• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Hasil Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian Ikhsan Nuzullah Pada 2012. Dengan judul (Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: Studi Kasus atas Masyarakat Kedung Kandang Malang) Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa ziarah kubur merupakan anjuran Rasulullah SAW. Penelitian ini memfokuskan pada tiga hal yaitu : (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap ziarah kubur? (2) Apakah motivasi yang mendorong masyarakat melakukan ziarah kubur? (3) Bagaimanakah tata cara pelaksanaan ziarah kubur?.

Menurut beberapa teori bahwa persepsi orang melakukan ziarah kubur adalah : (1) Untuk mendapatkan keselamatan, (2) Adanya tradisi yang ada di masyarakat (3) Menjadi ajang bisnis. Adapun motivasi orang berziarah kubur adalah : (1) Untuk mengingat kematian, (2) Mendoakan orang yang sudah meninggal tersebut, (3) Adanya keyakinan bahwa ziarah kubur dapat mendatangkan ketenangan batin dan (4) Sebagai ibadah kepada Allah SWT. Sedangkan tata cara pelaksanaan ziarah kubur ialah : (1) Bertindak sopan di area perkuburan, (2) Mendoakan orang yang meninggal itu dan (3) Mengucapkan salam.

(2)

Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif lapangan dengan jenis penelitian studi kasus. Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat Kedung Kandang yang diambil lewat sampel. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis data adalah analisis tematik. Dari hasil data dilapangan ditemukan bahwa persepsi masyarakat Kedung Kandang terhadap ziarah kubur adalah : (1) Sebagai kegiatan mendatangi kuburan, (2) Mendoakan orang yang meninggal itu dan (3) Sebagai ibadah kepada Allah SWT. Adapun motivasi masyarakat Kedung Kandang melakukan ziarah kubur adalah : (1) Mencari keberkahan, (2) Berharap hajatnya segera dikabulkan Oleh Allah, (3) Mendoakan orang yang meninggal itu, (4) Untuk mengingat kematian, (5) Mencari ketenangan batin dan (6) Untuk mengatasi problematika hidup.

Sedangkan tata cara yang dilakukan oleh masyarakat Kedung Kandang dalam melakukan ziarah kubur adalah : (1) Membersihkan badan sebelum ziarah, (2) Suci dari hadast najis, (3) Mengucapkan salam, (4) Tawasul kepada Rasulullah, sanak kerabat dan orang yang meninggal itu sendiri, (5) Membaca beberapa surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, Tahlil dan Yasin dan (6) Membaca doa.

Penelitian kedua di lakukan oleh Agustina Wina Anggreani Pada 2013. Dengan Judul Komunikasi Transendental Ayam Abu-Abu (Studi Etnografi Siswa Sekolah lanjutan Tingkat Atas di Surabaya). Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

(3)

Kata Kunci : Komunikasi Transendental, Ayam Abu-Abu, Tindakan Sosial, Interaksi Simbolik. Ada satu persoalan yang hendak dikaji dalam skripsi ini, yaitu: bagaimana pola komunikasi ayam abu-abu yang terjadi pada siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Surabaya. Dengan fokus masalah yaitu: (1) bagaimana komunikasi interpersonal siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Surabaya yang beraktifitas sebagai ayam abu-abu, (2) Bagaimana komunikasi transendental siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Surabaya yang beraktifitas sebagai ayam abu-abu.

Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian kualitatif dengan metodologi etnografi yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam masyarakat dengan realitas yang utuh dan menyeluruh dengan memahami cara orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena yang teramati dalam kehidupan sehari-hari, kemudian menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi partisipan, wawancara, dan dokumen yang terkait untuk di analisis dan interpretasi sesuai acuan dan nilai.

Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa (1) komunikasi interpersonal yang terjadi dalam lingkungan sosial ayam abu-abu, sangatlah bervariatif sesuai dengan makna yang terkandung di lingkungan tersebut bagi mereka. Sebagian besar mereka ramah, sopan, humanis, peduli, penurut dan terkadang menjadi pendiam atau tertutup berdasarkan makna lingkungan yang mereka peroleh tidak sesuai dengan kebutuhan atau keinginan biologisnya, (2) komunikasi

(4)

transendental yang terjadi dalam dialek batin ayam abu-abu dilakukan dengan media shalat, puasa, doa, dzikir, dan sedekah yang mereka anggap dapat menebus sedikit dosanya kepada tuhan, sebab mereka telah menjalankan salah satu perintah Nya walaupun tidak rutin, dan meskipun mereka merasa kotor namun mereka memiliki keyakinan kuat bahwa tuhan pasti menerim amal ibadahnya dan memahami keadaan hambanya. Beberapa saran yang dapat dijadikan pertimbangan mengenai hasil penelitian ini adalah (1) diharapkan dapat menciptakan serta menumbuhkan nilai-nilai sosial di kalangan pelajar yang secara fikir atau perilaku mengakui adanya budaya, norma dan etika yang harus dijunjung tinggi, (2) memberikan masukan kepada keluarga dan pihak sekolah untuk melakukan hubungan interaksi sosial dan perhatian yang baik serta harmonis sehingga komunikasi dapat berjalan efektif, (3) diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan secara teoritis dan dapat menjadi acuan untuk riset berikutnya.

Penelitian ketiga yaitu yang di lakukan oleh Adip Nidyo pada 2013 Dengan Judul Komunikasi Transendental dan Pergeseran Nilai dalam Tradisi Upacara Sedekah Laut pada masyarakat nelayan di Sentolokawat Cilacap. Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunikasi transendental dan pergeseran nilai tradisi sedekah laut pada masyarakat nelayan dalam upacara sedekah laut di Sentolokawat, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap.

(5)

Penelitian ini dilakukan di Desa kebon jati atau Sentolokawat, Kelurahan Cilacap, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap. Fokus penelitian ini ada dua hal, yang pertama yaitu mengenai komunikasi transendental di dalam Upacara Ritual Sedekah Laut. Kemudian yang kedua akan diulas pergeseran nilai di dalam Upacara yang dilaksanakan kelompok nelayan Sentolokawat tersebut. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif, dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif yang ditempuh dengan beberapa metode yaitu metode observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut terdapat komponen-komponen komunikasi transendental yang berupa siapa, kepada siapa, isi pesan, media perantara, dan efeknya. Kemudian, di dalam Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut yang dilaksanakan masyarakat nelayan Sentolokawat sampai sekarang juga sudah mengalami pergeseran nilai. Pergeseran yang ada yaitu dari segi pemaknaan dan terhadap tradisi upacara adat tersebut. Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut yang dulunya dilaksanakan dengan khusyuk dan khidmat, seiring dengan bertambahnya pengetahuan masyarakat menyebabkan perlahan anggapan tersebut bergeser atau berubah sehingga tujuan masyarakat nelayan pun berubah sehingga tidak menjalankan Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut dengan khusyuk dan khidmat. Hal itu memang tidak terlihat apabila tidak didasarkan sebuah pengamatan secara mendalam. Untuk kedepannya, para masyarakat nelayan pelaku Upacara Ritual Sedekah laut di harapkan dapat memahami pentingnya Upacara Ritual Sedekah Laut sebagai salah satu kearifan lokal yang perlu dilestarikan.

(6)

2.1.2 Matrix Hasil Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan & Fokus

Penelitian Teori & Metode Hasil Penelitian Ikhsan Nuzullah (2012) Persepsi Masyarakat terhadap Ziarah Kubur: (Studi Kasus atas Masyarakat Kedung Kandang Malang) (1) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap ziarah kubur? (2) Apakah motivasi yang mendorong masyarakat melakukan ziarah kubur? (3) Bagaimanakah tata cara pelaksanaan ziarah kubur? Pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan Studi Kasus. Teknik pengumpulan data wawancara, observasi dan studi dokumentasi

(1) Sebagai kegiatan mendatangi kuburan, (2) Mendoakan si mayit dan (3) Sebagai ibadah kepada Allah SWT. Adapun motivasi masyarakat Kedung Kandang melakukan ziarah kubur adalah : (1) Mencari keberkahan, (2) Berharap hajatnya segera dikabulkan Oleh Tuhan, (3) Mendoakan si Mayit, (4) Untuk mengingat kematian, (5) Mencari ketenangan batin dan (6) Untuk mengatasi problematika hidup. Agustina Wina Anggreani (2013) Komunikasi Transendental Ayam Abu-Abu (Studi Etnografi Siswa Sekolah lanjutan Tingkat Atas di Surabaya) (1) bagaimana komunikasi interpersonal siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Surabaya yang beraktifitas sebagai ayam abu-abu, (2) Bagaimana komunikasi transendental siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di Surabaya yang beraktifitas sebagai ayam abu-abu. Pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan Studi etnografi, teori komunikasi transendental, interaksi simbolik dan tindakan sosial

(1) komunikasi interpersonal yang terjadi dalam lingkungan sosial ayam abu-abu, sangatlah bervariatif sesuai dengan makna yang terkandung di lingkungan tersebut bagi mereka. (2) komunikasi transendental yang terjadi dalam dialek batin ayam abu-abu dilakukan dengan media shalat, puasa, doa, dzikir, dan sedekah.

Adip Nidyo

(2013) Komunikasi Transendental dan Pergeseran Nilai dalam Tradisi Upacara Sedekah Laut pada masyarakat nelayan di Sentolokawat Cilacap (1) mengenai komunikasi transendental di dalam Upacara Ritual Sedekah Laut. (2) pergeseran nilai di dalam Upacara yang dilaksanakan kelompok nelayan Sentolokawat tersebut Pendekatan penelitian desktriptif dengan menggunakan studi kasus. Teori KT dan nilai

Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut terdapat komponen-komponen komunikasi

transendental yang berupa siapa, kepada siapa, isi pesan, media perantara, dan efeknya. Kemudian, di dalam Tradisi Upacara Ritual Sedekah Laut yang dilaksanakan masyarakat nelayan Sentolokawat sampai sekarang juga sudah mengalami pergeseran nilai. Pergeseran yang ada yaitu dari segi pemaknaan dan terhadap tradisi upacara adat tersebut.

(7)

2.2. Tinjauan Teoritis

2.2.1 Etnografi Komunikasi

2.2.1.1. Sejarah Kajian Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi adalah suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya. Etnografi komunikasi (ethnography of communication) merupakan pengembangan dari Etnografi berbicara (Ethnography of speaking), yang dikemukakan oleh Dell Hymes pada tahun 1962. Pengkajian Etnografi komunikasi ditujukan pada kajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu mengenai cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya.

Thomas R. Lindlof dan Briyan C. Taylor, dalam bukunya Qualitative

Communication Research Method, menyatakan “ Ethnografi of Communication

(EOC) conceptualizes communication as a countinous flow of information, rather

than as segmented exchanges message” (Lindlof & Taylor, 2002:44).

Dalam pernyataan tersebut, Lindof dan Taylor menegaskan bahwa konsep komunikasi merupakan arus informasi yang berkesinambungan, bukan sekedar pertukaran pesan antar komponennya semata. Etnografi komunikasi berakar pada istilah bahasa dan interaksi sosial dalam aturan penelitian kualitatif komunikasi. Penelitiannya mengikuti tradisi psikologi, sosiologi, linguisitik, dan antropologi. Etnografi komunikasi difokuskan pada kode-kode budaya dan ritual-ritual.

(8)

2.2.1.2. Definisi Etnografi

Istilah Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan grafhy (menguraikan), jadi etnografi yang dimaksud adalah usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek kebudayaan (Meleong, 1990:13). Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori etnografi, dan berbagai macam deskrifsi kebudayaan (Spardley, 1997:12).

Etnografi lazimnya bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya, baik yang material seperti artefak budaya (alat-alat, pakaian, bangunan, dan sebagainya) dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan, norma dan sistem nilai kelompok yang diteliti. Uraian tebal (thick description) merupakan ciri utama etnografi (Mulyana, 2003:161).

Etnografi komunikasi merupakan penerapan metode etnografis pada pola komunikasi yang bermakna baik menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal dalam sebuah kelompok. Di sini, seorang penafsir mencoba memberikan pengertian bagi beragam bentuk komunikasi yang digunakan oleh anggota kelompok atau budaya. Sebelum istilah etnografi komunikasi semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of

speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian pemakaian bahasa lisan. Etnografi

komunikasi menjadi lebih luas karena tidak hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking), tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing) serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan tubuh (kinesics), atau tanda (signing).

(9)

Istilah etnography of speaking awalnya diperkenalkan oleh seorang pakar antropologi dan sekaligus pakar linguistik Amerika, Dell Hymes. Hymes memprihatinkan karya para pakar antropologi dan linguistik yang melupakan wilayah komunikasi manusia yang luas dan penting. Para antropolog telah lama melakukan kajian etnografis tentang aspek-aspek budaya seperti sistem kekerabatan, pandangan tradisional tentang obat-obatan dan penyembuhan penyakit, persoalan bahasa diperlakukan di bawah aspek lain, yaitu sebagai sarana untuk memperoleh topik-topik lain dari bahasa. Banyak buku yang mengkaji tentang perbandingan agama, perbandingan politik dan sebagainya, tetapi tidak ada buku tentang perbandingan wicara dari berbagai suku. Para linguis, menurutnya juga terlalu mementingkan bahasa sebagai sistem abstrak. Mereka terpaku untuk memerikan dan menjelaskan struktur kalimat yang dianggap gramatikal oleh penutur asli. Namun, bagaimana orang menggunakan kalimat itu apakah berbeda dengan kalimat lain, apakah kalimat itu menyuruh orang lain, atau memamerkan ujaran saja, dianggap di luar perhatian teori linguistik. Menurut Hymes “para pakar ilmu sosial memisahkan diri dari isi tutur, dan kedua pakar itu memisahkan diri dari pola penggunaan tutur” (Hymes, 1974:126).

2.2.1.3. Metode Etnografi Untuk Penelitian Komunikasi

Metode Etnografi merupakan pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan, kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-asumsi

(10)

yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan proses-proses sosial yang lebih luas. Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penjelajahan kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks, keseluruhan cara hidup, yaitu dengan persoalan kebudayaan, dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk pengamatan pelibatan, wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah.

Kerja seorang peneliti dengan metode ini, sesuai dengan analogi yang dikemukakan Griffin adalah bagaikan seorang ahli geografi yang melakukan pemetaan. Pemetaan yang dilakukan peneliti adalah pemetaan sosial. Dalam melakukan pemetaan peneliti berupaya untuk bekerja holistik, terkontekstualisasi, menggunakan perspektif emik, serta menggunakan perspektif yang bersifat tidak menyatakan pendapat (non judgemental orientation) atas realitas yang diamati. Perspektif holistik berkenaan dengan asumsi bahwa seorang peneliti harus memperoleh suatu gambaran yang lengkap dan komprehensif tentang kelompok sosial yang diteliti.

Dalam pengkontekstualisasian data meliputi pengamatan ke dalam suatu perspektif yang lebih besar, misalnya dalam konteks politik, sejarah, ekonomi. Berkenaan dengan perspektif tersebut, maka peneliti dalam mengumpulkan data akan berangkat dari pandangan masyarakat setempat, meski tanpa harus mengabaikan analisis ilmiah si peneliti sendiri, sedangkan orientasi

(11)

nonjudgemental merupakan orientasi yang mendorong peneliti mengadakan eksplorasi tanpa melakukan penilaian yang tidak sesuai dan tidak perlu. Oleh karena itu peneliti harus berusaha untuk melihat budaya yang berbeda dengan budaya dia berasal tanpa membuat penilaian tentang praktek- praktek yang diamatinya itu. Dengan kata lain harus meninggalkan tindakan etnosentris.

2.2.2. Komunikasi Transendental

2.2.2.1. Pengertian Komunikasi Transendental

Transendental secara bahasa dalam istilah filsafat berarti suatu yang tidak dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas dari fenomena namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang. Dalam istilah agama diartikan suatu pengalaman mistik atau spiritual karenanya berada diluar jangkauan dunia.

Belakang ini, beberapa pakar komunikasi mencoba masuk ke wilayah asing tersebut, dengan mengembangkan disiplin baru dari ilmu komunikasi, yaitu komunikasi transendental (Transendental Communication). Prof. Dr. Hj. Nina Winangsih Syam, M.S., adalah salah satu pakar komunikasi yang mengembangkan komunikasi transendental tersebut. Menurut Guru Besar Fakultas Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (UNPAD) ini, komunikasi transendental memiliki akar keilmuan (landasan ilmiah) yang jelas, sebagai pondasi dalam membangun/mengembangkannya. Setidaknya ada lima disiplin ilmu yang dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah komunikasi transendental, yaitu filsafat Islam, filsafat metafisika, sosiologi fenomenologi, antropologi metafisik, dan psikologi transendental. (Winangsih, 2004 : 13)

(12)

Komunikasi transendental memiliki beberapa karakteristik, yang membedakannya dengan bentuk komunikasi lainnya. Adapun ciri-ciri komunikasi transendental, antara lain: fenomenal (Husserl, dalam Littlejohn, 1996:204), individual (Littlejohn, 1996:204), disadari, implisit / memenuhi syarat-syarat a priori, lived-World/holistik, spontan (Bakker, 2000:16), refleksi Second (Bakker, 2000:14), reduksi dari fenomena (Bakker, 2000:15).

2.2.2.2. Wilayah Penelitian Komunikasi Transendental

Secara formal akademik/ilmiah, penelitian komunikasi transendental (transendental) masih jarang (kalau tidak dikatakan tidak pernah) dilakukan, karena disiplin ilmu komunikasi transendental sendiri belum banyak dikenal di lingkungan akademik. Sebagai disiplin ilmu yang baru dikenal, komunikasi transendental tidak mungkin dapat melakukan penelitian secara mandiri tanpa partisipasi disiplin ilmu lainnya, seperti penelitian agama, penelitian komunikasi, penelitian sosiologi, dan penelitian-penelitian sosial maupun penelitian ilmu alam lainnya.

Komunikasi transendental menurut Prof. Nina Winangsih memiliki beberapa ciri, diantaranya: berjalan searah, bersifat tunggal, komunikasi bisa muncul secara individu dan kolektif, pesan bersifat religius, komunikasi bersifat abstrak, tujuan komunikasinya untuk beribadah dalam rangka mencapai taqwa. Penelitian fenomena komunikasi transendetal meskipun dapat dilakukan, tetapi tidak bisa meneliti secara utuh realitas atau unsur yang ada dalam komunikasi tersebut, terutama realitas tentang Allah SWT sebagai salah satu partisipan dari

(13)

komunikasi transendental. Terdapat beberapa aspek/wilayah yang dapat diteliti sekitar dinamika dan realitas komunikasi transendental.

Dalam proses komunikasi transendental banyak tersirat serta tersurat peluang dan wilayah penelitian yang dapat dilakukan oleh ilmuwan komunikasi. Banyak aspek komunikasi transendental yang dapat diteliti, misalnya partisipan komunikasi transendental, media komunikasi transendental, pesan komunikasi transendental, proses komunikasi transendental, feedback dan efek komunikasi transendental, serta aspek-aspek lainnya.

Manusia dan Allah SWT adalah dua partisipan (peserta) komunikasi transendental. Kedua peserta komunikasi ini memiliki karakter atau sifat realitas yang berbeda, dimana manusia dapat diamati (nyata dan kongkrit), sedangkan Allah SWT tidak dapat diamati secara langsung oleh panca indera peneliti (abstrak). Perbedaan sifat realitas dari kedua partisipan komunikasi transendental ini membuat cara meneliti keduanya pun berbeda. Penelitian tentang peserta komunikasi transendental hanya dapat meneliti tentang manusia. Bahkan realitas tentang manusia pun tidak dapat secara utuh diamati, karena sifat komunikasi transendental yang dilakukan oleh manusia yang sangat transenden dan private.

2.2.2.3. Bentuk dan Proses Komunikasi Transendental

Pernahkan Anda bersujud kepada Allah SWT di waktu shalat malam dan merasakan bahwa Allah SWT memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi, apakah Anda pernah mengetahui dengan persis apa yang akan terjadi pada diri sahabat Anda padahal Anda sedang tak berada dekat dengannya? Pernahkah Anda

(14)

merasakan ada sesuatu hal yang akan terjadi pada diri orang-orang yang Anda kasihi?

Apabila Anda pernah merasakan hal-hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Anda sedang menjalani sebuah komunikasi yang sifatnya transendental. Komunikasi Transendental secara teoritis dapat diartikan sebagai salah satu wujud berpikir mengenai bagaimana menemukan hukum-hukum alam dan keberadaan komunikasi manusia dengan Allah SWT atau antara manusia dengan kekuatan yang diluar kemampuan pikir manusia tahu keberadaannya dilandasi oleh rasa cinta (mahabbah) tanpa pamrih. Itulah sebabnya mengapa kita sering merasakan adanya firasat tertentu mengenai apa yang akan atau sedang terjadi pada orang-orang yang kita kasihi. Cinta tulus tanpa pamrih menjadi syarat dari munculnya komunikasi transendental.

Walaupun diakui eksistensinya oleh manusia, Komunikasi Transendental sangat dirahasiakan oleh manusia. Membicarakan eksistensi Komunikasi Transendental sendiri merupakan penemuan dari hasil interaksi manusia dan perenungan yang mendalam tentang penciptaanya. Penemuan manusia atas komunikasi transendental pada akhirnya dapat digunakan untuk mencari kebenaran sebagai pedoman hidup manusi di alam ciptaan Allah SWT yakni dunia. Melalui komunikasi transendental hidup manusia akan terasa tentram, damai, dan sejahtera karena dilandasi oleh rasa cinta tanpa pamrih sebagaimana cinta sang ibu kepada anaknya. Demikina pula rasa cinta kepada sang Pencipta dan kepada sesama manusia.

(15)

Proses komunikasi transendental bermula dari Allah (sumber dari segala sumber) kemudian memberikan pesannya kepada manusia. Pesan verbal (Al-Quran) diberikan oleh Allah lewat media-Nya Al-Quran melalui perantaraan Malaikat dan Nabi Muhammad, untuk diajarkan kepada manusia. Pesan nonverbal berupa wujud fisik dari alam yang secara langsung diperlihatkan kepada manusia. Pesan-pesan tersebut kemudian direspon oleh manusia dalam bentuk ibadah dan ingkar (kafir), dan Allah pun meresponnya dengan bentuk ganjaran (pahala dan dosa).

Dari proses komunikasi transendental yang berlangsung, banyak peluang (wilayah) penelitian yang bisa digarap oleh komunikasi transendental, baik pada tataran partisipan komunikasi transendental, medianya, feedback-nya, maupun efek dari komunikasi transendental tersebut. Semua realitas komunikasi transendental tersebut dapat diteliti dengan berkolaborasi bersama disiplin ilmu lainnya seperti antropologi, psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain sebagainya.

2.2.3. Interaksi Simbolik

2.2.3.1. Sejarah Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksi Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah

(16)

Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers. 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mahzab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West-Turner. 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

(17)

Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168). Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).

Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969 yang mencetuskan nama interaksi simbolik) dan mahasiswanya, Blumer melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George Harbert Mead (Ardianto. 2007: 135). Blumer beranggapan peneliti perlu meletakkan empatinya dengan pokok materi yang akan dikaji, berusaha memasuki pengalaman objek yang diteliti, dan berusaha untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki dari tiap individu. Pendekatan ilmiah dari Mahzab Chicago menekankan pada riwayat hidup, studi kasus, buku harian (Diary), autobiografi, surat, interview tidak langsung, dan wawancara tidak terstruktur.

(18)

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya (1950-1960an), dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis (Ardianto. 2007: 135). Kuhn yakin bahwa konsep interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab ini mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai ”konsep diri” (West-Turner. 2008: 97-98). Kuhn berusaha mempertahankan prinsip-prinsip dasar kaum interaksionis, dimana Kuhn mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu: (1) memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit; (2) untuk mewujudkan hal yang pertama maka beliau menggunakan riset kuantitatif, yang pada akhirnya mengarah pada analisis mikroskopis (LittleJohn. 2005: 279). Kuhn merupakan orang yang bertanggung jawab atas teknik yang dikenal sebagai ”Tes sikap pribadi dengan dua puluh pertanyaan [the

Twenty statement self-attitudes test (TST)]”. Tes sikap pribadi dengan dua puluh

pertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur berbagai aspek pribadi (LittleJohn. 2005: 281). Pada tahap ini terlihat jelas perbedaan antara Mahzab Chicago dengan Mahzab Iowa, karena hasil kerja Kuhn dan teman-temannya menjadi sangat berbeda jauh dari aliran interaksionisme simbolik. Kelemahan metode Kuhn ini dianggap tidak memadai untuk menyelidiki tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen penting dalam interaksi. Akibatnya, sekelompok pengikut Kuhn beralih dan membuat Mahzab Iowa ”baru”.

(19)

Mahzab Iowa baru dipelopori oleh Carl Couch, dimana pendekatan yang dilakukan mengenai suatu studi tentang interaksi struktur tingkah laku yang terkoordinir, dengan menggunakan sederetan peristiwa yang direkam dengan rekaman video (video tape). Inti dari Mahzab ini dalam melaksanakan penelitian, melihat bagaimana interaksi dimulai (openings) dan berakhir (closings), yang kemudian melihat bagaimana perbedaan diselesaikan, dan bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang telah menghambat pencapaian tujuan-tujuan interaksi dapat dijelaskan. Satu catatan kecil bahwa prinsip-prinsip yang terisolasi ini, dapat menjadi dasar bagi sebuah teori interaksi simbolik yang terkekang di masa depan (LittleJohn, 2005: 283).

Interaksi berarti bahwa para peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mencoba mencari arti maksud yang oleh pihak lain diberikan kepada aksinya, sehingga komunikasi dan interaksi dimungkinkan. Dengan demikian, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak saja, melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya.

Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan arti itu. Blumer mengatakan dan dikutip dalam buku “Semiotika Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut:

“Orang menimbang perbuatan masing-masing orang secara timbal-balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lain, melainkan menganyam perbuatan-perbuatan yang mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut sebagai transaksi, dalam arti bahwa perbuatan-perbuatan yang diasalkan dari masing-masing pihak diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka.” (Alex Sobur, 2006 : 195)

(20)

Istilah pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (gurunya Blumer) yang kemudian dimodifikasi Blumer untuk tujuan tertentu. Herbert Blumer, mahaguru Universitas California di Berkeley seperti dikutip Veeger (1993), telah berusaha memadukan konsep-konsep Mead ke dalam suatu teori sosiologi yang sekarang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik, sebuah ekspresi bahkan tidak pernah digunakan oleh Mead sendiri. Blumer menyebutnya istilah tersebut sebagai “a somewhat barbaric neologism that I

coined in an offhand way… The term somehow caught on” (sebuah kata baru

kasar yang aku peroleh tanpa pemikiran… Istilah yang terjadi begitu saja).

Mead mengembangkan teori interaksi simbolik tahun 1920-an dan 1930-an ketika menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Kemudian Herbert Blumer pada 1937 mempopoulerkannya di kalangan komunitas akademik.

Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik dan dikutip dalam buku “Semiotika Komunikasi” karya Alex Sobur Masing-masing hal tersebut mengidentifikasi sebuah konsep sentral mengenai tradisi yang dimaksud, yakni:

1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Presepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.

(21)

2. Berbagai makna dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Makna muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. 3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.

4. Tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, namun juga dilakukan secara sengaja.

5. Pikiran terdiri atas sebuah percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.

6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.

7. Kita tidak bisa memahami pengalaman seseorang individu dengan mengamati tingkah lakunya saja. Pemahaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui. (Alex Sobur, 2006 : 196-197)

Esensi interaksi simbolik menurut Mulyana dan dikutip dalam bukunya Alex Sobur, yang berjudul “Semiotika Komunikasi”, adalah: “Suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manuisa, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna.” (Sobur, 2006 : 197)

Menurut Engkus Kuswarno, dalam bukunya “Etnografi Komunikasi” mengatakan bahwa:

“Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antara individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan.Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat.Interaksi

(22)

yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.” ( Engkus Kuswarno, 2011 : 22)

Adapun menurut Deddy Mulyana interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” bahwa:

“Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010:71)

Pemikiran Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosiologi. Bahkan Blumer memiliki pengaruh cukup luas dalam berbagai riset sosial. Selain itu Blumer pun berhasil mengembangkan interaksionisme simbolik sampai pada tingkat metode yang cukup rinci. Teori interaksionosme simbolis yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama dan dikutip dalam buku yang berjudul “Semiontika Komunikasi” karya Alex Sobur, sebagai berikut: 1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. (Alex Sobur, 2006 : 199)

(23)

Dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” karya Deddy Mulyana, secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis berikut:

“Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71-72)

Interaksi simbolik dalam pembahasanya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi. Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolingusitik dan ilmu komunikasi.

2.2.4. Komunikasi Antar Pribadi

Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication

Book, komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan

pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and

receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback). (Devito, 1989 : 4)

Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A. Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu:

a. Keterbukaan (openness)

Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.

(24)

Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar.

Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.

b. Empati (empathy)

Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan

(25)

keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.

c. Dukungan (supportiveness)

Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik.

d. Rasa Positif (positiveness)

Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.

e. Kesetaraan (equality)

Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain. (Liliweri, 1991: 13)

Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses saling mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antarmanusia yang memiliki suatu pribadi.

(26)

Berdasarkan definisi Devito, maka komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi secara dialogis, dimana saat seorang komunikator berbicara maka akan terjadi umpan balik dari komunikan sehingga terdapat interaksi. Dalam komunikasi dialogis, baik komunikator maupun komunikan, keduanya aktif dalam proses pertukaran informasi yang berlangsung dalam interaksi.

2.2.4.1 Peranan, Ciri dan Sifat Komunikasi Antar Pribadi

Johnson menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, yakni: 1. Komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain.

2. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.

(27)

3. Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain dan realitas yang sama. Tentu saja pembandingan sosial semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.

4. Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, terlebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas, frustrasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindar dari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik. (Supratiknya, 2003: 9-10)

Dari beberapa definisi komunikasi harus ditinjau manakah ciri-ciri yang menunjukkan perbedaan yang khas antara komunikasi antarpribadi dengan bentuk komunikasi yang lain. Reardon mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai paling sedikit enam ciri, yaitu:

1.Komunikasi antarpribadi dilaksanakan karena adanya berbagai faktor pendorong 2.Komunikasi antarpribadi berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja.

(28)

4.Komunikasi antarpribadi mensyaratkan adanya hubungan (paling sedikit dua orang) antarpribadi.

5.Komunikasi antarpribadi suasana hubungan harus bebas, bervariasi, dan adanya keterpengaruhan .

6.Komunikasi antarpribadi menggunakan berbagai lambang yang bermakna Dari berbagai sumber di atas, maka Alo Liliweri menyimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi secara spontan dan terjadi sambil lalu saja

2. Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu, Kebanyakan komunikasi antarpribadi tidak mempunyai satu tujuan yang diprogramkan terlebih dahulu, seperti pertemuan di ruang perpustakaan kemudian merencanakan belajar bersama, saling mengajak makan bersama setelah bertemu di rumah makan. Namun bisa saja komunikasi antarpribadi telah dijanjikan dan mempunyai tujuan terlebih dahulu, namun konteksnya berbeda dengan komunikasi kelompok.

3. Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidak mempunyai identitas yang jelas.

4. Komunikasi antarpribadi mempunyai akibat yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

(29)

5. Komunikasi antarpribadi seringkali berlangsung berbalas-balasan

6. Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua orang dengan suasana yang bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan

7. Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan sukses jika tidak membuahkan hasil 8. Komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang bermakna (Liliweri,

1991: 13-19)

Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang lika-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku seseorang. Mereka yang sudah saling mengenal secara mendalam memiliki interaksi komunikasi yang lebih baik daripada yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antarpribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.

Bagaimanapun juga suatu batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antarpribadi tidak ada yang memuaskan semua orang. Semua batasan arti sangat tergantung bagaimana kita melihat dan mengetahui perilakunya. Dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua orang dapat digolongkan komunikasi antarpribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi antara dua orang haruslah terlewati untuk menentukan komunikasi antarpribadi benar-benar dimulai.

(30)

Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antarpribadi. Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu adalah:

1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal 2. Komunikasi antarpribadi melibatkan pernyataan atau ungkapan yang spontan 3. Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis

4. Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya)

5. Komunikasi antarpribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik

6. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan

7. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:30-31)

(31)

2.2.5. Ziarah Kubur

2.2.5.1. Pengertian Ziarah Kubur

Ziarah adalah sengaja untuk bepergian ke suatu tempat (KBBI). Sedangkan dalam terminologi syar’i, makna ziarah kubur adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al Qadli Iyad rahimahullah, ziarah kubur adalah mengunjunginya dengan niat mendoakan para penghuni kubur serta mengambil pelajaran dari keadaan mereka (Al-Qadhi Iyadh, 1989 : 681).

Berdasarkan penegertian diatas maka ziarah kubur dapat di definisikan sebagai berikut : Ziarah kubur adalah mendatangi kuburan dengan tujuan untuk mendoakan ahli kubur dan sebagai pelajaran (ibrah) bagi peziarah bahwa tidak lama lagi akan menyusul menghuni kuburan sehingga, dapat lebih mendekatkan diri kepada Allah. Ketahuilah berdoa di kuburan pun adalah sunnah Rasulullah SAW, beliau bersalam dan berdoa di Pekuburan Baqi’, dan berkali kali beliau melakukannya, demikian diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim, dan beliau bersabda : “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, maka sekarang ziarahlah”. Di samping itu dapat pula diartikan bahwa ziarah kubur adalah suatu kegiatan atau aktivitas mengunjungi makam dari orang yang telah meninggal dunia baik yang dulu semasa hidupnya di kenal maupun yang tidak kenal. Pada saat berziarah ke kuburan sebaiknya mengikuti tata cara yang baik agar mendatangkan hikmah bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. (Al-Qadhi Iyadh, 1989 : 682).

(32)

2.1.6.1. Sejarah Ziarah Kubur

Di awal perkembangan Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh syari’at. Pertimbangan akan timbulnya fitnah syirik di tengah-tengah umat menjadi faktor terlarangnya ziarah kubur di waktu itu. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan Islam, larangan ini dihapus dan syari’at dan kemudian menganjurkan umat Islam untuk berziarah kubur agar dapat mengambil pelajaran dari hal tersebut, diantaranya mengingat kematian yang pasti dan akan segera menjemput, sehingga hal tersebut dapat melembutkan hati dan senantiasa mengingat kehidupan akhirat yang akan dijalani kelak. Rasulullah SAW bersabda “Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan pada kehidupan akhirat. (Ingatlah) jangan mengucapkan perkataan yang batil ketika berziarah kubur.” (HR. Hakim). http://ikhwanmuslim.com/akidah/ziarah-kubur-1-defenisi-pensyariatan-hukum-tujuan-dan-jenis-ziarah-kubur di akses tanggal 10 Desember 2014

Tetapi fenomena ziarah bukan saja soal ibadah dan perilaku agama. Dapat dilihat dari perkembangan di berbagai negeri Timur Tengah dan benua lainnya, aspek sosial dan politiknya juga tidak kurang penting, antara lain melalui peranan berbagai tarekat dan aliran yang berkembang di masyarakat. Sifat ini pun dapat membawa sorotan baru pada sejarah perkembangan fenomena ziarah di Indonesia itu sendiri.

(33)

2.3 Kerangka Pemikiran

Seperti yang dikemukakan oleh pakar Ilmu Komunikasi Deddy Mulyana, Komunikasi Transendental adalah “Komunikasi antara manusia dengan Tuhan”, Lebih lanjut Deddy Mulyana mengatakan, meskipun Komunikasi Transendental paling sedikit dibicarakan dalam disiplin Ilmu Komunikasi, karena sifatnya yang tidak dapat diamati secara empiris, justru bentuk Komunikasi inilah yang terpenting bagi manusia, karena keberhasilan manusia melakukanya tidak saja menentukan nasibnya di dunia tetapi juga di akhirat.

Selain definisi dan penjelasan tersebut, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa Komunikasi Transendental adalah suatu hal yang sifatnya penting dalam membentuk kesan dari suatu bentuk komunikasi yang sangat berperan dalam membentuk animo komunikan yang di dasari oleh suatu keyakinan dari suatu kebudayaan melalui suatu media yang dijadikan sebagai simbol-simbol untuk berinteraksi.

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang paling bersifat ”humanis” Dimana perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif.

(34)

Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu. Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. (Mead,

West-Turner. 2008: 96)

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang katakan oleh Douglas makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. (Ardianto, 2007:136)

(35)

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.

2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal, dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik. (Mead, dalam West-Turner. 2008: 96)

Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara

(36)

bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. (Mead 1934, dalam

West-Turner. 2008: 99)

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, antara lain:

1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku. (LaRossan & Reitzes 1993, dalam West-Turner. 2008:101)

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individulah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.

(37)

Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. 2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. (Mead 1934, dalam

West-Turner. 2008: 102)

Adapun menurut teori interaksi simbolik yang dipaparkan dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” karya Deddy Mulyana bahwa:

“Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial.” (Deddy Mulyana, 2010 : 71) Teori ini memiliki asumsi bahwa perilaku manusia tidak semata-mata sebagai konstruksi dari aspek psikis, aspek psikis itu sendiri sebagai sesuatu yang dihasilkan dari proses pemberian makna. Simbol yang hadir dalam interaksi sosial, bukanlah sesuatu yang sudah jadi, melainkan sebuah proses menjadi yang kontinyu, sehingga penggunaan simbol-simbol menjadi penting adanya.

Teori interaksi simbolik merupakan salah satu pendekatan yang sering dipakai untuk memahami makna di balik suatu benda, komunikasi, dan interaksi sosial. Dalam teori interaksi simbolik peneliti menggunakan pandangan emik (pandangan lokal dari masyarakat yang diteliti), dengan maksud agar sesuatu yang dimaknai dari pendukung budaya tersebut dapat dimaknai sama oleh orang lain.

(38)

Dengan cara ini, ada kesamaan presepsi dalam memaknai suatu benda antara pemilik dan orang lain. Dari prespektif ini, benda materi bukan hanya digunakan untuk melakukan sesuatu, melainkan juga memiliki makna, bertindak sebagai tanda-tanda makna.

Bertolak dari pemaparan di atas, Teori interaksi simbolik dalam penelitian ini dipakai untuk memahami makna dari simbol-simbol yang disampaikan melalui ziarah sebagai media komunikasi transendental, dimana representasi dari asumsi teori dalam penelitian ini difokuskan menjadi tiga subfokus sebagai batasan penelitian sesuai premis yang dicetuskan oleh Deddy Mulyana sebelumnya, yaitu:

a. Situasi simbolik, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia).

b. Produk interaksi sosial, makna adalah produk interaksi sosial yang tidak melekat pada objek melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. c. Interpretasi, menyangkut tindakan terbuka dan tindakan tertutup. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif atau tindakan yang akan dilakukan. Individu membayangkan bagaimana orang lain akan merespon ucapan atau tindakan mereka. Proses pengambilan-peran tertutup

(39)

(covert role taking) itu penting, meskipun hal itu tidak teramati. Oleh karena itu, kaum interaksionis simbolik mengakui adanya tindakan tindakan tertutup dan tindakan terbuka, menganggap tindakan terbuka sebagai kelanjutan dari tindakan tertutup. (Deddy Mulyana, 2010 : 71-73)

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menjelaskan dan meneliti tentang makna ziarah sebagai media komunikasi transendental di pemakaman Habib Abdurrahman bin Abdullah Alhabsyi Cikini, dalam sub fokus diatas peneliti mengaplikasikannya kedalam bentuk nyata diantaranya “Situasi Simbolik, Produk Interaksi Sosial dan Interpretasi sebagai cara mereka untuk berinteraksi terhadap suatu kayakinan”, yang merupakan konsep dari penelitian ini. Seperti yang telah dijabarkan diatas mengenai Situasi Simbolik, Produk Interaksi Sosial dan Interpretasi maka peneliti akan mengaitkan hal tersebut dengan konsep judul yang telah dibuat yaitu :

1. Situasi Simbolik

Situasi Simbolik Makna Ziarah Sebagai Media Komunikasi Transendental disini menyangkut kedalam dua hal :

a. Objek Fisik (Benda)

Maksud dari objek fisik (benda) dari penelitian ini menyangkut material budaya yang digunakan dalam berziarah, seperti menabur bunga, menyalakan kemenyan atau gahru, membaca kitab suci dll.

(40)

b. Objek Sosial (Perilaku Manusia)

Dari segi objek sosial (perilaku manusia), tentunya diaplikasikan melalui perilaku-perilaku yang tampak dari perilaku-perilaku orang tersebut yang menjadikan media ziarah sebagai komunikasi transendental, seperti perilaku verbal dan non verbal.

2. Produk Interaksi Sosial

Menurut Astrid S, Susanto (1978) dan dikutip oleh Hafied Cangara dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Komunikasi” Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung arti atau makna.” (Hafied Cangra, 2006:25)

Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku (non verbal), dan maknanya disepakati bersama. Semua simbol atau lambang, baik kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti mesjid atau gereja atau suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol, sehingga selaras dengan penelitian titik sentral rumusan kebudayaan menurut Geertz terletak pada simbol bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol.

Di satu sisi simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai dan disisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial, sehingga makna pun dapat dikatakan sebagai produk

(41)

interaksi sosial, tetapi makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Selaras dengan hal itu penelitian ini pun menyangkut simbol-simbol atau lambang cultural yang dimaknai oleh prilaku orang yang melakukan ziarah sebagai media komunikasi transendental di pemakaman Cikini.

3. Interpretasi

Merujuk kepada upaya memberikan interpretasi atau penafsiran informasi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi, atas dasar interpretasi informasi ini adanya pemahaman, tindakan atau reaksi yang sama atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dalam interaksi simbolik, orang mengartikan dan menafsirkan simbol-simbol dan bertindak sesuai dengan arti itu. Intrepretasi menyangkut tindakan tertutup dan tindakan terbuka, dimana:

a. Tindakan tertutup

Adapun tindakan tertutup yang merupakan tindakan yang timbul (feed back) dari tiap individu (pelaku ziarah) tidak dapat dilihat secara langsung, karena timbul dari dalam diri pelaku orang tersebut, seperti minat, pola pikir, dan perasaan.

b. Tindakan terbuka

Merupakan tindakan yang timbul (feed back) dari tiap individu (pelaku ziarah) dapat dilihat secara langsung, dengan kata lain tindakan terbuka merupakan tindakan yang lebih jauh dari tindakan tertutup pelaku orang yang melakukan ziarah.

(42)

Dalam penelitian ini, fenomena yang akan diteliti adalah mengenai ziarah di makam Habib Abdurrahman Alhabsyi Cikini. Sebagai asumsi didalam ritual ziarah tersebut terjadi komunikasi transendental. Dengan menggunakan basis teori interaksionisme simbolik dari George Herbert Mead, peneliti akan membongkar fenomena tersebut, dan etnografi komunakasi sebagai metode penelitian. Menurut Hymes ada 3 kata kunci yang akan menjadi elemen analisa dalam penelitian etnografi komunikasi adalah 1. Situasi Komunikasi. 2. Tindak Komunikatif dan 3. Peristiwa Komunikatif sehingga kerangka dari penelitian ini adalah sebagai berikut : PARADIGMA KONSTRUKTIVISME INTERAKSI SIMBOLIK ZIARAH ETNOGRAFI KOMUNIKASI PERISTIWA KOMUNIKATIF TINDAK KOMUNIKATIF SITUASI KOMUNIKATIF MAKNA ZIARAH DI MAKAM HABIB ABDURRAHMAN ALHABSYI CIKINI

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

Pada tabel IV.2.4 terdapat informasi lanjutan yang dibutuhkan stakeholder untuk melakukan pencarian jika informasi yang dikirim tidak tersampaikan dengan baik dimana ada kolom

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Berdasarkan penjabaran PERMEN Nomor 16/Per/M.KUKM/IX/ 2015 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, yaitu Koperasi Simpan Pinjam