• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Secara umum taksonomi domba adalah sebagai berikut :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. Secara umum taksonomi domba adalah sebagai berikut :"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Deskripsi Domba Garut

Secara umum taksonomi domba adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Ungulata Subordo : Artiodactylata Family : Bovidae Subfamily : Caprianae Genus : Ovis

Species : Ovis Aries (Heriyadi dkk., 2002)

Asal usul domba Garut diyakini berasal dari Kabupaten Garut sebagai sumber daya genetik ternak dari Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh, Cikandang, dan Cikeris, di Kecamatan Cikajang serta Kecamatan Wanaraja. Domba Garut adalah rumpun domba asli dari Jawa Barat, dengan ciri khas memiliki kuping rumpung (<4 cm) atau ngadaun hiris (4-8 cm) dengan ekor ngabuntut beurit dan ngabuntut bagong (Heriyadi, 2011).

(2)

Terbentuknya rumpun domba Priangan atau domba Garut, diyakini berawal dari persilangan antara tiga bangsa domba, yaitu domba Merino, domba Kaapstad, dan domba lokal di Priangan. Domba Garut dibagi ke dalam dua tipe, yakni domba tipe tangkas dan domba tipe pedaging (Heriyadi dkk., 2008).

Bobot domba Garut jantan dewasa dapat mencapai 60-80 kg dan bobot domba Garut betina sekitar 30-40 kg (Mulyono, 1998). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Heriyadi dkk,. (2002) bahwa bobot badan yang dimiliki domba Garut jantan dewasa terbilang sangat variatif berkisar antara 30-70 kg, tidak jarang ditemukan domba jantan dengan bobot badan diatas 70 kg .

Keunggulan domba Garut yaitu memiliki produktivitas cukup baik dan memiliki keunggulan komparatif dalam performa, kekuatan dan bobot badan yang dapat bersaing dengan domba impor dalam hal kualitas dan produktivitas (Gunawan dan Noor, 2005). Dilihat dari segi reproduksinya domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi (prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah (Mansjoer dkk., 2007). Domba Garut memiliki keunggulan cepat dewasa kelamin, tidak mengenal musim kawin dan mempunyai sifat dapat melahirkan anak kembar dua ekor atau lebih (Adiati dkk., 2001, dan Hastono dkk., 2001).

(3)

2.2 Ransum Komplit Berbasis Bahan Pakan Lokal

Ransum adalah bahan makanan yang diberikan kepada ternak selama 24 jam. Ransum terdiri atas bermacam-macam hijauan dan bermacam-macam bahan selain hijauan makanan ternak. Ransum yang diberikan kepada ternak hendaknya dapat memenuhi beberapa persayaratan berikut.

a. Mengandung gizi yang lengkap, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral. Makin banyak ragam bahan makin baik.

b. Digemari oleh ternak. Ternak suka melahapnya. Untuk ini ransum hendaknya sesuai dengan selera ternak atau mempunyai cita rasa yang sesuai dengan lidah ternak.

c. Mudah dicerna, tidak menimbulkan sakit atau gangguan yang lain. d. Sesuai dengan tujuan pemeliharaan.

e. Harganya murah dan terdapat di daerah setempat (Lubis, 1998).

Ternak domba merupakan ternak yang memerlukan hijauan dalam jumlah yang besar (Sugeng, 2000). Pakan hijauan dan bahan berserat sebagai pakan basal bagi ruminansia akan difermentasi oleh mikroba rumen sehingga menghasilkan asam lemak terbang sebagai sumber energi dan pasokan rantai karbon. Konsentrat atau

(4)

pakan penguat terdiri dari biji-bijian yang digiling halus, seperti jagung, bungkil kelapa, bungkil kedelai, dedak padi. Bahan pakan tersebut umumnya kandungan serat kasarnya rendah sehingga mudah dicerna (Sudarmono dan Sugeng, 2009).

Pakan komplit merupakan pakan yang cukup mengandung zat makanan untuk ternak dalam tingkat fisiologis tertentu yang dibentuk dan diberikan sebagai satu-satunya pakan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi tanpa tambahan substansi lain kecuali air (Hartadi dkk., 2005). Semua bahan pakan tersebut, baik hijauan (pakan kasar) maupun konsentrat dicampur menjadi satu. Beberapa keuntungan pemberian pakan ransum komplit pada ternak antara lain; disusun sesuai dengan kebutuhan nutrisi dari suatu ternak tertentu sehingga benar-benar palatabel dan dapat menunjang fungsi fisiologis. Penggunaan hijauan dan konsentrat dapat bervariasi dan dalam penyusunannya dapat dicari bahan yang sesuai dengan kebutuhan ternak dan bernilai ekonomis. Penggunaan ransum komplit akan memberikan beberapa keuntungan diantaranya meningkatkan efisiensi pemberian pakan, meningkatkan palatabillitas pakan, meningkatkan konsumsi, campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan zat makanan lengkap(Ensminger, 1990).

Pembuatan pakan komplit sebaiknya menggunakan bahan pakan lokal. Hal ini sangat diperlukan mengingat ketangguhan agribisnis peternakan adalah mengutamakan penggunaan bahan baku lokal yang tersedia di dalam negeri dan

(5)

sesedikit mungkin menggunakan komponen impor (Saragih, 2000 dalam Purbowati, dkk., 2007). Selain itu, paradigma pembangunan peternakan di era reformasi adalah terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasis sumber daya lokal (Sudardjat, 2000 dalam Purbowati, dkk., 2007). Penggunaan bahan pakan lokal merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah ketidak-kontinyuan ketersediaan bahan baku ransum.

Zat makanan yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup ternak yang utama adalah protein dan energi. Protein merupakan komponen utama jaringan otot dan merupakan komponen fundamental pada semua jaringan hidup. Kebutuhan protein dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, bobot badan, umur, kondisi tubuh, pertambahan bobot badan, dan rasio protein energi (Edey 1983). Ternak yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk hidup pokok, pertumbuhan, gerak otot, dan sintesis jaringan baru. Apabila ternak diberi pakan protein dan energi yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya, maka ternak tersebut akan menggunakan kelebihan zat makanan untuk pertumbuhan dan produksi. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan (Tillman dkk., 1998).

2.3 Kebutuhan Protein dan Energi untuk Domba

Kebutuhan protein ruminansia sebagian dipenuhi dari protein mikroba rumen dan sebagian lagi dari protein pakan atau ransum yang lolos dari fermentasi didalam

(6)

rumen (protein bypass). Disamping itu mikroba-mikroba rumen yang mati masuk ke dalam usus menjadi sumber protein bagi ruminansia (65% sumbangan protein bagi ruminansia berasal dari mikroba-mikroba tersebut) (Subagdja, 2000).

Kuantitas protein yang dibutuhkan lebih besar untuk pertumbuhan dibandingkan untuk hidup pokok, dan dipengaruhi oleh jenis kelamin, spesies dan genetik ternak. Persentase protein yang dibutuhkan dalam pakan merupakan yang tertinggi untuk ternak muda yang sedang tumbuh dan akan menurun secara berangsur-angsur sampai dewasa. Ketidakcukupan protein (Nitrogen atau asam amino) kemungkinan merupakan defisiensi zat makanan yang umum terjadi karena kebanyakan sumber energi yang digunakan dalam ransum rendah dalam kandungan proteinnya dan suplemen protein biasanya mahal (Pond dkk., 1995).

Energi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan kerja dan berbagai bentuk kegiatan (kimia, elektrik, radiasi dan termal) dan dapat diubah-ubah. Ternak yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk pemeliharaan tubuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk gerak otot dan sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman, dkk., 1991). Ternak memperoleh energi dari pakannya (McDonald 2002). Kebutuhan energi ini tergantung dari proses fisiologis ternak (Anggorodi, 1990). Kekurangan energi merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat disebabkan oleh kekurangan pakan atau karena pengkonsumsian pakan dengan kualitas rendah (Ensminger, 1991 dalam

(7)

Dhalika, dkk., 2010). Defisiensi energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk adalah dapat menyebabkan kematian (NRC, 1985). Ternak yang kekurangan energi dalam pakannya akan mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak (Martawidjaja dkk., 1999). Secara umum nutrisi yang paling membatasi dalam nutrisi ternak domba adalah energi (Pond, dkk,. 1995).

Sumber energi adalah karbohidrat, protein dan lemak. Sumber energi utama pada ternak ruminansia adalah asam lemak terbang (VFA) (Parakkasi, 1999). Penentuan kriteria energi yang umum adalah dalam bentuk energi bruto (Gross Energy/GE), energi dapat dicerna (Digestible Energy/DE), energi metabolis (Metabolizable Energy/ME), energi netto (Net Energy/NE) dan jumlah zat-zat makanan yang dapat dicerna (Total Digestible Nutrients/TDN). Adapun dalam penelitian ini penentuan kriteria energi adalah dalam bentuk TDN (Anggorodi, 1990). Kebutuhan energi untuk ruminansia ditentukan berdasarkan kandungan TDN, yaitu jumlah nilai zat makanan yang dicerna oleh ternak. TDN merupakan satuan energi yang diperoleh dari nilai bahan kering ransum dan jumlah zat-zat makanan (protein, serat kasar, lemak, dan BETN) yang dapat dicerna (Siregar, 1994). Satuan energi dalam bentuk TDN lebih mudah ditentukan untuk menghitung kebutuhan

(8)

ternak ruminansia karena merupakan nilai energi yang berasal dari zat makanan dalam ransum ternak (Sutardi, 1980).

Kebutuhan protein dan TDN untuk domba muda lepas sapih dengan bobot 10 Kg adalah 16% PK dan 73% TDN, untuk bobot 30 Kg adalah 14% PK dan 73% TDN. Sedangkan kebutuhan protein dan energi untuk domba jantan muda digemukan dengan bobot 30 Kg adalah 11% PK dan 64% TDN, dan untuk bobot 40-50 Kg adalah 11% PK dan 70% (NRC, 1985).

Kebutuhan PK dan TDN untuk domba menurut Ranjhan (1981) dalam Purbowati, dkk., (2007) adalah 10,90 – 12,70% dan 55-60%, sedangkan menurut Haryanto dan Djadjanegara (1993) dalam Purbowati, dkk., (2007) adalah 14-15% dan 45-63%.

Kebutuhan PK untuk domba dengan bobot 13,50-31,50 kg adalah 15%, sedangkan untuk domba dengan bobot lebih dari 31,50 kg adalah 13% (Umberger, 1997 dalam Putbowati, dkk., 2007). Sedangkan menurut Stanton dan Lavalley (2004) dalam Purbowati, dkk., (2007) merekomendasikan PK untuk domba dengan bobot 31,50 kg sebesar 12-14%.

Imbangan protein dan energi dalam ransum haruslah seimbang karena hal tersebut yang mempengaruhi produksi NH3 dan VFA di dalam rumen yang berfungsi sebagai sumber protein dan energi asal rumen bagi ternak. Kecepatan produksi VFA dan sel bakteri berhubungan dengan konsumsi TDN. Protein kasar juga berpengaruh

(9)

terhadap VFA, karena VFA yang dihasilkan selain berasal dari fermentasi karbohidrat juga berasal dari fermentasi protein dalam rumen (Widodo, dkk., 2012).

Ketika protein melebihi kebutuhan ternak maka protein dalam bentuk N akan terbuang melalui urin, sehingga hal tersebut akan sia-sia. Sedangkan ketika energi dalam ransum berlebih, maka pertumbuhan mikroba dan efisiensi fermentasi rumen menurun, hal ini antara lain diakibatkan terjadinya fermentasi yang tidak berjalan dengan baik yaitu energi atau ATP digunakan bukan untuk sintesis protein melainkan untuk akumulasi karbohidrat sel mikroba (Ginting, 2005 dalam Nugroho, dkk., 2013).

2.4 Sistem Pencernaan Ruminansia

Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia, sedangkan pemasukan bahan makanan yang dapat dicerna melalui selaput lendir usus dalam darah dan limpe disebut penyerapan (absorbsi). Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan proses pencernaan pada ternak non ruminansia. Domba adalah ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk dan secara fisiologis sangat berbeda dengan ternak non ruminansia yang memiliki perut tunggal seperti unggas dan babi. Domba merupakan hewan ruminansia kecil yang masih tergolong kerabat kambing, sapi dan kerbau (Tillman dkk., 1998).

(10)

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik, ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan makanan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel-sel dalam tubuh hewan dan berupa getah-getah pencernaan. Ternak ruminansia memiliki lambung yang terdiri dari tiga bagian yaitu rumen, retikulum, dan omasum. Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dari saluran pencernaan yang sangat penting dalam proses pencernaan ruminansia. Pencernaan oleh mikroorgsnisme ini juga dilakukan secara enzimatik yang dihasilkan oleh sel-sel mikroorganisme. Tempat utama pencernaan mikrobial ini adalah dalam retikulo rumen dan dalam usus besar pada ruminansia (Tillman dkk,. 1998).

Rumen adalah komponen penting dalam proses pencernaan, tempat berlangsungnya proses pemecahan dan perombakan pakan dengan proses fermentasi dari mikroba dalam rumen yang memiliki suhu berkisar 39-420C, pH netral yaitu 6-7, kelembaban konstan, kondisi anaerob serta dapat berkontraksi secara aktif (Arora, 1989). Rumen merupakan bagian terbesar dari total lambung ruminansia dewasa yaitu sekitar 62%. Fungsi rumen telah berkembang pada umur 6-8 minggu menjadi suatu sistem kultur dari bakteri anaerob, protozoa dan fungi (Siregar, 1994).

Pencernaan mikrobial pada ternak ruminansia mempunyai peranan penting, diperkirakan sekitar 70-80% dari bahan kering yang dikonsumsi oleh ternak dapat

(11)

dicerna dalam rumen. Bahan pakan yang berserat kasar tinggi akan meningkatkan populasi mikroba selulolitik, bakteri pencerna serat kasar umumnya dapat mencerna hemiselulosa. Bakteri selulolitik berperan dalam mencerna dinding sel, diikuti protozoa dan jamur. Keberadaan mikroba dalam rumen mengakibatkan ruminansia mempunyai kemampuan mencerna partikel pakan menjadi produk yang dapat dimanfaatkan dalam tubuh dalam bentuk asam lemak terbang (volatile fatty acids) seperti asam asetat, asam propionat, dan asam butirat (Arora, 1989).

Volatile Fatty Acids (VFA) tersebut diserap melalui rumen melalui penonjolan yang menyerupai jari yang disebut villi, serta menghasilkan energi. Bahan pakan yang berasal dari dalam rumen bergerak di dalam suatu pola melingkar, semakin lama menjadi semakin berat dan tenggelam perlahan-lahan. Gerakan tersebut semakin aktif pada saat ternak telah selesai merumput, ternak yang sedang istirahat kemudian mulai melakukan ruminasi atau memamah biak yang disebut juga cud chewing. Suatu bolus (cud) terbentuk melalui kerja otot retikulum dan dari bahan-bahan yang masuk. Bolus ini mengalami regurgitasi (di dorong kembali ke esofagus) dan kembali masuk ke dalam mulut untuk kembali dikunyah lebih halus dan ditelan kembali, kemudian menuju ke retikulum (Blakely, 1992).

Retikulum adalah bagian lambung yang diselaputi dengan membran mukosa yang di dalamnya berbentuk menyerupai sarang lebah, yang dapat mencegah masuknya benda asing ke saluran pencernaan. Lokasi retukulum di belakang

(12)

diafragma yang menempatkan posisinya berlawanan dengan jantung, sehingga jika ada benda asing yang tertelan cenderung akan diam. Sebagian besar pekerjaan pencernaan itu diselesaikan di abomasum, yang disebut juga perut sejati karena kemiripannya dengan fungsi perut tunggal pada ternak non ruminansia. Unsur-unsur penyusun berbagai zat makanan (asam amino, gula, dan asam lemak terbang) dihasilkan melalui kerja cairan lambung terhadap bakteri dan protozoa dan diserap melalui dinding usus halus (illeum, jejenum). Bahan-bahan yang tidak tercerna bergerak ke cecum dan usus besar kemudian disekresikan sebagai feses (Blakely, 1992).

2.5 Kecernaan dan Faktor yang Mempengaruhinya

Kecernaan makanan didefinisikan sebagai proporsi atau jumlah makanan yang tidak diekskresikan kedalam feses dengan asumsi bahwa makanan tersebut diserap oleh ternak (McDonald, 2002). Hal tersebut dinyatakan pula oleh Anggorodi (1994), bahwa kecernaan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses dimana bagian lainnya diasumsikan diserap oleh tubuh ternak yang dinyatakan dalam persen bahan kering. Selisih antara banyaknya zat makanan yang terkandung dalam feses dengan makanan yang dikonsumsi, menunjukkan jumlah zat makanan yang tinggal dalam saluran pencernaan dan diserap oleh saluran pencernaan ternak yang bersangkutan.

(13)

Proses pencernaan pada ternak ruminansia tidak saja dilakukan oleh aktivitas enzim yang diekskresikan saluran pencernaan, tetapi juga oleh aktivitas mikroorganisme rumen yang mampu merombak substansi pokok zat makanan yang tidak dapat dirombak oleh enzim yang dihasilkan oleh dinding saluran pencernaan (Anggorodi, 1990).

Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur kecernaan suatu bahan pakan seperti in vivo, in sacco dan in vitro. Teknik evaluasi pakan secara in vivo mempunyai tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding teknik lain karena bersifat aplikatif pada ternak secara langsung. Dalam metoda ini semua pakan, sisa pakan dan feses ditimbang dan dicatat, kemudian diambil sampel untuk dianalisis. Dengan mengetahui jumlah pakan yang diberikan, sisa pakan, dan feses maupun urine yang dikeluarkan setiap ekor ternak serta mengetahui kandungan zat makanan bahan pakan, sisa pakan, feses atau urine, maka akan didapat nilai kecernaan dari masing-masing komponen (Suparjo, 2008). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan bahan pakan yang dapat dicerna (Church dan Pond, 1998).

Tinggi rendahnya daya cerna bahan makanan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah jumlah konsumsi pakan, gangguan pencernaan, frekuensi pemberian pakan, cara penyajian makanan tersebut, macam bahan makanan yang digunakan dan kadar zat-zat makanan yang terkandung dalam ransum (Pond

(14)

dkk.,1995). Sedangkan menurut Tillman dkk., (1991) faktor yang mempengaruhi daya cerna makanan adalah komposisi bahan makanan, daya cerna semu protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan makanan, faktor hewan dan jumlah makanan. Kecernaan zat makanan menunjukkan perbedaan antara jumlah yang diserap dan jumlah yang terdapat dalam feses. Jumlah total yang terkandung dalam feses bukan hanya terdiri dari residu pakan yang tidak tercerna tapi juga sumber endogenous dari zat makanan yang sama.

Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, difisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan dan gangguan saluran pencernaan (Church dan Pond, 1998). Sedangkan menurut Tillman dkk., (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah komposisi pakan, daya cerna protein kasar, lemak, komposisi ransum, penyiapan pakan, faktor hewan dan jumlah pakan yang diberikan. Domba akan mengkonsumsi lebih banyak pakan halus dibanding pakan yang kasar. Konsumsi bahan kering pakan kasar bervariasi mulai dari 1,5% dari bobot badan untuk pakan dengan kualitas rendah hingga 3,0% untuk pakan dengan kualitas tinggi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan makanan adalah penting, karena hal tersebut berguna dalam mempertinggi efisiensi konversi makanan. Faktor-faktor tersebut diantaranya :

(15)

1. Suhu

Suhu sekeliling dapat mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap nafsu makan hewan dan jumlah makanan yang dikonsumsi.

2. Laju perjalanan melalui alat pencernaan

Jika beberapa makanan yang dikonsumsi terlalu cepat melalui alat pencernaan, maka tidak cukup waktu untuk mencerna zat-zat makanan secara menyeluruh oleh enzim-enzim pencernaan. Ada kemungkinan pula bahwa bila laju perjalanan bahan makanan terlalu lambat maka kehilangan akibat fermentasi akan lebih besar daripada yang dikehendaki, terutama pada hewan ruminansia.

3. Bentuk fisik makanan

Hewan yang sangat muda dan hewan yang sangat tua tidak mempunya gigi sempurna, tidak dapat mengunyah makanannya sebaik hewan dewasa dengan gigi yang baik. Butir-butir yang digiling untuk hewan memberikan permukaan yang luas terhadap getah pencernaan dan karenanya dapat meningkatkan kecernaan.

4. Komposisi ransum

Komposisi ransum dari bahan baku pakan yang memiliki kualitas yang baik akan menghasilkan kecernaan yang baik pula dibandingkan dengan ransum yang menggunakan bahan baku pakan dengan kualias yang buruk.

(16)

Lemak dapat menurunkan kecernaan ransum dalam rumen. Hal ini terutama terlihat pada ransum yang berkadar hijauan tinggi, terutama dalam penurunan kecernaan serat (Parrakasi, 1999). Meskipun penambahan lemak untuk rasio ruminan tidak penting secara nilai gizi, tapi lemak yang diberikan memiliki energi yang tinggi pada campuran bahan pakan. Penambahan 2-5% lemak pada ransum, dapat mengurangi debu ransum yang dapat memperbaiki penggunaan energi.

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kecernaan hijauan pakan adalah faktor yang berkaitan dengan status fisiologis rumen yang dapat mempengaruhi populasi mikroba dan gerak saluran pencernaan (Wodzicka dkk., 1993).

2.6 Kecernaan Serat Kasar dan BETN

Makanan ruminansia mengandung banyak selulose, hemiselulose, pati, dan karbohidrat yang larut dalam air. Bila hijauan makin tua, proporsi selulose dan hemiselulose bertambah, sedangkan karbohidrat yang larut dalam air berkurang. Selulosa merupakan polisakarida yang berantai panjang dan bersifat tidak dapat larut dan sukar dihancurkan dalam sistem pencernaan. Namun karena mikroorganisme dalam ruminansia menghasilkan enzim selulase cukup banyak, maka ternak ruminansia dapat memanfaatkan selulosa dalam jumlah banyak, demikian juga hemiselulosa dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme tubuh (Baldwin dan Allison, 1983).

(17)

Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yaitu sekitar 60-75% dari total nutrisi ransum (Sutardi, 1977). Karbohidrat merupakan sumber energi utama ruminansia untuk pertumbuhan mikroba rumen. Karbohidrat merupakan zat organik utama yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan dan biasanya mewakili 50-70% dari jumlah bahan kering dalam bahan makanan ternak (Anggorodi, 1994). Karbohidrat dibagi menjadi dua golongan, yaitu serat kasar dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) (Tillman dkk., 1998).

Serat kasar merupakan bagian karbohidrat yang sulit dicerna, sedangkan BETN merupakan bagian yang mudah dicerna (Church dan Pond, 1998). Kandungan BETN berbanding terbalik dengan serat kasar, jika serat kasar rendah, maka BETN akan meningkat. Selain itu, daya cerna komponen BETN lebih tinggi dibandingkan dengan daya cerna serat kasar (Anggorodi, 1994).

Serat kasar adalah karbohidrat struktural yang banyak terdapat pada dinding sel pelindung pada tanaman terdiri atas polisakarida berupa selulosa, beberapa hemiselulosa, golongan BETN mengandung monosakarida, disakarida, trisakarida, dan tetrasakarida ditambah pati dan beberapa zat yang dapat mengandung pati sampai sebanyak 70% (Tillman dkk., 1998).

Selulosa seperti pati, merupakan polimer glukosa. Bedanya adalah ikatan beta -1,4 dan molekul glukosa yang berdekatan membentuk ikatan hidrogen. Untuk mencerna selulosa, mikroba rumen menghasilkan lulase 1 dan selulase 2. Selulase 1

(18)

adalah enzim non-hidrolitik, tugasnya membebaskan ikatan hidrogen sehingga molekul selulosa dapat dihidrolisis oleh selulase. Faktor yang mempengaruhi pencernaan selulosa : kadar lignin, kadar pati, kadar nitrogen, grinding (kondisi in vivo menurunkan), pengeringan (menurunkan, sebab enzim menjadi tertutup), alkali treatment (NaOH, NH4OH) menambah pencernaan selulosa, kadar silika (menurunkan), antibiotika (menurunkan populasi bakteri sehingga pencernaan selulosa menurun), kadar lemak jika melebihi 5% dapat menurunkan pencernaan selulosa (Sutardi, 1977).

Produk primer dari fermentasi monokanal untuk transport yang dapat dimasuki sakarida adalah VFA, terutama asetat (A), propionat (P), Butirat (B), dan Valerat (V). Produk hidrolisa utama dari karbohidrat adalah glukosa. Kemudian glukosa itu difermentasi menjadi VFA. Asam lemak ini, terutama asam asetat, propionat, dan butirat merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Asam asetat berasal dari pencernaan makanan kasar, sedangkan asam propionat banyak dihasilkan oleh konsentrat (Sutardi, 1977)

Serat kasar adalah semua zat organik yang tidak dapat larut dalam H2SO4 0,3 N dan dalam NaOH 1,5 N yang berturut-turut dimasak selama 30 menit (selulosa, lignin, sebagian dari pentose-pentosa). Analisis bahan makanan terhadap kadar serat serat kasar dilakukan dengan cara memasak bahan makanan dengan asam lemah hingga mendidih untuk menghidrolisis karbohidrat dan protein yang terdapat di

(19)

dalamnya. Pemasakan lebih lanjut dengan alkali menyebabkan terjadinya penyabunan zat-zat lemak yang ada di dalam bahan makanan. Zat-zat makanan yang tidak larut selama pemasakan tadi terutama terdiri dari serat kasar dan zat-zat mineral yang kemudian terus disaring, dikeringkan, dan ditimbang. Kemudian terus dipijarkan lalu didinginkan dan ditimbang lagi. Perbedaan kedua berat tadi menunjukan berat serat kasar yang ada dalam bahan makanan. (Anggorodi, 1990).

Serat kasar bagi ruminansia digunakan sebagai sumber energi utama dan lemak kasar merupakan sumber energi yang efisien dan berperan penting dalam metabolisme tubuh sehingga perlu diketahui kecernaannya dalam tubuh ternak (Suprapto dkk., 2013). Serat kasar memiliki hubungan yang negatif dengan kecernaan. Semakin rendah serat kasar maka semakin tinggi kecernaan ransum (Despal, 2000). Kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Kadar serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat lain (Tillman dkk., 2005). Kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas mikroorganisme ukuran partikel makanan (Maynard dkk.,2005). Menurut Suwandyastuti, (2007) kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering ransum, komposisi kimia bahan makanan, dan kondisi faali ternak percobaan.

(20)

Kecernaan serat suatu bahan makanan mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun komposisi kimia seratnya (Tillman, 1991). Serat tidak pernah digunakan seluruhnya oleh ruminansia dan sekitar 20-70% dari serat kasar yang dikonsumsi dapat ditemukan di dalam feses (Cuthbertson, 1969). Ternak tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat (Tillman dkk., 1989). Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan (Arora, 1989).

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) adalah satu unit gula sederhana beserta polimer-polimernya (monosakarida, disakarida, trisakarida, tetrasakarida, dan sebagian dari polisakarida yaitu pati dan sebagian hemiselulosa) yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan, buah masak, madu, dan sebagainya. Komponen BETN berbeda dengan serat kasar dimana BETN kaya akan pati, gula, bagian bukan serat yang tidak larut oleh eter, dan bahan-bahan organik air (Tillman dkk, 1998).

Pencernaan pati oleh ruminansia berkisar antara 39-94% bergantung pada sumber dan pengolahan bahannya. Pengolahan cenderung meningkatkan kecernaan pati dalam rumen (Parakkasi, 1999). Proses pencernaan karbohidrat khususnya pati

(21)

dalam rumen merupakan proses yang kompleks. Pati mengalami dua tahap pencernaan yaitu pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan enzim intraseluler mikroba. Tahap pertama, karbohidrat yang masuk akan difermentasi oleh enzim ekstraseluler menghasilkan monomer berupa gula-gula sederhana. Tahap kedua, monomer itu difermentasikan lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat. Piruvat adalah produk intermediet yang segera dimetabolisasi menjadi produk akhir berupa asam lemak berantai pendek disebut asam lemak terbang atau Volatile Fatty Acids (VFA) (Baldwin dan Allison, 1983).

Fermentasi karbohidrat dalam rumen untuk membentuk VFA menghasilkan kerangka karbon untuk sintesis sel mikroba dan membebaskan sejumlah energi dalam bentuk ATP, CO2 dan CH4. Energi dalam bentuk ATP digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan mikroba rumen. Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang yang terbuang dalam bentuk produksi gas. Adanya pencernaan pati dalam rumen akan meningkatkan konsentrasi asam propionate. Asam propionate termasuk asam yang bersifat glukogenik karena dapat dikatabolisme menjadi glukosa atau sumber glukosa tubu (Utomo, 2004).

BETN yang meliputi gula, zat pati, dan hemiselulosa dapat diketahui kadarnya dengan cara : 100 – (kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak + kadar serat kasar). (Anggorodi, 1990 dan Tillman dkk, 1998).

Referensi

Dokumen terkait

Sistem Informasi Perencanaan Pengadaan Obat dengan menggunakan pendekatan metode perhitungan gabungan antara metode konsumsi dengan metode epidemiologi di Dinas Kesehatan

Hasil pengukuran kadar lemak terhadap ketiga variasi pati singkong pada kentang potong selama penggorengan dengan edible coating maupun kontrol dapat dilihat pada

Aplikasi ini dapat menengani seluruh proses yang terjadi pada aset tetap perusahaan, mulai dari perolehan, penempatan, perpindahan, penyusutan, perbaikan, revaluasi,

yang mempunyai Visi &#34;Menjadi Bank Pilihan Dengan Memberi Yang Terbaili' dengan Misi &#34;Berdasarkan Kepedulian Memberi Solusi Bermutu Dan Membangun Perusahaan

Data pergeseran bilangan gelombang yang diperoleh tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai data panduan (referensi) untuk mendeteksi jenis ion logam yang

Salah satu bahan ajar interaktif yang dapat mendukung pembelajaran interaktif yaitu, multimedia interaktif yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih media (audio, teks,

Unit cost merupakan sebuah harga yang dikenakan oleh supplier untuk satu unit barang, atau biaya yang perusahaan bayar untuk membeli suatu barang. Secara umum, biaya ini

Remaja putus sekolah perlu kesadaran baru bahwa kehidupan tidak hanya ditentukan oleh berhasilnya seseorang dalam dunia pendidikan formal, tetapi lebih dari pada