasikan diri dengan orang lain atau memperbaiki image di mata orang lain dengan mendapatkan dan menggunakan produk dan merek tertentu, keinginan untuk mengikuti ekspektasi orang lain terkait keputusan pembelian, dan tendensi untuk mempelajari produk dengan memperhatikan orang lain atau mencari informasi dari orang lain.

Secara umum terdapat dua bentuk susceptibility, yaitu informative susceptibility dan normative susceptibility. Informative susceptibility adalah pembelian produk berdasarkan pendapat orang lain yang ahli, terutama terkait kualitas produk dan apakah pembelian tersebut bijak atau tidak. Hal ini biasanya terjadi ketika konsumen tidak terlalu mengetahui kategori produknya. Normative susceptibility menyangkut keputusan pembelian berdasarkan ekspektasi yang akan membuat kesan baik di mata orang lain (Bearden, Nettemeyer, dan Teel, 1989).

Lingkungan (teman-teman dan keluarga) yang ahli dalam mengetahui kelebihan-kelebihan yang dimiliki produk asli dibandingkan produk tiruannya dan dampak negatif dari pembelian produk tiruan akan mempengaruhi konsumen untuk menjauhi produk tiruan. Oleh karena itu, informative susceptibility akan memiliki pengaruh negatif terhadap sikap konsumen. Dengan kata lain, semakin tinggi informative susceptibility, semakin konsumen tidak setuju dengan adanya pemalsuan.

Jika pembelian barang tiruan tidak menimbulkan kesan yang baik dan konsumen merasa penting bagi dirinya untuk selalu memiliki kesan yang baik, maka sikap terhadap pemalsuan akan lebih negatif. Maka normative susceptibility akan memiliki pengaruh negatif karena semakin tinggi nilai normative susceptibility semakin negatif sikap konsumen terhadap pemalsuan, yang berarti semakin besar penolakannya.

Dapat disimpulkan bahwa hipotesis terkait faktor-faktor sosial adalah sebagai berikut:

H1: Informative susceptibility secara negatif mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

H2: Normative susceptibility secara negatif mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

(6)

Kepribadian (personality) adalah karakteristik psikologis seseorang yang unik dan bagaimana karakteristik tersebut secara konsisten mempengaruhi cara seseorang merespon lingkungannya (Solomon, 2004). Ang et al. (2001) meneliti tiga faktor kepribadian yang dapat mempengaruhi sikap konsumen, yaitu value consciousness, integritas, dan personal gratification.

Value consciousness adalah keinginan untuk membayar harga yang lebih rendah, dengan batasan kualitas tertentu (Lichtenstein et al., 1990 dalam Ang et al., 2001). Telah terbukti bahwa ketika sebuah produk tiruan memiliki keunggulan harga yang signifikan dibandingkan produk aslinya, konsumen akan cenderung memilih produk tiruan (Bloch et al., 1993). Maka konsumen yang lebih sadar terhadap nilai (value conscious) akan memiliki sikap yang lebih favorable terhadap pemalsuan (lebih menerima keberadaan pemalsuan). Variabel value consciousness ini memiliki pengaruh yang positif terhadap sikap konsumen terhadap pemalsuan.

Integritas mewakili tingkat standar etika konsumen dan kepatuhannya terhadap hukum (Wang, Zhang, H., Zang, H., dan Ouyang, M, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen yang lebih peduli terhadap hukum (lawful-minded) akan lebih enggan untuk membeli produk tiruan (Cordell et al., 1996). Semakin seorang konsumen menganggap integritas sebagai sesuatu yang penting, semakin negatif sikapnya terhadap pemalsuan (Wang et al., 2005).

Faktor kepribadian yang ketiga adalah personal gratification, yaitu kebutuhan terhadap rasa pencapaian, pengakuan sosial, dan untuk menikmati hidup. Mayoritas produk tiruan tidak memberikan level kualitas yang sama seperti produk aslinya. Akan tetapi, konsumen yang membeli produk tiruan rela untuk mengorbankan kualitas atau garansi yang ditawarkan oleh produk asli. Tidak seperti konsumen yang membeli produk asli, konsumen produk tiruan tersebut tidak terlalu menilai penting kesenangan dari memiliki produk berkualitas tinggi atau kepuasan dari memiliki produk asli. Bagi pembeli produk tiruan, personal gratification

(7)

tidak terlalu penting (Ang et al., 2001). Maka, konsumen yang lebih menghargai personal gratification akan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap pemalsuan.

Berdasarkan penjabaran faktor-faktor kepribadian di atas, dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut:

H3: Value consciousness secara positif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

H4: Integritas secara negatif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

H5: Personal gratification secara negatif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Penelitian terdahulu oleh Ang et al. (2001) juga mengindikasikan bahwa variabel-variabel demografi mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan. Variabel-variabel yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan tingkat pengeluaran. Maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

H6: Jenis kelamin mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. H7: Usia mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

H8: Tingkat pendidikan mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. H9: Tingkat pengeluaran mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Ang et al. (2001) juga meneliti bagaimana sikap konsumen terhadap pemalsuan mempengaruhi intensi pembelian konsumen untuk produk tiruan. Hubungan inilah yang ingin peneliti uji kembali pada kasus batik printing, dengan rumusan hipotesis sebagai berikut:

H10: Sikap terhadap pemalsuan secara positif mempengaruhi intensi pembelian konsumen terhadap produk batik printing.

(8)

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan model dari penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Ang et al. (2001) dengan judul “Spot The Difference: Consumer Responses Towards Counterfeits”. Model tersebut telah diteliti oleh Ang et al. (2001) kepada konsumen Singapura melalui survei tentang (compact disc) CD musik bajakan.

Gambar 1. Model Penelitian

Sumber:Ang et al., 2001

Model penelitian di atas dikembangkan untuk memahami sikap dan intensi pembelian konsumen terhadap produk tiruan. Penelitian terhadap sikap konsumen dilakukan dengan melihat pengaruh tiga kelompok faktor, yaitu faktor sosial (informative susceptibility dan normative susceptibility), kepribadian (value consciousness, integritas dan personal gratification) dan demografi (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan tingkat pengeluaran). Kemudian akan dilihat apakah sikap konsumen akan mempengaruhi intensi pembelian mereka terhadap produk tiruan, khususnya batik printing.

Attitude towards Piracy Purchase Intention Informative Susceptibility Normative Susceptibility Integrity Value Consciousness Personal Gratification - - + - - +

(9)

Pada penelitian ini, data akan didapatkan dari penelitian lapangan atau survei terhadap sejumlah responden dengan menggunakan kuesioner. Metode sampling yang digunakan adalah non-probability sampling berupa convenience sampling dan snowball sampling. Dari 487 responden yang terjaring, hanya 257 responden yang lolos screening dan dapat diolah datanya. Responden penelitian ini adalah pembeli batik asli (batik tulis dan batik cap) yang bukan merupakan pembeli batik printing. Pembatasan ini dilakukan karena ingin berfokus pada intensi pembelian pertama kali dari konsumen.

Analisis data dilakukan dengan metode Structural Equation Modelling (SEM) dengan menggunakan LISREL 8.5 dan regresi berganda dengan menggunakan SPSS 17. Analisis dengan regresi berfungsi untuk melengkapi analisis terkait data-data demografis yang tidak dimungkinkan untuk dianalisis secara bersamaan dalam SEM. Namun sebelum melakukan analisis terhadap data yang didapatkan, pertama-tama dilakukan analisis reliabilitas dan validitas untuk memastikan keabsahan data tersebut.

4. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil output LISREL 8.5, tabel evaluasi terhadap koefisien model struktural menunjukkan bahwa terdapat 4 hipotesis yang tidak signifikan, yaitu H1, H3, H4, dan H5. Keempat hipotesis tersebut tidak signifikan karena tidak memenuhi syarat +/- 1,96 dengan tingkat signifikansi 5%. Hasil tersebut dapat dilihat pada gambar dan tabel di bawah ini.

(10)

Gambar 2 Path Diagram dan t-value Keseluruhan Model

(11)

Tabel 1. T-Values Model Struktural

Hipotesis Path Estimasi Nilai t Kesimpulan

H1 IS à SP 0,0012 0.011 Tidak Signifikan H2 NS à SP -0.26 -2.9 Signifikan H3 VC à SP -0.0058 -0.64 Tidak Signifikan H4 IT à SP -0.0037 -0.045 Tidak Signifikan H5 PG à SP 0.1 1.17 Tidak Signifikan H10 SP à PI 0.67 7.33 Signifikan

Sumber: Output LISREL 8.5 hasil olahan peneliti

Sementara itu, faktor-faktor demografi yang diamati diubah menjadi dummy variable, yaitu variabel non-metrik yang diubah menjadi variabel metrik dengan pemberian nilai 1 atau 0, sesuai dengan karakteristik pada variabel tersebut. Selanjutnya, multiple regression dilakukan terhadap variabel sikap terhadap pemalsuan serta variabel-variabel demografi. Sikap terhadap pemalsuan merupakan variabel dependen, sedangkan dummy jenis kelamin, dummy usia, dummy pendidikan dan dummy pengeluaran merupakan variabel-variabel independen.

Tabel 2. Nilai R Square

Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson 1 0,135a 0,018 0,003 0,93597293 2,143 a. Predictors: (Constant), PN, KL, PD, US b. Dependent Variable: sikap

Sumber: Output SPSS 17 hasil olahan peneliti

Tabel di atas menunjukkan nilai R Square (R2) untuk model regresi yang dihasilkan. R Square ini mengindikasikan persentase dari total variasi variabel dependen (Y) yang dapat dijelaskan oleh model regresi yang terdiri dari variabel-variabel independen (X) (Hair et al., 2009). Dengan kata lain, R Square menunjukkan besarnya kekuatan model untuk menjelaskan variabel dependennya. Nilai 0,018 di atas sangat rendah

(12)

sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang dibentuk dengan variabel-variabel demografi kurang dapat menjelaskan variabel-variabel sikap terhadap pemalsuan.

Tabel 3. Koefisien Regresi

Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

(Constant) KL US PD PN -0,165 0,120 -1,372 0,171 0,191 0,120 0,100 1,588 0,113 0,990 1,010 -0,038 0,167 -0,018 -0,227 0,821 0,605 1,654 0,178 0,134 0,093 1,326 0,186 0,789 1,267 -0,105 0,151 -0,056 -0,696 0,487 0,598 1,671

Sumber: Output SPSS 17 hasil olahan peneliti

Kemudian, tabel di atas merupakan tabel koefisien dalam analisis multiple regression. Pada tabel tersebut yang perlu diperhatikan adalah nilai signifikansi, yang memiliki standar <0,05 untuk dapat dikatakan signifikan. Jika memang signifikan, tahap selanjutnya adalah melihat besaran Standardized Beta untuk melihat besaran pengaruh masing-masing variabel independen dan apakah pengaruh tersebut negatif atau positif. Nilai-nilai signifikansi pada tabel di atas menunjukkan nilai yang tidak signifikan sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa variabel-variabel demografi tidak memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan terhadap variabel dependen sikap.

5. DISKUSI

H1: Informative susceptibility secara negatif mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H1 adalah sebesar 0,011<1,96 (Tabel 4.33). Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa informative susceptibility tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan. Hasil ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Ang et al. (2001). Menurutnya,

(13)

konsumen tidak bergantung pada pendapat ahli untuk mengambil keputusan apakah akan membeli barang tiruan atau tidak. Harga barang tiruan biasanya jauh lebih murah daripada barang aslinya sehingga risiko fungsional maupun finansialnya cenderung rendah. Maka konsumen tidak mamandang perlu untuk mencari pendapat ahli terlebih dahulu.

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa harga batik printing tidak selalu lebih murah daripada batik asli sehingga harga tidak dapat dijadikan indikator keaslian batik. Dengan demikian, penjelasan yang diberikan oleh Ang et al. (2001) belum mampu untuk sepenuhnya menjelaskan hasil yang didapatkan untuk hipotesis pertama tersebut.

H2: Normative susceptibility secara negatif mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H2 adalah sebesar -2,9≤-1,96 (Tabel 4.33). Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden mendukung hipotesis tersebut. Normative susceptibility terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap konsumen. Dilihat dari nilai t yang bertanda negatif, pengaruh dari variabel normative susceptibility ini bersifat negatif. Hal ini berarti semakin rentan seseorang terhadap ekspektasi apa yang dinilai baik di mata orang lain, semakin tinggi pula penolakan mereka terhadap pemalsuan.

Budaya kolektif yang dimiliki oleh masyarakat Asia (Hofstede, 1980 dalam Ang et al., 2001) mendorong komunikasi kuat antar teman dan anggota keluarga. Maka dari itu, rasa malu yang didapatkan ketika seseorang tidak mengeluarkan usaha lebih untuk membeli produk asli dapat menjadi motivasi yang menjauhkan seseorang dari keinginan untuk membeli barang tiruan.

H3: Value consciousness secara positif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H3 adalah sebesar -0,64>-1,96 (Tabel 4.33). Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti bahwa value consciousness tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

(14)

Barang tiruan pada umumnya memang dipilih karena memberikan manfaat yang tidak jauh berbeda dengan barang aslinya, tetapi dengan harga yang jauh lebih rendah (Ang et al., 2001). Sementara itu, harga tidak selalu menjadi faktor pembeda antara batik asli dan batik printing.

H4: Integritas secara negatif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H4 adalah sebesar -0,045>-1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti bahwa integritas tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Ang et al., 2001; Cordell et al., 1996) karena pada kasus batik, pemahaman terkait hak kekayaan intelektualnya masih minim. Maka penelitian ini berbeda dengan Ang et al. (2001) yang menggunakan CD sebagai studi kasusnya. Konsep hak kekayaan intelektual lebih mudah untuk dilekatkan pada barang tersebut sehingga lebih dapat dikaitkan dengan variabel integritas.

H5: Personal gratification secara negatif mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H5 adalah sebesar 1,17<1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti personal gratification tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

Barang tiruan tidak dinilai sebagai barang yang dikonsumsi untuk kepuasan batin dan tidak dirasa memberikan kehidupan yang nyaman atau menyenangkan. Oleh karena itu, konsumen tidak mempedulikan perbedaan kualitas ketika membeli barang tiruan (Ang et al., 2001)

H6: Jenis kelamin mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H6 adalah sebesar 1,588<1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti jenis kelamin tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

(15)

H7: Usia mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H7 adalah sebesar -0,227>-1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti usia tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

H8: Tingkat pendidikan mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Nilai t untuk H8 adalah sebesar 1,326<1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti tingkat pendidikan tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

H9: Tingkat pengeluaran mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H5 adalah sebesar -0,696>-1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden tidak mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti tingkat pengeluaran tidak mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan.

H10: Sikap terhadap pemalsuan mempengaruhi intensi pembelian konsumen terhadap pemalsuan.

Nilai t untuk H10 adalah sebesar 7,33≥1,96. Nilai tersebut menunjukkan bahwa data jawaban responden mendukung hipotesis tersebut. Hal ini berarti konsumen yang tidak mempermasalahkan adanya pemalsuan memiliki intensi pembelian yang tinggi terhadap batik printing. Sebaliknya, konsumen yang cenderung menolak pemalsuan (memiliki sikap yang unfavorable) memiliki intensi pembelian yang rendah.

Artinya, jika ingin mengubah perilaku pembelian batik printing, maka terlebih dahulu harus mengubah sikap konsumen terhadap pemalsuan. Untuk mengurangi peredaran batik printing, harus dilakukan pendekatan yang lebih kepada konsumen untuk membentuk sikap yang unfavorable terhadap pemalsuan batik melalui produksi dan penggunaan batik printing.

(16)

6. KESIMPULAN

Penelitian ini dilakukan dengan mereplikasi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ang et al. pada tahun 2001. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, peneliti dapat mengambil kesimpulan mengenai hasil penelitian ini, sebagaimana dijabarkan berikut:

1. Informative susceptibility tidak terbukti mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan. Cenderung tidak ada hubungan antara informasi atau pengetahuan yang dimiliki konsumen Indonesia terkait batik printing sebagai barang tiruan dan sikap mereka terhadap pemalsuan. Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang batik printing masih minim. Kebanyakan tidak mengetahui dan tidak dapat membedakan batik asli dengan batik printing. Konsumen yang tahu pun masih menganggap pemalsuan batik ini sebagai hal yang dapat diterima.

2. Normative susceptibility terbukti secara negatif mempengaruhi sikap konsumen terhadap pemalsuan. Hal ini berarti semakin peduli seorang konsumen terhadap pandangan dan penilaian orang lain, maka semakin tinggi penolakan atau tidak setujunya konsumen tersebut dengan tindak pemalsuan, terutama pemalsuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. 3. Value consciousness tidak terbukti mempengaruhi sikap

terhadap pemalsuan. Hasil yang didapatkan berbeda dengan penelitian sebelumnya (Ang et al., 2001; Bloch et al., 1993) yang menemukan bahwa konsumen yang lebih memperhitungkan nilai atau manfaat yang didapatkannya dari suatu pembelian akan memiliki sikap yang favorable terhadap pemalsuan. Penelitian ini tidak menemukan keterkaitan antara value consciousness dengan sikap terhadap pemalsuan.

4. Integritas tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Tingkat integritas seseorang tidak terbukti

(17)

berhubungan dengan penerimaan maupun penolakan terhadap tindak pemalsuan.

5. Personal gratification tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Kepemilikan atas batik asli tidak dinilai sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan kepuasan batin. 6. Jenis kelamin tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap

pemalsuan. Tidak ada hubungan yang membuktikan apakah konsumen dengan jenis kelamin tertentu cenderung memiliki sikap yang positif ataupun negatif, khususnya pada penelitian ini.

7. Usia tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara usia seseorang dengan sikap mereka terhadap pemalsuan.

8. Tingkat pendidikan tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diidentikkan dengan pengetahuan dan pemahaman yang lebih terhadap tindak pemalsuan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Akan tetapi pada penelitian ini, tidak ditemukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap seseorang terhadap pemalsuan.

9. Tingkat pengeluaran tidak terbukti mempengaruhi sikap terhadap pemalsuan. Kemampuan membeli konsumen tidak terbukti berkaitan dengan sikap yang mereka miliki terhadap pemalsuan produk.

10. Sikap terhadap pemalsuan terbukti secara positif mempengaruhi intensi pembelian konsumen untuk produk batik printing. Konsumen yang cenderung menolak adanya pemalsuan memiliki intensi pembelian yang rendah. Dengan kata lain mereka cenderung untuk menolak membeli batik printing. Sebaliknya, konsumen yang cenderung menerima keberadaan pemalsuan dan menganggapnya sesuatu yang

(18)

wajar akan memiliki intensi pembelian yang tinggi untuk produk batik printing.

7. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan, yaitu:

1. Bagi penelitian selanjutnya, sebaiknya menambah keberagaman responden secara demografis, melakukan perbandingan antara pembeli dan bukan pembeli batik printing, serta menambahkan beberapa variabel lain( seperti nasionalisme atau ethnocentrism) yang lebih relevan dengan keberadaan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia. Penelitian selanjutnya juga dapat mempertimbangkan untuk meneliti Warga Negara Asing (WNA) untuk mengetahui sikap dan intensi pembelian mereka terhadap salah satu produk budaya asli Indonesia.

2. Bagi pelaku usaha, dapat turut melestarikan seni membatik dengan menjual batik asli, dapat turut mencerdaskan konsumen Indonesia tentang arti batik yang sesungguhnya serta dapat menggunakan pendekatan-pendekatan sosial seperti pemanfaatan komunitas dan media sosial untuk mengikat konsumen terhadap produk batik mereka.

3. Bagi pemerintah, dapat melakukan kampanye dan upaya promosi untuk mencerdaskan konsumen dan masyarakat secara umum tentang definisi batik yang sesungguhnya, serta menggunakan pendekatan sosial dalam upaya mengajak konsumen agar membeli dan menggunakan batik asli (bukan batik printing). Kesan yang perlu ditimbulkan adalah rasa malu sebagai sanksi sosial jika konsumen tidak membeli atau mengenakan batik asli.

(19)

8. KEPUSTAKAAN

Ang, Swee Hoon, Peng Sim Cheng, Lim, E. A. C., dan Siok Kuan Tambyah. (2001). Spot the difference: Consumer responses towards counterfeits. Journal of Consumer Marketing, 18 (3), 219-235.

Batik Mark – Batik Indonesia. Diakses pada 22 Mei 2013. http://mbatikyuuuk.com/ about/batik-mark-batik-indonesia/

Bearden, W. O., Nettemeyer, R. G. dan Teel, J. E. (1989). Measurement of consumer susceptibility to interpersonal influence. Journal of Consumer Research, 15, 473-481.

Bloch, P. H., Bush, R. F., dan Campbell, L. (1993). Consumer 'accomplices' in product counterfeiting: a demand-side investigation. Journal of Consumer Marketing, 10(4), 27-36.

Cordell, V. V., Wongtada, N., dan Kieschnick, R. L. Jr. (1996). Counterfeit purchase intentions: role of lawfulness attitudes and product traits as determinants. Journal of Business Research, 35, 41-53.

Dix, Steve. 2010. Exploring the role of lawfulness and legality on purchasing counterfeit products, Marketing Insights; School of Marketing Working Paper Series: no. 2010010, Curtin University of Technology, School of Marketing.

Dodge, H. R., Edwards, E. A., dan Fullerton, S. (1996). Consumer transgressions in the marketplace: consumers' perspecttives. Psychology and Marketing, 13(8), 821-835.

Hair, Joseph F. Jr, Black, William C., Babin, Barry J., dan Anderson, Rolph E. (2009). Multivariate Data Analysis. 7th edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Hawkins, Del I.; Best, Roger J.; dan Coney, Kenneth A. (2001). Consumer Behavior: Building Marketing Strategy. 8th edition. New York: McGraw-Hill

Malhotra, Naresh K. (2010). Marketing Research An Applied Orientation. 6th ed. New York: Prentice Hall.

(20)

Muftisany, Hafidz. (2012, 2 Oktober). Kenapa 2 Oktober Disebut Hari

Batik? Diakses pada 15 Maret 2013.

http://www.republika.co.id/berita/senggang/seni-budaya/12/10/02/mb8yxk -kenapa-2-oktober-disebut-hari-batik Muhammad, Djibril. (2012, 26 Juli). Maraknya Batik Cetak Dikeluhkan

Pengusaha. Diakses pada 4 Maret 2013. http://www.republika.co.id/berita/nasional/ umum/12/07/26/m7rt0c-maraknya-batik-cetak-dikeluhkan-pengusaha

Neal, Cathy, et al. (2002). Consumer Behaviour: Implications for Marketing Strategy. 3rd ed. Roseville: McGraw-Hill.

Schiffman, Leon G. dan Kanuk, Leslie Lazar. 2007. Consumer Behavior. 9th ed. New Jersey: Pearson Education

Solomon, Michael R. (2004). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being. 6th ed. New Jersey: Pearson Education

Wang, F., Zhang, H., Zang, H., dan Ouyang, M. (2005). Purchasing pirated software: An initial examination of Chinese consumers. Journal of Consumer Marketing. 22(6), 340-351.

Wijanto, Setyo Hari. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep & Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Gambar

Gambar 1. Model Penelitian
Gambar 2 Path Diagram dan t-value Keseluruhan Model  Sumber: Output LISREL 8.5 hasil olahan peneliti
Tabel 1. T-Values Model Struktural
Tabel 3. Koefisien Regresi

Referensi

Dokumen terkait

Laporan tugas akhir ini merupakan salah satu laporan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar Ahli Madya Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas

Maksud dari penelitian yang penulis lakukan adalah untuk membuat suatu cara yang tepat dalam pembuatan data penggajian pada perusahaan tersebut sehingga aplikasi

dan ada pula yang merupakan rangkaian dari berbagai jenis bangun datar..

Angket pada penelitian ini diberikan kepada siswa untuk memperoleh data yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan siswa dalam membaca

Daihatsu Cabang Bekasi Narogong. Jurnal Mahasiswa Bina Insani. Abstrak: Korespondensi merupakan sarana untuk mengirim atau memberi informasi tertulis kepada atasan atau

Sebuah Web merupakan dokumen yang berisi informasi baik berupa teks, suara, gambar, dan dokumen lain yang dapat di akses melalui perangkat komputer yang biasa di sebut peramban

RFID dapat disediakan dalam devais yang hanya dapat dibaca saja (Read Only) atau dapat dibaca dan ditulis (Read/Write), tidak memerlukan kontak langsung maupun

Uniknya, dalam masyarakat Indonesia, saat hak asuh anak sudah diberikan, ternyata pihak yang tidak mendapatkan hak asuh justru menghindar dari anak, itulah sebabnya