• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farmakologi Kortikosteroid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Farmakologi Kortikosteroid"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kortikosteroid

Diana Krisanti Jasaputra

PENDAHULUAN

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II. Hormon ini berperan pada berbagai sistem fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai respon terhadap stres, sistem kekebalan tubuh, dan reaksi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, serta prilaku seseorang.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni:

1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan cara menghambat enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.

2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.

FARMAKOKINETIK

Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Kadar kortikosteroid yang tinggi dapat dicapai dengan cepat dalam cairan tubuh, jika ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Efek kortisol dan ester memiliki durasi yang lama dapat diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena perubahan struktur juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial. Penggunaan jangka panjang atau penggunaan pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif tinggi. Oleh karena itu, kortikosteroid pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat pada globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroi; kortisol

(2)

2

mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronat dan aldosteron afinitasnya rendah.

Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali, namun hal ini tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.

Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukuronad membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.

Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan secara lambat di jaringan ekstrahepetik. Kortikosteroid dengan gugus keton untuk aktifitas biologiknya pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologik yang lemah.

Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Sekresi 17-ketosteroid dalam urin dapat digunakan sebagai ukuran aktifitas hormon kortikosteroid dalam tubuh.

Steroid radioaktif setelah penyuntikan IV sebagian besar di ekskresi dalam urin dalam waktu 72 jam, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Metabolisme kortisol diperkirakan paling sedikit 70% dari kortisol yang di ekskresi mengalami metabolismenya di hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam. Ikatan rangkap dan atom C1-2 atau subtitusi atom flour memperlambat proses metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh eliminasi.

FARMAKODINAMIK

Glukokortikoid pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid akan berdifusi atau ditranspor menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat

(3)

3

dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh mekanisme nontranskripsi.

KLASIFIKASI KORTIKOSTEROID Kortikosteroid Sistemik

Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan, berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam).

Tabel 1 Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen sediaan kortikosteroid

Kortikosteroid Potensi Lama Kerja Dosis Ekuivalen (mg) Retensi Natrium Antiinflamasi

Kortisol (Hidrokortison) 1 1 S 20 Kortison 0,8 0,8 S 25 Kortikosteron 15 0,35 S - 6-α- metil prednisolon 0,5 5 I 4 Pludrokortison (Mineral kortikoid) 125 10 I - Prednison 0,8 4 I 5 Prednisolon 0,8 4 I 5 Triamnisolon 0 5 I 4 Parametason 0 10 L 2 Betametason 0 25 L 0,75 Deksametason 0 25 L 0,75 Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV S: kerja singkat (t ½ biologik 8-12 jam)

I : intermediate, kerja sedang (t ½ biologik 12-36 jam) L : kerja lama (t ½ biologik 36-72 jam)

INDIKASI KORTIKOSTEROID 1. Terapi Substitusi

Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder). Insufisiensi adrenal akut umumnya disebabkan oleh

(4)

4

kelainan pada adrenal atau oleh penghentian pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.

2. Terapi Non-Endokrin

Dasar penggunaan kortikosteroid dalam terapi ini adalah adanya efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan jaringan yang parah dan menimbulakan kecacatan, penggunaan kortikosteroid mungkin berbahaya sehingga perlu disertai dengan penanganan tepat bagi penyebabnya. Preparat kortikosteroid adalah preparat dengan kerja singkat dan kerja sedang misalnya prednison atau metil prednisolon dengan dosis serendah mungkin. Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor. Contoh penggunaannya adalah

a. Fungsi paru pada Fetus, penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan membantu pematangan fungsi paru pada fetus yang akan dilahirkan prematur sehingga risiko terjadi respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular dan kematian berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Overdosis akan menganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.

b. Artritis. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti inflamasi nonsteroid.

c. Karditis reumatik. Pemberian kortikosteroid belum terbukti lebih baik dibandingkan salisilat, namun risiko penggunaan kortikosteroid lebih besar dibandingkan salisilat, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan salisilat. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan pada pasien dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung akut, aritmia dan perikardithis.

d. Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.

e. Penyakit Kalogen. Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain yang ekuivalen) bermanfaat untuk eksaserbasi akut; sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan memperpanjang masa hidup pasien poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.

f. Asma Bronkhiale dan penyakit saluran napas lainnya. Respon asma terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat ditemukan pasien yang resisten terhadap steroid

(5)

5

meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil baik dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut pasien asam bronkhiale akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat radang yang ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma. g. Penyakit Alergi. Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu,

dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edema angioneurotik. Pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dapat diberikan IV.

h. Penyakit mata. Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada segmen anterior.

i. Penyakit kulit. Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid topikal.

j. Penyakit Hepar. Uji klinis menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memperpanjang masa hidup pasien nekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik aktif, hepatitis alkoholik dan sirosis non alkoholik pada wanita.

k. Keganasan. Leukemia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan glukokortikoid karena efek antilimfositiknya. Prednison biasanya digunakan bersama alkilator, antimetbolit dan alkaloid vinka. Selama pengobatan selain evaluasi klinik perlu dilakukan pemeriksaan darah dan sumsum tulang.

l. Gangguan Hematologik lain. Anemia hemolitik autoimun yang idiopatik maupun yang didapat memberi respon yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akan mengurangi hemolisis pada reaksi transfusi, meski mungkin dapat mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-induced hemolisis).

m. Syok. Kortikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik mungkin manfaatnya adalah melalui efek permisif yaitu membuat adrenalin bekerja lebih baik mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap merupakan obat utama yang harus diberikan. Kortikosteroid yang diberikan untuk syok septik, sampai sekarang masih banyak pertentangan pendapat.

n. Edema Serebral. Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati edema serebral, karena parsit atau tumor otak, terutama pada kasus metastasis.

o. Trauma Sumsum tulang Belakang. Uji klinik multisentra membuktikan manfaat metilprednisolone dosis besar (30 mg/kgBB dilanjutkan infuse 5,4 mg/kgBB perjam selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah trauma akan mengurangi gejala neurologis.

(6)

6 KONTRAINDIKASI

Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Keadaan-keadaan tersebut membutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

DOSIS

Pengalaman klinis mengemukan 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum penggunaan kortikosteroid: (1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu kewaktu sesuai dengan perubahan penyakit; (2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya; (3) Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar; (4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis subsitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah ; dosis ekivalen hidrokortisol 100 mg / hari lebih dari 2 minggu hampir selalu menimbulkan iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan kalium. Awasi dan sadari risiko pengaruhnya terhadap metabolism, terutama bila gejala terkait telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatanya penyembuhan luka; (5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti inflamasinya; (6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Oleh karena itu, penghentiannya harus secara bertahap.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul kembali. Bila penggunaannya bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum mengambil keputusan,

(7)

7

dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan bahaya akibat penyakit sendiri.

Kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien. Besarnya dosis glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Dosis kortikosteroid yang makin besar dan makin lama waktu pengobatan, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut. Oleh karena itu, pengurangan risiko supresi hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari.

EFEK SAMPING

Efek samping kortikosteroid, antara lain: 1. Efek samping jangka pendek

1. Peningkatan tekanan intraokuler mata (glaukoma)

2. Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.

3. Peningkatan tekanan darah

4. Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang. 2. Efek samping jangka panjang.

 Katarak

 Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga mudah patah.

 Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal  Menstruasi tidak teratur

 Mudah terinfeksi

 Penyembuhan luka yang lama

PENUTUP

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II. Hormon ini berperan pada berbagai sistem fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai respon terhadap stres, sistem kekebalan tubuh, dan reaksi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar elektrolit darah, serta prilaku seseorang.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yakni:

(8)

8

1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan cara menghambat enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.

2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.

Kortikosteroid berisiko menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan, bahkan beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan, Sulistia Gan. 1972. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen sediaan kortikosteroid

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan kortikosteroid pada pasien sindrom nefrotik, mengetahui jenis, bentuk sediaan, dosis,

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian ” Gambaran Tekanan Intraokular pada Pasien yang Mendapat Terapi Kortikosteroid di

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan kortikosteroid pada penyakit asma pasien Rawat Inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Untuk pasien dengan penyakit kuku yang signifikan yang gaga terapi topikal, pengobatan dengan adalimumab, etanercept, kortikosteroid intralesi,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasionalitas penggunaan kortikosteroid meliputi tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis pada pasien asma rawat inap

Berdasarkan hasil pada tabel 4.2 diketahui bahwa jenis kelamin pasien yang menggunakan terapi obat kortikosteroid di Puskesmas Kluwut pada periode Januari-Juni 2020

Beta‐blocker juga kurang efektif dibanding ACEi atau CCB dihidropiridin untuk mengurangi resiko diabetes, terutama pada pasien yang mendapat terapi diuretik tiazid.. Jika pasien

11 telah melaporkan hasil meta-analisis dari beberapa penelitian lalu bahwa pemberian kortikosteroid intranasal pada pasien anak efektif untuk dapat mengurangi gejala hipertrofi