• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kondisi Umum Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam

Perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam, secara keseluruhan merupakan bagian dari Selat Malaka yang terletak diantara Sabang, Pulo Aceh, Pulo Nasi. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah utara berbatasan dengan Semenanjung Malaka. Arah pergerakan angin di perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam dipengaruhi oleh 2 siklus angin muson, yaitu muson timur pada bulan Juni–Agustus, muson barat bulan Desember–Februari, dan 2 siklus pancaroba yaitu pancaroba awal tahun pada bulan April–Mei, pancaroba akhir tahun bulan Oktober–Desember. SPL di perairan Utara Nanggroe Aceh Darussalam berkisar antara 28.00–33.00oC. Sebaran suhu hampir merata di seluruh perairan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hanya pada daerah-daerah yang memiliki muara sungai yang besar sebaran suhunya bervariasi. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan suhu antara air tawar dan air laut (BRR NAD-Nias, 2007).

2.2 Klasifikasi Ikan Cakalang dan Tongkol

Klasifikasi ikan cakalang menurut Linberg (FAO,1991) adalah sebagai berikut :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata

Super class : Gnathostomata Class : Teleostemi

Sub class : Actinopterygii Ordo : Perciformes

Sub Ordo : Scombroidei Family : Scombridae

Sub family : Scombrinae Tribe : Thunnini

Genus : Katsuwonus Species : pelamis

(2)

Tubuh cakalang berbentuk torpedo (fusiform), memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill raker) 53-62 buah. Terdapat dua sirip dorsal yang terpisah, sirip yang pertama mempunyai 14-16 jari-jari keras sedangkan sirip kedua diikuti oleh 7-8 finle. Sirip dada pendek dan pada sirip perut diikuti oleh 7-8 finlet. Terdapat sebuah rigi-rigi yang lebih kecil pada masing-masing sisi dan sirip ekor. Ciri lain cakalang pada bagian punggung berwarna biru agak violet hingga dada, sedangkan perut berwarna keputihan hingga kuning muda. Terdapat 4-9 garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Mempunyai 12-16 duri lemah pada sirip punggung kedua, serta mempunyai 7-9 finlet pada bagian perut Departemen Pertanian (1993) (Gambar 2).

Ukuran panjang ikan cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan. Collette dan Nauen (1983) melaporkan bahwa ukuran fork length maksimum ikan cakalang dapat mencapai hingga 108 cm dengan berat 32,5-34,5 kg dengan ukuran yang umum tertangkap 40-80 cm dengan berat 8-10 kg. Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering hidup bergerombol dan secara bersamaan melakukan ruaya di sekitar pulau maupun jarak jauh. Ikan cakalang mencari makan berdasarkan penglihatan yang rakus terhadap mangsanya. Ikan cakalang luar biasa rakus pada pagi hari, kemudian menurun pada tengah hari dan meningkat pada waktu senja (Ayodhyoa, 1981).

Lebih jauh Matsumoto (1974) mengemukakan bahwa ikan cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm. Setiap kali memijah cakalang dapat menghasilkan 1.000.000 – 2.000.000 telur. Fekunditas meningkat dengan meningkatnya ukuran tetapi sangat bervariasi, jumlah telur permusim pada ikan betina dengan ukuran fork length 41-48 cm antara 8.000 – 2.000.000 telur.

Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan khatulistiwa, antara musim semi sampai awal musim gugur di daerah sub tropis, dan waktu pemijahan akan semakin pendek dengan semakin jauh dari khatulistiwa. Pemijahan cakalang sangat dipengaruhi oleh perairan panas, sebagian besar larva cakalang ditemukan di perairan dengan suhu di atas 24,00oC (Matsumoto, 1974). Musim pemijahan cakalang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad dan ditemukannya larva di perairan tersebut. Perbedaan ukuran cakalang pertama kali matang gonad dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur serta kecepatan pertumbuhan (Nikolsky, 1963).

(3)

Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata

Subphylum : Vetebrata Class : Fisces

Sub class : Teleostei

Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Scombroidea

Family : Scombridae Genus : Euthynnus

Species : Euthynnus affinis

Gambar 3 Ikan tongkol (Euthynnus affinis).

Ciri-ciri morfologis ikan tongkol (Euthynnus affinis), adalah sebagai berikut : 1. Bentuk badan memanjang seperti cerutu atau torpedo.

2. Memiliki dua sirip punggung, yaitu sirip punggung pertana berjari-jari keras 15 dan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 13, diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahang. Sirip dubur berjari-jari lemah 14, diikuti 6-8 jari-jari tambahang dan terdapat dua lidah/cuping (interpelvic process) diantara sirip perutnya. 3. Badan tanpa sisik, kecuali pada bagian korselet dan bagian rusuknya. 4. Pada batang ekornya, terdapat satu lunas kuat yang diapit dua lunas kecil. 5. Ukuran dapat mencapai panjang 100 cm, tetapi umumnya antara 50-60 cm. 6. Tubuh bagian atas berwarna biru kehitaman serta berwarna putih dan perak

dibagian bawahnya.

7. Terdapat ban-ban hitam yang menyerong dan bergelombang, pada bagian atas garis rusuknya, serta noktah-noktah hitam diantara sirip dada dan perut.

Tongkol ini, tergolong ikan pelagis besar perenang cepat dengan daerah penyebaran terutama di Samudera Indonesia, Indonesia Timur, Selat Benggala, Teluk Siam, Laut Cina Selatan, Philipina dan perairan Utara Australia (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).

2.3 Tingkah Laku Serta Penyebaran Ikan Cakalang dan Tongkol

Distribusi ikan cakalang dan tongkol di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari

(4)

lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fosiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan.

Kedalaman renang ikan cakalang dan ikan tongkol bervariasi tergantung jenisnya, umumnya ikan cakalang dan tongkol dapat tertangkap di kedalaman 0–40 meter, penyebarannya di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Ikan cakalang umumnya ditemukan di atas lapisan termoklin (Laevastu dan Hela, 1970)

Ikan cakalang dan tongkol banyak ditemukan pada perairan dengan kecerahan tinggi, dimana mangsanya terlihat jelas. Usaha perikanan cakalang dan tongkol sangat baik dilakukan di perairan dengan tingkat kecerahan 15 meter sampai 35 meter. Di perairan Indonesia Timur tingkat kecerahan dibeberapa fishing ground berkisar antara 10-30 meter (Blackburn,1965).

Blackburn (1965) menyatakan bahwa tuna dan cakalang ditemukan di sekitar perairan bebas dengan SPL berkisar antara 28,00-30,00oC dan salinitas 32-35‰. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada SPL 27,00-30,00oC

Nikolsky (1963) diacu dalam Tadjuddah (2005) menyatakan bahwa sebab cakalang mengadakan migrasi secara bergerombol (schooling) karena mencari perairan yang kaya akan makanan, mencari tempat untuk memijah dan terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan perairan seperti SPL, salinitas dan arus. Pola migrasi untuk tiap perairan berbeda, di laut Pasifik Utara ikan cakalang bermigrasi pada musim panas ke perairan lain yang terdapat arus Equatorial utara dan ada juga yang bermigrasi ke utara-selatan dalam arus Kuroshio.

2.4 Parameter Oseanografi

Parameter oseanografi baik fisik, kimiawi maupun biologi yang berpengaruh pada penyebaran ikan dan kegiatan penangkapan ikan antara lain : suhu perairan, baik SPL atau sebaran suhu secara vertikal, salinitas, dan jumlah klorofil-a.

(5)

2.4.1 Suhu permukaan laut (SPL)

Gunarso (1985) menyatakan bahwa SPL optimum untuk penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 28,00-29,00oC. Fluktuasi SPL dan perubahan geografis merupakan faktor penting dalam merangsang dan menentukan pengkonsentrasian schooling ikan. SPL memegang peranan dalam penentuan daerah penangkapan ikan.

Menurut Laevastu dan Hela (1970) untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan :

(1) Suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan. (2) Pengamatan hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan

mengenai isotermal permukaan.

(3) Perubahan keadaan hidrografi harus dapat diramalkan.

SPL berpengaruh langsung terhadap kehidupan di laut. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya metabolisme dan siklus reproduksi ikan mempunyai kisaran suhu optimum untuk hidupnya. Pengetahuan tentang SPL optimum ini akan bermanfaat dalam peramalan keberadaan schooling ikan, sehingga dapat dengan mudah dilakukan operasi penangkapan.

Menurut Nontji (1987) sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia umumnya mempunyai pola seperti Gambar 4. Pada dasarnya penyebaran suhu secara vertikal dibedakan atas tiga lapisan yaitu lapisan homogen hangat (bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan dingin (bagian bawah). Lapisan termoklin merupakan lapisan antara massa air permukaan yang lebih hangat dengan massa air yang lebih dingin di bawahnya. Lapisan termoklin yang terdapat di bawah lapisan homogen ditandai oleh penurunan suhu yang cepat terhadap kedalaman. Penurunan suhu ini mengakibatkan densitas air meningkat, sehingga lapisan termoklin ini adalah daerah yang mempunyai densitas yang sangat kuat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketebalan lapisan termoklin ini seperti : pertukaran bahang, percampuran massa air oleh gelombang, pergerakan massa air secara mendatar dan gelombang dalam (Hela dan Laevestu, 1970).

Secara alami SPL merupakan lapisan hangat, karena mendapat radiasi sinar matahari pada siang hari. Akan tetapi karena pengaruh angin, pada lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 meter terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28,00oC) yang homogen, sehingga

(6)

lapisan tersebut juga lapisan homogen. Lapisan permukaan umumnya memiliki ketebalan kedalaman tertentu sebelum mencapai lapisan yang lebih dingin di bawahnya (Gambar 4).

A. Lapisan Homogen Hangat (0-100m), B. Lapisan termoklin (100-200m), C. Lapisan Homogen Dingin (diatas 200m).

Gambar 4 Sebaran vertikal suhu secara umum di Indonesia (Nontji, 1987). Suhu optimum berbagai jenis hewan air berbeda-beda tergantung pada spesies, daerah tempat hidup yang dipengaruhi oleh faktor fisika, kimia dan biologi. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk kehidupannya. Dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, maka akan dapat diduga keberadaan suatu schooling ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan (Hela dan Laevestu, 1970).

SPL dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena sebagian besar organisme bersifat poikitermik. Tinggi rendahnya SPL pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi matahari. Perubahan intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Hela dan Laevestu, 1970).

SPL merupakan salah satu parameter penting dari sumberdaya hayati laut (ikan). Setiap jenis spesies ikan mempunyai suhu optimum dan mempunyai keterbatasan toleransi terhadap perubahan suhu yang ada (Laevestu dan Hayes, 1970). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan dapat merasakan terjadinya perubahan suhu yang lebih kecil dari 0,1oC. Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme ikan yang lebih lanjut akan mempengaruhi aktivitasnya.

Ked a la man ( m )

(7)

Upwelling dan keberadaan front merupakan kondisi laut yang dapat dideteksi dengan penginderaan jauh. Upwelling merupakan penaikan massa air dari bawah lapisan afotik, yang umumnya bersuhu lebih rendah dan kaya akan zat-zat hara, menuju lapisan permukaan. Kombinasi antara adanya cahaya matahari dengan zat-zat hara ini akan meningkatkan kesuburan perairan tersebut, dimana produksi dari fitoplankton meningkat. Keberadaan perairan yang bersuhu lebih rendah daripada perairan di sekitarnya ini, akan dengan mudah terdeteksi oleh sensor satelit. Fenomena upwelling ini kemungkinan bersifat sporadis, tetapi biasanya terjadi secara teratur dengan adanya pengaruh musim (Laevestu dan Hayes, 1970).

2.4.2 Klorofil-a

Konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Konsentrasi terbesar produktivitas primer berada di perairan pantai melebihi 60% dari produktivitas primer yang ada dilaut (Nontji, 2002).

Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis. Produktivitas primer lingkungan perairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktivitas primer perairan laut terbuka. Menurut Nybakken (1992), produktivitas primer perairan pantai sepuluh kali lipat produktivitas primer perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan lepas pantai. Perairan pantai menerima sejumlah besar unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalam bentuk PO4 dan NO3 melalui run off (aliran air) dari daratan.

Laju produktivitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat itu di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrient di perairan lebih kecil (Amri, 2002).

Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dapat menghasilkan senyawa seperti

(8)

karbohidrat. Kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer (Nontji, 2002). Oleh karena itu kandungan klorofil-a dalam perairan merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan (Yamaji, 1966). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan.

Laut Arafura terkenal memiliki tingkat kesuburan yang tinggi sehingga mendukung untuk dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan. Tingginya kesuburan perairan ini berhubungan dengan proses upwelling musiman dan juga masukan zat-zat hara melalui aliran-aliran sungai menuju laut (Wirtky, 1961 dan Gaol, 2006). Zat-zat hara ini menjadi sumber nutrien bagi pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton. Selanjutnya kelimpahan fitoplankton ini dapat digunakan sebagai indikator kelimpahan stok ikan.

2.5 Satelit Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji. Penginderaan jauh secara umum didefinisikan sebagai sistem untuk memperoleh informasi melalui analisis terhadap data/informasi yang dikumpulkan oleh sensor dengan tanpa adanya kontak langsung dengan obyek yang dideteksi dimana informasi yang didapatkan dapat digunakan untuk menentukan sifat alami dan sifat dasar dari suatu obyek (Lillesand dan Kiefer, 1987).

2.5.1 Citra satelit

Citra satelit dapat digunakan untuk pengamatan kondisi oseanografi suatu perairan secara multi temporal dan multi spasial di suatu wilayah perairan yang cukup luas dan waktu yang bersamaan. Kondisi oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain SPL, kandungan klorofil-a, arus serta paras laut. Citra SPL diperoleh dari sensor termal, kandungan klorofil-a dari sensor optik, sedangkan arus dan paras laut dari sensor radar. Citra SPL dapat dihasilkan dari berbagai sensor termal yang dibawa oleh berbagai satelit penginderaan jauh, seperti NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometry) dikembangkan metode multi kanal, dengan menggunakan kombinasi tiga kanal yaitu kanal 3, 4

(9)

dan 5 (triple window) dan metode kombinasi dua kanal yaitu kanal 4 dan 5 (split window). Metode split window dapat diterapkan untuk estimasi SPL siang dan malam hari, sedangkan untuk metode triple window hanya dapat digunakan pada pengamatan malam hari (McClain, et al, 1985).

Citra SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan (Hasyim dan Priyanti, 1999). Penelitian tentang pengukuran parameter oseanografi baik skala global maupun mesoscale telah dilakukan LAPAN semenjak tahun 1980-an, antara lain pengamatan suhu permukaan laut dengan menggunakan kanal infra merah jauh dari data satelit NOAA-AVHRR (Hasyim, 2003). Penelitian tersebut telah diimplememtasikan juga menentukan fishing ground (daerah penangkapan ikan).

2.5.2 Satelit aqua MODIS

Aqua, yang dalam bahasa latin berarti air, adalah suatu satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan NASA (National Aeronautics and Space Administration), yang mempunyai misi mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer, awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di laut, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang juga diukur oleh Aqua antara lain aerosol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air (Graham, 2005).

Sumber : Remote Sensing Tutorial Section 16

Gambar 5 Satelit aqua.

Satelit Aqua membawa sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Specctroradiometer) yang mempunyai 36 kanal spektral dengan kisaran panjang

(10)

gelombang antara 0,4 µm sampai 14,4 µm. Dua kanal ada pada resolusi spasial 250 m (kanal 1 – 2), lima kanal pada 500 m (kanal 3 – 7) dan sisanya 29 kanal pada 1000 m (kanal 8 – 36) Maccherone (2005). Satelit Aqua dapat dilihat pada Gambar 5 dan kegunaan utama dan panjang gelombang kanal sensor MODIS dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kegunaan utama dan panjang gelombang kanal sensor MODIS.

Kegunaan utama Kanal Panjang gelombang

(nm)

Darat / Awan / Aerosols Boundaries 1 620 – 670

2 841 – 876

Darat / Awan / Aerosols Boundaries

3 459 – 479

4 545 – 565

5 1230 – 1250

6 1628 – 1652

7 2105 – 2155

Ocean Color / Fitoplankton / Biogeokimia

8 405 – 420 9 438 – 448 10 483 – 493 11 526 – 536 12 546 – 556 13 662 – 672 14 673 – 683 15 743 – 753 16 862 – 877

Atmospheric Water Vapor

17 890 – 920

18 931 – 941

19 915 – 965

Surface / Cloud Temperature

20 3660 – 3840 21 3929 – 3989 22 3929 – 3989 23 4020 – 4080 Atmospheric Temperature 24 4433 – 4498 25 4482 – 4549

Cirrus Clouds Water Vapor

26 1360 – 1390

27 6535 – 6895

28 7175 – 7475

Cloud Properties 29 8400 – 8700

Ozone 30 9580 – 9880

Surface / Cloud Temperature 31 10780 – 11280

32 11770 – 12270

Cloud Top Altitude

33 13185 – 13485

34 13485 – 13785

35 13785 – 14085

36 14085 – 14385

Sumber : Maccherone, 2005

Instrumen MODIS telah didesain dan dikembangkan sejak proyek Engineering Model (EM) selesai dilaksanakan pada pertengahan 1995. kemudian, dua unit pesawat luar angkasa, Protoflight Model (PFM) yang membawa satelit Terra dan Flight Model 1 (FM 1) yang membawa satelit Aqua telah selesai dan diluncurkan. MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 dibawa oleh satelit Terra yang spesifikasinya lebih ke daratan.

(11)

Lalu, pada tanggal 4 mei 2002 diluncurkan MODIS yang dibawa oleh satelit Aqua dan spesifikasinya lebih ke lautan (Maccherone, 2005).

2.5.3 Aplikasi penginderaan jauh dalam pendeteksian klorofil-a

Penginderaan jauh warna air laut adalah salah satu cara untuk mengetahui keadaan laut dan proses-proses yang terjadi di dalamnya berdasarkan nilai konsentrasi dari water-leaving radiance yang merupakan hasil interaksi antara radiasi sinar matahari dan perairan yang diterima oleh satelit (Hendiarti, 2003).

Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Pada sistem penginderaan jauh warna air laut terjadi transper radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit yang disajikan pada Gambar 6. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, melekul udara dan aerosol. Kemudian, sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan dari dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan Siegel low diacu dalam Hendiarti (2003).

Perambatan (transmisi) warna-warna sinar di dalam air sangat dipengaruhi oleh sifat optik dan material-material yang terlarut di dalamnya (Barmes, 1988). Untuk melakukan pengukuran kualitas air, Robinson (1991) membagi perairan menjadi dua kelompok berdasarkan sifat optisnya, yaitu perairan kasus satu dan perairan kasus dua. Pada saat mengirimkan informasi kembali ke satelit juga akan dipengaruhi oleh atmosfer. Jumlah radiasi yang diterima oleh sensor secara metematis dapat digambarkan sebagai berikut (Jerlov dan Nielsen, 1974 diacu dalam Hendiarti, 2003) :

Lt = (Ta* (Lw + Lr)) + La + Lm

Keterangan : Lt = radiasi yang diterima oleh sensor satelit Ta = transmisivitas atmosfer

Lr = radiasi dari permukaan laut Lw = radiasi dari kolom perairan La = radiasi dari aerosol

(12)

Sumber : Modifikasi dari Siegel low diacu dalam Hendiarti (2003)

Gambar 6 Sistem penginderaan jauh warna air laut.

Perairan kasus satu adalah perairan yang sifat optisnya didominasi oleh fitoplankton. Perairan ini biasanya ditemukan di perairan lepas pantai yang tidak dipengaruhi zona perairan dangkal dan sungai (Gaol, 1997). Untuk perairan kasus dua lebih banyak didominasi oleh fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Pada perairan yang dangkal, pantulan darai dasar perairan juga berpengaruh terhadap pantulan pada permukaan perairan (Jerlov dan Nielsen, 1974 diacu dalam Hendiarti, 2003).

Spektrum sinar yang penting untuk tumbuhan laut adalah sinar tampak yang memiliki panjang gelombang 400 nm – 720 nm atau disebut juga sebagai Photosynthetically Available Radiation (PAR). Spektrum ini hampir sama dengan spektrum cahaya tampak (visible light) yaitu 360 nm – 780 nm (Parson et al, 1977 diacu dalam Gaol, 1997). Fitoplankton mengandung klorofil-a, pigmen fotosentesis dominan yang mengabsorbsi kuat energi pada panjang gelombang biru dan merah sinar tampak (Lo, 1996). Menurut Curran (1985), klorofil-a menyerap cahaya dengan baik pada panjang gelombang 430 nm dan 660 nm. Pantulan maksimum terjadi pada kanal hijau, karena klorofil-a sangat sedikit menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada kanal ini.

Lw

Aerosol La

Melekul Lm

Matahari

Air laut, Material tersuspensi, substansi terlarut Absorbsi a, Hamburan b. Ta Lt = (Ta * (Lw + Lr)) + La +Lm Lw + Lr Rw ≈ 0,33 bc.2 Lr

(13)

Penelitian mengenai klorofil-a telah banyak dilakukan oleh berbagai peneliti dengan menggunakan data satelit. Menurut Prasasti, et al (2003), untuk menentukan nilai konsentrasi klorofil-a dari satelit Terra MODIS diekstraksi dari rasio kanal 9 dengan kanal 12. Kanal 9 (443 nm) bekerja pada daerah sinar biru, sedangkan kanal 12 (551 nm) bekerja pada sinar hijau. Penyerapan energi olah klorofil-a pada kanal 9 adalah tinggi yang mengakibatkan pantulan pada kanal ini rendah. Oleh karena itu, jika rasio antara reflektansi panjang gelombang 443 nm dengan 551 nm rendah, maka konsentrasi klorofilnya tinggi.

Amri (2002) menggunakan citra satelit SeaWiFs untuk menentukan sebaran klorofil-a di perairan Selat Sunda pada musim barat, peralihan barat-timur, musim timur dan peralihan timur-barat. Sebaran klorofil-a pada musim barat sangat rendah berkisar antara 0,1 mg/m3 – 1 mg/m3. Pada musim peralihan barat-timur sebaran klorofil-a lebih besar daripada musim barat yaitu antara 0,8 mg/m3 – 2 mg/m3. Sebaran klorofil-a semakin tinggi pada musim timur yaitu konsentrasinya berkisar antara 0,8 mg/m3 – 3,5 mg/m3. Pada musim peralihan timur-barat besarnya kosentrasi klorofil-a berkisar antara 0,8 mg/m3 – 3 mg/m3.

2.5.4 Aplikasi penginderaan jauh untuk penentuan SPL

SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan, dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan. Daerah yang mempunyai fenomena-fenomena tersebut umumnya merupakan perairan yang subur. Dengan diketahuinya daerah perairan yang subur tersebut maka daerah penangkapan ikan dapat diketahui. Penentuan SPL dari satelit pengukuran dilakukan dengan radiasi infra merah pada panjang gelombang 3 µm – 14 µm. Pengukuran spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan laut sampai kedalaman 0,1 mm (Hasyim, 1999 dan Priyanti, 1999).

Penelitian tentang sebaran SPL pada awalnya menggunakan kanal infra merah jauh dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Athmosphere and Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer) yang terdiri dari 5 kanal. Namun dengan diluncurkannya satelit baru, yakni satelit AQUA yang membawa sensor multi spektral MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer), pengamatan tersebut dicoba dengan menggunakan citra MODIS. Data MODIS terdiri dari 36 kanal/band spectral dengan kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran gelombang visible dan infra merah dekat, sedangkan

(14)

kanal-kanal selebihnya berada pada kisaran gelombang thermal. Dengan banyak kanal yang dipunyai oleh data tersebut yang mencakup kanal dari satelit NOAA, SeaWifs, Landsat dan sebagainya, maka dapat digunakan untuk menentukan/mengukur parameter dari permukaan laut hingga ke atmosphere seperti mengukur SPL, konsentrasi klorofil, kandungan uap air dan sebagainya (Mustafa, 2004).

2.5.5 Aplikasi SIG dalam bidang kelautan dan perikanan

Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang sering dilontarkan nelayan antara lain dimana ikan berada dan kapan bisa ditangkap dalam jumlah yang berlimpah. Meskipun sulit mencari jawabannya, pertanyaan penting itu perlu dicari solusinya. Hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah habitat ikan tidak menentu akan mempunyai konsekuensi yang besar yaitu memerlukan biaya BBM yang besar, waktu dan tenaga nelayan. Dengan mengetahui dimana ikan bisa tertangkap dalam jumlah yang besar tentu saja akan menghemat biaya operasi penangkapan, waktu dan tenaga (Zainuddin, 2006).

Sistem informasi geografis (SIG) digolongkan ke dalam sistem informasi spasial dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuan perikanan untuk kegiatan pengelolaan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall, 2006).

Salah satu alternatif yang menawarkan solusi terbaik adalah mengkombinasikan kemampuan SIG dan penginderaan jauh (inderaja) kelautan. Dengan teknologi inderaja faktor-faktor lingkungan laut yang mempengaruhi distribusi, migrasi dan kelimpahan ikan dapat diperoleh secara berkala, cepat dan dengan cakupan area yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain SPL, konsentrasi klorofil-a, perbedaan tinggi permukaan laut, arah dan kecepatan arus dan tingkat produktivitas primer. Ikan dengan mobilitasnya yang tinggi akan lebih mudah dilacak disuatu area melalui teknologi ini karena ikan cenderung berkumpul pada kondisi lingkungan tertentu seperti adanya peristiwa upwelling, dinamika arus pusaran (eddy) dan daerah front gradient pertemuan dua massa air yang berbeda baik itu salinitas, suhu atau klorofil-a (Zainuddin, 2006).

Pengetahuan dasar yang dipakai dalam melakukan pengkajian adalah mencari hubungan antara spesies ikan dan faktor lingkungan disekelilingnya. Dari hasil analisa ini akan diperoleh indikator oseanografi yang cocok untuk ikan

(15)

tertentu. Sebagai contoh ikan albacore tuna di laut utara Pasifik cenderung terkonsentrasi pada kisaran suhu 18,5-21,5oC dan berassosiasi dengan tingkat klorofil-a sekitar 0,3 mg/m3 (Zainuddin, et al, 2006). Selanjutnya output yang didapatkan dari indikator oseanografi yang bersesuaian dengan distribusi dan kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG. Data indikator oseanografi yang cocok untuk ikan perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan sangat mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter lingkungan saja, tapi berbagai parameter yang saling berkaitan.

Dengan kombinasi SIG, inderaja dan data lapangan akan memberikan banyak informasi spasial misalnya dimana posisi ikan banyak tertangkap, berapa jaraknya antara fishing base dan fishing ground yang produktif serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini akan memberikan gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan dimana bisa mendapatkan banyak ikan (Zainuddin, 2006).

Gambar

Gambar 2  Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis).
Gambar 3 Ikan tongkol (Euthynnus affinis).
Gambar 4 Sebaran vertikal suhu secara umum di Indonesia (Nontji, 1987).
Gambar 5 Satelit aqua.
+2

Referensi

Dokumen terkait

keterkaitan antara dinamika kondisi oseanografi (suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil- a , dan kedalaman perairan) terhadap distribusi ikan cakalang secara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selektivitas drift gillnet dengan pendekatan bio-teknik, sebaran kelas fork length, ukuran girth (preopercullum, opercullum, max body

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur ukuran pada masing-masing musim, ukuran pertama kali matang gonad dan ukuran layak tangkap ikan cakalang di perairan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi morfometri ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dari kelas panjang yang terdapat di perairan Prigi dan kebiasaan makan (food

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk distribusi pemasaran dan menganalisis nilai margin pemasaran, fisherman’s share dan efisiensi pemasaran pada setiap

1) Setiap cawan akan dihitung apabila mengandung jumlah koloni antara 30 sampai 300 atau berjumlah sekitar 300. 3) Satu kumpulan rantai koloni yang terlihat seperti

Kandungan lemak erat kaitannya dengan kandungan protein dan kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar

Dengan mengetahui distribusi suhu permukaan laut suatu wilayah perairan, akan dapat diamati pola serta fenomena upwelling/front , untuk kemudian dapat diestimasi daerah