• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selama periode jumlah penduduk bertambah sebanyak 3,25

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Selama periode jumlah penduduk bertambah sebanyak 3,25"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan kayu untuk bahan bangunan, furniture, dan peralatan rumah tangga terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Indonesia. Selama periode 2000–2010 jumlah penduduk bertambah sebanyak 3,25 juta jiwa per tahun, dan berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa (BPS, 2014), sedangkan luas kawasan hutan di Indonesia telah banyak berkurang karena berbagai alasan. Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan (2014) menyebutkan bahwa sampai dengan Desember tahun 2013 tercatat seluas 6,02 juta ha kawasan hutan di Indonesia telah dilepaskan untuk perkebunan/pertanian, 859,73 ribu ha untuk pemukiman transmigrasi, dan 729,54 ribu ha untuk ijin pinjam pakai eksplorasi tambang. Selain itu, taksiran luas kebakaran hutan di Indonesia dari tahun 2008 sampai 2013 mencapai 1,30 juta ha dan deforestasi yang terjadi di dalam dan di luar kawasan hutan dari tahun 2010 sampai 2013 mencapai 450,63 ribu ha (Kemenhut, 2013). Kondisi demikian menyebabkan pasokan bahan baku kayu terutama yang berasal dari hutan alam semakin berkurang. Pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan pemerintah dalam meningkatkan produksi kayu dalam upaya mengurangi target produksi kayu dari hutan alam.

(2)

Salah satu jenis tanaman hutan yang banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kayu baik untuk konsumsi di dalam maupun di luar negeri adalah sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes). Sengon merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang banyak diminati oleh masyarakat karena memiliki nilai ekomoni yang cukup tinggi. Riap pertumbuhan sengon rakyat rata-rata mencapai 20 m3/ha/tahun, bahkan mencapai 27,26 m3/ha/tahun pada kebun benih sengon di Candiroto, Temanggung (Rimbawanto, 2008). Kebutuhan kayu sengon tiap tahunnya mencapai 500 ribu m3 dengan harga jualnya mencapai Rp. 650.000,-/m3 (Siregar dkk., 2010). Asrofi (2014) menambahkan bahwa harga log sengon kualitas super pada tahun 2014 mencapai Rp. 1.200.000,-/m3 (untuk panjang 200 cm dan diameter > 50 cm). Kebutuhan kayu dan harga jual yang cukup baik mendorong terciptanya peluang bisnis yang menjanjikan untuk mengembangkan sengon.

Produksi kayu sengon rakyat di Kabupaten Wonosobo dan Temanggung mengalami peningkatan terutama hingga tahun 2007 karena diiringi peningkatan harga pada berbagai tingkat pelaku usaha sengon (Hakim dkk., 2009). Pada tahun 2005 produksinya mencapai 11.769,34 m3 dan meningkat menjadi 759.653,70 m3 pada tahun 2006 (BPS, 2006). Minat masyarakat menanam sengon cukup tinggi karena menanam sengon di Wonosobo cukup mudah (sesuai dengan kondisi iklim dan tanah), memiliki daur pendek, yaitu 5–8 tahun, dapat ditanam tumpang sari, dan memiliki pasar yang jelas. Akan tetapi, terdapat kendala yang sering dihadapi dalam mengembangkan sengon, yaitu penyakit karat tumor. Hasil penelitian Doungsa-ard dkk., (2015) menyebutkan bahwa penyakit pada sengon ini disebabkan oleh jamur karat dari jenis Uromycladium falcatarium Doungsa-ard,

(3)

McTaggart & R.G. Shivas, sp. nov. Serangan jamur ini mengakibatkan produksi kayu sengon di Kabupaten Wonosobo mengalami penurunan sebesar 165.529 m3 pada tahun 2008 (Hakim dkk., 2009).

Serangan jamur U. falcatarium ditandai dengan terbentuknya gall atau tumor yang merupakan salah satu bentuk reaksi tanaman berupa pertumbuhan sel yang berlebihan akibat adanya infeksi parasit. Penyakit karat tumor telah banyak dilaporkan menyerang tanaman sengon di Pulau Jawa terutama di wilayah Provinsi Jawa Timur meliputi Jember, Lumajang, Kediri, Bondowoso, Probolinggo, Banyuwangi, Pasuruan, Situbondo, Malang, Pacitan, dan sekitarnya sejak tahun 2005. Peningkatan status penyakit pada beberapa lokasi di Jawa Timur menyebabkan masyarakat sekitar untuk sementara waktu menghentikan penanaman sengon selama minimal 2 tahun seperti yang terjadi pada Kabupaten Lumajang. Penyebaran penyakit karat tumor berlanjut hingga ke Jawa Tengah karena spora jamur yang terbawa melalui perantara angin. Penyakit ini telah menyebar sampai di daerah Purworejo, Banjarnegara, Magelang, Boyolali, Wonosobo, dan Temanggung pada awal tahun 2006. Penyakit ini juga telah menimbulkan kerusakan serius dan sekitar 40% tanaman sengon terinfeksi jamur karat tumor di Desa Kandangan dan Pringsurat, Temanggung (Rahayu, 2014).

Beragam cara pengendalian sudah dilakukan untuk menekan

perkembangan penyakit karat tumor baik secara fisik, kimia, dan biologi pada tingkat biji, semai, hingga tingkat pohon, namun sampai saat ini belum ada yang memberikan hasil yang memuaskan. Perlakuan dengan fungisida metil tiofanat 70% untuk merawat benih sengon yang berasal dari pohon yang telah terinfeksi jamur karat tumor bahkan tidak mampu mencegah gejala busuk pangkal

(4)

kecambah sengon oleh jamur tersebut (Wibowo, 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan jamur karat sudah berada pada embrio di dalam biji sejak terjadinya proses pembuahan dan bersifat persisten atau tidak dapat hilang. Selain itu, Rahayu (2014) menyatakan bahwa pemberian fungisida sistemik berbahan aktif Hexaconazol dan fungisida kontak berbahan aktif Mancozeb juga tidak mampu menekan perkecambahan spora maupun proses penetrasi melainkan hanya mampu menekan persen infeksi jamur karat di dalam jaringan semai. Jamur antagonis seperti Penicillium italicum, Acremonium recifei dan Tubercuclina spp. dilaporkan dapat menghambat perkembangan jamur U. falcatarium (Krisnawati dkk., 2011). Beberapa jenis serangga juga dijumpai memakan tumor di lapangan sehingga memiliki potensi sebagai pengendali hayati (Wiryadiputra, 2007), namun efektivitas agen hayati ini belum diketahui secara pasti sehingga perlu dikaji dan diuji terlebih dahulu pada skala laboratorium dan lapangan secara terbatas. Selain itu, jamur U. falcatarium juga memiliki karakteristik yang unik antara lain dalam hal kemampuannya yang kuat dalam beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang sangat ekstrim, yaitu suhu yang sangat tinggi serta mudah mengalami perubahan variabilitas (Indresputra dkk., 2013). Hal ini menjadi salah satu alasan bahwa pengendalian penyakit karat tumor pada tanaman sengon relatif sulit dilakukan.

Rahayu (2014) menyebutkan bahwa salah satu alternatif cara pengendalian yang dianggap sesuai dalam rangka menekan penyakit karat tumor adalah menggunakan benih yang berasal dari sumber benih terseleksi, yaitu sumber benih yang terbukti memiliki sifat genetik tahan terhadap penyakit karat tumor. Penggunaan benih sengon yang jelas asal-usulnya dan diketahui status kesehatan

(5)

tanaman induknya akan dapat menentukan kesehatan semai pada fase-fase pertumbuhan selanjutnya.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait pengujian asal benih sengon untuk mengetahui responsnya terhadap penyakit karat tumor. Hasil penelitian Baskorowati (2011) menyebutkan bahwa provenans yang berasal dari Wamena (Elagaima Hubikosi dan Siba Hubikosi) tergolong lebih toleran terhadap serangan jamur penyebab penyakit karat tumor karena memiliki luas serangan dan intensitas serangan yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang berasal dari ras lahan Jawa, yakni Candiroto, Kediri, dan Wonosobo. Baskorowati dkk., (2012) juga menambahkan terkait hasil uji ketahanan terhadap penyakit karat tumor pada sengon umur 3 tahun di Kediri menunjukkan bahwa provenans Wamena paling toleran terhadap penyakit karat tumor dibandingkan dengan yang berasal dari Candiroto, Kediri, dan Lombok, karena provenans Wamena memiliki nilai luas serangan dan intensitas penyakit yang paling kecil dibandingkan dengan yang lainnya. Selain itu, Rahayu dkk., (2009) dengan hasil penelitiannya terkait inokulasi buatan jamur U. falcatarium pada semai sengon umur 6 minggu di persemaian menunjukkan bahwa semai yang berasal dari Wamena lebih toleran terhadap penyakit karat tumor jika dibandingkan dengan Kediri, Timor Timur, Morotai, 2S/75 (berasal dari Sabah) dan Walang Gintang. Semai dari Wamena mampu merespons dengan baik adanya infeksi oleh patogen jamur karat dan ditunjukkan dengan gradien laju perkembangan penyakit yang justru semakin menurun, dan akhirnya setelah 2 bulan pengamatan tidak lagi berpengaruh merusak pada semai tersebut. Hasil penelitian awal Charomaini dan Ismail (2008) juga menyebutkan bahwa individu-individu yang berasal dari Papua, seperti

(6)

Waga-waga, Wamena, Hubikosi, dan Muliama Bawah lebih toleran terhadap penyakit karat tumor. Setiadi dkk., (2014) menambahkan bahwa individu-individu yang berasal dari Papua, seperti Holima, Meagama, dan Elagaima tahan terhadap penyakit karat tumor sampai umur 12 bulan pada uji keturunan di Bondowoso.

Penyakit karat tumor secara umum dipengaruhi oleh interaksi antara inang, patogen, dan faktor lingkungan. Faktor manusia juga dapat memengaruhi perkembangan penyakit karat tumor, baik dalam meningkatkan atau menekan perkembangannya melalui tindakan-tindakan silvikultur. Rahayu (2014) menyebutkan bahwa faktor lingkungan yang paling dominan berpengaruh terhadap perkembangan penyakit karat tumor adalah intensitas kabut, kelembaban relatif, dan kecepatan angin. Kelembaban relatif (KR) yang tinggi (KR ≥ 90%) dan kecepatan angin (KA) yang lebih rendah (KA ≤ 80 km/jam/hari) dapat meningkatkan perkembangan penyakit karat tumor (Rahayu, 2012).

Daerah Temanggung merupakan salah satu lokasi di Jawa Tengah yang telah mengalami wabah penyakit karat tumor sejak tahun 2007. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan di daerah Temanggung tersebut sangat sesuai untuk perkembangan penyakit karat tumor. Dengan demikian apabila dilakukan pengamatan di lokasi ini maka respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor akan terlihat dengan jelas.

Respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dengan demikian, evaluasi respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor di Temanggung akan memiliki peluang yang besar untuk dapat mengekspresikan proporsi faktor genetiknya dengan lebih jelas, karena faktor lingkungan untuk mendukung ekspresi respons ketahanan

(7)

terhadap penyakit karat tumor berada dalam kondisi optimal. Balai Besar Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Hutan, Yogyakarta, telah membangun plot pertanaman uji ketahanan sengon di RPH Kenjuran, BKPH Candiroto, Jawa Tengah dalam rangka untuk mengetahui respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor. Penelitian dan pencarian sumber-sumber benih sengon yang toleran terhadap penyakit karat tumor masih sangat diperlukan hingga saat ini. Oleh karena itu, penelitian tentang respons sengon terhadap penyakit karat tumor pada pertanaman uji ketahanan ini perlu dilakukan.

Sama halnya dengan respons tanaman terhadap suatu penyakit, sifat pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Ini dipertegas oleh White dkk., (2007) yang menyatakan bahwa setiap karakteristik pohon yang dapat diukur dan diamati (fenotipe) seperti pertumbuhan, kesehatan, dan reproduksi sangat dipengaruhi oleh potensi genetik dan lingkungan tempat tumbuhnya. Pertumbuhan sengon dari beberapa sumber benih memiliki variasi yang beragam. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada semai sengon umur 2 bulan di persemaian setelah dilakukan inokulasi penyakit karat tumor, yaitu famili yang berasal dari Wamena tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan famili yang berasal dari Jawa. Hal ini terjadi karena famili yang berasal dari Jawa sudah terinfeksi jamur karat tumor sehingga pertumbuhannya menjadi terhambat (Baskorowati, 2011). Semai sengon dari Jawa dengan mudah terserang jamur karat tumor kemungkinan disebabkan oleh keragaman genetik yang rendah. Hal tersebut didukung oleh penelitian menggunakan RAPD yang menunjukkan bahwa keragaman genetik sengon di Jawa tergolong rendah (Suharyanto dkk,. 2002). Famili atau provenans

(8)

yang relatif toleran dan rentan terhadap penyakit karat tumor di lapangan perlu diteliti lebih lanjut terkait proses patogenesis U. falcatarium agar dapat memberikan informasi yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi tindakan pengendalian penyakit karat tumor selanjutnya. Dengan demikian, penelitian terkait respons semai sengon terhadap penyakit karat tumor pada level jaringan juga perlu dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Kebutuhan kayu terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk di Indonesia, sedangkan luas kawasan hutannya telah banyak berkurang karena berbagai hal seperti: pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan/pertanian, pemukiman transmigrasi, ijin pinjam pakai eksplorasi tambang, peristiwa kebakaran hutan dan juga deforestasi baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Kondisi demikian menyebabkan pasokan bahan baku kayu yang berasal dari hutan alam semakin berkurang dan untuk memenuhi kebutuhan kayu tersebut maka pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat perlu dilakukan. Salah satu jenis tanaman hutan yang banyak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan kayu baik untuk konsumsi di dalam maupun di luar negeri adalah sengon (Falcataria moluccana). Hal ini disebabkan karena sengon merupakan jenis yang banyak diminati masyarakat, cepat tumbuh, dan memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Akan tetapi, terdapat kendala yang sering dihadapi dalam mengembangkan sengon, yaitu penyakit karat tumor yang disebabkan oleh jamur karat dari jenis Uromycladium falcatarium Doungsa-ard, McTaggart & R.G. Shivas, sp. nov.

(9)

Penyakit ini dapat menurunkan produktivitas bahkan menimbulkan kematian pada tanaman. Penyakit ini juga telah banyak dilaporkan menyerang tanaman sengon di Pulau Jawa terutama di wilayah Provinsi Jawa Timur sejak tahun 2005. Penyebaran penyakit ini berlanjut hingga ke Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, serta telah menimbulkan kerusakan yang serius dan sekitar 40% tanaman sengon di Desa Kandangan dan Pringsurat terinfeksi jamur karat tumor.

Beragam cara pengendalian sudah dilakukan untuk menekan

perkembangan penyakit karat tumor baik secara fisik, kimia, dan biologi pada tingkat biji, semai, hingga tingkat pohon, namun relatif belum dapat mencapai hasil yang maksimal. Respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Dengan demikian, evaluasi respons tanaman sengon terhadap penyakit karat tumor di pertanaman uji ketahanan sengon akan memiliki peluang yang besar untuk mengekspresikan proporsi faktor genetiknya dengan lebih jelas, karena faktor lingkungan untuk mendukung ekspresi respons ketahanan terhadap penyakit karat tumor berada dalam kondisi optimal. Oleh karena itu, penelitian tentang respons tanaman sengon pada pertanaman uji ketahanan di BKPH Candiroto dan juga respons semai sengon terhadap jamur karat U. falcatarium pada level jaringan setelah inokulasi buatan perlu dilakukan. Peneltian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait asal benih sengon yang toleran terhadap penyakit karat tumor, agar dalam jangka panjang sengon dapat kembali dikembangbiakkan secara lebih baik dan intensif.

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi respons tanaman sengon provenans Papua dan ras lahan Jawa terhadap penyakit karat tumor pada pertanaman uji ketahanan sengon di RPH Kenjuran, BKPH Candiroto, Jawa Tengah.

2. Mengevaluasi respons semai sengon provenans Papua dan ras lahan Jawa terhadap penyakit karat tumor pada level jaringan setelah inokulasi buatan di Laboratorium.

3. Mengevaluasi hubungan antara respons semai sengon pada level jaringan dengan respons tanaman sengon pada level pohon di pertanaman uji ketahanan sengon RPH Kenjuran, BKPH Candiroto, Jawa Tengah.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bersifat komprehensif dan bermanfaat dalam pengembangan sengon pada hutan tanaman dan hutan rakyat di masa mendatang, khususnya dalam penyediaan benih yang toleran terhadap penyakit karat tumor. Benih-benih sengon yang memiliki tingkat ketahanan yang baik sangat potensial digunakan sebagai sumber benih maupun sebagai pohon induk untuk program pemuliaan lebih lanjut dan diharapkan dapat menghasilkan keturunan-keturunan yang juga toleran terhadap penyakit karat tumor. Dengan demikian akan dapat berpengaruh positif pada peningkatan kembali produktivitas sengon, sehingga pemenuhan kebutuhan kayu sengon dapat tercukupi.

(11)

1.5 Hipotesis

1. Tanaman sengon dari provenans Papua pada pertanaman uji ketahanan sengon di RPH Kenjuran, BKPH Candiroto, Jawa Tengah lebih toleran terhadap penyakit karat tumor dibandingkan dengan tanaman sengon dari ras lahan Jawa. Terdapatnya variasi pertumbuhan tanaman sengon sehingga berpotensi adanya korelasi fenotipik dengan sifat ketahanan terhadap penyakit karat tumor.

2. Semai sengon dari provenans Papua akan berpotensi menunjukkan nilai persentase perkecambahan teliospora, persentase penetrasi, dan persentase infeksi yang lebih rendah setelah inokulasi buatan dibandingkan dengan semai sengon dari ras lahan Jawa.

3. Terdapatnya hubungan antara respons tanaman sengon pada level jaringan di Laboratorium dengan respons tanaman sengon pada level pohon di pertanaman uji ketahanan sengon RPH Kenjuran, BKPH Candiroto, Jawa Tengah.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh pemberian kulit umbi kayu (Manihot utilissima pohl) yang difermentasi dengan kapang Penicillium sp dalam ransum terhadap performa broiler..

Dengan demikian untuk mendapatkan ukuran kemiskinan sampai tingkat desa yang bersumber dari data survei yang dirancang untuk menghasilkan estimasi parameter hanya pada

Manfaat bisnis TI (IT business value) [1][2][3] didefinisikan sebagai manfaat atau hasil yang diperoleh dari suatu investasi TI yang dapat meningkatkan kinerja

Sebaliknya, jika nilai error tidak sama dengan nol maka terdapat halangan di sekitar kursi roda, aksi selanjutnya yaitu mengumpankan nilai error tersebut pada

Bagian analisis yang disajikan dalam paper ini berasal dari penelitian yang menganalisis sebanyak 7 (tujuh) variabel, yakni variabel ekspor pertanian, variabel ekspor

Hasil dari penelitian ini adalah 1 pertumbuhan perusahaan yang diproksikan dengan pertumbuhan aset, kepemilikan institusional, dan Return on Assets secara pasial mempunyai pengaruh

Another interest technology is proposed by Bak et al. [133], which is person re- identification. Person re-identification is the task to find the same individual across a network

• Diversity of approaches: Most literature focused on ankle-foot orthosis (AFO) and an upper-limb splint. To consider diversity in approach, the literature for