• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ALI HUSEIN G 0008049

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 2011

(3)
(4)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Ali Husein, NIM: G0008049, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Senin, Tanggal 2 Januari 2012

Pembimbing Utama

Nama : S. Hendradewi, dr., Sp.THT-KL, MSi.Med

NIP : 19651121 201001 2 001 (...) Pembimbing Pendamping

Nama : Andy Yok, drg., M. Kes.

NIP : 19521120 198601 1 001 (…...) Penguji Utama

Nama : Imam Prabowo, dr., Sp.THT-KL

NIP : 19700513 201001 1 002 (...) Anggota Penguji

Nama : Endang Sutisna S., dr., M. Kes.

NIP : 19560320 198312 1 002 (…...)

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

(5)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 02 Januari 2012

Ali Husein G0008049

(6)

commit to user

iv ABSTRAK

Ali Husein, G.0008049, 2012. Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup.

Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode observational analytic dengan pendekatan cross sectional. Subyek adalah pasien sinusitis maksilaris kronik dan kelompok kontrol. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Sampel yang diambil sebanyak 30 orang yang terdiri dari 15 pasien sinusitis maksiaris kronik dan 15 orang dari kelompok kontrol. Kualitas hidup terkait kesehatan diukur menggunakan kuesioner Medical Outcome Study SF-36 (SF-36). Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis menggunakan t

test dengan taraf kepercayaan kurang dari 0.05.

Hasil Penelitian: Skor kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik lebih rendah daripada kelompok kontrol (rata-rata ± standar deviasi, 2406 ± 243.2 dengan 3148 ± 118.9, P = 0.000). Terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan pada dimensi fungsi fisik (69.6 ± 11.8 dengan 87.6 ± 4.5, P = 0.000), peranan fisik (31.3 ± 6.3 dengan 37.3 ± 4.5, P = 0.009), peranan emosi (236.6 ± 66.7 dengan 286.6 ± 35.1, P = 0.024), energi (272.0 ± 44.5 dengan 329.3 ± 31.0, P = 0.000), kesehatan jiwa (365.3 ± 48.6 dengan 421.3 ± 50.4, P = 0.004), fungsi sosial (103.3 ± 4.9 dengan 181.6 ± 11.4, P = 0.000), rasa nyeri (77.3 ± 3.7 dengan 179.3 ± 16.5, P = 0.000), dan kesehatan umum (326.6 ± 60.8 dengan 438.3 ± 22.8, P = 0.000).

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

(7)

commit to user

v ABSTRACT

Ali Husein, G.0008049, 2012. The Relation between Chronic Maxillary Sinusitis and Health-Related Quality of Life (HRQoL) in Moewardi Local General Hospital Surakarta. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: This research was conducted to study the relation between chronic maxillary sinusitis and quality of life.

Method: This research used observational analytic with cross sectional approach. The subject were the chronic maxillary sinusitis patients and the control group. The sample taken with sampling random purposive technique with the sums of the sample is 30 persons which consist of 15 chronic maxillary sinusitis patients and 15 persons from control group. HR-QOL was assessed using Medical Outcome Study SF-36. Data which is gained, is presented in the form of table and analyzed using t test on significance level lower than 0,05.

Results: Health-related quality of life scores were significantly lower in the chronic maxillary sinusitis patients than in the control group (mean ± standard deviation, 2406 ± 243.2 vs 3148 ± 118.9, P = 0.000). Also, the chronic maxillary sinusitis patients scored significantly lower than the control group in HR-QOL domains physical function (69.6 ± 11.8 vs 87.6 ± 4.5, P = 0.000), physical role (31.3 ± 6.3 vs 37.3 ± 4.5, P = 0.009), emotional role (236.6 ± 66.7 vs 286.6 ± 35.1, P = 0.024), energy (272.0 ± 44.5 vs 329.3 ± 31.0, P = 0.000), mental health (365.3 ± 48.6 vs 421.3 ± 50.4, P = 0.004), social function (103.3 ± 4.9 vs 181.6 ± 11.4, P = 0.000), pain (77.3 ± 3.7 vs 179.3 ± 16.5, P = 0.000), and general health (326.6 ± 60.8 vs 438.3 ± 22.8, P = 0.000).

Conclusions: There was relation between chronic maxillary sinusitis and quality of life.

Key Words: HR-QoL (Health-Related Quality of Life), chronic maxillary sinusitis.

(8)

commit to user

vi PRAKATA

Segala puji bagi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembahh selain Allah, dengan rahmat dan pertolonganNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara Sinusitis Maksilaris Kronik terhadap Kualitas Hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnahnya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui kendala dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan dan bantuan berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M. Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Sarwastuti Hendradewi, dr., Sp.THT-KL, M.Si Med., selaku Pembimbing Utama yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, saran dan arahan dalam penelitian ini.

4. Andy Yok, drg., M. Kes., selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, saran dan arahan dalam penelitian ini.

5. Imam Prabowo, dr., Sp.THT-KL, selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji serta memberikan saran dan masukan dalam penelitian ini.

6. Endang Sutisna S., dr., M. Kes., selaku Anggota Penguji yang telah berkenan menguji serta memberikan saran dan masukan dalam penelitian ini.

7. Seluruh staf bagian skripsi dan staf bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

8. Ibu Fatmah Saleh, Bapak Husein Anis yang sangat kusayangi. 9. Teman-teman semua yang selalu mendukung dan menyemangati. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Surakarta, 02 Januari 2012

(9)

commit to user

vii DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Sinus Maksilaris ... 5

2. Sinusitis Paranasal ... 8

3. Sinusitis Maksilaris Kronik... 10

4. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan ... 20

5. Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik dengan Skor Kualitas Hidup... 23

6. Kuesioner SF-36 ... 25

B. Kerangka Pemikiran... 29

C. Hipotesis ... 30

BAB III METODE PENELITIAN... 31

A. Jenis Penelitian... 31

B. Lokasi Penelitian ... 31

C. Subjek Penelitian ... 31

D. Teknik Sampling ... 31

E. Desain Penelitian ... 33

(10)

commit to user

viii

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

H. Instrumentasi Penelitian ... 34

I. Cara Kerja Penelitian ... 35

J. Teknik Analisis Data... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37

BAB V PEMBAHASAN ... 42

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 47

A. Simpulan ... 47

B. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ...48

(11)

commit to user

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF-36………… 26 Tabel 2. Skor Kuesioner SF-36………. 27 Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian……….. 37 Tabel 4. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan

Umur Subjek………..……… 38 Tabel 5. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan

Jenis Kelamin Subjek Penelitian... 39 Tabel 6. Nilai p pada Skor 8 Domain dan Total Skor Kualitas Hidup Terkait

(12)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rata-Rata Skor 8 Domain Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian (Skor Maksimal 100 pada Tiap Domain)... 39 Gambar 2. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian... 40

(13)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian Subjek Sinusitis Maksilaris Kronik Lampiran 2. Data Hasil Penelitian Subjek Kelompok Kontrol

Lampiran 3. Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4. Formulir Short Form–36 (SF-36) Lampiran 5. Uji Homogenitas Sampel

Lampiran 6. Analisis Statistik Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian

(14)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sinusitis merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering dilaporkan dalam praktik kedokteran. Oleh karena dibutuhkan biaya yang besar untuk pengobatannya maka sinusitis termasuk penyakit yang membebani ekonomi masyarakat. Prevalensi sinusitis meningkat setiap tahunnya, di Amerika mencapai 14 %, sedangkan di Eropa sekitar 10 % sampai 30 %. Tahun 1996 diperkirakan sekitar 16 % dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita sinusitis. Dari jumlah tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan uang untuk perawatan kesehatan sebesar 5,8 juta dollar Amerika (Wald, 1990; Marret, 1998; Cauwenberge, 2000). Tahun 1995 dilaporkan oleh bagian rhinologi THT RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, bahwa dari penelitian yang dilakukan selama tiga bulan didapatkan pasien baru sinusitis kronik sebanyak 54 pasien (2,8 % dari seluruh kunjungan di poliklinik THT) (Damayanti, 1995). Pada tahun 1994 sampai 1995 dari catatan medik poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh data 469 kunjungan kasus baru sinusitis maksilaris kronik (2,6 % dari seluruh kunjungan di Poliklinik THT), di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sendiri, kunjungan penderita sinusitis kronik pada bulan februari 1998 mencapai 38 orang (Suyitno, 1996; Alders 1998; Soetjipto, 2000).

(15)

commit to user

Sinus paranasal adalah rongga di dalam tulang tengkorak, yang merupakan hasil pneumatisasi dari tulang-tulang tengkorak. Terdapat empat sinus pada manusia yang semuanya bermuara ke rongga hidung dan merupakan bagian dari sistem pernafasan. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa pada sinus paranasal. Sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Etiologi sinusitis adalah infeksi yang berasal dari hidung (sinusitis kausa rhinogen) atau infeksi yang berasal dari gigi (sinusitis kausa odontogen). Kuman penyebabnya meliputi bakteri, virus, dan jamur. Sinusitis kausa odontogen tidak bisa dianggap remeh karena berdasarkan hasil penelitian Andrey pada tahun 2002 didapatkan jumlah penderita sinusitis maksilaris kronik kausa odontogen sebesar 14 % sampai 24 % dari total semua kasus sinusitis yang ada. Sinusitis dapat dikatakan kronik jika selama 12 minggu atau lebih terdapat gejala sinusitis terus-menerus atau didapatkan 4 episode sinusitis akut yang berlangsung selama satu tahun (Lopatin, 2002).

Sinus maksilaris dan ethmoidalis merupakan sinus yang paling sering mengalami sinusitis, sedangkan untuk sinus frontalis dan sinus sphenoidalis jarang ditemukan. Beberapa alasan yang menyebabkan sinus maksilaris sering mengalami sinusitis di antaranya karena sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar, letak ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya, dan dasarnya adalah akar gigi sehingga infeksinya dapat berasal dari infeksi gigi terutama gigi molar satu, molar dua dan premolar satu (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

(16)

commit to user

3

Sinusitis maksilaris kronik menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga memberikan dampak buruk terhadap kualitas hidup terkait kesehatan. Hal ini dapat mengganggu fungsi normal sehari-hari dan menyebabkan penurunan produktivitas. Sinusitis yang tidak diobati dapat menjadi ancaman hidup (Vaid, 2007).

Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakter fisik maupun psikologis dalam konteks sosial. Dalam dunia kedokteran digunakan istilah kualitas hidup terkait kesehatan. Seiring dengan kemajuan ilmu di bidang kedokteran, penatalaksanaan penyakit dewasa ini mulai mempertimbangkan aspek kualitas hidup pasien. Dengan demikian adanya penilaian kualitas hidup terkait kesehatan disamping berguna untuk mengetahui dampak suatu penyakit terhadap kehidupan pasien juga berguna untuk mengevaluasi efek terapi pada pasien (Loonen, 2001; Richardson, 2001).

Dari uraian di atas terdapat kemungkinan sinusitis maksilaris kronik dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Berdasarkan penelusuran sumber pustaka yang dilakukan peneliti, belum ada yang meneliti hubungan antara keduanya di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sehingga peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pasien di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

(17)

commit to user B. Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis :

Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan untuk mengetahui apakah sinusitis maksilaris kronik dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan.

2. Aplikatif :

Sebagai bahan pertimbangan dalam penanganan kasus sinusitis maksilaris kronik dengan memperhatikan aspek kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien.

(18)

commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan pustaka 1. Sinus Maksilaris

a. Perkembangan sinus maksilaris

Sinus maksilaris adalah sinus yang pertama berkembang. Pada waktu lahir sinus maksilaris hanya berupa celah kecil dengan ukuran 7x4x4 mm yang berisi cairan dan terletak di sebelah medial orbita. Pertumbuhan sinus maksilaris berlangsung dalam dua fase sela pertumbuhan, fase awal terjadi pada usia 0 sampai 3 tahun kemudian dilanjutkan pertumbuhan lambat seiring dengan melambatnya pertumbuhan otak. Fase akhir berlangsung pada usia 7 sampai 12 tahun. Selama fase akhir tersebut pneumatisasi menyebar lebih ke arah inferior. Bentuk sempurna terjadi setelah gigi permanen erupsi. Pneumatisasi ini dapat sangat meluas hingga akar gigi terlihat dengan hanya dilapisi selapis tipis jaringan lunak di antara keduanya (Anggraini, 2005).

b. Struktur anatomi sinus maksilaris

Sinus maksilaris merupakan lubang udara besar yang terletak diantara cavum orbita dan cavum oris. Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dengan volume sekitar 15 ml (34x33x23 mm). Dinding medial sinus maksilaris merupakan dinding lateral dari fossa

(19)

commit to user

nasalis. Dinding anterior sinus maksilaris merupakan dinding bagian depan dari tulang maksila. Dinding posterior sinus maksilaris tidak terlalu jelas, di sebelah posteriornya terdapat fossa pterygomaksilaris. Atap sinus maksilaris dibentuk oleh dasar cavum orbita. Dasar sinus maksilaris adalah prosesus alveolaris dan palatum yang keduanya juga merupakan atap dari cavum oris. Dasar sinus maksilaris biasanya terus berkembang ke inferior seiring dengan pneumatisasi sinus maksilaris. Karena letaknya yang berdekatan dengan gigi maka infeksi yang terdapat pada gigi dapat menyebabkan infeksi sinus maksilaris (Marret, 1998).

Darah teroksigenasi ke sinus maksilaris disuplai oleh cabang-cabang arteri maksilaris yang merupakan cabang-cabang terminal dari arteri karotis eksterna (Marret, 1998).

Sinus maksilaris diinervasi oleh cabang-cabang dari nervus makslilaris, yang merupakan salah satu cabang nervus trigeminus (Marret, 1998).

c. Gambaran histologi sinus maksilaris

Mukosa sinus maksilaris dilapisi epitel pseudostratified ciliated columnar yang berkesinambungan dengan mukosa di rongga hidung, bedanya epitel pada sinus ini lebih tipis dibandingkan epitel yang terdapat pada hidung. Ada 4 tipe sel dasar yang terdapat pada sinus maksilaris, yaitu epitel ciliated columnar, epitel non ciliated columnar, sel basal dan sel goblet (Junquiera, 1997; Anggraini, 2005).

(20)

commit to user

7

d. Fungsi sinus maksilaris

Fungsi sinus telah menjadi topik beberapa penelitian. Sayangnya, sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fungsi rongga udara ini. Untuk itu masih diperlukan penelitian berkelanjutan agar dapat mengungkapkan bahwa fungsi yang sebenarnya merupakan bagian yang lebih besar dari yang tampak sekarang. Beberapa teori yang dikembangkan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:

1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)

3) Membantu keseimbangan kepala 4) Membantu resonansi suara

5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara 6) Membantu produksi mukus

7) Produksi NO (Nitrous Oxide)

(Muller dan Amedee, 1998; Anngraini, 2005). e. Sistem mukosiliar

Sel-sel bersilia pada setiap sinus bergerak ke arah spesifik. Karena banyak sinus yang berkembang dengan cara ke arah luar dan inferior, mukosa bersilia kadang menggerakkan material melawan gravitasi menuju muara sinus. Hal ini berarti mukus diproduksi berdekatan dengan muara sinus. Ini adalah salah satu alasan bahwa adanya ostia asesoris pada tempat selain ostium fisiologis tidak

(21)

commit to user

berpengaruh signifikan terhadap drainase sinus. Faktanya, mukus mengalir dari ostia memasuki sinus kembali, melalui ostia baru dan berputar melalui sinus lagi. Hilding adalah yang pertama mendeskripsikan bahwa setiap aliran mukus sinus mengikuti pola tertentu, dan hasil observasinya masih valid hingga sekarang. Peneliti selanjutnya mendeskripsikan fenomena stagnasi yang terjadi ketika dua permukaan bersilia berkontak (terutama pada kompleks osteomeatal), maka hal ini dapat mengganggu klirens mukus dan dapat mengakibatkan sinusitis (Hilger, 1997).

2. Sinusitis Paranasal

a. Definisi sinusitis paranasal

Sinusitis paranasal didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya adalah salesma

(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat

diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis yang terjadi pada beberapa sinus paranasal disebut multisinusitis, sedangkan bila terjadi pada semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis merupakan sinus yang paling sering mengalami sinusitis, sedangkan untuk sinus frontalis dan sinus sphenoidalis jarang ditemukan. Beberapa alasan yang menyebabkan sinus maksilaris sering mengalami sinusitis akan dijelaskan pada bagian selanjutnya (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

(22)

commit to user

9

b. Klasifikasi sinusitis paranasal

Konsensus 2004 mengklasifikasikan sinusitis berdasarkan lama perjalanan penyakitnya menjadi tiga, yaitu:

1) Sinusitis akut (dengan batas sampai empat minggu)

Keluhan utama sinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri atau tertekan pada muka. Selain itu dapat dijumpai ingus purulen yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal

drip). Gejala sistemik seperti demam dan lesu dapat juga menyertai

perjalanan penyakitnya (Brook, 2000).

2) Sinusitis sub akut (antara empat minggu sampai tiga bulan)

Sinusitis dengan penyebab rhinogenik yang umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis tipe ini adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas. Manifestasi klinis yang timbul serupa dengan sinusitis akut tetapi tanda-tanda akutnya sudah reda (Brook, 2000).

3) Sinusitis Kronik (lebih dari tiga bulan)

Sinusitis kronik dapat terjadi karena adanya polusi bahan kimia, alergi maupun defisiensi imunologi sehingga menyebabkan silia rusak dan akhirnya terjadi perubahan mukosa hidung. Hal tersebut akan mempermudah terjadinya infeksi. Selain itu pengobatan yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan terjadinya

(23)

commit to user

infeksi kronik. Manifestasi klinis yang timbul berupa gejala subjektif (Brook, 2000).

3. Sinusitis Maksilaris Kronik

a. Epidemiologi sinusitis maksilaris kronik

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Sinusitis menyerang satu dari tujuh orang dewasa di Amerika Serikat, dengan lebih dari 30 juta individu yang didiagnosis setiap tahunnya. Tahun 1996 diperkirakan sekitar 16 % dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita sinusitis. Dari jumlah tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan uang untuk perawatan kesehatan sebesar 5,8 juta dollar Amerika. Angka kejadiannya di Eropa sekitar 10 % sampai 30 % (Wald, 1990; Marret, 1998; Cauwenberge, 2000). Tahun 1995 dilaporkan oleh bagian rhinologi THT RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, bahwa dari penelitian yang dilakukan selama tiga bulan didapatkan pasien baru sinusitis kronik sebanyak 54 pasien (2,8 % dari seluruh kunjungan di poliklinik THT) (Damayanti, 1995). Pada tahun 1994 sampai 1995 dari catatan medik poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang diperoleh data 469 kunjungan kasus baru sinusitis maksilaris kronik (2,6 % dari seluruh kunjungan di Poliklinik THT), di RSUD Dr. Moewardi Surakarta sendiri, kunjungan penderita sinusitis kronik pada bulan februari 1998 mencapai 38 orang (Suyitno, 1996; Alders 1998). Individu dengan riwayat alergi atau asma berisiko tinggi terjadinya

(24)

commit to user

11

rhinosinusitis. Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia dewasa 18 sampai 75 tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum berkembang dengan baik pada usia tersebut (Soetjipto, 2000).

Sinusitis maksilaris paling sering terjadi daripada sinusitis paranasal lainnya karena:

1) Sinus maksilaris memiliki ukuran paling besar di antara sinus paranasal lainnya.

2) Posisi ostium sinus maksilaris lebih tinggi daripada dasarnya sehingga aliran sekretnya hanya tergantung dari gerakan silia. 3) Letak ostium sinus maksilaris berada pada meatus nasi media di

sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat. 4) Letak dasar sinus maksilaris berbatasan langsung dengan dasar

akar gigi sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan infeksi sinus maksilaris (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

b. Etiologi sinusitis maksilaris kronik Sinusitis dapat disebabkan oleh :

1) Infeksi yang berasal dari hidung (Sinusitis kausa rhinogen). 2) Infeksi yang berasal dari gigi (Sinusitis kausa odontogen).

Kuman penyebab dari keduanya meliputi:

1) Bakteri : Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Staphylococcus aureus, Neisseria, Klebsiella, Basil gram (-), dan Pseudomonas.

(25)

commit to user

2) Virus : Rhinovirus, influenza virus, dan parainfluenza virus. 3) Bakteri anaerob: fusobakteria.

4) Jamur (Hilger, 1997; Brown dan Sobol, 2008). c. Patofisiologi sinusitis maksilaris kronik

Sinusitis maksilaris kronik berbeda dengan sinusitis maksilaris akut dalam berbagai aspek. Pada sinusitis maksilaris akut perubahan patologik membran mukosa berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel permukaan, bersifat reversibel. Sedangkan gambaran patologik sinusitis maksilaris kronik adalah kompleks dan ireversibel. Sinusitis maksilaris kronik umumnya sukar disembuhkan dengan medika mentosa saja. Untuk itu harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya (Hilger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis maksilaris kronik cukup beragam. Pada era pra-antibiotik, sinusitis maksilaris kronik timbul akibat sinusitis maksilaris akut berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap. Kegagalan mengobati sinusitis maksilaris akut atau sinusitis maksilaris akut yang berulang akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu terciptalah predisposisi infeksi kronik. Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka sehingga drainase sekret akan terganggu dan menyebabkan silia rusak. Sumbatan drainase dapat pula

(26)

commit to user

13

disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perubahan struktur ostium sinus karena lesi pada bagian dalam rongga hidung, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan septum deviasi. Akan tetapi faktor predisposisi yang paling lazim adalah polip nasal yang timbul pada rhinitis alergi. Polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium sinus. Selain itu polusi bahan kimia dapat menyebabkan silia rusak sehingga terjadi perubahan pada mukosa hidung. Gambaran patologis yang terjadi adalah mukosa menebal membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa. Perubahan pada mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. Alergi dapat menyebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut yang selanjutnya merusak epitel permukaan. Kejadian diatas berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang (Hilger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

(27)

commit to user d. Gejala sinusitis maksilaris kronik

1) Gejala subjektif

Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

a) Gejala hidung dan nasofaring berupa sekret dihidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip).

b) Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal ditenggorokan. c) Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena

tersumbatnya tuba eustachius. d) Adanya nyeri atau sakit kepala.

e) Gejala mata oleh karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

f) Gejala saluran napas berupa batuk dan kadang-kadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronkitis atau bronkiektasis atau asma bronkial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis.

g) Gejala di saluran cerna, oleh karena mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis, ini sering terjadi pada anak. Kadang gejala dapat sangat ringan dengan hanya terdapat sekret di nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus menerus ini akan mengakibatkan batuk kronik.

Nyeri kepala pada sinusitis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam

(28)

commit to user

15

hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus, serta adanya stasis vena (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). 2) Gejala objektif

Pada sinusitis kronis temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Selain kedua golongan gejala di atas, menurut Saphiro dan Rachelefsky, diagnosis sinusitis dapat ditegakkan dengan melihat gejala klinis yang dikelompokkan menjadi kriteria mayor dan kriteria minor.

a) Kriteria Mayor

(1) Discharge purulen, berwarna kuning keruh atau hijau. (2) Discharge turun dari nasofaring ke dinding faring. (3) Batuk kering atau basah sepanjang hari.

b) Kriteria Minor

(1) Sakit pada pipi, lokasi di bawah mata. (2) Sakit kepala.

(3) Nafas bau. (4) Sakit gigi. (5) Badan panas.

(29)

commit to user e. Diagnosis sinusitis maksilaris kronik

Diagnosis ditegakkan berdarsarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Evans, 1994; Hilger, 1997; Lanza et

al., 1997).

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid (Busquet dan Hwang, 2006; Hariyati, 2006).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT

Scan. Foto polos posisi waters, PA, dan lateral, umumnya hanya

mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelaianan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan. CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. CT scan diindikasikan untuk evaluasi sinusitis kronik yang tidak membaik dengan terapi, evaluasi preoperative, dan jika ada dugaan keganasan. Namum karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan

(30)

commit to user

17

operasi sinus (Busquet dan Hwang, 2006; Rosenfeld, dkk., 2007; Kentjono WA, 2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Supomo dan Erick, 2005).

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bias dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

f. Penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronik Tujuan terapi sinusitis adalah: 1) Mempercepat penyembuhan. 2) Mencegah komplikasi.

3) Mencegah perubahan menjadi kronik.

Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drenase dan ventilasi sinus pulih secara alami (Evans, 1994; Busquet dan Hwang, 2006; Kentjono WA, 2007).

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.

(31)

commit to user

Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sepalosporin generasi kedua. Sedangkan untuk sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob. Lama pemberian antibiotik pada sinusitis sekitar 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan karena sifat kolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi kedua. Irigasi sinus maksila atau

Proetzdis placement therapy juga merupakan terapi tambahan yang

dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Diatermi merupakan penggunaan arus listrik untuk pemanasan jaringan dengan mengubah arus listrik menjadi arus elektromagnetik gelombang pendek (Short Wave Diathermy) atau elektromagnetik gelombang mikro (Micro Wave Diathermy). Secara teoritis, diatermi pada sinusitis maksilaris akan membantu mempercepat proses penyembuhan karena mempunyai efek memperbaiki sirkulasi darah, menghilangkan nyeri, menghilangkan edema dan mempercepat

(32)

commit to user

19

penyerapan eksudat, sehingga terapi antibiotik akan menjadi lebih efektif. Diatermi umumnya dilakukan selama 10 hari (Fathma, 1994).

Tindakan operasi pada sinusitis adalah dengan bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF). BSEF merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi yang adekuat, sinusitis kronik yang disertai polip ekstensif, adanya komplikasi serta sinusitis yang diakibatkan oleh jamur (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). g. Komplikasi sinusitis maksilaris kronik

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah radang amandel, kelainan pada orbita, penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum, edema palpebra, preseptal selulitis, selulitis orbita tanpa abses, selulitis orbita dengan sub atau extraperiostel abses, selulitis orbita dengan intraperiosteal abses, trombosis sinus cavernosus, kelainan intrakranial, abses extradural, abses subdural, abses intracerebral, meningitis, encephalitis, trombosis sinus cavernosus atau sagital, kelainan pada tulang berupa osteitis, osteomyelitis, kelainan pada paru berupa bronkitis kronik, bronkhiektasis, otitis media, toxic shock syndrome, mucocele, dan pyococele (Hilger, 1997).

(33)

commit to user 4. Kualitas Hidup Terkait Kesehatan

Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena terdapat banyak sekali faktor yang mempengaruhinya seperti keuangan, keamanan, atau kesehatan. Untuk itulah dalam bidang kesehatan digunakan sebuah istilah kualitas hidup terkait kesehatan (Fayers dan Machin, 2007).

Dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, konsep yang berhubungan dengan kualitas hidup terkait kesehatan mengacu pada orang atau kelompok dengan kesehatan fisik dan mental yang dinamis dari waktu ke waktu. Dokter sering melakukan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur dampak penyakit kronis serta pengobatannya pada kondisi psikologis serta integritas biologis pasien mereka untuk lebih memahami bagaimana dampak suatu penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Demikian pula, lembaga kesehatan masyarakat profesional, menggunakan kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur efek dari berbagai gangguan, cacat jangka pendek dan jangka panjang serta penyakit pada populasi yang berbeda. Pelacakan kualitas hidup terkait kesehatan di populasi yang berbeda dapat mengidentifikasi kelompok dengan kesehatan fisik atau mental untuk kemudian dapat membantu kebijakan panduan atau intervensi untuk meningkatkan kesehatan (CDC, 2010; Fallowfield, 2009).

Kualitas hidup merupakan suatu pengertian multidimensional yang sampai saat ini belum ada definisi yang secara universal diterima. Definisi

(34)

commit to user

21

kualitas hidup diambil dari definisi sehat menurut WHO. Sehat adalah keadaan baik atau sejahtera secara fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Kesehatan menurut Undang-undang Kesehatan no. 36 tahun 2009 adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes RI, 2009).

Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional. Kualitas hidup terkait kesehatan mencakup evaluasi subyektif tentang dampak dari penyakit beserta pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan yang hendak dicapai seseorang. Sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian obyektif dari kemampuan fisik dan emosional seseorang (De Haan, 1993).

Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO). Bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologis, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut:

a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

(35)

commit to user

c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas sehari- hari, komunikasi, kemampuan kerja.

d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.

e. Lingkungan (environment): keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja.

Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subyektif, multidimensional dan dinamis. Subyektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh penderita, berarti berasal dari sudut pandang penderita. Bersifat multidimensional karena kualitas mencakupi berbagai aspek kehidupan penderita seccara fisik, kemampuan fungsional, keadaan emosi dan sosial. Bersifat dinamis, hal ini disebabkan sering terjadinya perubahan dalam perjalanan waktu dan situasi (Eiser, 1997; Kaplan, 2002).

Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan dapat menggunakan kuesioner yang berisikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Menurut Harmaini (2006), terdapat tiga macam alat pengukur, yaitu: a. Alat ukur generik

Merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk berbagai macam penyakit maupun usia. Keuntungan alat ukur ini lebih luas penggunaannya, tetapi kelemahannya tidak mencakup hal-hal khusus pada penyakit tertentu. Contoh alat ukur ini adalah SF-36.

(36)

commit to user

23

b. Alat ukur spesifik

Merupakan alat ukur yang spesifik untuk penyakit-penyakit tertentu, biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terjadi pada penyakit yang dimaksud. Keuntungan alat ukur ini dapat mendeteksi lebih tepat keluhan atau hal khusus yang berperan dalam suatu penyakit tertentu. Kelemahan alat ukur ini tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan biasanya pertanyaannya lebih sulit dimengerti. Contoh alat ukur ini adalah Kidney Disease Quality of Life – Short

Form (KDQOL-SF).

c. Alat ukur utility

Merupakan pengembangan suatu alat ukur, biasanya generik. Pengembangannya dari penilaian kualitas hidup menjadi parameter lainnya sehingga mempunyai manfaat yang berbeda. Contoh alat ukur ini adalah EQ-5D (European Quality of Life – 5 Dimensions) yang dikonversi menjadi Time Trade-Off (TTO) yang berguna dalam bidang ekonomi, yaitu dapat digunakan menganalisa biaya kesehatan dan perencanaan keuangan kesehatan negara.

5. Hubungan Sinusitis Maksilaris Kronik dengan Skor Kualitas Hidup

Sinusitis maksilaris kronik masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktik kedokteran, baik dikalangan dokter umum maupun spesialis. Hal ini mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang bersifat kompleks. Sinusitis maksilaris kronik mempunyai pengaruh penting pada kualitas hidup terkait kesehatan penderitanya. Sinusitis

(37)

commit to user

maksilaris kronik secara nyata menyebabkan gangguan fisik yang cukup serius sehingga dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan. Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa gejala lokal yang ditimbulkan oleh penyakit ini seperti sakit kepala, sumbatan pada hidung yang mengakibatkan gangguan peciuman, kesulitan tidur serta kelemahan badan secara umum. Sinusitis maksilaris kronik akan mengakibatkan penurunan produktifitas dan kehilangan hari kerja yang cukup signifikan yaitu sekitar 3% hari kerja penduduk produktif atau 73 juta hari kerja. Jika terjadi pada anak yang sedang dalam masa sekolah maka selain menyebabkan penurunan kualitas hidup terkait kesehatan juga akan menurunkan kemampuan belajar anak tersebut. Bahkan disebutkan bahwa sinusitis yang tidak diobati dapat menjadi ancaman yang cukup serius bagi penderitanya (Harowi dan Vaid, 2007).

Seiring dengan kemajuan ilmu di dunia kedokteran, dewasa ini penilaian penatalaksanaan sinusitis maksilaris kronik menyangkut kualitas hidup terkait kesehatan menjadi sangat penting. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan terhadap sinusitis maksilaris kronik terus dikembangkan, ditandai banyak alat ukur yang telah divalidasi, antara lain kuisioner kualitas hidup rinokonjungtivitis, rinosinusitis outcome measure,

sinonasal outcome test 20 (SNOT-20), chronic rinosinusitis survey (CRS)

(38)

commit to user

25

6. Kuesioner SF-36

Kuesioner SF-36 ini terdiri atas 36 pertanyaan yang mewakili 8 dimensi yaitu fungsi fisik (10 pertanyaan), peranan fisik (4 pertanyaan), rasa nyeri (2 pertanyaan), kesehatan umum (5 pertanyaan), fungsi sosial (2 pertanyaan), energi (4 pertanyaan), peranan emosi (3 pertanyaan), dan kesehatan jiwa (5 pertanyaan) (Ware et al., 1993). Delapan dimensi tersebut dapat dikumpulkan menjadi dua komponen besar yaitu komponen fisik dan komponen mental (Ware et al., 1994). Skor SF-36 berkisar antara 0-100, dimana semakin tinggi skor menunjukkan semakin baiknya kualitas hidup terkait kesehatan pasien (Krančiukaitė dan Rastenytė, 2006).

Penghitungan hasil skor kualitas hidup terkait kesehatan dengan kuesioner SF-36 menggunakan daftar nilai seperti yang tersebut dalam tabel di bawah ini. Untuk skor akhir, dilakukan perhitungan rata-rata pada masing-masing pertanyaan yang menunjukkan dimensi yang diwakilinya seperti pada tabel di bawah sehingga hasil akhirnya akan menunjukkan skor masing-masing dimensi yaitu skor dimensi fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri, kesehatan umum, fungsi sosial, energi, peranan emosi, dan kesehatan jiwa (RAND, 2009).

(39)

commit to user

Rincian pertanyaan yang mewakili 8 dimensi kuesioner SF-36 beserta rincian nilainya dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF-36 (RAND, 2009)

Skala Jumlah item No pertanyaan

Fungsi fisik 10 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 Peranan fisik 4 13, 14, 15, 16 Peranan emosi 3 17, 18, 19 Energi 4 23, 27, 29, 31 Kesehatan jiwa 5 24, 25, 26, 28, 30 Fungsi sosial 2 20, 32 Rasa nyeri 2 21, 22 Kesehatan umum 5 1, 33, 34, 35, 36

(40)

commit to user

27

Tabel 2. Skor Kuesioner SF-36 (RAND, 2009)

No pertanyaan No respon Skor

1, 2, 20, 22, 34, 36 1 100 2 75 3 50 4 25 5 0 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 1 0 2 50 3 100 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19 1 0 2 100 21, 23, 26, 27, 30 1 100 2 80 3 60 4 40 5 20 6 0 24, 25, 28, 29, 31 1 0 2 20 3 40 4 60 5 80 6 100 32, 33, 35 1 0 2 25 3 50 4 75 5 100

(41)

commit to user

Dalam penelitian ini digunakan alat ukur generik yaitu SF-36 (Harmaini, 2006) karena kuesioner ini merupakan instrumen generik (dapat dipergunakan untuk bermacam penyakit maupun usia) yang telah dipergunakan secara luas untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan. Validitasnya telah dibuktikan pada populasi umum dan beberapa grup pasien yang bervariasi (de Haan, 2002). Kuesioner SF-36 ini juga telah digunakan secara luas di Indonesia untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan (Harmaini, 2006). Kuesioner SF-36 ini dapat digunakan oleh subjek wanita maupun pria. Subjek yang dapat menggunakan kuesioner ini harus berusia di atas 14 tahun (AHOC, 2005).

(42)

commit to user

29

B. Kerangka Pemikiran

Infeksi kronik

Persepsi terhadap kualitas hidup berubah Obstruksi osteomeatal kompleks Faktor etiologi: 1. Status infeksi (hidung atau gigi) 2. Status alergi 3. Usia 4. Riwayat operasi hidung/sinus dan lama pemakaian steroid 5. Status penyakit sistemik Faktor Predisposisi: 1. Obstruksi mekanik 2. Faktor lingkungan (iritan, polutan) 3. Status gizi 4. Status imun 1. Patensi ostium 2. Jumlah silia yang berfungsi 3. Kualitas sekret

Sinusitis maksilari kronik

Faktor Pemberat: a. Usia b. Penyakit sistemik c. Penyakit degeneratif d. Tingkat sosial ekonomi e. Lamanya menderita sinusitis

f. Terapi yang telah didapat

(43)

commit to user C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

(44)

commit to user

31 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan ini dipilih karena variabel bebas (sinusitis maksilaris kronik) dan variabel terikat (skor kualitas hidup terkait kesehatan) pada penelitian ini diobservasi sekali dan pada waktu yang sama.

B. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta.

C. Subyek Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien sinusitis maksilaris kronik yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta.

D. Teknik Sampling

Sampel diambil dengan teknik purposive sampling berdasarkan ciri-ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi (Taufiqurrahman, 2004).

1. Kriteria inklusi pengambilan sampel untuk penelitian ini adalah:

a. Pasien sinusitis maksilaris kronik dengan usia 40 sampai 60 tahun, laki-laki maupun perempuan.

(45)

commit to user

b. Memenuhi kriteria diagnosis sinusitis maksilaris kronik berdasarkan kriteria mayor dan minor dari Saphiro dan Rachelefsky.

c. Bersedia menjadi sampel dan diikutkan dalam penelitian ini. 2. Kriteria eksklusi pengambilan sampel pada penelitian ini adalah:

a. Penderita mempunyai penyakit kronik selain sinusitis maksilaris, seperti tonsilitis kronik.

b. Penderita dengan penyakit sistemik yang berat, antara lain diabetes mellitus dan hipertensi yang tidak terkontrol.

Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan patokan umum Rule of Thumb, yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak 30 pasien setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan. Selanjutnya 30 sampel tersebut akan dibagi menurut jumlah kelompok perlakuan. Sehingga masing-masing kelompok terdiri atas 15 sampel (Murti, 2006).

(46)

commit to user

33

E. Desain Penelitian

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Sinusitis maksilaris kronik

2. Variabel terikat : Skor kualitas hidup terkait kesehatan 3. Variabel luar :

a. Variabel terkendali : Usia pasien.

Penyakit sistemik berat yang diderita pasien. b. Variabel tak terkendali : Tingkat sosial ekonomi.

Lamanya menderita sinusitis. Jenis kelamin pasien.

sinusitis maksilaris kronik +

Analisis data Kualitas Hidup +

Kualitas Hidup -

sinusitis maksilaris kronik -

Kualitas Hidup + Kualitas Hidup - Populasi Sampel Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

(47)

commit to user G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Sinusitis maksilaris kronik adalah radang mukosa sinus maksilaris yang terjadi selama 12 minggu atau lebih atau didapatkan empat episode sinusitis akut dalam kurun waktu satu tahun dengan dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor atau lebih yang beracuan pada kriteria diagnosis sinusitis maksilaris kronik menurut Saphiro dan Rachelefsky. Skala pengukurannya nominal.

2. Variabel terikat (Skor kualitas hidup terkait kesehatan)

Skor kualitas hidup terkait kesehatan diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan kepuasan terhadap kehidupan yang mencakup dimensi fisik, fungsional, psikologis, dan sosial (Fayers and Machin, 2007; de Haan et al., 1993). Variabel ini diukur menggunakan kuesioner Medical

Outcome Study SF-36 yang telah divalidasi (Harmaini, 2006). Skala

pegukurannya interval.

H. Instrumentasi Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Surat pernyataan persetujuan untuk mengikuti penelitian. 2. Kuesioner Medical Outcome Study SF-36 (Harmaini, 2006). 3. Status pasien.

(48)

commit to user

35

I. Cara Kerja Penelitian

Setelah data terkumpul baik dari hasil pengisian kuesioner maupun dari status pasien, data dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu pasien dengan serangan sinusitis maksilaris kronik dan kelompok kontrol.

Data yang terkumpul kemudian diolah untuk mendapatkan informasi sebagai berikut:

1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin. 2. Distribusi sampel berdasarkan umur.

3. Perbandingan skor kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik dengan kelompok kontrol.

J. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data uji t tidak berpasangan. Menurut Dahlan (2008) uji ini digunakan karena:

1. Hipotesisnya merupakan hipotesis komparatif. 2. Skala variabelnya numerik.

3. Terdiri dari dua kelompok sampel yang tidak berpasangan.

Menurut Dahlan (2008) uji ini dapat digunakan jika syarat-syaratnya terpenuhi yaitu:

1. Sebaran datanya harus normal. 2. Varian datanya bisa sama atau tidak.

Jika syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka akan digunakan uji alternatifnya (non parametrik) yaitu uji Mann Whitney (Dahlan, 2008).

(49)

commit to user

Teknik analisis uji t akan dihitung dengan menggunakan SPSS 14.0 for

(50)

commit to user

37 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian telah dilakukan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 15 Juli sampai dengan 5 Agustus 2011. Subjek penelitian sebanyak 30 orang dengan perincian 15 orang subjek merupakan pasien sinusitis maksilaris kronik dan 15 orang dari kelompok kontrol. Penentuan subjek menggunakan cara purposive sampling dengan karakteristik disajikan sebagai berikut:

Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Subyek Pasien Sinusitis Maksilaris Kronik Kelompok Kontrol Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan 8 7 8 7 Pendidikan 1. SMP/SMA sederajat 2. S I sederajat 3. S II sederajat 11 4 - 9 4 2 Rata-rata usia (min, maks)

dalam tahun

50 (40 – 60) 50 (41 – 60)

Seperti tercantum dalam tabel 3, karakteristik subjek penelitian dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan serta usia. Untuk mengetahui homogenitas subjek penelitian, dilakukan analisis statistik dengan

(51)

commit to user

mencari perbedaan rata-rata dalam tiap karakteristik. Pada kelompok karakteristik usia, distribusi datanya normal sehingga digunakan uji t. Sedangkan pada kelompok karakteristik jenis kelamin dan tingkat pendidikan, distribusi datanya tidak normal sehingga diuji dengan Mann-Whitney test. Hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna pada tiap karakteristik subjek penelitian, sehingga subjek penelitian ini homogen.

Tabel 4. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan Umur Subjek

Umur Subyek

Rata-Rata Total Skor Pasien Sinusitis

Maksilaris Kronik Kelompok Kontrol

40-45 2673 3213

46-50 2445 3232

51-55 2296 3105

56-60 2125 3005

Tabel 4 menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan usia subjek. Pada tabel di atas didapatkan bahwa usia yang semakin meningkat menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan yang semakin menurun pada kelompok subjek pasien sinusitis maksilaris kronik. Akan tetapi pada kelompok kontrol didapati rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan paling tinggi justru pada kelompok usia 46 – 50 tahun.

(52)

commit to user

39

Tabel 5. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek Penelitian

Jenis Kelamin

Rata-Rata Total Skor Pasien Sinusitis

Maksilaris Kronik Kelompok Kontrol

Laki-laki 2376 3104

Perempuan 2440 3198

Tabel 5 menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan jenis kelamin. Pada kedua kelompok subjek didapatkan hasil rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Analisis statistik deskriptif dilakukan terhadap data-data yang terkumpul untuk mendapatkan rata-rata skor total maupun rata-rata skor tiap dimensi kualitas hidup terkait kesehatan sehingga didapatkan data-data sebagai berikut:

Gambar 1. Rata-Rata Skor 8 Domain Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian (Skor Maksimal 100 pada Tiap Domain)

(53)

commit to user

Gambar 2. Rata-Rata Total Skor Kualitas Hidup Terkait Kesehatan Subjek Penelitian

Kemudian dilakukan analisis statistik terhadap data-data yang terkumpul. Uji normalitas data menggunakan Saphiro-Wilk didapatkan skor pada dimensi fungsi fisik, energi, kesehatan jiwa, dan total skor terdistribusi normal sehingga menggunakan uji parametrik t test. Sedangkan pada skor dimensi peranan fisik, peranan emosi, fungsi sosial, rasa nyeri, dan kesehatan umum distribusi datanya tidak normal sehingga menggunakan uji alternatif non parametrik Mann Whitney.

(54)

commit to user

41

Dari hasil uji statistik tersebut didapatkan nilai p sebagai berikut: Tabel 6. Nilai p pada Skor 8 Domain dan Total Skor Kualitas Hidup Terkait

Kesehatan Subjek Penelitian

Dimensi kualitas hidup P

Fungsi Fisik 0.000* Peranan Fisik 0.009** Peranan Emosi 0.024** Energi 0.000* Kesehatan Jiwa 0.004* Fungsi Sosial 0.000** Rasa Nyeri 0.000** Kesehatan Umum 0.000** Total Skor 0.000*

* : t test (jika distribusi data normal)

** : Mann-Whitney Test (jika distribusi data tidak normal)

Dari nilai p pada tabel 6 di atas didapatkan perbedaan yang bermakna antara rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan pada kelompok pasien sinusitis maksilaris kronik dengan kelompok kontrol pada total skor dan keseluruhan dimensi yang meliputi fungsi fisik, peranan fisik, peranan emosi, energi, kesehatan jiwa, fungsi sosial, rasa nyeri, dan kesehatan umum.

(55)

commit to user

42 BAB V PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta, kemudian dilakukan perhitungan statistik, serta dari penelitian terdahulu maka penelitian ini dapat dibahas sebagai berikut:

Pada tabel 3 berisi karakteristik subjek penelitian, usia subjek dibatasi antara 40 tahun sampai dengan 60 tahun karena skor kualitas hidup terkait kesehatan berhubungan erat dengan usia subjek pada kedua kelompok sampel. Adanya perbedaan jumlah subjek laki-laki dan perempuan dalam penelitian tidak dapat membuktikan apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian sinusitis maksilaris kronik. Hal ini dikarenakan penelitian ini menerapkan kriteria inklusi dan ekslusi dalam pengambilan sampel subjek penelitian, sehingga tidak mengikutsertakan semua subjek yang ditemui dalam jangka waktu penelitian.

Tabel 4 menunjukkan rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan umur subjek penelitian. Adanya variasi rata-rata skor dapat membuktikan bahwa umur subjek mempengaruhi skor kualitas hidup terkait kesehatan pada kedua kelompok sampel. Secara umum, Netuveli dan Blane (2008) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan skor kualitas hidup terkait kesehatan dengan pertambahan usia. Hal ini terjadi oleh karena terdapat penurunan fungsi dari organ-organ vital tubuh. Disebutkan bahwa komponen fisik merupakan komponen yang menurun paling signfikan

(56)

commit to user

43

dibandingkan komponen-komponen lainnya. Akan tetapi data-data dalam penelitian ini tidak memungkinkan untuk dapat diambil kesimpulan mengenai pengaruh umur terhadap skor kualitas hidup terkait kesehatan karena penelitian ini tidak dirancang untuk mencari hubungan antara keduanya.

Tabel 5 menunjukkan rata-rata total skor kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan jenis kelamin. Pada kedua kelompok subjek, baik kelompok pasien sinusitis maksilaris kronik maupun kelompok kontrol didapatkan hasil rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan lebih tinggi pada subjek perempuan dibandingkan subyek laki-laki. Akan tetapi, pada penelitian ini tidak dapat menyimpulkan hubungan jenis kelamin dengan rata-rata skor kualitas hidup terkait kesehatan karena desain penelitian yang tidak sesuai.

Gambar 1 dan 2 serta tabel 6 menunjukkan perbandingan total skor kualitas hidup terkait kesehatan. Pada kelompok pasien sinusitis maksilaris kronik didapatkan total skor yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol, hal ini ditunjukkan pada semua dimensi yaitu dimensi fungsi fisik, peranan fisik, peranan emosi, energi, kesehatan jiwa, fungsi sosial, rasa nyeri, dan kesehatan umum. Namun terdapat beberapa dimensi dengan perbedaan rata-rata skor antara kedua kelompok subjek yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain yaitu dimensi fungsi sosial, rasa nyeri dan kesehatan umum.

Komponen fisik diwakili oleh dimensi fungsi fisik, peranan fisik, rasa nyeri, dan kesehatan umum dalam pengukuran dengan skor kualitas hidup terkait kesehatan menggunakan SF-36 (Ware et al., 1994). Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan kuesioner SNOT-20 menyebutkan bahwa dimensi rasa

(57)

commit to user

nyeri dan kesehatan umum dalam kualitas hidup terkait kesehatan merupakan dimensi yang paling berpengaruh pada pasien sinusitis maksilaris kronik. Skor rasa nyeri dan kesehatan umum yang rendah menggambarkan bahwa subjek merasakan nyeri yang cukup bermakna sehingga hal ini mempengaruhi kesehatannya secara umum. Di samping itu terdapat pengaruh buruk lainnya, seperti pembatasan terhadap peranan maupun fungsi fisik. Adanya kecenderungan tersebut mengindikasikan pentingnya menentukan prognosis serta rencana terapi yang tepat terhadap pasien sinusitis maksilaris kronik dengan melibatkan penilain mengenai kualitas hidup terkait kesehatan untuk mendapatkan hasil terapi yang diinginkan (Vaid, 2007).

Komponen mental dalam kualitas hidup terkait kesehatan diwakili oleh dimensi energi, fungsi sosial, peranan emosi, dan kesehatan jiwa (Ware et al., 1994). Berdasarkan data-data yang diperoleh, keempat dimensi tersebut memiliki perbedaan skor yang bermakna pada kedua kelompok subjek. Hal ini dimungkinkan karena komponen mental pada pasien sinusitis maksilaris kronik lebih dipengaruhi oleh faktor penyakit sinusitisnya. Dalam penelitian Lakshmi et

al. (2007) disebutkan bahwa beberapa komponen kualitas hidup terkait kesehatan

pada pasien sinusitis maksilaris kronik yang mengalami penurunan adalah komponen mental dan emosional. Salah satu yang menyebabkan hal tersebut adalah pola tidur dari pasien yang menurun, selain pengaruh dari rasa nyeri yang tidak dapat dikesampingkan. Menurunnya pola tidur tentu dapat berimbas pada penurunan energi serta fungsi sosial sehari-hari. Adanya hal tersebut juga

(58)

commit to user

45

menyebabkan pasien sinusitis maksilaris kronik sering mengalami respon emosi yang berlebihan (Vaid, 2007).

Namun demikian penelitian ini memiliki beberapa kelemahan dalam generalisasi hasil penelitian. Hal tersebut di antaranya:

A. Tidak semua faktor yang mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan dieksklusikan, di antaranya:

1. Faktor penyakit penyerta yang mempengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan

Sinusitis maksilaris kronik yang diikuti oleh polip memiliki prognosis yang lebih buruk serta penurunan yang lebih pada kualitas hidup terkait kesehatannya (Vaid, 2007).

2. Terapi rehabilitasi pada subyek penelitian

Pada penelitian ini tidak dibedakan apakah subyek sudah mendapatkan terapi baik farmakologis maupun pembedahan atau belum. Padahal kedua terapi tersebut merupakan salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik.

B. Penggunaan kuesioner SF-36

SF-36 merupakan kuesioner yang bersifat generik, sehingga dimungkinkan tidak dapat menggambarkan akibat sesungguhnya dari sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan.

SF-36 kurang dapat menggambarkan beberapa dimensi lain yang ikut menurun pada penyakit sinusitis maksilaris kronik dikarenakan terlalu

(59)

commit to user

terbatasnya dimensi yang diukur maupun perincian pertanyaan untuk masing-masing dimensi itu sendiri.

(60)

commit to user

47 BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sinusitis maksilaris kronik terhadap kualitas hidup.

B. Saran

1. Pemanfaatan penialian kualitas hidup perlu dipertimbangkan dalam kasus sinusitis maksilaris kronik.

2. Dilakukan penelitian serupa dengan mengeksklusikan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi skor kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien sinusitis maksilaris kronik.

3. Dilakukan penelitian serupa dengan menggunakan alat ukur yang lebih spesifik untuk pasien sinusitis maksilaris kronik.

Gambar

Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF-36………… 26  Tabel 2. Skor Kuesioner SF-36……………………………………………
Gambar  1.  Rata-Rata  Skor  8 Domain Kualitas  Hidup  Terkait Kesehatan Subjek  Penelitian (Skor Maksimal 100 pada Tiap Domain).......................
Tabel 1. Pertanyaan yang Mewakili 8 Dimensi Kuesioner SF-36 (RAND, 2009)
Tabel 2. Skor Kuesioner SF-36 (RAND, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Barisan bilangan yang suku-suku berikutnya diperoleh dari hasil kali suku sebelumnya dengan bilangan tetap yang tidak sama dengan nol dinamakan barisan geometri.. Bilangan yang tetap

Densitas merupakan perbandingan antara dua besaran pokok, yaitu massa dan volume. Dengan kata lain, semakin tinggi massa jenis atau densitas dari suatu benda, maka massa setiap

a) Upaya yang dilakukan guru dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak adalah memilih metode dan media belajar yang sesuai dengan

Penelitian yang dilakukan menunjukkan tekanan ketaatan berpengaruh negatif pada judgment yang diambil oleh auditor, hal ini karena seorang auditor

“What Works in Character Education.” Journal of Research in Character Education, Educational Leadership, vol 5 No.. Berkowitz, Marvin dan

untuk karakter merupakan hal yang penting, namun menemukan ekspresi yang mungkin tidak dilakukan oleh karakter tersebut sama pentingnya... Salah satu hal yang penting

1) Perubahan pada otot, dimana kepadatan pembuluh kapiler di otot menjadi meningkat maka adanya latihan intensitas rendah dalam waktu yang lama (sampai titik kelelahan)

ZAF, perempuan, usia 12 tahun, penduduk Desa Gerung Utara, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok