• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. (Eriyanto, 2011:43)

Paradigma ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna.

Disini diandaikan tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada. Fokus pendekatan ini adalah bagaimana pesan politik dibuat dan diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan secara aktif ditafsirkan oleh individu sebagai penerima. (Eriyanto, 2011: 46)

Paradigma konstruksionis ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L. Berger.

(2)

Bersama Thomas Luckman, ia banyak mengembangkan aliran ini dengan banyak menulis karya dan tesis mengenai konstruksi sosial atas realita. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal dalam masyarakatnya.

Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger dalam Eriyanto (2011: 16-17) menyebutnya sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia, dengan kata lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi–kebudayaan-itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa.

Baik alat maupun bahasa tadi adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah

(3)

dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “disana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. ketiga, eksternalisasi. Proses internalisasi merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagi gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.

Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, namun tidak juga turun karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya ia dibentuk dan dikonstruksi (Eriyanto, 2011: 18-21) dengan pemahaman seperti ini, realitas berwajah ganda atau plural. Oleh sebab itu realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu dan lingkungan pergaulan atau kehidupan sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-masing. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis.

Sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah copy dari realitas, ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan juga

(4)

mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan hal itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bila merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas.

Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. (Eriyanto, 2011: 17). Demikian halnya ketika seseorang melakukan wawancara. Ketika seseorang mewawancarai narasumber, disana terjadi interaksi antara wartawan dengan narasumber. Realitas yang terbentuk dari wawancara tersebut adalah produk interaksi antara keduanya. Realitas hasil wawancara bukan hasil operan antara apa yang dikatakan oleh narasumber dan ditulis sedemikian rupa kedalam berita. Disana juga ada proses eksternalisasi: pertanyaan yang diajukan dan juga sudut penggambaran yang dibuat oleh pewawancara yang membatasi pandangan narasumber. Proses dialektis diantara keduanya yang menghasilkan wawancara yang kita baca disurat kabar atau kita lihat di televisi.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan dipaparkan dengan uraian berikut. Fakta/ Peristiwa adalah Hasil Konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang

(5)

tertentu dari wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas itu berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta atau realitas bukan sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi.

Media adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, berita ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Menurut kaum konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu difahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas (copy of reality). Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena

(6)

ada cara melihat yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita dianggap tidak salah, tetapi difahami sebagai suatu kewajaran. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaedah baku jurnalistik. Sumber proses konstruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata,gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir di hadapan khalayak.

Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas. Pandangan konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar yang baku. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai. Jika terdapat perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai suatu kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas.

Penempatan sumber berita yang menonojol dibandingkan dengan sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok; kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Konstruksi wartawan dalam memaknai realitas yang secara strategis menghasilkan laporan yang semacam itu. Wartawan Bukan Pelapor. Ia agen Konstruksi Realitas. Dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak bisa

(7)

menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan abaian dari intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pandangan mereka.

Etika, Pilihan Moral dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita. Pendekatan konstruksionis menilai aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, seperti apa yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu- umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan sbubjektivitas dalam publik. Karena fungsinya tersebut, wartawan menulis berita bukan hanya sebaggai penjelas, tapi mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

Subjektivitas wartawan tidak bisa dihilangkan. Karena pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah proses yang sangat subjektif-bukan hanya melibatkan fakta, tetapi juga keinginan dan motivasi yang berbau subjektif. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral Dalam Penelitian. Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.

(8)

Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. campur tangan penelitian yang dalam banyak hal bisa berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikit-banyak akan mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti yang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilan temuan yang berbeda pula.

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Pandangan konstruksionis menganggap khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks bukan terdapat dalam pesan/ berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih tepat dipahami sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks, tetapi begitulah praktik penandaan yang terjadi. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan.

Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunanan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah

(9)

realitas yang telah dikonstruksi (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi atau alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Selanjutnya, penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi (dan makna) tertentu. Sedangkan jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal seperti kata-kata tertulis atau lisan maupun menggunakan bahasa non-verbal berupa gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka dan tabel.

Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri. Sampai dengan hal-hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut. Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan politik-ekonomi di luar pengelolaan media. Faktor-faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan. Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan

(10)

yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai-nilai berita di dalamnya. Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach).

Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan-pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media). Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu, level individu juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik atau organisasi massa sedikit banyak

(11)

juga dapat mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level rutinitas media (media riutine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita. Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan.

Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian-bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain karena mempunyai tujuan dan target masing-masing. Sekaligus strategi yang berbeda-beda pula dalam mewujudkan target itu ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal-hal di luar lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu:

(12)

1. Sumber berita, sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik baginya dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber tersebut.

2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/ pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup.” Kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Media mungkin akan mengesampingkan untuk meliput peristiwa buruk (kasus) yang berkaitan dengan pihak pengiklan mereka. Pihak pengiklan sendiri pun dapat memaksakan versinya (tentang kasus) kepada media. Media juga tidak akan menyia-nyiakan untuk meliput peristiwa yang disenangi banyak khalayak. Walaupun terkadang tidak masuk dalam kriteria kelayakan berita media tersebut.

3. Pihak eksternal (pemerintah atau lingkungan bisnis). Pengaruh ini sangat bergantung pada lingkungan eksternal media itu sendiri. Media-media yang tumbuh di dalam negara otoriter, akan merasakan pengaruh pemerintah yang sangat dominan dalam menentukan berita yang disajikan. Negara akan menentukan mana yang boleh diberitakan dan mana yang tidak boleh diberitakan. Media harus mengikuti berbagai lisensi yang dikeluarkan

(13)

pemerintah, jika masih ingin terbit. Hal ini berbeda pada media yang tumbuh di dalam negara yang demokratis ataupun liberal. Campur tangan pemerintah sangat minim, bahkan tidak ada. Pengaruh yang besar malah datang dari lingkungan bisnis/pasar. Akan muncul persaingan-persaingan anatar media untuk menjadi yang lebih baik, yang diminati khalayaknya.

4. Ideologi. Ideologi dalam hal ini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Level ini merupakan hal yang abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dapat dilihat kepada yang berkuasa di dalam masyarakat dan bagaimana media menentukannya. Media hanya akan beradaptasi dengan ideologi \yang sudah ada di dalam masyarakat.

Hal-hal inilah yang selalu berpengaruh kepada hasil akhir dari bentukan media-media massa. Hal-hal yang dipaparkan oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese serta yang diungkapkan dari studi media di atas yang akan dianalisis teks berparadigma konstruksionis ini.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Peneliti menemukan beberapa penelitian sejenis terdahulu yaitu karya Yelmi Andriani tahun 2011 dengan judul penelitian “Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan” Karya Wisran Hadi diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta tahun 2001. Pada penelitian tersebut terdapat kesamaan objek penelitian dengan yang penelitian peneliti ini, yaitu tentang negeri perempuan yang menunjuk pada wilayah Sumatera Barat dengan paham matrilinealnya.

(14)

Hasil penelitian terhadap novel Negeri Perempuan ini menggambarkan ideologi feodal terefleksi pada tokoh perempuan pewaris kerajaan yang selalu berpandangan masalah warisan dan tata cara penganngkatan penghulu sesuai dengan aturan adat yang berlaku, sedangkan ideologi neofeodal yang didukung oleh tokoh perempuan istri pejabat dan saudara konglomerat yang berpandangan bahwab tata cara warisan dan tata cara pengangkatan penghulu bukanlah sesuatu yang sacral tetapi amat fleksibel dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian.

Ideologi politik yang terefleksi dalam novel ini mempunyai dua corak yaitu ideologi politik yang berpotensi positif dan yang berpotensi negatif. Ideologi positif terlihat dari aktifitas keluarga pewaris kerajaan sedangkan ideologi yang berpretensi negatif terefleksi dari aktivitas keluarga di luar pewaris kerajaan.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sosial yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan. Perubahan sosial yang digambarkan dalam novel ini berkaitan erat dengan persoalan adat dan budaya Minangkabau yang mengalami perubahan karena perubahan zaman dan masuknya budaya asing. Ia melakukan penelitian novel Negeri Perempuan dari tinjauan sosiologi sastra, khususnya sosiologi karya. Tujuannya untuk mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan dan faktor-faktor penyebab perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam karya sastra dengan menjabarkan teks-teks yang terdapat dalam novel.

Bardasarkan analisis ditemukan, bentuk-bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2) perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan

(15)

terhadap konsep Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai objek pariwisata, (2) lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.

Penelitiannya itu berbeda dengan yang peneliti lakukan yang fokus pada analisis pembingkaian media pada program Bingkai Sumatera espisode Ranah Minang Negeri Perempuan.

2.3 Uraian Teoritis

2.3.1 Komunikasi Massa

Pengertian komunikasi massa, merujuk pada pendapat Tan danWright, merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2007: 3).

Menurut Bittner, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Dari definisi tersebut jelaslah bahwa komunikasi massa harus menggunakan media massa, sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukanlah komunikasi massa.

Ahli komunikasi lainnya, Joseph A.Devito merumuskan komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.Ia juga mengatakan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual (Effendy, 2000: 21).

(16)

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah penyebaran pesan dengan menggunakan media modern yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh sipenyampai pesan, misalnya pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi dan film. Mempelajari komunikasi massa tidak ada gunanya tanpa mengkaitkan peran medianya, bahkan bisa dikatakan media massa menjadi alat utama dalam proses komunikasi massa.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan beberapa karakteristik komunikasi massa, yaitu:

1. Komunikasi massa bersifat satu arah

Komunikasi massa bersifat satu arah, artinya setiap pesan yang disampaikan oleh komunikator tidak diketahui apakah pesan itu dapat diterima dan dimengerti dengan baik oleh komunikan atau tidak. Dalam komunikasi massa, komunikator tidak tahu sama sekali apakah komunikasinya berhasil atau gagal. Umpan balik terhadap pesan yang disampaikan itu tidak langsung saat ia berkomunikasi, akan tetapi jauh sesudah pesan itu disampaikan (sifatnya tertunda/delayed feedback). Artinya, komunikan tidak dapat secara langsung memberikan umpan balik atas pesan yang disampaikan oleh komunikator.

2. Komunikator bersifat melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang, tetapi lembaga yang terdiri atas banyak orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem. Di dalam komunikasi massa, yang namanya komunikator itu lembaga media massa itu sendiri. Dalam sebuah sistem ada

(17)

interdependensi, artinya adanya interaksi, saling keterkaitan dan saling ketergantungan antara komponen-komponen didalamnya. Jadi apabila ada satu komponen yang tidak bekerja, tentu akan memengaruhi kinerja komponen yang lainnya.

3. Pesan bersifat massa dan umum

Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Dengan kata lain, pesan-pesannya ditujukan pada khalayak yang plural. Oleh karena itu, pesan-pesan yang disampaikanpun tidak boleh bersifat khusus. Khusus disini artinya pesan itu memang tidak disengaja untuk golongan tertentu. Misalnya, televisi. Karena televisi ditujukan dan untuk dinikmati oleh orang banyak, maka pesannya harus bersifat umum. Misalnya dalam pilihan katanya, sebisa mungkin memakai kata popular bukan kata-kata ilmiah. Sebab kata-kata ilmiah itu hanya dapat dimengerti oleh kelompok tertentu.

4. Menimbulkan keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Dalam komunikasi massa, komunikasi yang banyak itu secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Effendy mengartikan keserempakan media massa itu ialah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah.

(18)

5. Komunikan bersifat anonim dan heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media massa dan tidak tatap muka. Dalam komunikasi massa, komunikannya juga heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Baik dari segi usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, tingkat ekonomi dan lain-lain.

6. Stimuli alat indera “terbatas”

Karakteristik komunikasi massa lainnya yang dapat dianggap salah satu kelemahannya adalah stimuli alat indera yang terbatas. Pada komunikasi antar pribadi yang bersifat tatap muka, maka seluruh alat indera pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan) dapat digunakan secara maksimal. Kedua belah pihak dapat melihat, mendengar secara langsung, bahkan mungkin merasa. Dalam komunikasi massa, stimuli alat indera bergantung pada jenis media massanya. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat, pada media televisi dan film, kita menggunakan indera penglihatan dan pendengaran, sedangkan pada media radio kita menggunakan indera pendengaran.

7. Dikendalikan oleh Gatekeeper

Gatekeeper atau yang sering disebut dengan penjaga gawang adalah orang yang sangat berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeperberfungsi sebagai orang yang menambah atau mengurangi, menganalisis, atau menginterpretasikan pesan serta mengemas kembali sebuah pesan dari media massa sebelum disebarkan kepada komunikan. Keberadaan gatekeeper sama pentingnya dengan peralatan teknis yang harus

(19)

dipunyai media dalam komunikasi massa. Oleh karena itu, gatekeeper menjadi sesuatu yang pasti keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya.

8. Umpan balik tertunda

Ciri ini berhubungan dengan ciri komunikasi massa yang bersifat satu arah. Umpan balik (feedback) merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Pada komunikasi massa, umpan baliknya bersifat tertunda (delayed), artinya komunikan tidak dapat secara langsung memberikan respons terhadap pesan yang telah diterimanya dari komunikator (media massa).

2.3.2 Budaya Massa

Perkembangan media massa bagi manusia sempat menumbuhkan perdebatan panjang tentang makna dan dampak media massa pada perkembangan masyarakat. Pemahaman tentang masyarakat massa sempat menggoncang persepsi anggota masyarakat mengenai dampak media massa yang cukup signifikan dalam merubah tata sosial masyarakat. Dalam perkembangan teori komunikasi massa, konsep masyarakat massa mendapat relasi kuat dengan produk budaya massa yang pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam konteks masyarakat massa membentuk dan dibentuk oleh budaya massa yang ada. Bukan kebetulan bahwa dua pemahaman tentang masyarakat massa dengan budaya massa mempunyai titik permasalahan yang menggantung. Pertanyaan kritis yang perlu ditampilkan adalah sejauh mana hubungan antara masyarakat massa dengan produk budaya massa yang ada? Apakah memang di antara dua konsep tersebut mempunyai hubungan antar entitas

(20)

yang berdiri sendiri atau memang dua konsep itu mempunyai hubungan yang saling mengandalkan?

Sebelum masuk pada tesis utama teori masyarakat massa dan fungsi media massa, perlu diketahui terlebih posisi masing-masing teori yang mengembangkan persepsi tentang masyarakat massa dan fungsi media massa yang ada. Dalam konsiderasi teori tradisional, tekanan tema utama dalam teori ini adalah bahwa ada posisi media dalam sebuah masyarakat. Di satu pihak, teori tradisional mengenai masyarakat massa dan media massa melihat secara pesimis, dalam arti bahwa media massa mempunyai pengaruh yang kuat dalam seluruh konteks sistem pengaruh pada masyarakat. Modernisasi dengan media massa sebagai salah satu perkembangan modern yang cukup signifikan ternyata memberikan pengaruh negatif bagi perubahan sosial.

Dalam bentuknya yang mulai modern, teori masyarakat dan fungsi media massa - dalam perspektif empirik-kritis - melihat secara optimis persepsi yang berkembang dalam masyarakat atas perkembangan media massa. Artinya, bahwa masyarakat ternyata juga mempunyai kemampuan untuk mengontrol media massa berikut dampak-dampaknya.

Dari pemahaman seperti itu, terlihat bahwa media massa berperan untuk membentuk keragaman budaya yang dihasilkan sebagai salah satu akibat pengaruh media terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Pada titik tertentu, masyarakat massa mengembangkan sistem budaya massa. Dalam konteks yang hampir sama, terlihat dua ragam budaya massa yang bisa dihasilkan oleh masyarakat.

(21)

Di satu pihak, budaya dalam konteks masyarakat massa dengan didukung oleh media massa dilihat sebagai entitas cair dan mampu menghegemoni sebuah masyarakat (terlihat bagaimana media mampu membentuk selera masyarakat atau membentuk cara pandang tertentu terhadap sebuah realitas, dan lain-lain). Tapi di lain pihak, budaya dalam konteks masyarakat harus dilihat sebagai entitas yang juga turut membentuk media massa. Isi yang biasa diproduksi dan didiseminasikan oleh media massa adalah budaya massa. Hanya masalahnya sering makna budaya massa dipahami sebagai suatu yang “murahan”. Meskipun sebetulnya istilah budaya massa harus dipahami sebagai sesuatu yang baik, karena merujuk sebuah proses pluralisme dan demokrasi yang kental. Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”. Secara evaluatif dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik.

Berbeda dengan budaya massa, budaya tinggi mempunyai sistem nilai dan evaluasi yang berbeda. Budaya tinggi lebih dilihat sebagai hasil produksi elite, terkontrol, secara estetis ternilai dan mempunyai standar yang ketat - tidak tergantung pada konsumen produk mereka.

Dari perbedaan definisi budaya massa dan budaya tinggi, kita dapat melihat bahwa secara sosial manusia membagi hasil produk kulturnya dalam konteks kultur yang berbeda pula. Ini berarti ada hubungan tak terelakkan bahwa kultur, konteks sosial dan media massa sebagai media penyebaran nilai sosial serta budaya. Beberapa kajian sosial mengenai dampak media massa dalam sebuah

(22)

masyarakat membuat persepsi baru bahwa media massa, masyarakat dan budaya massa secara simultan saling berhubungan satu sama lain. Corak hubungan faktor-faktor di atas bersifat “interplay”. Tentu saja perubahan makna sosial tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan sosial baru dalam era modernisasi. Dalam proses ini ada beberapa pertimbangan yang perlu dilihat.

Pertama, perkembangan media sampai pada satuan kecil masyarakat membuat kita harus membuat sikap baru dan lebih kompleks terhadap terminologi-terminologi sosial tradisional yang diyakini oleh masyarakat. Kedua, perkembangan media massa baru seperti televisi sempat mengubah persepsi sosial masyarakat karena pengaruhnya yang sedemikian dahsyat. Bahkan dapat dikatakan bahwa televisi mampu menjadi sentra kehidupan sosial meski tidak menutup kemungkinan bahwa media cetak juga tetap mempunyai kekuatan yang cukup signifikan dalam masyarakat. Ketiga, proses transisi sosial baru yang dialami oleh masyarakat menuntut kita untuk memperbaharui konsep sosial yang sudah ada. Proses transisi sosial baru juga mengandung paradoks, dalam arti bahwa proses diferensiasi struktural bersinergi dengan uniformitas kebudayaan. Proses paradoks ini akan berpengaruh bagaimana kita memaknai masyarakat massa, masyarakat industri dan budaya massa. Keempat, maka diperlukan sistesa baru yang mengatasi kelemahan atau kekurangan konsep masyarakat massa dan sintesa baru yang mengatasi konsep pluralisme dan otoritarianisme modernisasi. Segmentasi dan fragmentasi masyarakat harus dimaknai kembali dalam konteks bahwa masyarakat dilihat sebagai sebuah kerangka sosial yang lebih kompleks. Proses pluralisme sosial yang sempat didorong oleh kehadiran media massa juga perlu mendapatkan posisi epistemologi, ontologi dan aksiologi baru. Masyarakat

(23)

modern bersifat cair dan mobile. Pemahaman tentang ini juga akan mempengaruhi keseluruhan sikap yang diambil dalam proses perkembangan budaya masyarakat itu sendiri.

Pemahaman tentang interdependensi dan independensi masyarakat massa dan budaya massa memang harus digugat. Tapi setidaknya ada beberapa masalah yang perlu diungkapkan. Pertama, pemahaman masyarakat massa sebagai kesatuan entitas sosial. Apakah memang masih harus dipertahankan. Konsep masyarakat dalam proses globalisasi telah menghantarkan kita pada konsepsi mobilitas, heterogenitas dan sifat kecairan loyalitas makna kolektif masyarakat. Ketersebaran dan keterkaitan secara instan masyarakat global telah mengubah bahwa media massa tidak hanya dilihat sebagai entitas di luar masyarakat. Dapat dikatakan media massa adalah unsure penting dalam masyarakat global. Masyarakat global adalah masyarakat informasi. Masyarakat yang di satu pihak sangat tergantung dengan media massa. Tapi di lain pihak, masyarakat menjadi penentu dan pemain kunci media massa itu sendiri. Saya kira konsep interdependensi harus menjadi konsep sentral dalam perkembangan masyarakat, budaya massa dan budaya tinggi. Kedua, ambiguitas dalam perkembangan masyarakat modern juga berakibat pada tumbuhnya kegamangan prioritas nilai dalam mengevaluasi media massa sebagai unsur pokok kebudayaan. Permasalahannya tidak lagiterletak pada bagaimana kita harus bersikap pada media massa, budaya massa dan budaya tinggi tapi sejauh mana manusia tetap mampu menjadi pembuat simbol (masters of symbol) yang dihasilkan oleh media massa, budaya massa atau budaya tinggi. Ketiga, sulit juga apabila kita mau

(24)

menentukan siapa mempengaruhi siapa dalam perkembangan dunia media massa, masyarakat massa dan budaya.

2.4 Televisi sebagai Media Komunikasi Massa 2.4.1 Sejarah dan Pengertian Televisi

Media televisi lahir karena perkembangan teknologi. Penemuan televisi telah melalui berbagai eksperimen yang dilakukan oleh James Clark Maxwell dan Heinrich Hertz, serta penemuan Marconi pada tahun 1890. Lalu ditemukan electriche telescope sebagai wujud dari gagasan seorang mahasiswa di Berlin, Jerman Timur, yang bernama Paul Nipkov. Nipkov dan William Jenkis kemudian menemukan sistem penyaluran sinyal gambar untuk mengirim gambar melalui udara dari suatu tempat ke tempat lain melalui kabel. Sistem ini dianggap praktis sehingga diadakanlah percobaan pemancaran sinyal televisi tersebut. Percobaan ini terjadi antara tahun 1883-1884. Akhirnya, Nipkov digelari sebagai Bapak Televisi.

Televisi sudah mulai dinikmati di Amerika Serikat pada 1939, ketika berlangsungnya World’s Fair di New York. Kegiatan ini terhenti pada masa Perang Dunia II dan kembali hidup pada 1946. Pada saat itu, hanya ada beberapa buah pemancar. Kemudian teknologi berkembang pesat dan jumlah pemancar televisi pun meningkat tajam. Tahun 1948 merupakan tahun yang penting bagi perkembangan televisi karena pada tahun tersebut, televisi berubah status dari televisi eksperimen menjadi televisi komersial. Negara-negara di benua Eropa kemudian melalukan hal yang sama. Perkembangan televisi menjadi cepat sehingga memberi dampak yang luas.

(25)

Pertelevisian di Indonesia mulai berkembang pada 1961. Saat itu pemerintah memutuskan untuk memasukkan rencana pembangunan media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV. Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI mengadakan siaran percobaan dengan menyiarkan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Baru pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI secara resmi mengudara dengan menyiarkan upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno secara langsung.

Pemerintah akhirnya memberi izin operasi kepada kelompok usaha Bimantara untuk membuka stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada tahun 1989. RCTI merupakan televisi swasta pertama yang kemudia disusul oleh SCTV, Indosiar, ANTV, dan TPI.

Reformasi juga memicu perkembangan industri media massa, khususnya televisi. Jumlah stasiun televisi di Indonesia baik di Jakarta maupun di daerah-daerah berkembang pesat, ditambah dengan jaringan televisi kabel dengan siaran-siaran mengglobal dengan sajian berbagai macam acara. Semua ini pertanda bahwa industri komunikasi di Indonesia makin maju (Cangara, 2009: 144).

Menjelang tahun 2000, lima stasiun televisi swasta baru bermunculan dalam waktu yang berdekatan, yaitu Metro TV, Trans, TV7, Lativi dan Global TV, juga dibarengi televisi berlangganan yang menyajikan beragam program baik dari dalam maupun luar negeri. Setelah Undang-undang Penyiaran disahkan pada tahun 2002, jumlah stasiun televisi terus bertambah.

(26)

Televisi merupakan media yang mendominasi komunikasi massa karena sifatnya yang mampu memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan khalayak umum. Televisi mempunyai kelebihan dari media massa lainnya yaitu bersifat audiovisual (dapat didengar dan dilihat), dapat menggambarkan kenyataan secara langsung dan mampu menyajikan berbagai macam peristiwa yang terjadi di luar ke dalam rumah para pemirsa, di mana pun mereka berada. Dengan ini dapat dikatakan bahwa televisi sebagai media massa dapat berfungsi secara efektif, karena selain dapat menjangkau ruang yang sangat luas, juga dapat mencapai massa dan pemirsa yang sangat banyak dalam waktu yang relatif singkat (Morissan, 2008: 35).

Effendy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan televisi adalah televisi siaran yang merupakan media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, audiensnya bersifat anonim dan heterogen, dan memiliki gatekeeper atau penjaga gawang (Effendy, 2000: 66).

2.4.2 Karakteristik Televisi

Menurut Elizabeth Noelle Neuman (dalam Rakhmat, 2008: 189), sebagai media komunikasi massa, televisi memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Bersifat tidak langsung

Bersifat tidak langsung artinya harus melewati media teknis. Televisi adalah satu jenis dan bentuk media massa yang paling canggih, dilihat dari sisi teknologi yang digunakan dan paling mahal, jika dilihat dari segi investasi.

(27)

Televisi sangat bergantung pada kekuatan peralatan elektronik yang sangat rumit.

2. Bersifat satu arah

Bersifat satu arah artinya tidak ada interaksi antara komunikastor dengan komunikan. Pemirsa televisi hanya dapat menerima berbagai program acara yang sudah disiapkan oleh pihak pengelola televisi, tidak mencela, atau melakukan interupsi saat suatu program disiarkan. Ada beberapa siaran langsung yang memungkinkan penonton menelepon atau berinteraksi langsung tetapi masih dianggap tidak optimal karena hanya satu atau dua orang yang diterima dan disiarkan secara langsung. Dapat dikatakan umpan balik (feedback) dalam televisi bersifat tertunda.

3. Bersifat terbuka

Televisi ditujukan kepada masyarakat secara terbuka ke berbagai tempat yang dapat dijangkau oleh pemancar siaran, artinya ketika siaran televisi sedang mengudara, tidak ada lagi batas-batas yang dikenal sebagai wilayah geografis, usia, atau bahkan tingkat akademik khalayak. Khalayak yang dituju bersifat heterogen yang teridir dari berbagai jenis latar belakang, usia, suku, agama, dan kepercayaan, bahasa, budaya, perilaku sosial, lingkungan, dan sebagainya. Khalayak juga berisfat anonim yang berarti mereka tidak saling mengenal satu sama lain.

4. Publik tersebar

Khalayak televisi tidak hanya berada pada suatu wilayah yang kecil tetapi tersebar ke berbagai wilayah dalam daerah lokal, regional, nasional, atau bahkan internasional.

(28)

2.4.3 Program Televisi

Secara garis besar, berbagai jenis program dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya menjadi dua bagian, yaitu program informasi dan program hiburan. Jika dilihat dari sifatnya, maka dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu program faktual (meliputi program berita, dokumenter, dan reality show) dan program fiksi (meliputi program komedi dan drama) (Morissan, 2005).

1. Program Informasi (Berita)

Program informasi adalah segala jenis siaran yang tujuannya untuk memberikan tambahan pengetahuan (informasi) kepada khalayak. Daya tarik program ini adalah informasi itu sendiri, sehingga informasi inilah yang dijual kepada audiens.

2. Program Hiburan (Entertainment)

Program hiburan adalah segala bentuk siaran yang bertujuan untuk menghibur audiens dalam bentuk musik, lagu, cerita, dan permainan. Program yang termasuk dalam kategori hiburan adalah drama, musik, dan permainan (game). Jenis program televisi dapat dibedakan berdasarkan format teknisatau berdasarkan isi. Format teknis merupakan format-format umum yang menjadi acuan terhadap bentuk program televisi seperti talk show,dokumenter, film, kuis, musik, instruksional, dan lain-lain. Berdasarkan isi, program televisi berbentuk berita dapat dibedakan antara lain berupa program hiburan, yaitu drama, olahraga, dan agama. Sedangkan untuk program televisi berbentuk berita secara garis besar dikategorikan ke dalam hard news dan soft news.

1. Hard news atau berita keras sebuah berita yang sajiannya berisi segala informasi penting dan menarik yang harus disiarkan oleh media penyiaran

(29)

kerena sifatnya yang segera untuk diketahui khalayak dan disebut dengan straight news. Contoh infotaiment yeng merupakan salah satu bentuk program berita dan fungsinya lebih besar sebagai hiburan bagi audiens. (Morissan, 2008: 219).

2. Soft news atau berita lunak adalah sebuah program berita yang menyajikan informasi penting dan menarik yang disampaikan secara mendalam (indepth) namun tidak bersifat harus segera ditayangkan, misalnya news magazine, current affair, talkshow dan lain-lain) (Morissan 2008: 207).

2.5 Kerangka Berpikir

Dijelaskan bahwa pendekatan yang digunakan untuk meneliti tayangan program Bingkai Sumatera Episode Ranah Minang Negeri Perempuan adalah pendekatan framing William A. Gamson yang mana dalam model tersebut perangkat framing dibagi menjadi dua struktur besar, yaitu: pertama, Struktur framing devices yang mencakup metaphors, exemplars, catchphrases, depictions, dan visual images menekankan aspek bagaimana “melihat” suatu isu. Kedua Struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara “melihat” isu, yakni roots (analisis kausal) dan appeals to principle (klaim moral).

Pada penelitian ini, peneliti hendak menganalisis bagaimana kebudayaan Minangkabau ditampilkan dalam tayangan program Bingkai Sumatera Episode “Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV”, serta pesan apa yang ingin disampaikan melalui tayangan ini. Kemudian jenis analisis yang peneliti gunakan adalah analisis teks media dengan pendekatan framing model analisis framing

(30)

William A. Gamson. Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain.

3.

Gambar 2.5 : Kerangka berpikir penelitian

Sumber : Data Primer

2.6 Analisis Framing

2.6.1. Akar Historis Analisis Framing.

Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson pada tahun 1955. Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan ktegori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Namun, kemudian pengertian framing berkembang yaitu ditafsirkan untuk menggambarkan proses penseleksian dan penyorotan

PENULIS NASKAH Program Bingkai Sumatera Episode “Ranah Minang Negeri Perempuan di DAAI TV

ANALISIS FRAMING MODEL WILLIAM GAMSON DAN ANDRE MODIGLIANI

STRUKTUR FRAMING DEVICES 1. Metaphors, 2. Exemplars, 3. Catchphrases, 4. Depictions, dan 5. Visual images STRUKTUR REASONING DEVICES

 Roots (analisis kausal) dan  Appeals to principle (klaim

(31)

analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktivitas komunikasi.

Analisis framing sebagai suatu metode analisis isi media, terbilang baru. Ia berkembang terutama berkat pandangan kaum konstruksionisme. Paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkannya. Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Beger bersama Thomas Luckman, yang banyak menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial dan realitas. Tesis utamadari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah tidak juga sesuatu yang diturunkan Tuhan, tetapi ia dibentuk dan direkonstruksi.

Dengan pemahaman seperti itu, realitas berwajah ganda / plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Selain plural, konstruksi sosial juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas dapat merupakan realitas subyektif dan realitas objektif. Realitas subyektif, menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antar individu dengan objek. Sedangkan realitas objektif, merupakan sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, berada di luar atau dalam istilah Berger, tidak dapat kita tiadakan dengan angan-angan.

Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan hanya dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh

(32)

wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses ekternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu pada tabel berikut:

Tabel 2.6 : Pendekatan Konstruksionis

Penilaian Paradigma Konstruksionis Paradigma Positivis Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Fakta merupakan

konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relatif, berlaku sesuai konteks tertentu.

Ada fakta yang “riil” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal.

Media adalah agen konstruksi.

Media sebagai agen konstruksi pesan.

Media sebagai saluran pesan.

Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas.

Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas. Karena berita yang terbentuk nerupakan konstruksi atas realitas.

Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang hendak diliput.

Berita bersifat

subyektif/konstruksi atas realitas.

Berita bersifat subyektif, opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subyektif.

Berita bersifat oyektif, menyingkirkan opini dan pandangan subyektif dari pembuat berita.

Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas.

Wartawan sebagai

partisipan yang

menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial.

Wartawan sebagai pelapor.

Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita.

Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu peristiwa.

Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada diluar proses peliputan berita.

Etika, dan pilihan moral peneliti, menjadi bagian

Nilai, etika, dan pilihan moral bagian tak

Nilai, etika, dan pilihan moral harus berada di luar

(33)

penelitian. penelitian. Khalayak mempunyai

penafsiran tersendiri atas berita.

Khalayak mempunyai penafsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita.

Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita.

Karakteristik penelitian isi media yang berkatagori konstruksionis terutama dilakukan dengan melakukan pembedaan dengan paradigma positivis, yaitu pada tabel berikut:

Tabel 2.6 : Katagori Konstruksionis

Penilaian Paradigma Konstruksionis Paradigma Positivis Tujuan penelitian: rekonstruksi realitas social

Rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

Eksplanasi, prediksi, dan kontrol.

Peneliti sebagai fasilitator keragaman subyektifitas sosial.

Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial.

Peneliti berperan sebagai disinterested scientist.

Makna suatu teks adalah hasil negosiasi antara teks dan peneliti.

Negosiasi; makna adalah hasil dari proses saling mempengaruhi antara teks dan pembaca. Makna bukan ditransmisikan, tetapi dinegosiasikan.

Transmisi; makna secara inheren ada dalam teks, dan ditransmisikan kepada pembaca.

Penafsiran bagian yang tak terpisahkan dalam analisis.

Subyektif; penafsiran bagian tak terpisahkan dari penelitian teks. Bahkan dasar dari analisis teks.

Obyektif; analisis teks tidak boleh menyertakan

penafsiran atau opini peneliti.

Menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti— teks.

Reflektif/dialektik; menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti—teks untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif.

Intervensionis; pengujian hipotesis dalam struktur hipoteticodeductive method. Melalui lab eksperimen atau survai eksplanatif, dengan analisis kuantitatif. Kualitas penelitian

diukur dari otentisitas dan refleksivitas temuan.

Kriteria kualitas penelitian; otentisitas dan refleksivitas, sejauh mana temuan

merupakan refleksi otentik dari realitas dihayati oleh

Kriteria kualitas penelitian; obyektif, validitas, dan reliabilitas (internal dan eksternal).

(34)

para pelaku sosial.

Framing merupakan salah satu metode yang digunakan dalam penelitian kualitatif, gunanya untuk melihat media mengkonstruksi (tonjolkan/dibangun) mengenai suatu realitas dan realitas lain dikonstruksi (dikaburkan). Pada akhirnya akan diketahui mana yang lebih dominan dari setiap realitas yang diinterpretasi oleh media tersebut. Analisis framing pada dasarnya adalah metode yang digunakan untuk melihat gaya bercerita atau mengemas media tentang suatu peristiwa atau realitas. Eriyanto (2002:3) mendefinisikan bahwa analisis framing dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor,kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkai tersebut tentu saja melalui proses konstruksi.

Sementara menurut pandangan Sobur (2006), framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Ada beberapa definisi tentang framing oleh para ahli, seperti di bawah ini:

Tabel 2.6 : Defenisi Framing

Robert N. Entman

Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyatakan penempatan informasi- informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson dan Andre

Modigliani

Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara

(35)

kemasan (package). Kemasan itu semacam sekema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

David E.Snow and Robert Benford

Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan system kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu

Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh

individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengedentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks kedalam bentuk

dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.

Zhongdang Pan and Gerald M.Kosicki

Stategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Sumber: Eriyanto (2002: 67:68) 2.6.2 Teori Analisis Framing

(36)

Teori Analisis Framing atau Analisis bingkai (frame analysis Theory) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa. Dalam mempelajarai media, analisis bingkai menunjukan bagaimana aspek-aspek struktur dan bahasa berita mempengaruhi aspek-aspek yang lain. (Anonimous, 2004:). Menurut Panuju (2003:1), frame analysis adalah analisis untuk membongkar ideologi di balik penulisan informasi.

Disiplin ilmu Analisis Framing bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi-bahasa, visual, dan pelaku-dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis. Beberapa model analisa bingkai telah dikembangkan:

Model William A. Gamson dan Andre Modigliani membagi struktur analisis menjadi tiga bagian:

a. Media package merupakan asumsi bahwa berita memiliki konstruksi makna tertentu.

b. Core frame merupakan gagasan sentral.

c. Condnsing symbol merupakan hasil pencermatan terhadap perangkat simbolik (framing device/perangkat framing dan reasoning device/perangkat penalaran).

(37)

a. Methaphors adalah perumpamaan dan pengandaian

b. Catcphrase adalah perangkat berupa jargon-jargon atau slogan. c. Exemplaar adalah uraian untuk membenarkan perspektif. d. Depiction adalah leksikon untuk melebeli sesuatu.

e. Visual image adalah perangkat dalam bentuk gambar, grafis dan sebagainya.

Perangkat penalaran terbagi menjadi tiga bagian:

a. Root merupakan analisis kausal atau sebab akibat.

b. Appeals to principle merupakan premis dasar, klaim-klaim moral. c. Consequence merupakan efek atau konsekuensi

Media Frames dan Individual Frames Media frames (framing media) telah didefinisikan oleh Tuchman dalam Scheufele (1999:106) bahwa framing berita mengorganisasikan realitas berita setiap hari. Framing media juga mencirikan sebagai kerja jurnalis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan informasi secara cepat dan menyampaikan secara capat kepada para pembaca. Kegiatan framing merupakan kegiatan penyeleksian beberapa aspek dari realita dan membuatnya lebih penting dalam sebuah teks. Selain itu lebih berperan dalam penyelesaian dan pemehaman definisi dari permasalahan, interpretasi sebab akibat (kausal), evaluasi moral, dan rekomendasi metode-metode selanjutnya. Kegiatan framing, penyajian peristiwa dan berita mampu memberikan pengaruh yang sistematis tentang metode agar penerima berita mengerti. Individual frames (framing individu) didefinisikan sebagai kegiatan penyimpanan ide yang membimbing proses informasi secara individu. (Entman dalam Scheufele,

(38)

1999:107). Framing jenis ini maupun sebelumnya dapat digunakan sebagai kegiatan interpretasi dan proses informasi.

2.6.3 Tipologi Framing

Tipologi ini dapat diarahkan ke dalam tiga orientasi. Pertama, orientasi terhadap konsep framing itu sendiri dan hubungan antara framing dan variabel lainnya. Kedua, tipologi harus menyediakan informasi tentang jawaban-jawaban dari pertanyaan dalam penelitian framing.

1. Apabila dipakai orientasi media frames sebagai variabel terikat, kita seharusnya menanyakan:

 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jalan seorang wartawan atau kelompok sosial lainnya menulis/menganalisis sebuah isu?

 Bagaimana proses ini bekerja dan sebagai hasilnya, kemasan seperti apakah (bingkai) yang digunakan oleh wartawan?

2. Apabila digunakan orientasi media frames sebagai variabel bebas, kita seharusnya menanyakan:

 Media frames jenis apa yang mempengaruhi persepsi para audien terhadap isu-isu tertentu dan bagaimana proses itu bekerja?

3. Apabila digunakan orientasi individual frames sebagai variabel bebas, kita seharusnya menanyakan:

 Seberapa jauh audien mampu memainkan peran aktif dalam membangun pemahaman/persepsi dan penolakan terhadap media?

4. Apabila digunakan orientasi individual frames sebagai variabel terikat, kita seharusnya menanyakan:

(39)

 Sejauh mana analisis framing seseorang mempengruhi persepsinya terhadap suatu isu?

Ke-empat, tipologi ini masih terus dikaji untuk mendapatkan pemahaman bersama mengenai konsep framing.

Model Proses Framing Proses analisis ini dibagi menjadi empat bagian yaitu :

1. Frame Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)

Studi-studi ini mencakup tentang dampak faktor-faktor seperti pengendalian diri terhadap organisasi, nila-nilai profesional dari wartawan, atau harapan terhadap audien terhadap bentuk dan isi berita. Meskipun demikian, studi tersebut belum mampu menjawab bagaimanakah media dibentuk atau tipe pandangan/analisis yang dibentuk dari proses ini. Oleh karena itu, diperlukan sebuah proses yang mampu memberikan pengaruhnya terhadap kreasi atau perubahan analisa dan penulisan yang diterapkan oleh wartawan.Frame bulding meliputi kunci pertanyaan: faktor struktur dan organisasi seperti apa yang mempengaruhi sistem media, atau karakteristik individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita terhadap peristiwa. Gans, Shoemaker, dan Reeses menyaranan minimal harus ada tiga sumber-sumber pengaruh yang potensial. Pengaruh pertama adalah pengaruh wartawan. Wartawan akan lebih sering membuat konstruksi analisis untuk membuat perasaan memiliki akan kedatangan informasi. Bentuk analisa wartawan dalam menulis sebuah fenomena sangat dipengaruhi oleh varibel-variabel, seperti ideologi, perilaku, norma-norma profesional, dan akhirnya lebih mencirikan jalan wartawan dalam mengulas berita. Faktor kedua yang

(40)

mempengaruhi penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang digunakan wartwan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi politik, atau yang disebut sebagai “rutinitas organisasi”. Faktor ketiga adalah pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.

2. Frame setting (Pengkondisian Framing)

Proses kedua yang perlu diperhatikan dalam framing sebagai teori efek media adalah frame setting. Para ahli berargumen bahwa frame setting didasarkan pada proses identivikasi yang sangat penting. Frame setting ini termasuk salah satu aspek pengkondisian agenda (agenda setting). Agenda setting lebih menitikberatkan pada isu-isu yang menonjol/penting, frame setting, agenda setting tingkat kedua, yang menitikberatkan pada atribut isu-isu penting. Level pertama dari agenda setting adalah tarnsmisi objek yang penting, sedangkan tingkat kedua adalah transmisi atribut yang penting. Namun, Nelson dalam Scheufele (1999:116) menyatakan bahwa analisa penulisan berita mempengaruhi opini dengan penekanan nilai spesifik, fakta, dan pertimbangan lainnya, kemudian diikuti dengan isu-isu yang lebih besar, nyata, dan relevan dari pada memunculkan analisa baru.

3. Individual-Level Effect of Farming (Tingkat Efek Framing terhadap Individu) Tingkat pengaruh individual terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya telah dilakukan dengan manggunakan model kota hitam (black-box model). Dengan kata lain, studi ini terfokus pada input dan output, dan dalam kebanyakan kasus, proses yang menghubungkan variabel-variabel kunci diabaikan. Kebanyakan

(41)

penelitian melakukan percobaan pada nilai keluaran framing tingkat individu. Meskipun telah memberikan kontribusi yang penting dalam menjelaskan efek penulisan berita di media dalam hubungannya dengan perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya, studi ini tidak mampu menjelaskan bagaimana dan mengapa dua variabel dihubungkan satu sama lain.

4. Journalist as Audience (Wartawan sebagai Pendengar) Pengaruh dari tata mengulas berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi beragam faktor. Wartawan akan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan konteks. Di sini, diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang mendengarkan analisa pembaca sehingga ada timbal balik ide. Akibatnya, analisa wartawan tidak serta merta dianggap paling benar dan tidak terdapat kelemahan. Questioning Answers or Answering Questioning (Menjawab Pertanyaan atau Mempertanyakan Jawaban)?Perkembangan efek media, konsep pengulasan sebuah peristiwa masih jauh dari apa yang sedang diintegrasikan dalam sebuah model teoritis. Hasilnya, sejumlah pendekatan framing dikembangkan tahun-tahun terakhir, namun hasil perbandingan empiris masih jauh dari apa yang diaharapkan. Oleh karena itu, penelitian masa depan harus mampu menggabungkan penemuan-penemuan masa lalu ke dalam sebuah model dan mampu mengisi kekurangan yang ada sehingga diperoleh model framing yang sempurna. Framing sebagai teori efek media membutuhkan konsep proses model dari pada terfokus pada input dan output. Oleh karena itu, penilitian masa depan harus mengakomodasi empat kunci di atas. Model proses diharapakan menjadi acuan kerja masa depan yang secara

Gambar

Gambar 2.5 : Kerangka berpikir penelitian  Sumber : Data Primer
Tabel 2.6 : Pendekatan Konstruksionis
Tabel 2.6 : Katagori Konstruksionis
Tabel 2.6 : Defenisi Framing

Referensi

Dokumen terkait

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Sistem pakar disebut juga sebagai sistem berbasis pengetahuan ( knowledge-based systems ) yang dirancang secara efektif & efisien untuk menangkap dan

Dengan melihat rata-rata kedua kelas dimana kelas eksperimen rata-ratanya lebih tinggi yaitu 74,05, sedangkan kelas kontrol yang rata-ratanya hanya 67,22, maka

Tidak Tahun Lulus Lama (Bln) Rank Tempat Pendidikan4. DATA

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman