• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA LISAN DALAM KONTEKS MASA PANDEMI COVID-19

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INOVASI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA LISAN DALAM KONTEKS MASA PANDEMI COVID-19"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

107

INOVASI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA LISAN

DALAM KONTEKS MASA PANDEMI COVID-19

oleh

I Kadek Adhi Dwipayana

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia adhidwipa88@gmail.com

Abstrak

Pandemi covid-19 merupakan bencana besar yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Wabah covid-19 telah membuat sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat berjalan dengan maksimal. Inovasi perlu dilakukan dalam sistem pembelajaran saat ini sebagai upaya mengatasi problematika pendidikan, khususnya dalam pembelajaran apresiasi sastra lisan yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19. Permasalahan pembelajaran sastra sesungguhnya bukan baru terjadi saat pandemi covid-19 ini saja. Permasalahan pembelajaran sastra sudah dari dulu mengalami kendala dalam konteks kreasi dan inovasi. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran sastra pada konteks kekinian sudah sangat urgent untuk dilakukan terlebih lagi pada masa pandemi covid-19. Masa pandemi covid-19 membuat para pengajar harus melakukan sikap yang adaptif. Metode Blended

learning dapat dijadikan solusi pembelajaran inovatif dan kreatif. Blended learning

mengacu pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, terditi atas, (1)

seeking of information, (2) acquisition of information, dan (3) synthesizing of knowledge.

Sosial media, seperti faaceebook dan youtube sesungguhnya dapat dimanfaat sebagai media inovatif pembelajaran apresiasi sastra selama pandemi covid-19.

Kata kunci : Inovasi, Pembelajaran Sastra Lisan, Pandemi Covid-19

INNOVATION IN LEARNING APPRECIATION OF ORAL

LITERATURE IN THE PANDEMIC

CONTEXT OF THE COVID-19

Abstract

The Covid-19 pandemic is a major disaster that cannot be predicted beforehand. The covid-19 outbreak has made the education system in Indonesia unable to run optimally. Innovations need to be made in the current learning system as an effort to overcome educational problems, especially in learning the appreciation of oral literature caused by the Covid-19 pandemic. The problem of literary learning is not just happening during the Covid-19 pandemic. Literature learning problems have always experienced obstacles in the context of creation and innovation. The use of technology in literary learning in the current context is very urgent to do, especially during the Covid-19 pandemic. During the Covid-19 pandemic, teachers must adopt an adaptive attitude. Blended learning methods can be used as innovative and creative learning solutions. Blended learning refers to learning based on information and communication technology, is based on, (1) seeking of information, (2) acquisition of information, and (3) synthesizing of knowledge. Social media, such as Facebook and YouTube, can actually be used as an innovative medium for learning literary appreciation during the Covid-19 pandemic.

(2)

108

1. PENDAHULUAN

astra lisan masih sangat relevan dan memiliki nilai tawar yang sangat tinggi dalam konteks kekinian. Tradisi sastra lisan (oral tradition) masyarakat Bali melingkupi bermacam hal yang berhubungan dengan bahasa, sastra, histori, biografi, pengetahuan, dan kesenian yang disampaikan secara lisan. Di dalam karya sastra, termasuk sastra lisan terkandung idealisasi pengarang dan sensibilitas terhadap budaya yang sangat tinggi (Dwipayana, 2019). Tradisi sastra lisan merupakan bentuk ekspresi material pengalaman manusia dan representasi nilai-nilai luhur sosial budaya yang mengandung kebenaran universal dari sifat dasar manusia. Sastra lisan merupakan bentuk pewarisan adat-istiadat yang lahir dari suatu kelompok masyarakat yang disampaikan atau diwariskan secara lisan kepada tiap generasi.

Sudjiman (1995: 15) mengungkapkan bahwa:

“Sastra lisan banyak yang sifatnya mendidik bimbingan moral, keteladanan, kearifan hidup, yaitu hidup bermasyarakat dan hidup

beragama. Sifat lain dari sastra lisan adalah menghibur yakni dalalam sastra lisan terdapat kemerduan permainan bunyi, keteraturan rima, serta gaya bahasa dan majas. Dalam penyajiannya, sastra lisan banyak yangmemikat, menyejukkan perasaan, dan menimbulkan rasa keindahan sehingga persoalan hidup yang tidak menyenangkan terlupakan untuk sesaat.”

Dari perspektif sosiokultural karya sastra menanamkan kesadaran pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai ideologi budaya (Dwipayana, 2018). Di dalam sastra lisan tersimpan harmoni dan estetika yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam pembentukan karakter anak yang cinta terhadap kearifan lokal (local wisdom) sebagai identitas bangsa Indonesia. Suatu sastra lisan ini lahir dan berkembang didasari oleh adanya motivasi, kreasi, dan ide pencipta dalam mentransformasikan nilai-nilai dan norma-norma etika, moral, dan religi kepada para masyarakat. Tradisi sastra lisan dapat digunakan sebagai media pencerahan nilai-nilai kehidupan manusia yang biasanya dijadikan sebagai pedoman, baik dalam bertutur kata maupun bersikap

S

(3)

109 sesuai dengan norma-norma yang

berlaku di masyarakat.

Proses humanisasi peserta didik melalui sastra lisan harus diutamakan untuk menciptakan anak-anak yang berkarakter, beradab, bermartabat, dan cinta tanah air. Humanisasi melalui sastra lisan dipandang sebagai proses pembentukan karakter yang melihat manusia pada hakikatnya sebagai makhluk yang beretika dan bermoral (human being). Mangunwijaya (dalam Tilaar, 2000: 189) menyatakan bahwa humanisasi bukan hanya sekadar hidup tetapi untuk mewujudkan eksistensi yaitu bahwa manusia harus hidup berdampingan sebagai makhluk ciptaan tuhan. Sastra lisan mengarahkan proses tingkah laku anak kepada nilai-nilai kehidupan yang vertikal maupun horizontal.

Sastra lisan merupakan bagian dari kekayaan budaya yang eksistensinya sangat bergantung pada masyarakat pendukungnya. Perkembangan sastra lisan sekarang ini sangat memprihatinkan. Hal ini sesuai dengan pandangan Moehanto (1987) yang menyatakan bahwa

sastra lisan adalah bentuk tradisi kultural yang bersifat komunal, di mana ia lahir, hidup, dan berkembang oleh masyarakat, maka perkembangan dan pasang surutnya pun juga mengikuti dinamika yang terjadi di masyarakat. Eksistensi pembelajaran sastra lisan seakan-akan melemah, terlebih lagi pada masa pandemi covid-19 membuat pembelajaran apresiasi sastra tidak dapat berjalan dengan maksimal. Pandemi covid-19 adalah bencana besar dunia yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Semua sendi-sendi kehidupan menjadi lumpuh total, termasuk dunia pendidikan mendapatkan imbasnya. Selama pandemi covid-19, proses pendidikan terkendala total sebab antara guru dan siswa dilarang bertatap muka untuk menghindari penularan virus secara massif. Kegiatan pembelajaran yang biasanya dilaksanakan tatap muka di sekolah dialihkan secara daring. Kondisi ini seyogyanya dapat digunakan oleh pendidik untuk mengembangakan keterampilan memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Inovasi adalah kata kunci yang dapat

(4)

110

dilakukan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran di masa pandemi covid-19 saat ini. Selain itu, kreativitas guru juga harus ditingkat dalam pembelajaran apresiasi sastra untuk meningkatkan kompotensi siswa di saat krisis seperti ini. Guru harus melek teknologi dan mampu menerapkannya dengan baik, meskipun dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Sudah saatnya pengimplementasian teknologi secara efektif diterapkan oleh sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan siswa di dalam pembelajaran. Namun, ternyata pembelajaran secara daring membawa sejumlah masalah, seperti kesiapan pendidik, fasilitas pendukung pembelajaran, akses internet, dan sebagainya baik dari sisi pendidik maupun peserta didik. Kesiapan psikologis pendidik dalam menerapkan pembelajaran secara daring sangat ditentukan oleh sikap, pengetahuan, dan kemampuan dalam

mengintegrasikan konten

pembelajaran dalam perangkat teknologi.

Berdasarkan pemasalahan tersebut di atas, artikel ini bertujuan

untuk sharing wawasan dan pengetahuan tentang inovasi yang dapat dilakukan di dalam pembelajaran apresiasi sastra dalam konteks pandemi covid-19.

2. PEMBAHASAN

2.1 Sastra Lisan Sebagai Media Pendidikan Karakter

Revitalisasi tradisi sastra lisan dalam pembelajaran dapat dikatakan sebagai upaya penanaman pendidikan karakter melalui pendekatan budaya. Revitalisasi tradisi sastra lisan dalam kehidupan anak adalah suatu keharusan untuk menanggapi radikalisme secara dialogis dan absorsi. Menanamkan sejak dini nilai luhur sastra lisan kepada anak dapat membentuk karakter siswa dan secara tidak langsung menghidupkan kembali tradisi lokal yang memiliki kekayaan nilai-nilai local wisdom. Kandungan nilai dari tradisi sastra lisan dalam diri anak tidak hanya akan bersifat

defence melawan gempuran

radikalisme, tetapi juga bersifat menyerang (attack) balik paham radikalis tersebut. Hal itu dikarenakan ajaran serta nilai-nilai

(5)

111 kearifan lokal dalam sastra lisan

adalah dua hal yang sangat bertentangan dengan sifat-sifat kekerasan yang menjadi karakter radikalisme. Oleh karena itu, apabila dua hal berbeda ini dipertemukan maka akan terjadi persinggungan di antara keduanya.

Revitalisasi tradisi sastra lisan dalam kehidupan, baik keluarga maupun lembaga pendidikan adalah tindakan yang paling realitis dan strategis dilakukan untuk menjauhkan anak dari pengaruh negatif. Dalam konteks ideologis etnis, tradisi sastra lisan menawarkan nilai-nilai luhur kearifan lokal etnis. Tradisi sastra lisan itu adalah ungkapan rasa dan representasi kultural etnis. Melalui tradisi sastra lisan, seseorang ingin menyampaikan gagasan yang menyangkut realita kehidupan yang dibingkai dengan nuansa fiktif imanjinatif. Sedangkan, dalam konteks filosofis, tradisi sastra lisan dipandang sebagai representasi cipta, rasa, dan karsa manusia yang dapat dilihat dari tiga perspektif, yaitu (1) sastra lisan merupakan rangkaian dari alur kehidupan dan keberadaan manusia, (2) media bagi

manusia untuk menemukan jati diri dan hakikat hidup, dan (3) ajaran etika bagi manusia (Moehanto, 1987). Tradisi sastra lisan berdasarkan perspektif filosofis dapat direpresentasikan sebagai pengetahuan atau pendidikan yang berupa wejangan-wejangan/ petuah-petuah/ ”pitutur” untuk anak agar dapat hidup harmonis dan berdampingan dalam masyarakat (Kattsof, 2004). Nilai yang terkandung di dalam suatu tradisi sastra lisan juga dapat dijadikan sebagai media humanisasi diri. Tradisi sastra lisan juga berupaya mendorong penciptaan insan yang beradab, memanusiakan manusia, memperkenalkan keuniversalan sifat manusia, melatih kecerdasan emosional, dan mempertajam penalaran.

Dari konteks spiritual, tradisi sastra lisan dapat dipandang sebagai komponen pengajaran agama yang mampu memberikan kesadaran tentang hakikat interelasi manusia dengan Tuhan. Ajaran spiritual dalam tradisi sastra lisan dapat berperan sebagai penanaman cinta kasih serta mendidik anak menuju

(6)

112

keterwujudan akhlak dan budi yang luhur, sehingga tercapai ketentraman dan kedamaian jiwa. Selain itu, ajaran spiritual dalam sastra lisan akan menciptakan pribadi anak yang lebih peka, cerdas, dan tanggap dalam menyikapi dan menghadapi permasalahan sosial di masyarakat, salah satunya tentang paham radikalisme. Karakter anak yang dibentuk dengan ajaran-ajaran luhur spiritual akan memiliki jiwa yang lebih peka dan cerdas untuk menolak semua peristiwa yang berbau kekerasan dan ketidakadilan di dalam masyarakat, seperti tindakan radikalisme.

2.2 Permasalahan Pembelajaran Sastra di Sekolah

Sekolah sebagai ruang bagi anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan dan pembentukan

karakter harus mampu

mentransmisikan nilai-nilai luhur budaya daerah, seperti etika, moral, dan sopan santun agar anak tidak terjerumus oleh pengaruh-pengaruh negatif pergaulan. Peserta didik era milenia mulai pudar mentalitas lokalitasnya, mereka haruslah

sesegera mungkin dikuatkan (diuprgade) lagi mentalitas lokalitasnya dengan pengenalan kembali budaya daerah melalui pengajaran sastra lisan. Dengan begitu, kesadaran peserta didik akan local wisdom yang terkandung di dalam tradisi sastra lisan tetap akan terjaga. Melalui pembelajaran sastra lisan di sekolah, diharapkan pendidikan karakter digunakan untuk membentuk karakter peserta didik agar menjadi manusia yang cerdas dan beretika.

Apresiasi terhadap sastra lisan adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pengajaran sastra yang berkenaan dengan pembinaan kepekaan peserta didik terhadap fenomena estetis, dan merupakan perluasan cakrawala tentang nilai-nilai manusia. Penghayatan mengenai fenomena estetis akan menjadikan peserta didik lebih tanggap pula terhadap kebudayaan sebagai hasil kreativitas manusia dalam kesejarahannya. Pembelajaran sastra lisan pada lembaga pendidikan telah mampu menjadi guiding light yang berfungsi untuk menuntun manusia berbudi pekerti luhur.

(7)

113 Permasalahan pembelajaran

sastra sesungguhnya bukan baru terjadi saat pandemi covid-19 ini saja. Permasalahan pembelajaran sastra sudah dari dulu mengalami kendala dalam konteks kreasi dan inovasi. Pengajaran sastra yang kreatif dan inovatif merupakan pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan dari dulu hingga saat ini. Pengajaran sastra lisan saat ini bisa dikatakan masih terkesan mengalami stagnasi. Peserta didik merasa kurang tertarik dan merasa kurang bermakna bila bersentuhan dengan sastra. Hal ini dikarenakan pelajaran sastra masih berkubang dalam persoalan struktur dan teori. Dibutuhkan sebuah terobosan dan inovasi untuk membangkitkan semangat anak dalam bersastra, khususnya sastra lisan. Pengajaran sastra harus mulai bangkit dari kubangan pengajaran sastra yang bersifat teoretis. Pengajaran sastra harus mulai meninggalkan tradisi yang menjejali siswa dengan analisis struktural dan menghafal periodisasi. Pembelajaran sastra, khususnya sastra lisan harus berorientasi peserta didik, yakni apresiasi peserta didik terhadap

karya sastra menjadi sentral. Guru juga harus miliki wawasan yang luas agar dirinya mampu memilih sastra lisan yang berbasis pendidikan karakter kepada anak. Guru tidak hanya sekadar tahu tetapi harus memiliki segudang pengalaman dalam konteks sastra lisan. Pengalaman itu dapat digunakan sebagai strategi untuk membuat anak terpukau dengan cerita yang guru sampaikan, sehingga anak menjadi termotivasi dan memperoleh wawasan baru karena bersentuhan langsung dengan sastra lisan yang diceritakan. Anak akan merasakan dunia sastra lisan yang langsung dan autentik, mengalami, dan bersentuhan langsung dengan sastra lisan.

2.3 Memahami Karakteristik Pembelajaran Apresiasi Sastra

Menciptakan inovasi dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah perlu terlebih dahulu mengidentifikasi karakteristik pembelajaran sastra. Dalam konteks kurikulum, konsep dasar pembelajaran sastra pada mata

(8)

114

pelajaran bahasa Indonesia secara substansial menunjukkan posisi pembelajaran sastra yang dideskripsikan secara jelas dan operasional. Kejelasan posisi ini diungkapkan dalam tujuan umum pembelajaran, yaitu siswa dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri. Di dalam kurikulum, tujuan pembelajaran sastra secara umum tersebut dijabarkan lagi dalam beberapa tujuan yang bersifat operasional. Tujuan operasional yang berkaitan dengan pengetahuan sastra, yaitu siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu, dari pembelajaran sastra siswa diharapkan dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Pada umumnya pembelajaran bahasa dan sastra memiliki

kemiripan pada aspek keterampilan yang meliputi, aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Bahasa dan sastra sama-sama

memiliki tujuan yakni

menstranformasikan nilai-nilai peradaban bangsa kepada para peserta didik. Bahasa berada dalam konteks penyampaian informasi atau pemikiran idealisasi. Sedangkan, sastra berada dalam posisi sebagai media pemahaman gejala individual maupun sosial sehinga dapat meningkatkan sensibilitas dan kecerdasan adaptif perserta didik terhadap lingkungan sekitar. Pembelajaran sastra juga perlu dipahami sebagai pembelajaran yang bersifat produktif dan reseptif. Aspek produktif di dalam apresiasi karya sastra adalah upaya menghasilkan sebuah interpretasi ide yang dituangkan melalui resensi tulisan maupun tanggapan argumentasi. Sedangkan, aspek reseptif di dalam pembelajaran apresiasi karya sastra adalah upaya mengembangan kemampuan berpikir kritis, kepakaan intuisi atau perasaan, dan kemampuan estetis melalui proses membaca atau mendengarkan karya

(9)

115 sastra. Effendi (dalam Aminudin,

2004:35) mengatakan bahwa kegiatan apresiasi sastra adalah upaya “menggauli” karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga

menumbuhkan pengertian

penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik

apabila pembaca mampu

menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidup peserta didik.

Beranjak dari karakteristik di atas, pembelajaran sastra dalam tatanan konteks kekiniaan dapat mengakomodasi karakteristik yang ada jika dilaksanakan secara daring dan atau luring dengan memanfaatkan teknologi. Di tengah kondisi yang ada, pencapaian keterampilan aspek yang bersifat produktif dan reseptif sebagaimana tujuan yang ditetapkan haruslah tetap diupayakan. Pembelajaran haruslah dapat dilaksanakan secara holistik sebagaimana pendapat Miller (2010,

yaitu pembelajaran bukan sekadar penguasaan kognitif atau pengetahuan semata-mata tetapi merangkul aspek afektif dan psikomotorik.

2.4 Pemanfaatan Blended Learning dalam Pembelajaran Sastra

Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran sastra pada konteks kekinian sudah sangat urgent untuk dilakukan terlebih lagi pada masa pandemi covid-19. Masa pandemi covid-19 membuat para pengajar harus melakukan sikap yang adaptif. Di era saat ini adapatasi pembelajaran sastra berbasis teknologi sudah semestinya segera bisa dilakukan untuk meningkatkan kompetensi peserta didik. Tuntutan keadaan dan memasuki era 4.0 adalah sebuah respons kreatif terhadap tuntutan keadaan dengan memanfaatkan teknologi digital, open sources contents, dan global classroom dalam penerapan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), flexible education system (Huang, dkk., 2020) untuk memainkan peran yang lebih baik menyikapi keadaan yang ada. Salah

(10)

116

satu metode inovatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran apresiasi sastra saat ini adalah Blanded Learning. Blended learning adalah metode pembelajaran dengan menggabungkan pembelajaran tatap muka di kelas dan pembelajaran daring (Watson, 2018). Menurut Kenney dan Newcombe (2011) komposisi pembelajaran dalam blended learning adalah 30% untuk tatap muka dan 70% secara daring. Secara mendasar terdapat tiga tahapan dasar dalam blended

learning yang mengacu

pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, seperti yang diusulkan oleh Ramsay (2001), yakni (1) seeking of information, (2) acquisition of information, dan (3) synthesizing of knowledge. Seeking of information, mencakup pencarian informasi dari berbagai sumber informasi yang tersedia, memilih secara kritis di antara sumber penyedia informasi dengan berpatokan pada content of

relevantion, content of

validity/releability, dan academic clarity. Guru dalam hal ini dapat berperan sebagai pakar yang bisa

memberikan masukan dan nasihat guna membatasi pebelajar dari tumpukan informasi potensial. Pada tahapan acquisition of information, pelajar secara individual maupun dalam kelompok kooperatif-kolaboratif berupaya untuk menemukan, memahami, serta mengkonfrontasikannya dengan ide atau gagasan yang telah ada dalam pikiran pelajar, kemudian menginterprestasikan

informasi/pengetahuan dari berbagai sumber yang tersedia, sampai mereka mampu kembali mengomunikasikan dan menginterpretasikan ide-ide dan hasil interprestasinya menggunakan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi. Tahap terakhir pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi adalah tahap synthesizing of knowledge, yakni mengonstruksi/merekonstruksi pengetahuan melalui proses asimilasi dan akomodasi bertolak dari hasil analisis, diskusi, dan perumusan kesimpulan dari informasi yang diperoleh.

Blended Learning merupakan

pembelajaran yang

(11)

117 strategi pembelajaran sinkron dan

asinkron dalam rangka menciptakan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sesi pembelajaran sinkron (synchronous learning) adalah sesi ketika proses pembelajaran (pendidik dan peserta didik) bertemu pada waktu yang sama. Sesi sinkronous dapat berlangsung dengan tatap muka pada tempat yang sama ataupun pada tempat yang berbeda dengan menggunakan bantuan teknologi. Pada masa pandemi covid-19 pembelajaran apresiasi sastra hendaknya dapat direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi secara baik untuk melihat ketercapaian tujuan yang ditargenkan. Pembelajaran apresiasi sastra menggunakan blended learning, perlu dipertimbangkan dan dirancang dengan baik saat kapan sesi sinkron dan asinkron dilaksanakan. Perlu juga dipikirkan lebih lanjut pengaturan pemilihan sesi sinkron (langsung atau maya) dan sesi asinkron (mandiri atau kolaboratif) yang tentunya sangat tergantung dari karakteristik materi dan strategi

pendidik untuk mencapai hasil yang diharapkan.

2.5 Pemanfaatan Konten Kreatif Media Sosial dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra

Pendidikan pada prosesnya diharapkan mampu merubah perilaku siswa yang makberkaitan dengan pengembangan dirinya sebagai individu maupun makhluk sosial. Peserta didik diharapkan dan mampu melakukan prinsip 5 M (menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta) terhadap apa yang dipelajari dan dipahami oleh peserta didik berdasarkan monitoring pendidik. Sehingga proses pendidikan yang dibutuhkan menjadi siswa yang mandiri. Untuk mencapai prinsip 5 M tersebut, keterampilan pemilihan media pembelajaran dalam konteks kekinian sangat penting dilakukan oleh para pengajar. Pemilihan media pembelajaran harus memperhatikan beberapa hal di

antaranya adalah media

pembelajaran harus mampu mendorong peserta didik menata dan mengisi pengalaman baru dengan berpedoman pada masa lalu yang

(12)

118

pernah dialami. Selain itu, media pembelajaran harus dirancang untuk meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, dan keterampilan baru sehingga dapat mendodorng masing-masing peserta didik meraih semaksimal mungkin pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhan dasarnya, serta keterampilan yang diperlukan.

Sosial media, seperti

faaceebook dan youtube

sesungguhnya dapat dimanfaat sebagai media inovatif pembelajaran apresiasi sastra selama pandemi covid-19. Guru dapat memanfaatkan media youtube sebagai sumber dalam pembelajaran sastra. Saat ini banyak konten-konten kreatif di media youtube, seperti pembacaan dongeng, puisi, drama, dan sebagainya yang tersebar di media youtube. Konten-konten kreatif tersebut dapat digunakan sebagai referensi dan sumber rujukan bagi siswa di dalam belajar sastra. Bahkan, siswa dapat dibimbing untuk produktif bersastra dan mempublikasikan karya yang dibuat ke dalam sosial media sehingga

masyarakat luas dapat mengapresiasi karya yang dibuat oleh siswa. Pembelajaran semacam ini dapat menumbuhkan daya kreatif, kritis, dan sensibilitas siswa di dalam berkarya membuat konten-konten sastra yang menarik.Penggunaan Youtube sebagai media pembantu di dalam pembelajaran apresiasi sastra melalui presentasi secara online maupun offline. Pemanfaatan youtube sebagai media pembelajaran dapat digunakan setiap saat tanpa dibatasi olah ruang dan waktu sehingga menciptakan kondisi dan suasana pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan interaktif.

Media youtube juga sangat efektif sebagai media pembelajaran apresiasi sastra, efektivitasnya dapat ditinjau dalam konteks audiovisual yang ditawarkan. Siswa tidak hanya mendapatkan konsep teoritis tetapi juga mendapatkan aspek realistis dari karya sastra karena efek audiovisual yang dimilikinya. Untuk mengoptimalkan pengintegrasian media ini ke dalam proses pembelajaran apresiasi sastra, para pengajar hendaknya tidak hanya berperan sebagai fasilitataor tetapi

(13)

119 harus menjadi kreator yang mampu

memberikan tutorial dan pemodelan dalam penggunaan media youtube kepada siswa.

Gambar 1. Contoh konten kreatif sastra lisan di youtube “Timun Mas dan Buto Ijo, sumber Riri Cerita Anak kreatif

Gambar 2. Konten dongeng di youtube “Kancail dan Pak Tani,” sumber Riri Cerita anak Interaktif

Selama pandemi covid-19, para komunitas sastra secara masif bergerak melakukan aktivitas bersastra melalui akun facebook mereka masing-masing. Salah satu komunitas sastra, yaitu misalnya Suara Saking Bali dengan rutin selama pandemi covid-19 melakukan aktivitas pebacaan karya sastra, seperti puisi Bali modern, mendongeng Bali (satua) atau pembacaan cerpen Bali modern. Selain itu, komunitas Mahima di Singaraja juga rutin melakukan aktivitas bersastra secara online di laman facebook. Setiap anggota komunitas diberikan kesempatan secara bergilir untuk melakukan mengeskpresikan diri dengan membacakan dongeng, puisi, dan cerpen Indonesia modern. Aktivitas ini sangat kreatif dan positif bagi perkembangan sastra di dunia online untuk tetap menjaga atmosfer bersastra di masa pandemi covid-19. Ide atau kreativitas seperti ini menunjukkan bahwa semangat bersastra tidak dapat dihalangi oleh pandemi sekalipun.

(14)

120

3. SIMPULAN

Sekolah sebagai ruang bagi anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan dan pembentukan

karakter harus mampu

mentransmisikan nilai-nilai luhur budaya daerah, seperti etika, moral, dan sopan santun agar anak tidak terjerumus oleh pengaruh-pengaruh negatif globalisme, termasuk salah satunya paham radikalisme. Anak-anak era milenia sekarang mulai pudar mentalitas lokalitasnya, mereka haruslah sesegera mungkin dikuatkan lagi mentalitas lokalitasnya dengan pengenalan kembali budaya daerah melalui pengajaran sastra lisan.

Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran sastra pada konteks kekinian sudah sangat urgent untuk dilakukan terlebih lagi pada masa pandemi covid-19. Masa pandemi covid-19 membuat para pengajar harus melakukan sikap yang adaptif. Salah satu metode inovatif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran apresiasi sastra saat ini adalah Blanded Learning. Blended learning adalah metode pembelajaran dengan menggabungkan pembelajaran tatap

muka di kelas dan pembelajaran daring.

Pemilihan media

pembelajaran harus memperhatikan beberapa hal di antaranya adalah media pembelajaran harus mampu mendorong peserta didik menata dan mengisi pengalaman baru dengan berpedoman pada masa lalu yang pernah dialami. Selain itu, media pembelajaran harus dirancang untuk meningkatkan transfer pengetahuan baru, pengalaman baru, dan keterampilan baru sehingga dapat mendodorng masing-masing peserta didik meraih semaksimal mungkin pengetahuan yang diinginkannya, apa yang menjadi kebutuhan dasarnya, serta keterampilan yang diperlukan. Sosial media, seperti

faaceebook dan youtube

sesungguhnya dapat dimanfaat sebagai media inovatif pembelajaran apresiasi sastra selama pandemi covid-19. Guru dapat memanfaatkan media youtube sebagai sumber dalam pembelajaran sastra. Saat ini banyak konten-konten kreatif di media youtube, seperti pembacaan dongeng, puisi, drama, dan sebagainya yang tersebar di media

(15)

121 youtube. Konten-konten kreatif

tersebut dapat digunakan sebagai referensi dan sumber rujukan bagi siswa di dalam belajar sastra.

REFERENSI

Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar baru Algesindo.

Budiman, Kris. 2003. Dari Saman ke larung, Menemukan Kembali Sisa-sia Feminitas. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Edisi 30,

halaman 7.

Dwipayana, I Kadek Adhi dan Gede Sidi Artajaya. 2018. Hegemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya Sastra Berlatar Sosiokultural Bali. Jurnal Kajian Bali: Journal of Bali Studies. Volume 08, Nomor 02, Oktober 2018, hlm 85-104.

Dwipayana, I Kadek Adhi dan Ida Bagus Gede Bawa Adnyana. 2019. Legitimasi Hukum Adat Bali dalam Karya Sastra Kultural. Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Volume 12,

Nomor 2, Agustus 2019, hlm 208-222.

Haryadi. 1994. Sastra Melayu.

Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Huang, R. H., Liu, D. J., Tlili, A., Yang,

J. F., & Wang, H. H. (2020). Handbook on facilitating flexible learning during educational disruption: The Chinese experience in maintaining undisrupted

learning in COVID-19 Outbreak. Beijing: Smart Learning Institute of Beijing Normal University.

Kattsof, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono

Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Kenney, J., & Newcombe, E. (2011). Adopting a blended learning approach: Challenges encountered and lessons learned in an action research

study. Journal of

Asynchronous Learning Networks, 15(1), 45-57.

Miller, J. P. (2010). Whole child education. Toronto: University of Toronto Press.

Moehanto, Budhy. 1987. Tuntunan

Sekar Macapat. Pemalang: CV

Mitra Utama.

Ramsay, G. (2001). Teaching and Learning With Information and Communication Technology: Succes Through a Whole School Approach. National Educational Computing Conference, July 25-27. Chicago.

Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra

Lisan (Satua) di Bali. Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna.

Denpasar: Pustaka Larasan. Tilaar. 2000. Paradigma Baru

Pendidikan Nasional. Jakarta:

Gambar

Gambar  1.  Contoh  konten  kreatif  sastra  lisan di youtube “Timun Mas  dan  Buto  Ijo,  sumber  Riri  Cerita Anak kreatif

Referensi

Dokumen terkait

Jaminan Kesehatan Warganegara Dalam Pilkada Serentak di Masa Pandemi Covid-19; Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh Pemerintah Pada Masa Pandemi Covid-19; Reformasi Layanan

Dengan hal tersebut, maka sejak pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Daerah kabupaten Sidenreng Rappang telah melakukan penerapan kebijakan otonomi desa telah

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Survei terhadap pelaksanaan pembelajaran daring mendapat tanggapan cukup baik dari peserta didik pada

1. Ditinjau dari aspek Context yang meliputi tujuan pembelajaran dan kebutuhan pembelajaran pada pelaksanaan pembelajaran daring pada masa pandemi COVID-19

"EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN DARING MATA KULIAH EVALUASI PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA MASA PANDEMI COVID-19", Jurnal Ilmiah SEMANTIKA,

selanjutnya disingkat SIK Perekam Medis adalah bukti tertulis yang diberikan untuk menjalankan pekerjaan rekam medis dan informasi kesehatan pada fasilitas pelayanan

Mulyono (2008) prestasi non akademik adalah “Prestasi atau kemampuan yang dicapai siswa dari kegiatan yang diadakan di luar jam atau lebih dikenal dengan kegiatan

Memastikan penanganan warga sekolah yang terdaftar dalam kontak erat sebagaimana rekomendasi dari satuan tugas penanganan COVID-19 atau fasilitas pelayanan kesehatan;.