• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB. IV. Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis Pada Populasi Inbrida"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB. IV

Simulasi Analisis Marka Mikrosatelit Untuk Penduga Heterosis

Pada Populasi Inbrida

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR (Single Sequence Repeats) yang efektif dalam membedakan inbrida satu dengan yang lain dan dapat membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil. Penelitian ini dalam bentuk simulasi data biner hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka mikrosatelit. Simulasi data dalam dua cara yaitu (a) melalui iterasi data, dan (b) melalui analisis PCA (Principal

Component Analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paket marka dengan 25

marka SSR menghasilkan nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar 0,79. Walaupun nilai tersebut sudah cukup baik tapi hanya dalam hal kemampuan membedakan inbrida satu dengan yang lain. Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan paket marka SSR sebanyak 36, 30, dan 25 lokus belum tegas karena nilai korelasi masih < 90%. Perlu melanjutkan iterasi data atau menambahkan primer untuk mendapatkan set marka yang aplikatif untuk digunakan oleh pemulia.

(2)

Simulation Analysis of Microsatellite Markers as Estimation of

Heterosis in Hybrid Population

ABSTRACT

The objective of the study is to observe the SSR marker package that iseffective to differentiate among inbreds and could develop potential heterotic groups. This study is a simulation of binary data from 34 inbred lines characterized by 36 microsatellite markers. The data of simulation analysis are developed in two ways i.e. (a) iteration method, and (b) PCA (Principal Component Analysis) method. The result suggestes that 25 SSR marker package SSR-based provide a high value of cofenetic correlation coefficient i.e. 0.79; however, the value is quite sufficient to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue the data iteration or add primers to obtain the set of primers applicable to the breeder

(3)

PENDAHULUAN

Teknik marka telah berhasil dalam membantu para pemulia tanaman khususnya dalam menangani populasi dalam jumlah besar untuk mengidentifikasi target rekombinan pada sejumlah lokus yang diseleksi (Howes et al., 1998). Selain itu memungkinkan seleksi lebih akurat pada generasi awal dari pada skrining, karena skrining pada generasi lanjut di dalam jumlah besar tidak akan praktis dan akan memberikan sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan dibandingkan seleksi secara fenotipik. Teknologi marka DNA juga telah diaplikasikan di dalam sidikjari genotipe, dalam menentukan kemurnian benih, di dalam sistematik sampling plasma nutfah, dan dalam analisis filogenetik. Informasi pedigree secara individu penting dalam program pemuliaan karena digunakan dalam menghitung koefisien kekerabatan atau koefisien

co-ancestry dan memberikan dasar kepada pemulia untuk menyeleksi tetua dan mengambil

keputusan dalam merancang persilangan.

Sejumlah program perangkat lunak yang dapat digunakan untuk menganalisis data marka molekuler sehingga data tersebut dapat diaplikasikan. Salah satu program yang telah banyak digunakan adalah program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), khususnya sebagai alat bantu untuk melakukan analisis kekerabatan sejumlah plasma nutfah.

Dalam program pemuliaan berbasis marka molekuler, modifikasi jumlah marka yang tepat seperti marka mikrosatelit atau SSR dalam pembentukan kelompok heterotik berdasarkan tingkat kekerabatan secara akurat sangat diperlukan. Hal tersebut berkaitan dengan efisiensi penggunaan primer, enzim dan bahan kimia lain seperti buffer dan juga tenaga dan waktu yang dibutuhkan dalam proses karakterisasi. Beberapa hasil penelitian yang mengelompokkan galur-galur berdasarkan tingkat kekerabatan menggunakan marka SSR rata-rata sekitar 50 primer atau lebih dan merata pada seluruh kromosom seperti Senior et al. (1998) pada jagung (63 primer), Warburton et al., 2001 pada jagung (85 primer), Fregene et al. (2003) pada singkong (67 primer), Vaz Patto et al., 2004 (50 primer). Namun demikian ada penelitian lain yang menggunakan marka SSR di bawah 50 seperti yang dilakukan pada gandum (El-Maghraby, et al., 2005). Selain itu, ada juga sejumlah studi keragaman genetik berbasis SSR dengan jumlah primer di bawah 50

(4)

seperti yang telah dilakukan pada kedelai (Glycine Max L. Merr), yang menggunakan tujuh primer mikrosatelit (Rongwen et al., 1995), 15 primer pada barley (Hordeum vulgare L.)(Struss dan Plieske, 1998) dan 23 primer pada gandum (Plaschke et al., 1998).

Di negara sedang berkembang, laboratorium marka molekuler pada umumnya masih bisa dihitung dengan jari, dan sebagian besar dengan fasilitas laboratorium yang sederhana dan sangat terbatas, serta pendanaan yang juga relatif terbatas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan modifikasi baik dalam penggunaan alat, bahan, maupun protokol yang digunakan. Konstruksi dendrogram yang stabil diperlukan untuk studi keragaman genetik dan penentuan koleksi inti, untuk seleksi tetua potensial dalam pengembangan hibrida. Jumlah minimum lokus mikrosatelit atau alel-alel harus ditentukan terlebih dahulu untuk konstruksi dendrogram yang stabil. Hal tersebut akan menghemat waktu dan tenaga, khususnya untuk tanaman yang mempunyai sejumlah besar varietas atau koleksi. Kemampuan statistik dapat dimanfaatkan untuk mengamati pengujian berbasis marka, tergantung dari posisi marka, berat jenis, atau tingkat polimorfisme dari marka. Oleh karena itu disarankan untuk menentukan jumlah marka yang dibutuhkan untuk menentukan batas kemampuan (Heckenberger et al., 2005).

Marka DNA bebas dari pengaruh pleiotropik, sehingga memungkinkan sejumlah marka dapat dimonitor dalam populasi tunggal. Perangkat lunak seperti program NTSYS-pc 2.1 (Rohlf, 2000), bermanfaat di dalam mendapatkan informasi berbasis marka molekuler untuk analisis sidikjari, keragaman genetik, dan MAS. Simulasi marka SSR menggunakan berbagai program seperti program NTSYS-pc 2.1, dapat membantu para pemulia tanaman dalam program pengembangan hibrida, khususnya dalam membantu mengelompokkan galur-galur ke dalam kelompok heterotik berdasarkan jumlah dan jenis marka yang digunakan sehingga lebih mudah dalam menyeleksi kandidat tetua hibrida potensial. Penelitian ini diharapkan akan dapat mengurangi jumlah primer yang digunakan tetapi efisien dan akurat dalam penetapan kelompok pola heterotik.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan paket marka SSR yang efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial yang stabil sehingga kombinasi tetua yang menghasilkan heterosis tinggi dapat diprediksi lebih awal.

(5)

BAHAN DAN METODE

Materi yang digunakan dalam simulasi ini adalah data biner 34 galur elit hasil

genotyping dari 36 marka SSR. Simulasi dilakukan dengan menggunakan fasilitas

komputer program NTSYS-pc 2.1. Simulasi dilakukan melalui dua cara yaitu (1) iterasi marka molekuler, (2) analisis PCA.

Iterasi data marka molekuler

Iterasi data dilakukan untuk mengetahui apakah dendrogram yang terbentuk dengan menggunakan 36 marka molekuler masih sama jika marka dikurangi untuk efisiensi. Pengurangan marka dimulai dari marka dengan nilai polimorfisme terkecil yaitu dengan pengurangan lima marka setiap analisis, kecuali pada pengurangan pertama sebanyak 6 marka. Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA (Unweighted

Pair-Group Method with Arithmathic Averages) dilakukan untuk setiap set baru untuk

melihat pengelompokan. Untuk melihat posisi relatif dari masing-masing inbrida dilakukan analisis Principal Coordinate Analysis (PCoA). Analisis dihentikan pada saat hasil analisis menghasilkan lebih dari satu dendrogram. Nilai koefisien korelasi kofenetik (r) dari masing-masing dendrogram dihitung dengan menggunakan program NTSYS-pc 2.1, yang membantu dalam menetapkan paket marka efektif untuk pembentukan kelompok heterotik inbrida elit jagung.

Analisis Komponen Utama (PCA)

Analisis komponen utama untuk mengetahui primer-primer yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan:

(

x x

)

Y a

(

x x

)

a Yh h h k h k = − − = 1 ,...

1 , dimana Yh1 = skor komponen ke-1 dari

(6)

data pengamatan dari obyek ke-h dan X = vektor nilai rata-rata dari variabel asal

(Dillon dan Goldstein, 1984). Metode kedua ini menyeleksi alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram. Jadi berkurangnya primer berdasarkan pengurangan alel secara otomatis berdasarkan analisis komponen utama.

HASIL Korelasi kofenetik berdasarkan jumlah primer

Hasil konstruksi dendrogram melalui iterasi data yaitu 36, 30, 25, 20, dan 15 primer SSR terbentuk hanya satu dendrogram pada masing-masing set yang dianalis. Selain itu, inbrida dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Jika iterasi dilanjutkan menggunakan 10 primer, dihasilkan dua konstruksi dendrogram (data tidak ditampilkan). Pada Gambar 3 (Bab III) sampai Gambar 12 ditampilkan konstruksi dendrogram (a) dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi (b) untuk masing-masing paket marka hasil iterasi marka mikrosatelit. Posisi relatif dari masing-masing galur pada setiap paket marka menunjukkan ketujuh tetua terseleksi stabil pada masing-masing kelompok pada set 36, 30, dan 25 primer. Jika jumlah primer dikurangi lagi maka ada tetua yang berpindah pada kelompok lain.

Pada Tabel 4 menunjukkan hasil iterasi terhadap lima paket marka SSR, diperoleh nilai koefisien korelasi kofenetik yang tertinggi pada penggunaan 25 primer yaitu sebesar (0,79), disusul oleh paket marka 30 primer (0,78) sedangkan yang terendah pada penggunaan 15 primer dengan nilai 0,75.

Pada Gambar 3 sampai Gambar 12, adalah penampilan 34 inbrida jagung berdasarkan hasil konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing inbrida dalam dua dimensi berdasarkan analisis PCoA. Dari tujuh inbrida yang terseleksi untuk set persilangan dialel, paket yang menggunakan 30 dan 25 marka mikrosatelit berada pada posisi relatif yang sama.

(7)

Gambar 4 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.

(8)

Gambar 6 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR dengan nilaikoefisien kofenetik (r) sebesar 0,78.

(9)

Gambar 8. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,79.

(10)

Gambar 10. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.

(11)

Gambar 12. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76.

Pada Gambar 13 adalah diagram batang menunjukkan paket marka berdasarkan jumlah primer dibandingkan dengan koefisien korelasi kofenetik, tingkat polimorfisme, dan total alel untuk masing-masing paket marka. Berdasarkan nilai koefisien korelasi kofenetik (r), paket yang menggunakan 25 primer menghasilkan nilai r yang paling tinggi.

Tabel 4 Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alel, dan tingkatpolimorfisme (PIC)

No. Jumlah Marka

SSR Nilai r Jumlah alel PIC rata-rata

1 15 0,75 85 0,74 2 20 0,76 106 0,72 3 25 0,79 128 0,70 4 30 0,78 143 0,67 5 36 0,76 162 0,61 6 29* 0,72 52 -

(12)

0.73 0.74 0.75 0.76 0.77 0.78 0.79 Ko e f. ko rel asi ko fen et ik 15 20 25 30 36 Jumlah primer

Gambar 13 Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik.

Berdasarkan hasil PCA, diperoleh empat komponen utama pertama yang memiliki akar ciri >1. Komponen utama (PC-1, PC-2, PC-3, PC-4) dapat menerangkan keragaman pita SSR masing-masing sebesar 9,54%, 8,04%, 7,86%, dan 6,66%. Total keempat komponen utama tersebut sebesar 32,09%. Dari total nilai komponen utama tersebut diperoleh 52 alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram, yang berada pada 29 lokus SSR. Dari total 36 lokus SSR yang digunakan terdapat tujuh lokus yang tidak berperan dalam konstruksi dendrogram yaitu phi064, nc133, phi127, phi213984, phi423796, phi448880, phi96342 (Tabel 5). Dari total tujuh primer yang tereliminasi, lima primer dengan tingkat polimorfisme terendah juga dengan jumlah alel terendah. Namun terdapat dua primer yaitu phi064 dan phi127 mempunyai jumlah alel cukup tinggi dengan tingkat polimorfisme masing-masing 0,82 dan 0,57 (Tabel 6).

(13)

Tabel 5 Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing pita/alel yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe jagung yang dikarakterisasi

No. Lokus SSR No. Bin

Ukuran (bp) PC1 PC2 PC3 PC4 Σ Alel 1 phi109275 1.00 i3(132) -0.01747 -0.16246 0.09608 -0.16089 2 2 i6(123) 0.02314 0.10405 0.04222 0.15690 3 phi96100 2.00 e2(289) 0.02851 -0.20299 0.18377 -0.07580 1 4 phi109642 2.00 h1(144) 0.20189 0.21386 -0.00341 -0.11409 1 5 phi083 2.04 i3(134) -0.21239 0.08771 0.02140 0.08357 2 6 i6(127) 0.24541 -0.06746 -0.04990 -0.00096 7 phi101049 2.09 f2(234) -0.02942 0.07094 0.05574 0.31965 2 8 f3(230) 0.10995 -0.11433 0.19184 -0.16207 9 phi374118 3.03 f1(238) 0.06623 0.01944 0.26704 -0.09177 3 10 f2(232) 0.02628 -0.11965 -0.22770 0.04286 11 f4(223) -0.13152 0.17613 -0.00576 0.06458 12 phi029 3.04 g3(152) -0.22020 0.05233 0.02670 -0.10506 2 13 h1(150) 0.23705 -0.06295 -0.03766 0.28665 14 phi053 3.05 g2(191) 0.31990 0.17193 0.16791 -0.06024 3 15 g3(187) -0.08011 -0.14931 0.08061 -0.15978 16 g4(175) -0.14077 -0.06632 -0.27673 0.09951 17 phi046 3.08 m1(66) 0.24503 -0.04061 0.09075 0.03405 2 18 m2(62) -0.24557 0.03512 -0.09282 -0.04004 19 umc1136 3.10 g2(156) -0.14451 0.10312 0.02481 0.17399 3 20 h1(148) -0.06049 -0.05662 0.20663 -0.14669 21 i3(132) 0.15122 -0.05252 -0.24170 -0.07999 22 phi072 4.00 h1(149) -0.17959 -0.09072 0.24690 -0.00446 2 23 h2(148) 0.23336 -0.15993 -0.08745 -0.08213 24 phi079 4.05 g3(193) -0.10962 0.00987 0.05291 0.16514 1 25 phi093 4.08 e1(294) 0.21294 0.08040 -0.06498 0.11358 2 26 e2(290) -0.12260 -0.02370 0.19931 -0.05419 27 umc1109 4.10 j1(117) 0.25585 -0.10817 -0.04299 0.18409 2 28 j3(110) -0.25425 0.08802 -0.11498 -0.20494 29 phi102228 5.00 i2(127) -0.16623 0.14418 -0.18504 -0.15736 1 30 phi109188 5.00 g5(164) -0.07037 -0.11895 -0.26914 -0.01796 1 31 phi087 5.06 g1(174) -0.27058 -0.13718 -0.17984 -0.03797 1 32 umc1153 5.09 j2(109) -0.03384 0.03126 -0.23198 -0.02021 2 33 j4(105) -0.02308 -0.16173 0.23682 -0.06762 34 umc1143 6.00 k1(87) -0.09729 -0.19105 -0.12755 0.18058 2 35 k4(83) 0.01546 0.16963 0.22766 -0.00497 36 umc1545 7.00 k3(86) 0.10629 0.08830 -0.05204 0.24490 2 37 k5(84) -0.12799 -0.12487 -0.08931 -0.30719 38 phi034 7.02 i3(122) -0.03316 0.09849 0.21599 0.10977 1 39 phi328175 7.04 i1(130) 0.09436 -0.34402 0.13225 0.01465 1 40 phi114 7.05 g1(169) -0.02385 0.33514 -0.14318 -0.05680 2 41 i1(137) -0.14386 -0.38207 -0.00901 0.03360 42 phi233376 8.03 g3(151) 0.37124 -0.09487 0.00897 -0.02975 1 43 umc1161 8.06 g2(152) -0.24004 -0.08832 0.16603 -0.03081 2 44 h2(146) 0.23685 -0.04360 -0.08353 -0.13351 45 umc1279 9.00 k3(092) 0.07981 -0.17850 -0.10512 0.05066 1 46 phi065 9.03 g1(151) 0.00495 0.23971 0.18270 -0.02178 2 47 i1(131) 0.08083 -0.30464 -0.09926 0.01910 48 umc1061 10.06 j1(107) -0.17618 -0.17144 0.16851 -0.09210 3 49 j2(105) 0.20902 0.27443 -0.08741 -0.27626 50 j3(103) -0.13751 0.05246 -0.01310 0.29095 51 umc1196 10.07 g1(161) 0.08764 -0.23440 -0.23790 0.13315 2 52 h1(149) 0.11653 0.14319 0.08977 -0.16042 Akar ciri 2.13 1.80 1.75 1.49 52 Keragaman (%) 9.54 8.04 7.86 6.66 Kumulatif 9.54 17.58 25.43 32.09

Keterangan: Angka tebal pada komponen utama tertentu adalah nilai komponen utama dari alel tertentu pada lokus yang berperanan dalam pembentukan dendrogram.

(14)

Tabel 6 Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA)

No. Lokus SSR No. Bin Tingkat polimorfisme (PIC) 1 2 3 4 5 6 7 phi064 nc133 phi127 phi213984 phi423796 phi448880 phi96342 1,11 2,05 2,09 4,01 6,02 9,05 10,02 0,82 0,32 0,57 0,22 0,24 0,36 0,33

Pada Gambar 14 dan 15 adalah konstruksi dendrogram dan posisi relatif dari masing-masing genotipe dalam ruang dua dimensi berdasarkan jumlah alel yang berperanan dalam pembentukan dendrogram dari hasil analisis PCA.

(15)

Gambar 15. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka SSR dengan nilai koefisien kofenetik (r) sebesar 0,72.

PEMBAHASAN

Bedasarkan hasil konstruksi dendrogram dan analisis PCoA dua dimensi, tujuh tetua yang terseleksi berdasarkan nilai jarak genetik stabil pada posisi relatif yang sama pada paket 30 dan 25 primer. Hal ini ada kaitannya dengan nilai korelasi kofenetik dimana korelasi kofenetik yang tinggi adalah paket marka 25 primer (0,79) dan 30 primer (0,78). Paket marka 25 primer menghasilkan nilai korelasi kofenetik yang paling tinggi menghasilkan 128 alel (Tabel 4). Paket marka 36 primer (0,76) mempunyai nilai korelasi lebih rendah dari paket marka 25 dan 30 primer. Hal tersebut mungkin disebabkan terdapat sejumlah alel yang tidak berperanan dalam pembentukan dendrogram.

Nilai korelasi kofenetik menggambarkan keakuratan pengelompokan berdasarkan kemiripan genetik. Walaupun nilai korelasi kofenetik sudah tergolong cukup bagus, namun yang mampu untuk membedakan kelompok heterotik secara tegas adalah nilai r > 90% (Rohlf, 2000). Selain itu yang perlu dipertimbangkan adalah apakah ketujuh tetua yang terseleksi stabil pada kelompok heterotik yang sama dan mampu menghasilkan heterosis tinggi. Jika materi genetik diganti apakah primer

(16)

tersebut masih efektif dalam membentuk kelompok heterotik potensial dan menghasilkan heterosis tinggi.

Bertin et al. (2001) melakukan karakterisasi molekuler terhadap sejumlah

genotipe menunjukkan bahwa 113 alel cukup untuk membentuk klaster dari kultivar gandum pada kelompok European. Masih ada sejumlah penelitian lain yang melakukan karakterisasi marka molekuler dengan jumlah primer yang rendah sekitar 7-30 primer, seperti yang telah disebutkan pada pendahuluan.

Tidak ada aturan statistik formal untuk menetapkan berapa marka genetik yang dibutuhkan untuk mengklasifikasi aksesi secara akurat, menjelaskan pola genetik, atau mengestimasi jarak genetik atau fenogram secara akurat. Idealnya, marka genetik untuk perlindungan varietas dan mengklasifikasi materi genetik yang belum diketahui harus dengan marka polimorfisme tinggi dan menyebar secara merata pada genom (Bernardo, 1992). Untuk laboratorium yang sederhana, cenderung untuk memilih teknik yang murah dan sederhana tanpa mengurangi kualitas data.

Jumlah alel, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap nilai korelasi kofenetik dimana jumlah alel yang terendah masih mampu menghasilkan nilai korelasi kofenetik 0,72. Hasil penelitian Zhang et al. (2002) pada koleksi gandum di Cina

melaporkan bahwa penggunaan hanya 167 alel memungkinkan untuk membedakan semua genotipe gandum. Koefisien korelasi matriks jarak genetik antar 501 alel dan 167 alel masing-masing 0,74 mengindikasikan bahwa 167 alel cukup untuk membedakan semua varietas, bahkan galur-galur inbrida terseleksi. Namun demikian, 167 alel tidak cukup untuk mengkonstruksi dendrogram yang stabil untuk menggambarkan secara obyektif hubungan genetik. Hal tersebut penting untuk tidak hanya membedakan varietas tetapi juga untuk mendapatkan dendrogram yang stabil yang merefleksikan hubungan genetik secara benar pada sejumlah varietas gandum. Penemuan titik jenuh pada tanaman seperti gandum, yang mempunyai sejumlah besar aksesi, akan mengurangi waktu dan biaya di dalam menetapkan koleksi inti.

Dari hasil penelitian ini nampaknya bahwa lima paket marka yaitu, 36, 30, 25, 20, dan 15 marka SSR dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan karena paket dengan jumlah marka yang rendah adalah yang mempunyai nilai korelasi yang cukup tinggi yaitu >0,56. Dengan demikian paket marka yang

(17)

digunakan mengkarakterisasi jarak genetik, belum merupakan paket marka yang terbaik. Usaha untuk mendapatkan paket marka yang betul-betul sesuai antara jarak genetik dan tingkat heterosisnya masih perlu terus dilakukan melalui iterasi paket marka yang telah ada atau penambahan marka lainnya untuk memperoleh nilai korelasi >90%.

Berbeda dengan metode iterasi data yang didasarkan pada tingkat polimorfisme, pada PCA, jumlah primer yang terseleksi berdasarkan jumlah alel yang berperanan terhadap konstruksi dendrogram.

Total empat komponen utama tersebut sebesar 32,09%, artinya keragaman dari karakter pita SSR pada 34 inbrida jagung dapat diterangkan oleh nilai komponen utama sebesar 32,09%. Dari ketujuh primer tersebut lima primer yang mempunyai tingkat polimorfisme terendah. Primer tersebut adalah primer yang sama yang tereliminasi pertama pada proses iterasi data marka molekuler. Namun demikian ada dua primer yang mempunyai tingkat polimorfisme tinggi yaitu phi064 dan phi127 yang tereliminasi. Ada kemungkinan bahwa kedua primer tersebut menghasilkan kualitas pita yang rendah sehingga validasi hasil skoring rendah. Visualisasi pola pita yang baik dipengaruhi oleh kualitas DNA, kualitas reaksi PCR, kualitas hasil sekuensing, dan tingkat kemahiran dan ketelitian personal yang melakukan skoring. Semua itu akan berpengaruh terhadap akurasi data biner yang akan digunakan dalam analisis genotipeik. Dengan demikian tingginya tingkat polimorfisme suatu primer belum sepenuhnya dijamin bahwa primer tersebut berperan dalam pembentukan dendrogram.

Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa 32,09% dari nilai komponen utama untuk menerangkan keragaman dari 34 inbrida. Dengan demikian, 29 primer dengan dengan total alel 52 mampu membedakan inbrida secara individu, tetapi tidak menyinggung mengenai kestabilan dendrogram. Hal yang menyulitkan jika menggunakan metode PCA adalah seleksi alel secara random sehingga sehingga agak sukar untuk memilih primer yang tepat dalam jumlah terbatas.

Plasma nutfah jagung tropis sukar diklasifikasikan secara tepat ke dalam kelompok heterotik. Warburton et al. (2002) melakukan studi galur murni dan populasi jagung

tropis menggambarkan luasnya keragaman genetik yang menjadi penyebab sulitnya memilah struktur galur-galur murni. Situasi yang sama juga ditemukan pada studi keragaman galur-galur murni yang mewakili beberapa negara secara regional di Asia

(18)

(George et al., 2004b). Namun demikian, pada penelitian lain yang melibatkan populasi jagung tropis (Reif et al., 2003) dapat menghasilkan beberapa kelompok heterotik yang

jelas melalui marka SSR. Menurut Vaz Patto et al. (2004) seperti telah disebutkan pada

kegiatan penelitian pertama bahwa indeks yang ideal untuk korelasi kofenetik >0,56, berarti nilai r yang tertera pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kelompok heterotik yang terbentuk masih memadai untuk digunakan. Yang menarik pada penggunaan 29 primer berdasarkan hasil analisis PCA, hanya 52 alel yang terseleksi, namun nilai koefisien kofenetik masih >0,56. Hal tersebut kemungkinan karena tidak semua alel dalam lokus terseleksi terpilih, melainkan hanya alel berkualitas. Selain itu, walaupun alel sedikit tetapi alel-alel tersebut berada pada lokus yang menyebar di dalam genom. Zhang et al.

(2002) menyatakan bahwa dalam estimasi kemiripan genetik harus berdasarkan pada alel-alel yang representatif dari seluruh genom.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa:

• Dari hasil iterasi data, paket marka dengan 25 primer SSR mampu membedakan inbrida satu dengan yang lain dan membedakan inbrida ke dalam lima kelompok heterotik sama dengan paket marka 36 dan 30 primer SSR namun belum tegas. • Dari hasil analisis PCA, 29 primer terseleksi berdasarkan alel yang berperanan

terhadap pembentukan dendrogram, sama dengan penggunaan 25 primer berdasarkan tingkat polimorfisme tertinggi.

Gambar

Gambar 4 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka SSR dengan nilai  koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76
Gambar 6 Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka SSR dengan  nilaikoefisien kofenetik (r) sebesar 0,78
Gambar  8.  Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka SSR dengan nilai  koefisien kofenetik (r) sebesar 0,79
Gambar 10.  Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka SSR dengan nilai  koefisien kofenetik (r) sebesar 0,76
+6

Referensi

Dokumen terkait

Nilai Mpr kolom (Mpr3 dan Mpr4) sendiri didapatkan dari perhitungan kapasitas momen tahanan kolom berdasarkan diagram interaksi sesuai dengan tulangan memanjang

Bahan-bahan yang digunakan adalah tanah terkontaminasi minyak bumi yang diambil dari lahan suboptimal PERTAMINA Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera

Penelitian yang dilakukan oleh Muctharjo (2013) dengan judul “Pembentukan Karakter Disiplin Dan Tanggung Jawab Melalui Pemahaman Dasadarma Dalam Kegiatan

Pada tahun 1823, beberapa warga membentuk Asosiasi Belanda untuk Perbaikan Moral Narapidana untuk memperbaiki moral para tahanan dengan memerangi perusakan moral

Hasil Belajar Peserta Didik pada Siklus Dua Di siklus kedua, hasil ulangan harian yang diperoleh peserta didik juga belum dapat memenuhi ketuntasan secara klasikal, karena

Ia juga menampilkan satu kajian sistematik pada pemahaman tema Surah dalam Al-Qur’Én dan menganggapnya satu bidang penyelidikan penting dalam kajian tafsiran Al-Qur’Én mengikut

Selama pelaksanaan kuliah kerja praktek, penulis ditempatkan di bagian keuangan , Berikut adalah uraian untuk menjelaskan struktur organisasi Bagian Keuangan pada

Langkah selanjutnya adalah uji calon pengguna yang dilakukan oleh konselor dengan kriteria berprofesi sebagai konselor di SMP selama minimal 3 tahun, dan pendidikan terakhir minimal