Majelis Guru Besar
Institut Teknologi Bandung
Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Profesor Deny Juanda Puradimaja
Hidrogeologi Kawasan Gunungapi
dan Karst di Indonesia
22 Desember 2006
Balai Pertemuan Ilmiah ITB
© Hak cipta ada pada penulis
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke Hadirat Allah SWT yang telah memberi amanah
kepada penulis sebagai Guru Besar Institut Teknologi Bandung
dalam bidang ilmu hidrogeologi.
Suatu kehormatan bagi penulis untuk dapat menyampaikan
Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung, sesuai
dengan fokus bidang kajian penulis dengan judul:
Hidrogeologi Kawasan Gunungapi dan Karst di Indonesia
Buku pidato ilmiah ini berisi tiga bagian. Bagian pertama, berisi
uraian singkat mengenai Hidrogeologi Kawasan Gunungapi dan
Karst di Indonesia yang dilengkapi contoh hasil penelitian yang
telah dilakukan; paradigma baru pengelolaan airtanah; dan
rencana kegiatan riset ke depan. Bagian kedua, berisi Rekaman
Karya Ilmiah; dan bagian ketiga, berisi biodata.
Semoga acara dan substansi keilmuan yang diuraikan secara
singkat ini dapat berkontribusi dalam upaya ITB untuk
meningkatkan mutu secara berkelanjutan dan juga bermanfaat
bagi komunitas ilmuwan bidang hidrogeologi dan geologi, serta
mahasiswa dan masyarakat luas yang membutuhkannya.
Bandung, 22 Desember 2006
Deny Juanda Puradimaja
Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
1. Pendahuluan ...1
2. Sekilas tentang Hidrogeologi Kawasan Gunungapi ...7
3. Sekilas tentang Hidrogeologi Kawasan Karst...19
4. Pengelolaan Airtanah berbasis Akifer...28
5. Rencana Pengembangan Riset Bidang Hidrogeologi...36
6. Ucapan Terimakasih ...40
7. Daftar Pustaka...44
Rekaman Karya Ilmiah ...48
1. PENDAHULUAN
Pemahaman mengenai sistem tata air di alam meliputi tiga sistem
hidrologi, yaitu: air di atmosfer, air di permukaan bumi, dan air di
bawah permukaan bumi. Khususnya air di bawah permukaan
bumi berada pada akifer yang membentuk suatu sistem akifer –
akiklud yang disebut cekungan hidrogeologi atau cekungan
airtanah (Gambar 1.1). Cekungan hidrogeologi tidak selalu
berbentuk cekung tetapi dapat berupa lapisan akifer yang
mendatar, miring, terlipat dan atau terpatahkan.
Gambar 1.1 Tiga Sistem Hidrologi (Castany, G., 1982)
Akifer adalah lapisan batuan / tanah yang mampu menyimpan
dan mengalirkan air. Sedangkan akiklud adalah lapisan batuan /
tanah yang kedap air.
2
Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar
Institut Teknologi Bandung
International Association of Hydrogeologist (IAH) pada situsnya
www.iah.org
, mendefinisikan hidrogeologi sebagai cabang ilmu
geologi yang mempelajari interaksi airtanah dalam sistem
geologi. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi mekanis, kimia,
dan termal antara air dengan padatan berbentuk akifer serta
transportasi energi dan unsur kimia dalam aliran air (Domenico
dan Schwartz, 1990). Menurut definisi tersebut, observasi dalam
hidrogeologi dilakukan terhadap dua bagian yaitu aspek padatan
(sifat fisik dan hidrolik batuan penyusun akifer) dan aspek fluida
(aliran air dalam akifer).
Di Indonesia, potensi airtanah tersebar pada 224 cekungan
airtanah (groundwater basin), sebagaimana disajikan pada Gambar
1.2 (A), dengan potensi cadangan sebesar 4,7 milyar m
3/tahun
(Soetrisno, 1993). Air hujan menjadi faktor penting sebagai
imbuhan airtanah. Karakteristik Indonesia yang beriklim tropis
memiliki keadaan musim hujan dan musim kemarau yang telah
diteliti oleh Oldeman dan Frere (1982) sebagaimana pada Gambar
1.2 (B) dan 1.2(C). Suatu cekungan airtanah dicirikan oleh kondisi
geologi dan hidrologi tertentu, membentuk berbagai tipologi
sistem akifer berikut ini (Gambar 1.3.1 – 1.3.6): (1) sistem akifer
endapan gunungapi; (2) sistem akifer batugamping karst; (3)
sistem akifer batuan sedimen terlipat; (4) sistem akifer endapan
3
aluvial sungai; (5) sistem akifer endapan pantai; (6)
sistem akiferbatuan kristalin
. Suatu sistem akifer dapat mempunyai bentuk
tubuh air berupa matair yang kehadirannya dikendalikan oleh
topografi, jenis litologi, struktur perlapisan, dan struktur patahan
sebagaimana klasifikasi penamaan mataair oleh Fetter (1994)
(Gambar 1.3.7); dan dapat pula airtanah berada pada akifer bebas
atau akifer tertekan.
Dari enam sistem akifer di alam, penulis memilih dua sistem
akifer yang menjadi fokus pendalaman keilmuan yaitu sistem
akifer endapan gunungapi dan sistem akifer karst sebagaimana
disajikan pada Gambar 1.4. Penelitian hidrogeologi pada kedua
sistem ini tergolong langka di Indonesia.
Hal yang menarik dari segi potensi airnya, mataair pada sistem
gunungapi memiliki variasi debit mulai beberapa liter hingga
puluhan bahkan ratusan liter per detik. Sementara itu, debit
mataair pada sistem karst umumnya memiliki orde beberapa liter
bahkan lebih kecil. Namun bila berhasil ditemukan sungai bawah
tanah, debitnya dapat mencapai 900 liter per detik seperti di Kali
Bribin, Gunung Kidul, D.I Yogyakarta. Suatu kawasan karst yang
dikenal selalu kesulitan air di musim kemarau.
4 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Gambar 1.2 Peta sebaran cekungan airtanah sebanyak 224 cekungan di Indonesia (Soetrisno, 1993) (A) dan kondisi musim hujan di bulan Januari (B) dan musim kemarau di bulan Juli (C) (Oldeman dan Fiere, 1982).
(A) (B)
Kawasan Imbuhan Airtanah akifer 2 Kawasan Pengambilan Airtanah (+) φ (-) Kawasan Imbuhan Airtanah akifer 2 Kawasan Pengambilan Airtanah (+) φ (-) 1 2 4 5 6 3 7
Gambar 1.3 Model ideal tipologi sistem akifer di Indonesia (Deny Juanda P., 1993). (1) sistem akifer endapan gunungapi; (2) sistem akifer batugamping karst; (3) sistem akifer batuan sedimen terlipat; (4) sistem akifer endapan aluvial sungai; (5) sistem akifer endapan pantai; (6) sistem akifer batuan kristalin; (7) Beberapa tipe mataair (Fetter, 1994) yang didasarkan pada kontrol geologi (baik struktur maupun litologi) dan topografi.
6 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Gambar 1.4 Sebaran hidrogeologi endapan gunungapi (segitiga) dan karst (spot). Sistem akifer endapan gunungapi yang pernah diteliti penulis, antara lain: G. Tangkuban Perahu, G. Manglayang, G. Salak, G. Gede‐Pangrango, G. Galunggung, G. Ciremai, dan G. Merapi; sedangkan untuk kawasan karst antara lain: Padalarang‐Bandung dan Buniayu‐Sukabumi Jawa barat, Gunung Kidul Jawa Tengah, serta Talisayau‐Berau Kalimantan Timur.
2. SEKILAS TENTANG HIDROGEOLOGI KAWASAN
GUNUNGAPI
Salah satu kenampakan morfologi gunungapi strato di Indonesia
adalah Gunung Ciremai yang dikenal sebagai kawasan subur dan
kaya akan sumber mataair (Gambar 2.1). Gunung tersebut bagian
dari 128 gunungapi aktif (atau 13‐17% dari jumlah seluruh
gunungapi yang ada di dunia) bertipe strato (Gambar 2.2) Jumlah
gunungapi tersebut menghasilkan endapan gunungapi yang
melampar pada daerah seluas 33.000 km
2atau 1/6 luas daratan
Indonesia (Deptamben, 1979).
Gambar 2.1 Foto morfologi G. Ciremai dari arah timur yang
menunjukkan bagian puncak, tubuh, dan kaki.
8 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Gambar 2.2 Sebaran hidrogeologi endapan gunungapi (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2004). Sistem akifer endapan gunungapi yang pernah diteliti penulis: G. Tangkuban Perahu, G. Manglayang, G. Salak, G. Gede‐Pangrango, G. Galunggung, G. Ciremai, dan G. Merapi.
2.1 Sistem Akifer
Tipologi sistem akifer endapan gunungapi terdiri dari endapan‐
endapan piroklastika yang umumnya berupa pelapukan yang
tebalnya lebih dari 1 meter, sangat berpori, dan tidak kompak
berselang‐seling dengan lapisan‐lapisan aliran lava yang
umumnya kedap air. Susunan perlapisan endapan gunungapi
tersebut menyebabkan terakumulasinya airtanah yang cukup
besar pada daerah kaki gunungapi ditandai dengan munculnya
banyak mata air dengan debit cukup besar akifer yang terdiri dari
Umumnya mata air banyak muncul pada morfologi bagian tubuh,
baik dikontrol oleh adanya kontak atara lapisan yang berbeda
tingkat kelulusannya, ataupun oleh adanya tekuk dan
pemotongan lereng (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Tipologi sistem akifer endapan gunungapi (diterjemahkan
Majelis Guru Besar
Institut Teknologi Bandung
10 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006
Penelitian hidrogeologi yang telah dilakukan pada zona mataair
di lereng timur G. Ciremai (wilayah Kecamatan Cilimus –
Jalaksana, Jawa Barat) berhasil mengidentifikasi tiga jenis batuan
penyusun akifer yang dominan pada sistem akifer endapan
gunungapi Ciremai, yaitu: akifer breksi piroklastik, lava, dan
breksi lahar, baik batuan segarnya maupun tanah pelapukannya
(Gambar 2.4). Ketiga jenis akifer tersebut bersifat tak tertekan dan
homogen dengan lapisan impermeabel berupa batuan gunungapi
tua di bagian bawahnya.
Setiap jenis akifer mempunyai potensi kemunculan mataair yang
bervariasi dengan ringkasan karakter sebagaimana disajikan pada
Tabel 2.1. Mataair pada akifer breksi piroklastik sebanyak 4 buah
mataair dengan debit bervariasi dari 0,1 sampai 10 l/det dengan
total debit 18,2 l/det. Pada akifer lava dijumpai 1 buah mataair
dengan debit 80 l/det, sedangkan pada akifer breksi lahar
dijumpai kemunculan mataair paling tinggi, yaitu 18 buah mataair
dengan total debit sebesar 1062 l/det. Akifer breksi lahar bersifat
sangat produktif. Banyaknya kehadiran mataair pada seluruh
akifer ditunjang dengan nilai permeabilitas (k) rata‐rata tanah
pelapukan yang cukup tinggi, yaitu 1,5 cm/menit. Material
dengan nilai permeabilitas tersebut tergolong ke dalam jenis akifer
yang baik dan dapat berfungsi sebagai media resapan airtanah
(Deny Juanda P., dkk, 2003).
Hasil penelitian lainnya di lereng selatan Gunung Merapi
membuktikan bahwa aktivitas Gunungapi Merapi terhadap
dataran‐kaki gunungapi telah membentuk sistem akifer yang
sangat signifikan, berbentuk kantong‐kantong (paleo channel) (Sri
Mulyaningsih, 2006). Sistem akifer endapan gunungapi tidak
dapat dilepaskan dari nilai permeabilitas tanah pelapukannya
yang cukup besar, yaitu pada kisaran 10
‐4– 10
‐3cm/detik, ciri
akifer produktif.
2.2 Sistem Aliran Airtanah
Salah satu contoh kasus sistem aliran airtanah di kawasan
gunungapi adalah di DAS Sungai Cikapundung. Sungai
Cikapundung mengalir dari utara ke selatan melewati berbagai
batuan penyusun akifer endapan gunungapi Formasi Cibeureum,
Formasi Cikapundung, dan Formasi Kosambi. Ketiga formasi
batuan tersebut mengendalikan terjadinya tiga jenis interaksi
aliran air antara air yang mengalir di sungai dengan airtanah yang
mengalir dalam akifer.Akifer tersebut menghampar pada dasar
sungai dan pada dinding kiri‐kanan bantaran sungai. Fenomena
interaksi tersebut telah diteliti dengan bantuan metoda analisis
aliran (flow net analysis). Hasil studi tersebut sangat menarik dan
Majelis Guru Besar
Institut Teknologi Bandung
12 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006
berhasil mengkategorikan interaksi hidrodinamika air sungai
dengan airtanah dalam akifer (lihat Gambar 2.5 A) ke dalam tiga
tipe (Deny Juanda P., R. Fajar Lubis, 2002) sebagai berikut: (1)
Tipe Aliran Cikapundung I, dengan karakter aliran air terisolasi,
dijumpai pada segmen Maribaya sampai Curug Dago; (2) Tipe
Aliran Cikapundung II, mempunyai karakter terjadinya aliran
airtanah secara konvergen dari akifer menuju sungai, dijumpai
mulai Curug Dago hingga kawasan Viaduct. Pada segmen ini
terjadi fenomena discharge/pengurasan airtanah. Pengurasan
akifer tersebut terjadi melalui akifer yang tersingkap pada
dinding kiri dan kanan bantaran sungai, sepanjang tahun dengan
gradien hidrolik aliran airtanah sebesar 27% (dinding kanan) dan
8% (dinding kiri); (3) Tipe Aliran Cikapundung III, mempunyai
karakter aliran air dari sungai, secara divergen, menuju akifer,
terletak mulai dari kawasan Viaduct ke arah hilir aliran sungai
(selatan) hingga bermuara ke Sungai Citarum. Fenomena ini
memberi imbuhan (recharge) alamiah yang permanen ke dalam
akifer (khususnya akifer bebas). Gradien hidrolik aliran airtanah
yang terukur pada zona ini sebesar 2,5% (dinding kanan) dan 4%
(dinding kiri). Segmen ini sangat rentan terhadap terjadinya
pencemaran airtanah oleh polutan yang berasal dari air sungai.
Dengan demikian, kualitas air di sepanjang aliran sungai
Cikapundung harus tetap terjaga kebersihannya.
Studi lain sebagaimana pada Gambar 2.5 (B) adalah relasi
hidrodinamika airtanah dan air Sungai Ciliwung (B). Sungai
Ciliwung terbagi menjadi tiga zona, yaitu Zona Aliran Efluen
(Bogor – Depok), Zona Aliran Campuran (Depok – Jakarta), dan
Zona Aliran Inluen (Jakarta – laut) (Deny Juanda P. dan R. Fajar
Lubis, 2003). Contoh hasil penelitian lainnya berkaitan dengan
distribusi mataair pada sistem akifer gunungapi disajikan pada
Gambar 2.6(A) dan 2.6(B). Kemudian pada Gambar 2.7
merupakan contoh aplikasi isotop stabil dalam air yang telah
berhasil membuktikan bahwa asal mula air yang keluar pada
kompleks mataair (di sebelah utara danau) berasal dari air Danau
Aneuk Laot, Sabang DI Aceh.
14 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Gambar 2.4. Diagram Blok Kondisi Geologi di Lereng Timur Gunung Ciremai (Deny Juanda P. dkk, 2003). Endapan lahar merupakan akifer yang paling produktif, dicirikan oleh banyaknya pemunculan mataair pada akifer tersebut. Ilustrasi debit mataair pada akifer dapat dilihat pada tabel. Mata Air (dikenal bernama Ketinggian (m dpal) Debit Total (1/detik) Cibulan 480 400 – 500 Cibulakan 500 250 – 370 Cigorowong 472 250 – 300 Cibolerang 375 160 – 190 Cipanis 475 >1.000 Cijumpu 395 130 – 220 Cisemaya 347 500 – 800 Cibujangga 445 170 Cicerem 350 140 – 290 Citengah 354 130 – 170 Telaga Remis 210 125 – 300 Telaga Nlem 190 160 – 400 Bojong 191 80 - 200
Tabel 2.1 Ringkasan kondisi hidrogeologi (Deny Juanda P. dkk 2003).
.
16 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung ALIRAN EFLUEN ALIRAN INFLUEN
(Sungai Mengisi Akifer) (Sungai Diisi Akifer)
Pusat Kota Bandung
(Sungai dan Akifer Tidak Berhubungan) ALIRAN TERISOLASI
KETERANGAN Arah Aliran Airtanah 650 Kontur Topografi
Jenis batuan: Lava Basalt Formasi Cibeureum Jenis batuan:
Perselingan Pasir Lempung Formasi Kosambi Jenis batuan: Breksi Gunungapi Formasi Cikapundung TIPE CIKAPUNDUNG I TIPE CIKAPUNDUNG II
TIPE CIKAPUNDUNG III
1200 1200 1100 1100 1000 1000 900 900 800 800 700 700 0 750 m Cihampelas ITB Banceuy Viaduct Lengkong Besar Bojong Soang Dayeuh Kolot Sungai Citarum Curug Dago Pakar Maribaya U
(A) Sungai Cikapundung
Tipe Ciliwung II Aliran Campuran Tipe Ciliwung III
Aliran Influen Tipe Ciliwung I Aliran Efluen Bogor Depok Jakarta (B) Sungai Ciliwung Soil Soil Mat. T B Lempung pasiran Lempung pasiran Lempung pasiran
Tipe aliran influen
Mat Mat
T B
Breksi Gunungapi sisipan tuf Soil Breksi
Tipe aliran efluen
Soil B T Mat. Soil Breksi gunungapi Breksi gunungapi
Tipe aliran terisolasi
Tipe Ciliwung II Aliran Campuran Tipe Ciliwung III
Aliran Influen
Tipe Ciliwung I Aliran Efluen Tipe Cikapundung III
Aliran Influen Tipe Cikapundung II Aliran Efluen Tipe Cikapundung I Aliran Terisolasi ALIRAN EFLUEN ALIRAN INFLUEN
(Sungai Mengisi Akifer) (Sungai Diisi Akifer)
Pusat Kota Bandung
(Sungai dan Akifer Tidak Berhubungan) ALIRAN TERISOLASI
KETERANGAN Arah Aliran Airtanah 650 Kontur Topografi
Jenis batuan: Lava Basalt Formasi Cibeureum Jenis batuan:
Perselingan Pasir Lempung Formasi Kosambi Jenis batuan: Breksi Gunungapi Formasi Cikapundung TIPE CIKAPUNDUNG I TIPE CIKAPUNDUNG II
TIPE CIKAPUNDUNG III
1200 1200 1100 1100 1000 1000 900 900 800 800 700 700 0 750 m Cihampelas ITB Banceuy Viaduct Lengkong Besar Bojong Soang Dayeuh Kolot Sungai Citarum Curug Dago Pakar Maribaya U
(A) Sungai Cikapundung
Tipe Ciliwung II Aliran Campuran Tipe Ciliwung III
Aliran Influen Tipe Ciliwung I Aliran Efluen Bogor Depok Jakarta (B) Sungai Ciliwung Soil Soil Mat. T B Lempung pasiran Lempung pasiran Lempung pasiran
Tipe aliran influen
Mat Mat
T B
Breksi Gunungapi sisipan tuf Soil Breksi
Tipe aliran efluen
Soil B T Mat. Soil Breksi gunungapi Breksi gunungapi
Tipe aliran terisolasi
Soil Soil Mat. T B Lempung pasiran Lempung pasiran Lempung pasiran
Tipe aliran influen
Mat Mat
T B
Breksi Gunungapi sisipan tuf Soil Breksi
Tipe aliran efluen
Soil B T Mat. Soil Breksi gunungapi Breksi gunungapi
Tipe aliran terisolasi
Tipe Ciliwung II Aliran Campuran Tipe Ciliwung III
Aliran Influen
Tipe Ciliwung I Aliran Efluen Tipe Cikapundung III
Aliran Influen Tipe Cikapundung II Aliran Efluen Tipe Cikapundung I Aliran Terisolasi
Gambar 2.5. Tipe relasi sungai dan airtanah pada aliran (A) Sungai Cikapundung (Deny Juanda P. dan
Fajar Lubis, 2002) dan (B) Ciliwung (Deny Juanda P. dan D. Erwin Irawan, 2006)
A1
B
A2 A3 Jambudipa <Selatan> Cibabat <Utara> Cijanggel 12,7th 50,86 th 27,24 th 50,42 th 14,9 th 15,11 th 43,7 th Kab. Klaten Kab. Sleman Kab. Klaten Kab. Klaten Kab. Sleman A1B
A2 A3 Jambudipa <Selatan> Cibabat <Utara> Cijanggel 12,7th 50,86 th 27,24 th 50,42 th 14,9 th 15,11 th 43,7 th Kab. Klaten Kab. Sleman Kab. Klaten Kab. Klaten Kab. SlemanGambar 2.6. Contoh aplikasi sifat fisik‐kimia serta isotop sebagai Teknologi Perunut. (A1) Distribusi mataair di lereng G. Tangkuban Perahu – Burangrang (Marpaung, 2003); (A2) Diagram Piper ion utama untuk mengetahui asal mula airtanah; (A3) Isotop Tritium untuk menentukan elevasi daerah imbuhan mataair (Bambang S. Dan Deny Juanda P., 1998); (B) Distribusi mataair di lereng selatan G. Merapi (Nugroho, Deny Juanda P., 2003).
Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung 18 Profesor Deny Juanda Puradimaja 22 Desember 2006 -75 -65 -55 -45 -35 -25 -15 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 δ-18O (‰) δD( ‰ )
Contoh Air Danau Contoh Sumur Penduduk Contoh Mataair PDAM Contoh Mataair TNI-AL Contoh Air Hujan
Garis penguapan air permuk aan
δD = 5,43 δO18 - 6,23
R2 = 0,93
Garis air meteorik
δD = 8,02 δO18 + 14,79 R2 = 1 Populasi Mataair PDAM Populasi Mataair TNI AL SABANG DAERAH PENELITIAN
Danau Aneuk Laot
-75 -65 -55 -45 -35 -25 -15 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 δ-18O (‰) δD( ‰ )
Contoh Air Danau Contoh Sumur Penduduk Contoh Mataair PDAM Contoh Mataair TNI-AL Contoh Air Hujan
Garis penguapan air permuk aan
δD = 5,43 δO18 - 6,23
R2 = 0,93
Garis air meteorik
δD = 8,02 δO18 + 14,79 R2 = 1 Populasi Mataair PDAM Populasi Mataair TNI AL SABANG DAERAH PENELITIAN
Danau Aneuk Laot
Gambar 2.7 Aplikasi isotop stabil dalam airtanah berupa Deuterium (2H) dan Oksigen‐18 (18O) untuk mendeteksi asal mula contoh mataair pada akifer sistem gunungapi di sekitar Danau Aneuk Laot P. Sabang, DI Aceh (Deny Juanda P. Dkk, 2004). Penelitian ini merupakan salah satu contoh rekaman penelitian di bidang Teknologi Perunut (Tracer Technology).
3. SEKILAS TENTANG HIDROGEOLOGI KAWASAN KARST
Istilah Karst berasal dari Bahasa Jerman yaitu Kras. Kras adalah
suatu kawasan batugamping dengan bentuk bentang alam yang
khas di Slovenia yang menyebar hingga ke Italia. Kawasan
tersebut kemudian menjadi lokasi tipe (type locality) bentuk
bentang alam karst (Milanovic, 1981). Topografi Karst adalah
bentuk bentang alam tiga dimensional yang terbentuk akibat
proses pelarutan lapisan batuan dasar, khususnya batuan
karbonat seperti batugamping kalsit atau dolomit. Bentang alam
ini memperlihatkan bentuk permukaan yang khusus dan drainase
bawah permukaan (Milanovic, 1981).
Beberapa lokasi di Indonesia yang mempunyai kawasan karst
yang berkembang antara lain: Gunung Kidul di Pulau Jawa, Pulau
Madura, Pulau Bali, Maros di Pulau Sulawesi, bagian Kepala
Burung Pulau Papua, serta pulau‐pulau lainnya di perairan
Indonesia Bagian Timur. Gambar 3.1 memperlihatkan foto bukit
karst yang berbentuk: kerucut, kubah, dan elipsoid di Kawasan
Karang Bolong, Jawa Tengah. Bukit‐bukit tersebut terdistribusi
secara teratur dengan kendali struktur geologi berupa patahan
dan kekar yang tercermin dari garis‐garis kelurusan pada peta
topografi dan foto udara (Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P.,
2006; Budi Brahmantyo, dkk, 1998).
Majelis Guru Besar 20 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Gambar 3.1. Foto panoramik bukit‐bukit karst di Pegunungan Karst Karangbolong, Jawa Tengah (Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006).
Level elevasi topografi antara 100 – 200 m merupakan kisaran
elevasi dimana dapat ditemukan gua yang mengandung air
(Gambar 3.2). Hal ini sedikitnya menunjukkan bahwa ketinggian
di atas 100 ‐ 200 m dpl pada pegunungan karst Karangbolong
dapat dianggap sebagai media imbuhan air tanah. Air hujan
yang meresap melalui retakan di permukaan akan mengalir
melalui retakan‐retakan hingga mencapai ketinggian 200 m dan
kemudian terakumulasi pada level elevasi antara 100 – 200 m,
untuk kemudian secara bertingkat‐tingkat dengan kontrol kekar
dan bidang perlapisan, keluar sebagai mata air karst atau
resurgence pada level lebih bawah, atau ketika berakhir pada
kontak dengan batuan dasar impermeabel di bawahnya (Budi
Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006).
Majelis Guru Besar 21 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Gambar 3.2 Grafik antara elevasi dan debit mataair di Pegunungan
Karst Karangbolong, Jawa Tengah. Aliran airtanah
membentuk sungai bawah tanah yang keluar sebagai resurgence (Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006).
3.1 Sistem Akifer
Batugamping yang memiliki sifat porositas dan permeabilitas
yang tinggi akifer proses tektonik dan pelarutan merupakan suatu
akifer produktif di kawasan karst. Model proses karstifikasi yang
dikendalikan oleh rekahan, membentuk jaringan sungai bawah
tanah (Gambar 3.3).
Beberapa penelitian yang telah penulis lakukan bersama tim
menghasilkan beberapa keluaran penelitian, yaitu a) perhitungan
luas daerah aliran sungai bawah tanah Kali Bribin berbasis
pendekatan hidrogeologi, dengan jelas menghasilkan batas yang
tidak berimpit dengan batas Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis
topografinya. Luas DAS berdasarkan perhitungan hidrogeologi
Majelis Guru Besar 22 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
58,06 km
2, sedangkan luas menurut topografi adalah 129,5 km
2(Gambar 3.4). Pada daerah yang sama, pendugaan geofisika
dengan metoda Bristow di Kali Bribin Gunung Kidul (Gambar 3.5)
telah berhasil mendeteksi beberapa rongga yang saling
berhubungan pada kedalaman 20‐30 m, sebagai bagian dari sistem
jaringan sungai bawah tanah Kali Bribin dengan panjang total
adalah 492 m. Gradien sungai rata‐rata adalah 2,19% (Deny
Juanda P., 1998).
Gambar 3.3 Skema tipologi sistem akifer karst (Mandel dan Shiftan,
1981)
b) Kajian kondisi aliran airtanah dan rekonstruksi jaringan gua
pada sistim karst yang telah dilakukan di kawasan Buniayu,
Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, tepatnya di kawasan Gua
Majelis Guru Besar 23 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
20 m U
Gua Bribin
DAS bawah permukaan Kali Bribin
DAS topografi Kali Bribin
Cipicung dan Gua Siluman, telah berhasil merekonstruksi gua
dan jaringannya dengan menggunakan kombinasi metode
geolistrik inversi 2D Wenner‐Schlumberger dan Mise‐a‐la‐masse
sebanyak 8 bentangan (Gambar 3.6).
Gambar 3.4 Kesebandingan DAS Bawah tanah Kali Bribin, dan DAS topografinya. (Deny Juanda P., 1998). Diagram roset (rose diagram) memperlihatkan arah dominan orientasi rekahan yang berbeda‐beda.
Majelis Guru Besar 24 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
3.2 Sistem Aliran Airtanah
Aliran airtanah dalam sistem akifer karst mengalir pada
jaringan rekahan. Namun pada beberapa observasi di kawasan
Karst Gunung Kidul DI Yogyakarta dan Buniayu Sukabumi
Jawa Barat, aliran airtanah memiliki ciri kombinasi, yaitu
mengalir pada akifer pelapukan batugamping dan pada akifer
rekahan batugamping. Beberapa contoh hasil penelitian yang
telah dilakukan: a) pemanfaatan karakter kandungan kimia air
untuk merekonstruksi asal mula dan pergerakan air sungai
bawah tanah Kali Bribin (Gambar 3.5 C); b) Analisis hidrometri
melalui observasi fluktuasi muka air sungai bawah tanah Kali
Bribin menghasilkan model respon pisometri selama 30 hari
setelah hujan. Hal ini mencerminkan bahwa sistem akifer Kali
Bribin memiliki kombinasi dua zona sistem aliran (Gambar 3.7),
yaitu: 1) Aliran lambat berhubungan dengan pelapukan dan
rekahan intensif. Ketebalan zona ini maksimum 30 m. Aliran
vertikal dan horizontal dominan analog dengan aliran pada
media porous; 2) Aliran cepat yaitu pada aliran saluran terbuka
yang berada di bawah zona aliran lambat dimana Kali Bribin
mengalir. Aliran vertikal dominan pada media kekar (Deny
Juanda P., 1998).
A B C D Rongga Kali Suci, kedalaman 54 m, diameter 8 m Hasil plot resistivitas Hasil rekonstruksi rongga
Profil Gua Kali Bribin Stalaktit
Teras sungai
Batugamping Fm. Wonosari
Pengukur muka air sungai otomatis Pompa air DHL HCO3 -Mg/Ca Cl-Na SO4-Ca Ca2+ Mg2+ Na+ K+ Cl- SO 42- HCO3- NO3 -Jatisari Beji Sulu Banyuanyar Gilap Bribin Danatirta Semuluh A B C D Rongga Kali Suci, kedalaman 54 m, diameter 8 m Hasil plot resistivitas Hasil rekonstruksi rongga
Profil Gua Kali Bribin Stalaktit
Teras sungai
Batugamping Fm. Wonosari
Pengukur muka air sungai otomatis Pompa air DHL HCO3 -Mg/Ca Cl-Na SO4-Ca Ca2+ Mg2+ Na+ K+ Cl- SO 42- HCO3- NO3 -Jatisari Beji Sulu Banyuanyar Gilap Bribin Danatirta Semuluh
Gambar 3.5 Contoh aplikasi metoda geofisika dan kimia air pada sistem akifer karst. Uji coba metoda deteksi rongga gua dengan geofisika konfigurasi Bristow dan validasinya dengan metoda langkah – kompas (A) di Kali Suci Gunung Kidul. Metoda tersebut digunakan untuk mendeteksi rongga Gua Bribin (B); (C) Karakter kimia air sungai bawah tanah Kali Bribin (Deny Juanda P. dan Djoko Santoso, 1994 dan 2005); (D) Karakter kimia air untuk berbagai jenis akifer (Faillat dan Deny Juanda P., 1995).
Majelis Guru Besar 26 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
A
B
Gambar 3.6 Pemetaan alur gua kawasan karst Buniayu Sukabumi dengan hasil pengukuran langkah dan kompas serta pengukuran geolistrik dengan metode inversi 2D (A) Peta alur gua hasil pengukuran langkah dan kompas serta lintasan pengukuran geolistrik, (B) Hasil pengukuran dan interpretasi data resistivitas dengan berbagai dimensi rongga (Deny Juanda P. dkk, 2006).
(A1). Model Aliran pada Kanal Terbuka H
Waktu
(A2) Model Aliran karst Kali Bribin
Bulan H 100 50 Okt Nop
Des Feb Apr Jun Agt Jan Mar Mei Jul Sep
Maksimum 30 meter Zona II Aliran cepat (Hipotermik) Zona I Aliran lambat (infiltrasi lambat) Akifer Fm. Wonosari Kali Bribin
(B) Zonasi tata aliran airtanah di akifer Fm. Wonosari
(A1). Model Aliran pada Kanal Terbuka H
Waktu
(A2) Model Aliran karst Kali Bribin
Bulan H 100 50 Okt Nop
Des Feb Apr Jun Agt Jan Mar Mei Jul Sep
(A2) Model Aliran karst Kali Bribin
Bulan H 100 50 Okt Nop
Des Feb Apr Jun Agt Jan Mar Mei Jul Sep
Maksimum 30 meter Zona II Aliran cepat (Hipotermik) Zona I Aliran lambat (infiltrasi lambat) Akifer Fm. Wonosari Kali Bribin
(B) Zonasi tata aliran airtanah di akifer Fm. Wonosari
Gambar 3.7 Komparasi model aliran pada kanal terbuka (A1) dan karst Kali Bribin (A2). Model sistem aliran sungai bawah tanah Kali Bribin (B) yang menunjukkan akifer media pori berupa tanah pelapukan di bagian atas, dan akifer media rekahan berupa batugamping di bagian bawah (Deny Juanda P., 1998).
Majelis Guru Besar 28 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
4. PENGELOLAAN AIRTANAH BERBASIS AKIFER
Pengelolaan airtanah menjadi penting dalam beberapa tahun
terakhir ini sehubungan dengan telah terjadi kesulitan dalam
upaya pemenuhan kebutuhan air pada musim kemarau yang
melebihi empat bulan per tahun yang diharapkan sebagai
alternatif untuk pemenuhan kebutuhan air bagi kebutuhan sehari‐
hari, pertanian dan industri.
Rasio kebutuhan air di setiap provinsi dibandingkan dengan
ketersediaan air permukaan khususnya air sungai telah diteliti
oleh Dirjen Pengairan (1990) dalam P3WK LP‐ITB (1994). Provinsi
yang memiliki kebutuhan air melebihi ketersediaan aliran rata‐
rata (rasio lebih dari 1) adalah Jawa Barat (1,2), Jawa Tengah (1,3),
Jawa Timur (1,6), dan Bali (1,3). Keadaan ini menjadi tantangan
untuk pemenuhan kebutuhan air yang berasal dari airtanah.
4.1 Paradigma Saat Ini Pengelolaan Airtanah
Sampai saat ini pengelolaan airtanah di Indonesia masih
menggunakan paradigma lama yang bersifat konvensional yaitu
pengelolaan airtanah hanya berdasarkan pengelolaan sumur
produksi (well management) tanpa memperhatikan akifer secara
Majelis Guru Besar 29 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
rinci. Walaupun demikian, ada indikasi dimulainya pengelolaan
airtanah berbasis cekungan tetapi masih bersifat administratif.
Pendekatan konvensional well management ini memiliki banyak
kelemahan yang mendasar antara lain: a)tidak mengetahui
potensi nyata setiap akifer yang dieksploitasi, b)tidak dapat
mengoptimumkan eksploitasi airtanah setiap akifer, c)tidak dapat
melakukan pengendalian kualitas airtanah pada sumur produksi,
d)tidak dapat mengendalikan perubahan lingkungan bawah
permukaan misalnya pencemaran airtanah, amblesan tanah, dan
eksploitasi airtanah yang berlebih.
4.2 Paradigma baru: Pengelolaan Airtanah Berbasis Akifer
Berbasis
prinsip‐prinsip
perencanaan
eksplorasi
yang
dikemukakan oleh Mandel dan Shiftan (1981), rujukan
environmental management of groundwater basins oleh Shibasaki T.
(1995), IAH (1997) dan diperkaya dengan pengalaman kepakaran
yang penulis praktekan, maka penulis merumuskan paradigma
baru
pengelolaan
airtanah
berbasis
akifer
(aquifer‐based
management) yaitu bahwa pengelolaan airtanah harus spesifik
berbasis akifer dan pengelolaan lingkungannya. Lingkungan yang
dimaksud adalah kawasan imbuhan (recharge area) dan kawasan
keluaran (discharge area). Dengan demikian pengelolaan, proteksi,
Majelis Guru Besar 30 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
konservasi dan pengendalian airtanah dapat dilakukan secara
sistemik, spesifik pada sistem akifer tertentu, terukur serta sesuai
fungsi kebutuhan dan waktu dengan prinsip nir aliran permukaan
buatan atau mempertahankan besaran infiltrasi / imbuhan alami
(Gambar 4.1).
Gambar 4.1. Perubahan tata air akibat perubahan tata guna lahan.
Perlu mempertahankan besaran imbuhan alami (nir
aliran permukaan buatan)
Selanjutnya,
Implementasi
paradigma
baru
memerlukan
kepatuhan terhadap urutan lima tahap kegiatan yang harus
dilaksanakan secara berkesinambungan, yaitu: (1) Tahap
Eksplorasi meliputi kegiatan identifikasi akifer untuk mengetahui
jenis dan sistem akifer beserta parameter hidrolik akifer, potensi
DRO
LAPISAN IMPERMEABEL (k ≤ 10-5
cm/detik)
BF1
P Etp1 Etp2 Etp Etp
DRO1 I1 Ev Ev1 P P Ev DRO I At LAPISAN AKIFER (k ≥ 10-6 cm/detik) Zona jenuh DRO2 BF2 I2
Perubahan: Ev1 < Ev2, Etp1 < Etp2, DRO1 < DRO2, BF1 < BF2, I1 < I2
UPAYA MEMPERTAHANKAN KONDISI SIKLUS HIDROLOGI
MEMERLUKAN TEKNOLOGI BANGUNAN RESAPAN AIR
LAPISAN IMPERMEABEL (k ≤ 10-5
cm/detik)
Etp2 Etp Etp
Ev P P Ev DRO DRO I At LAPISAN AKIFER (k ≥ 10-6 cm/detik) Zona jenuh BF2 I2 ILUSTRASI: DEI ‘02 P Etp1 DRO2 KONDISI ALAMI KONDISI TERUBAH
Majelis Guru Besar 31 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
dan sifat tata aliran airtanah; (2) Tahap Investigasi meliputi
kegiatan evaluasi potensi nyata airtanah yang dapat diekploitasi
dari setiap akifer dalam suatu sistim cekungan hidrogeologi,
kerentanan terhadap polusi, disain dan material konstruksi sumur
bor/bangunan air yang dibutuhkan, debit rekomendasi yang
diijinkan dan kendalanya, siklus periode pengambilan airtanah
setiap hari, jenis pompa dan sistim pengendalian yang diperlukan,
atau jenis penurapan air bila berupa mata air, serta mampu
mengkaji tata aliran air pada suatu akifer, seperti dijelaskan pada
Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Identifikasi tata aliran air pada suatu akifer (Mandel dan Shiftan, 1981)
Majelis Guru Besar 32 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
(3) Tahap Konservasi Upaya konservasi memiliki tujuan untuk
mempertahankan besaran dan kualitas imbuhan ke setiap akifer
yang diambil airnya melalui rekayasa teknis atau kombinasi
dengan rekayasa vegetatif. Pada tahapan ini fokus perhatian
kepada kawasan imbuhan (recharge area) airtanah dan
pengendalian bagi kawasan pengambilan (discharge area) sesuai
sifat imbuhan tata airnya. Dengan demikian meresapkan air harus
kedalam akifer yang dituju. Metoda simulasi aliran airtanah
sangat membantu pada tahap ini.
(4) Tahap Optimasi meliputi kegiatan evaluasi besaran debit
eksploitasi yang direkomendasikan dan dampak terhadap sumur
bor yang ada disekitarnya baik terhadap sumur eksploitasi yang
telah ada maupun sumur eksploitasi yang diperkirakan akan ada
di masa mendatang. (5) Tahap Eksploitasi meliputi kegiatan
eksploitasi airtanah dengan menggunakan teknologi yang tepat,
sesuai rencana kebutuhan, dan distribusi airtanah mengacu
kepada hasil tahap investigasi, tahap perancangan konservasi dan
tahap optimasi. Keutuhan lima tahapan berikut urutannya
sebagaimana disajikan di atas belum pernah dilakukan di
Indonesia.
Majelis Guru Besar 33 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Oleh karenanya, eksploitasi airtanah di Indonesia banyak
mengundang permasalahan dan bahkan menjadi polemik
bertahun‐tahun yang tidak kunjung selesai seperti kasus “status
quo Kawasan Bandung Utara (KBU)”,demikian juga kasus “status
quo Kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopuncur)”, yang keduanya
berupa sistem hidrogeologi gunungapi. Berdasarkan paradigma
baru tersebut maka alur penelitian hidrogeologi disajikan pada
Gambar 4.3.
Gambar 4.4 merupakan contoh selanjutnya mengenai visualisasi
pengelolaan airtanah berbasis akifer yang batas‐batasnya tidak
ada hubungannya dengan batas administrasi, melainkan sangat
dikendalikan oleh kondisi dan penyebaran litologi/tanah,
geometri dan sifat akifer, serta struktur geologi.
Untuk pengendalian eksploitasi airtanah pada sumur produksi,
telah dimulai pengembangan sistem Hydro‐GIS (Hydrogeology‐
Geographic indormation System) yang bertujuan untuk:
memantau muka airtanah secara real time dengan bantuan
teknologi seluler GSM (Global Satelite Mobile Communication)
sebagaimana hasilnya diperlihatkan pada Gambar 4.5. Sistem ini
telah diinstalasi di Kab. Tangerang dan Kota Semarang.
Majelis Guru Besar 34 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Gambar 4.3 Alur penelitian hidrogeologi pada tahap eksplorasi
dan investigasi.
•KAJIAN POTENSI AIR •RANCANGAN EKSPLOITASI •ANALISIS DEBIT EKSPLOITASI
TAHAP EKSPORASI
Majelis Guru Besar 35 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006 3 0 3 6 U Network of 11 observation wells with GWLR A. Telemetry System MELALUI INTERNET Dinas LH Sumur
pantau 1 pantau 2Sumur pantau 3Sumur
PARA USER UMUM MELALUI SMS PARA USER EKSEKUTIF Executiv e user SMSvia via internet Common user Hy-GIS DATA CENTER GWLR #1 GWLR #2 GWLR #3 B. Data Transmission
highest water level
recommended water level
lowest water level A
B
Workstation Laptop
Jaringan sumur pantau
(11 buah) Pengguna Khusus Via SMS Via Internet Pengguna umum PUSAT DATA Muka airtanah tertinggi Muka airtanah yg direkomendasikan Muka airtanah terendah 3 0 3 6 U Network of 11 observation wells with GWLR A. Telemetry System MELALUI INTERNET Dinas LH Sumur
pantau 1 pantau 2Sumur pantau 3Sumur
PARA USER UMUM MELALUI SMS PARA USER EKSEKUTIF Executiv e user SMSvia via internet Common user Hy-GIS DATA CENTER GWLR #1 GWLR #2 GWLR #3 B. Data Transmission
highest water level
recommended water level
lowest water level A
B
Workstation Laptop
Jaringan sumur pantau
(11 buah) Pengguna Khusus Via SMS Via Internet Pengguna umum PUSAT DATA Muka airtanah tertinggi Muka airtanah yg direkomendasikan Muka airtanah terendah Akifer 1 Laut Lap. Impermeabel Akifer 1
Misal: Daerah Administrasi 2 Misal: Daerah
Administrasi 1
Akifer 2
Lap. Impermeabel Akifer 3
Misal: Daerah Administrasi 3
Lap. Impermeabel Akifer 2
Akifer 4 Akifer 3
Akifer 3
•Cekungan air permukaan untuk air sungai dan air danau
•Cekungan bawah permukaan untuk airtanah •Batas cekungan airtanah tidak berhubungan dengan batas administratif
•Akifer 1 mempunyai sistem imbuhan lokal •Akifer 2 mempunyai sistem imbuhan menengah •Akifer 3 mempunyai sistem imbuhan regional
Gambar 4.4 Suatu sketsa sistem hidrogeologi. Batas cekungan airtanah yang tidak berhubungan dengan batas administrasi, serta mempunyai sistem imbuhan (recharge) dan keluaran
(discharge).
Gambar 4.5 (A) Sistem pemantauan dan pengendalian airtanah Hydro‐GIS (B) hasil pengukuran fluktuasi muka
Majelis Guru Besar 36 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
5. RENCANA
PENGEMBANGAN
RISET
BIDANG
HIDROGEOLOGI
5.1.Tren Riset Hidrogeologi di Dunia
International Association of hydrogeologist dalam Hydrogeology
Journal edisi Maret 2005, volume 13 nomor 1 oleh Voss,
mempublikasikan secara khusus mengenai masa depan riset
bidang hidrogeologi di dunia. Berbagai riset masa depan bidang
hidrogeologi tersebut penulis lengkapi dengan tema‐tema riset
hidrogeologi yang dicari melalui daftar pustaka online mengenai
riset hidrogeologi pada akifer media porous dan media rekahan
yang juga dilengkapi dengan perkembangan riset sebagaimana
dipublikasikan oleh Flores dkk (2006). Tren dunia riset
hidrogeologi saat ini sangat pesat dan beragam yang
disistematikan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Tren riset dunia dibidang hidrogeologi: dulu, saat ini
dan dimasa yang akan datang.
Majelis Guru Besar 37 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Lebih rinci sub bidang riset hidrogeologi yang dikembangkan saat
ini di dunia ada sekitar 20 tema riset, antara lain: hidrogeologi
media rekahan dan kaitannya dengan ekosistem (hydrogeological of
fractured‐rock aquifers and related ecosystems), hidrogeologi
gunungapi (volcanic hydrogeology), hidrogeologi karst (karst
hydrogeology), hidrogeologi kawasan pesisir (coastal hydrogeology),
kontaminasi hidrogeologi (contaminant hydrogeology), hubungan
hidrodinamika antara hidrokarbon dengan airtanah (Hydrocarbon
– groundwate hydrodinamics, interface), teknologi penampungan air
dalam akifer dan re‐eksploitasi (technology of aquifer storage and
recovery or ASR), hidrogeologi laut (marine hydrogeology),
hidrogeologi isotopik (isotope hydrogeology), hidrogeologi dan
perubahan iklim mikro (hydrogeology and micro climate change),
hidrogeologi luar planet bumi (extraterrestrial hydrogeology),
aplikasi teknologi perunutan dalam hidrogeologi (applied tracer in
hydrogeology), dan akifer buatan (artificial akuifer). Sementara itu,
tren dunia dalam riset hidrogeologi di masa depan bercirikan
pada prinsipnya pendalaman ilmu dan teknologi dibidang
hidrogeologi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air yang
berasal dari airtanah secara langgeng.
Majelis Guru Besar 38 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
A k i f e r B e b a s
Akifer Tertekan
Lapisan kedap air
Air yang tersimpan
Airtanah alami Buffer
Airtanah alami
Tahap injeksi airpermukaan Tahap pengambilan airtanah
Pompa Pompa
Buffer
Air yang tersimpan
Lapisan kedap air Lapisan kedap air
Pompa Pompa
Tahap injeksi permukaan Tahap pengambilan airtanah
Pompa Pompa
Lapisan
Kedap Air Lapisan Kedap Air
Buffer Airtanah yg tersimpan Airtanah alami Lapisan Kedap Air Buffer Airtanah alami A k i f e r B e b a s Akifer Tertekan
Lapisan kedap air
Air yang tersimpan
Airtanah alami Buffer
Airtanah alami
Tahap injeksi airpermukaan Tahap pengambilan airtanah
Pompa Pompa
Buffer
Air yang tersimpan
Lapisan kedap air Lapisan kedap air
Pompa Pompa
Tahap injeksi permukaan Tahap pengambilan airtanah
Pompa Pompa
Lapisan
Kedap Air Lapisan Kedap Air
Buffer Airtanah yg tersimpan Airtanah alami Lapisan Kedap Air Buffer Airtanah alami
Salah satu contoh tren riset di dunia saat ini yang perlu mendapat
perhatian di Indonesia khususnya di kota besar adalah Teknologi
ASR (Aquifer Storage and Recovery Technology). Teknologi ini
memperkenalkan suatu teknik penyimpanan air hujan dan air
permukaan ke dalam akifer tertentu (selected aquifer) dengan cara
injeksi melalui sumur produksi ketika air berlebih biasanya
musim penghujan / banjir, dan diambil kembali (re‐eksploitasi)
dalam bentuk airtanah dari sumur yang sama ketika diperlukan
biasanya musim pada kemarau (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Model teoritis aplikasi teknologi ASR (Artificial
Recharge Forum, 2006)
5.2 Rencana Ke Depan
Mempelajari tren dunia perkembangan dan riset di bidang
hidrogeologi, penulis hanya mendalami sebagian kecil saja. Sejak
sekembalinya dari tugas belajar di Universitas Montpellier
Majelis Guru Besar 39 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Perancis pada tahun 1991, penulis secara menerus dan konsisten
melakukan berbagai kegiatan tridarma di bidang hidrogeologi.
Dengan jabatan Guru Besar ITB dalam bidang Hidrogeologi,
penulis akan terus berkarya dan memperdalam keilmuan di
bidang hidrogeologi, dengan rencana kegiatan sebagai berikut.
Pertama, mengambil peran secara aktif dalam kegiatan tridarma
perguruan tinggi di bidang hidrogeologi dan mengembangkan
penelitian melalui kerjasama dengan berbagai pihak/institusi di
dalam dan di luar negeri.
Kedua, mengambil peran dalam pengelolaan dan pengembangan
keilmuan hidrogeologi dibawah naungan Kelompok Keilmuan
(KK) Geologi Terapan.
Ketiga,
melaksanakan
dan
mengembangkan
penelitian
hidrogeologi spesifik di Indonesia sesuai dengan kondisi geologi
dan iklimnya. Fokus penelitian yang akan terus diperdalam dan
dikembangkan adalah: Hidrogeologi Kawasan Gunungapi dan
Hidrogeologi Kawasan Karst di Indonesia. Hasil penelitian
tersebut,secara bertahap, ditargetkan untuk dipublikasikan
melalui seminar dan jurnal pada tingkat nasional maupun
internasional dengan mengusung tema besar yaitu Hidrogeologi
Majelis Guru Besar 40 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Tropis (Tropical Hydrogeology) Indonesia. Penelitian ini, secara
khusus dirancang untuk saling memperkuat substansi pendidikan
dan layanan kepakaran yang dilaksanakan.
Keempat, menulis beberapa buku teks di bidang hidrogeologi
antara lain: Hidrogeologi Umum, Hidrogeologi Lapangan,
Hidrogeologi Gunungapi di Indonesia, Hidrogeologi Karst di
Indonesia, dan Hidrogeologi Indonesia.
Kelima, melakukan komunikasi keilmuan secara periodik kepada
masyarakat melalui berbagai media atau dialog dalam berbagai
forum yang relevan dalam rangka berbagi pengalaman dan
memanfaatkan hasil karya penelitian hidrogeologi yang relevan
dengan kebutuhan, situasi dan kondisi aktual masyarakat dan
bangsa Indonesia.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama‐tama, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar‐
besarnya kepada Rektor ITB beserta pimpinan ITB lainnya,
Pimpinan dan seluruh anggota Majelis Guru Besar ITB yang telah
memberikan peluang kepada penulis untuk dapat menyampaikan
Pidato Ilmiah Guru Besar ITB dalam suatu acara yang sangat
istimewa.
Majelis Guru Besar 41 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Penulis telah memperoleh banyak sekali kesempatan dan
kepercayaan di bidang akademik dan bidang manajemen ITB.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
yang setinggi‐tingginya kepada: Seluruh dosen Program Studi
Teknik Geologi khususnya para anggota Kelompok Keilmuan
Geologi Terapan yang telah mendukung penulis dalam
pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. Ucapan terimakasih
dengan penuh rasa hormat kepada Prof. Sampurno, Prof.Dr.Ir.
Djoko Santoso, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Emmy Suparka, Prof.Dr.Ir. Yahdi
Zaim, Prof.Dr.Ir. M.I. Tachjuddin, Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo,
M.Eng, yang telah memberikan dukungan penuh dan
rekomendasi kepada penulis dalam proses pengusulan penulis
sebagai Guru Besar ITB di bidang hidrogeologi. Ucapan
terimakasih
penulis
sampaikan
kepada
Prof.
Wiranto
Arismunandar selaku Rektor ITB pada tahun 1993 yang telah
memberi kesempatan pertama kalinya kepada penulis dalam
kegiatan akademik dan manajemen ITB. Ucapan terimakasih
penulis sampaikan kepada Prof.Dr. Emmy Suparka selaku Ketua
Jurusan Teknik Geologi yang pada tahun 1996 telah memandu
dan
memfasilitasi
penulis
dalam
pengembangan
ilmu
hidrogeologi dan pendirian Laboratorium Hidrogeologi. Ucapan
terimakasih kepada sejawat, Ir. Lambok Hutasoit, Ph.D dan
Majelis Guru Besar 42 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
Prof.Dr.Ir. Sudarto Notosiswoyo, M.Eng yang secara bersama‐
sama mengembangkan ilmu hidrogeologi baik dalam bentuk
kegiatan pendidikan S1, S2, dan S3 maupun dalam kegiatan
penelitian. Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada para
asisten Laboratorium Hidrogeologi, antara lain: Abdurrahman
Asseggaf, Bambang Sunarwan, Oman Abdurrahman, R. Fajar
Lubis, Hendri Silaen, D. Erwin Irawan, Imam Priyono yang telah
membantu dalam perumusan kawasan Padalarang‐Tagogapu‐
Ciganea, Kabupaten Bandung sebagai kawasan Observasi
Lapangan bidang Hidrogeologi.
Selain kepada pihak‐pihak tersebut di atas, ijinkan penulis dengan
penuh rasa syukur mengucapkan terimakasih kepada kedua
orangtua yang telah tiada yaitu Bapak H. M. Tisna Puradimaja
(alm) dan Ibu Hj. Rumsasih (alm) yang telah dengan penuh kasih
sayang membesarkan, membimbing dan selalu memberi tauladan
kepada penulis. Selain itu, ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada kakak dan adik kandung penulis, khususnya Prof.Dr.dr.
Iwin Sumarman, Sp.THT yang telah mendorong dan memfasilitasi
penulis dalam menempuh pendidikan. Ucapan terimakasih
dengan penuh hormat penulis sampaikan kepada kedua mertua
tercinta Bapak H.M. Uu Taryu dan Ibu Hj. Entin Kartini yang telah
Majelis Guru Besar 43 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
berjuang
keras
mendukung
penulis
selama
menempuh
pendidikan pasca sarjana di Perancis. Secara khusus, penulis
mengucapkan terimakasih yang setulus‐tulusnya kepada istri
tercinta Dra. Euis Latifah (Lely), anak‐anak tersayang: Ichsan
Juliansyah Juanda, Aditya Abdurrahman Juanda, Annisa
Ardearini Juanda yang tanpa dukungan dan kesabarannya, sangat
sulit bagi penulis untuk mencapai jenjang karir akademik dan non
akademik seperti saat ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
kepada seluruh undangan yang telah berkenan menghadiri acara
ini. Semoga Allah SWT memberi limpahan rahmat dan karunia‐
Nya kepada kita semua, dan selalu memberi kekuatan lahir dan
batin kepada semua pihak yang terus memiliki komitmen dan
berkarya untuk kemajuan Institut Teknologi Bandung.
Majelis Guru Besar 44 Profesor Deny Juanda Puradimaja Institut Teknologi Bandung 22 Desember 2006
7. DAFTAR PUSTAKA
Budi Brahmantyo dan Deny Juanda P., 2006, Hidrogeomorfologi Pegunungan Karst Karangbolong, Jawa Tengah, dengan Rujukan Khusus Daerah Banyumudal, Prosiding PIT IAGI XXXV.
Budi Brahmantyo, Deny Juanda P., Bandono, dan Imam Sadisun, 1998, Interpretasi dari Citra Spot dan Hubungannya dengan Pola Pengaliran Bawah Tanah pada Perbukitan Karst G. Sewu, Jawa Tengah, Bagian Selatan, Buletin Geologi, Vol 28, No 1/1998.
Castany, G., 1982, Principes et Methodes de l’hydrogeologie, Dunod Universite, Bordas, Paris.
Deny Juanda P. and R. Fajar Lubis, 2003. Comparison Geometry Aquifer and Relation Between Groundwater‐Stream in Ciliwung and Cikapundung River Area, Proc. of IAGI & HAGI Convention, vol.‐1, pp:231‐236. Deny Juanda P. dan D. Erwin Irawan, 2006, Studi Relasi Hidrodinamika Air
Sungai dan Airtanah sebagai Dasar Pengelolaan Airtanah Berbasis Akifer secara Terintegrasi pada DAS Ciliwung, Laporan Akhir Hibah Bersaing XIV/1.
Deny Juanda P. dan R. Fajar Lubis, 2002, Sustainability of Water Resources Management based on Hydrodynamics Relation Between River and Groundwater, Proceedings IHP‐VI Technical Document in Hydrology No.1, Kuala Lumpur ‐ Malaysia.
Deny Juanda P., 1998, Model Gradien Respon Piesometrik dan Upaya Delineasi Kawasan Resapan Air Kali Bribin pada Sistem Akifer Karst Formasi Wonosari Kabupaten G. Kidul DIY, Prosiding PIT IAGI ke XXVI. Deny Juanda P., Bagus Endar Bachtiar Nurhandoko, Imam Priyono, 2006,
Aliran Airtanah pada Sistim Akifer Karst dan Pendugaan Dimensi Gua dengan Kombinasi Metode Geolistrik : Inversi 2D dan Mise‐a‐la‐masse. Studi Kasus : Kawasan Buniayu, Sukabumi, Jabar, Geoforum HAGI. Deny Juanda P., D. Erwin Irawan, and Lambok Hutasoit, 2003, The Influence of Hydrogeological Factors on Variations of Volcanic Spring Distribution, Spring Discharge, and Groundwater Flow Pattern, Bulletin of Geology, Vol 35, No 1/2003, pp: 15 – 23, ISSN: 0126‐3498.
Deny Juanda P., D. Erwin Irawan, K. Wikantika, 2004, Monitoring and Controlling Groundwater Exploitation Using Hydro‐GeoInformation