• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1;Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia. Dengan dibuatnya dasar hukum di Indonesia, menunjukan bahwa HAM memiliki kedudukan yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, penegakan HAM dapat terwujud dengan baik. Berbagai pelanggaran HAM bisa diatasi sesuai dengan hukuman yang sudah ditentukan.

Namun ternyata dalam menegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak hanya mengandalkan dasar hukum yang sah saja, karena banyak faktor lainnya yang harus dipertimbangkan. Dan hal tersebut bisa menjadi penghambat dari penegakan HAM yang ada. Paradigma masyarakat tentang pemahaman Hak Asasi Manusia yang kurang merupakan salah satunya, karena adanya kondisi sosial budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Serta hambatan lainnya yang bisa memperlambat dalam penegakan HAM.

Kondisi seperti inilah yang harus diperhatikan oleh seluruh elemen yang terkait dalam menegakan HAM. Perlu adanya tindakan mutlak untuk meminimalisir hambatan-hambatan yang ada. Agar setiap warna Negara bisa mendapatkan Hak nya dalam menjalani kehidupan.

1.2; Rumusan Masalah

1; Apa yang dimaksud dengan penegakkan hak asasi manusia? 2; Apa hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia di Indonesia?

3; Bagaimana upaya meminimalisir hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia di indonesia?

1.3; Tujuan

1; Menjelaskan tentang makna dari penegakan Hak Asasi Manusia.

2; Menjabarkan setiap hambatan yang memperlambat penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

(2)

3; Menjelaskan tentang cara untuk meminimalisir hambatan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.

BAB II PEMBAHASAN

(3)

2.1. Penegakkan Hak Asasi Manusia

Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu pengharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya sebagaimana tercancum dalam deklarasi hak asasi manusia tahun 1948.

Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tapi juga menyangkut pemenuhan hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hak memperoleh air dan udara yang bersih, rasa aman, penghidupan yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas pemerintah tetapi juga seluruh warga masyarakat untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.

Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upaya-upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum di tegakan dan ketertiban di wujudkan, maka kepastian, rasa aman, terntram, atau kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Namun ketiadaan penegakan hukum dan ketertiban akan menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk memenuhi kehidupan hidupnya. Hal tersebut menunjukan adanya keterkaitan yang erat antara damai, adil dan sejahtera. Untuk itu perbaikan pada aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian.

2.2. Hambatan Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Meskipun bangsa Indonesia telah membuat beberapa dokumen hak asasi manusia untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, namun dalam

(4)

perjalanannya masih ada pelanggaran hak asasi. Pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia terjadi karena makin meningkatnya gejala individualistik, materialistik, dan eksklusif. Pelanggaran ini dapat diatasi atau dikurangi jika ada penegakan hak asasi manusia. Bangsa Indonesia pun telah berusaha melakukan upaya penegakan hak asasi manusia, namun banyak hambatan dan tantangan dalam penegakan hak asasi manusia itu.

Hambatan dan tantangan utama dalam penegakan hak asasi manusia di Indonesia adalah masalah ketertiban dan keamanan nasional, rendahnya kesadaran hak asasi manusia, dan minimnya perangkat hukum dan perundang-undangan. Secara umum hambatan dan tantangan tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu secara ideologis, ekonomis, dan teknis.1 Selain itu, dalam

menegakkan pelaksanaan HAM di Tanah Air, banyak sekali berbagai hambatan, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri.2 Faktor

kondisi sosial-budaya, informasi dan komunikasi serta peraturan perundang-undangan juga merupakan hambatan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Berikut ini penjelasan mengenai hambatan-hambatan tersebut.

1. Secara Ideologis

Perbedaan ideologi sosialis dengan liberalis membuat perbedaan yang tajam dalam memandang hak asasi manusia. Pandangan ideologi liberal lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak pribadi, sipil, dan politik. Pandangan sosialis mengutamakan peran negara dan masyarakat.

2. Secara Ekonomis

Penegakan hak asasi manusia memiliki hubungan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Makin tinggi ekonomi masyarakat, maka makin tinggi pula upaya penegakan hak asasi manusia.

1 Dwi Cahyati AW dan Warsito Adnan, Pelajaran Kewarganegaraan 1, Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm 109.

2 Atik Hartati dan Sarwono, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011 hlm 102.

(5)

3; Hambatan dari Luar Negeri

Hambatan yang berasal dari luar negeri antara lain, pengaruh ideologi Liberalisme. Liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti berpendirian bebas. Liberalisme adalah suatu paham yang melihat manusia sebagai makhluk bebas. Artinya, manusia memiliki kemauan bebas dan merdeka serta harus diberikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri dengan merdeka pula. Kaum liberal berkehendak membatasi hak negara untuk mencampuri urusan ekonomi, kebudayaan, agama, dan sebagainya. Mereka juga menuntut hak kemerdekaan menulis, menyampaikan pikiran, memeluk agama, dan menentang rasialisme. Mereka menuntut perdagangan bebas, persamaan hak bagi wanita, dan hak asasi manusia lainnya.

Dalam bidang politik, kebebasan individu atau partai sangat ditonjolkan, sehingga dikenal adanya partai oposisi dan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Apabila hak itu digunakan untuk memenuhi batas minimum pemerintah di parlemen, pemerintah yang berkuasa akan jatuh. Akibat lebih lanjut adalah pemerintah menjadi tidak stabil dan program pembangunan tidak berjalan. Akhirnya upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat akan terhambat.

Paham Liberalisme dilaksanakan di Eropa Barat, Amerika Serikat dan beberapa negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal berikut.

a; Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi diktator mayoritas terhadap minoritas.

b; Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, kelompok kecil pendapatnya tidak akan dipertimbangkan dalam pengambilan putusan sehingga bisa menimbulkan rasa Irustrasi.

4; Hambatan dari Dalam Negeri

Hambatan dari dalam negeri adalah sebagai berikut : a; Keadaan geografis Indonesia yang luas

b; Wilayah Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang menyebar di seluruh Nusantara menjadi kendala dalam komunikasi dan sosialisasi produk hukum dan perundang-undangan. Suatu produk hukum tertentu yang berskala nasional memerlukan sosialisasi dalam waktu yang relatiI

(6)

lama. Hal ini sangat diperlukan, sebab penyebaran tingkat kualitas pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat bervariasi. Pengaruhnya adalah masalah di wilayah tertentu di Indonesia dapat menjadi masalah di wilayah yang lain.

5; Faktor Kondisi Sosial-Budaya

Faktor Sosial-budaya memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia di suatu Bangsa dan Negara. Sistem kebudyaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah sistem kekeluargaan. Pada awal kemerdekaan, atau pada masyarakat pedesaan, pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tidak banyak terjadi karena kesadaran akan nilai-nilai sosial budaya yang masih tinggi. Hambatan dari factor sosial-budaya antara lain:

a; Stratifikasi dan status sosial

Stratifikasi dan status sosial yaitu tingkat pendidikan, usia, pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat Indonesia yang multikompleks. Harus diakui bahwa persoalan ketersediaan aksess pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Kini, pendidikan yang berkualitas sering diasumsikan dengan pendidikan yang mahal. Hal ini juga menjadi sangat mencolok ketika kebijakan pendidikan nasional tidak bisa mengantisipasi dampak terburuk dari kapitalisasi pendidikan.3

Pekerjaan merupakan aplikasi dari mandat eksistensial manusia. Jaminan dalam dunia kerja juga tidak kalah pentingnya. Maka, segala bentuk diskriminasi untuk memperoleh upah secara tegas dinyatakan sebagai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.

b; Hukum adat atau budaya lokal yang kadang bertentangan dengan HAM

Hukum adat yang berlaku di masyarakat harus dihormati sejauh hukum adat tersebut tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Namun, pada kenyataannya masih terdapat hukum adat yang bertentangan dengan hak asasi manusia seperti hukum adat di Amole Papua yang 3 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Resist Book, 2004.

(7)

mewajibkan pengantin perempuan ketika malam pertama harus berhubungan dengan saudara pengantin pria terlebih dahulu atau adat belis di Sumbawa yaitu seorang pria yang akan menikah harus memberikan sejumlah binatang kerbau atau kuda kepada keluarga mempelai perempuan, semakin banyak binatang yang diberikan kepada keluarga perempuan maka suami dapat bebas memukul istri.

Hukum adat sendiri, antara lain sebagai berikut : 1 Hukum yang dibuat dengan sengaja;

2 Hukum yang memperlihatkan aspek kerohanian yang kuat, dan 3 Hukum yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan

masyarakat setempat mempunyai sifat-sifat elastik di dalamm menghadapi kemajuan.

c; Masih adanya konflik horizontal dikalangan masyarakat Konflik sosial secar terbuka telah terjadi hanya lantaran perbatasan provinsi, desa, dll. konflik-konflik komunal ini tentu saja serta merta berakibat kepada kondisi HAM. Salah satu akibat langsung dari konflik-konflik komunal tersebut adalah kekerasan yang menyeruak dan mengorbankan nyawa manusia, terutama kalangan rentan seperti perempuan, anak-anak dan orang tua. 4

6; Faktor Komunikasi dan Informasi

a; Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai, hutan,dan gunung yang membatasi komunikasi antar daerah

4 Hamid Awaludin, HAM Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Jakarta: Kompas, Hlm 254.

(8)

b; Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang belum terbangun secara baik yang mencakup seluruh wilayah Indonesia

c; Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang masihsangat terbatas baik sumber daya manusianya maupun perangkat yang diperlukan.

7; Faktor Peraturan Perundang-undangan

Sejak era reformasi, telah dibentuk peraturan perundang-undangan tentang HAM, diantaranya adalah Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kelahiran peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia pada masa reformasi merupakan komitmen dan politik hukum pemerintah dalam proses penegakan HAM di Indonesia, namun keberadaan undang-undang ini sebagai payung hukum penegakan HAM di Indonesia ternyata masih menyisakan sisi-sisi problematik hukum terutama dari sudut substansi, antara lain :

a; Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

1; Pasal 1

Pasal 1 tentang pengertian Pelanggaran HAM dinyatakan bahwa setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

(9)

Pengertian pelanggaran HAM dalam pasal ini cakupannya terlalu luas dan cenderung melebar, sehingga dalam proses hukum di lapangan akan mengalami kesulitan, apalagi tidak disertai dengan penjelasan yang cukup. Biasanya pasal yang memiliki cakupan luas harus disertai dengan penjelasan, sehingga interpretasi hukumnya tidak jamak.

2; Keberadaan Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 99

Permasalahan yang muncul antara lain :

Pertama, Proses rekruitmen anggota Komnas HAM oleh DPR

sebagai lembaga politik dapat menimbulkan bias politik, karena anggota legislatif yang merupakan anggota partai politik dipastikan memiliki “kepentingan” dalam memilih anggota Komnas HAM. Dengan kondisi seperti ini, “tawar menawar politik” sulit dihindari.

Kedua, Dalam hal jumlah anggota Komnas HAM relatif terlalu

banyak (35 orang) bahkan merupakan satu-satunya lembaga HAM yang punya anggota paling banyak di dunia. Di negara seperti India, jumlah anggotanya sebanyak 6 (enam) orang saja, di Philipina sebayak 5 (lima) orang. Jumlah anggota sebanyak itu akan mempersulit Komnas HAM dalam mengambil sikap politiknya apalagi untuk menyamakan persepsi dan visi tentang HAM.

Ketiga, Setting kewenangan dan tugas Komnas HAM di negara

kita lebih banyak berfungsi pada persoalan lapangan, sehingga praktis persoalan pada level kebijakan sama sekali tidak tersentuh.

Keempat, Persoalan independensi anggota Komnas HAM terkait

dengan mekanisme pemilihan melalui pintu legislatif (DPR) dan diresmikan oleh Eksekutif (Presiden).

Dalam posisi seperti ini, banyak kalangan yang pesimis terhadap sifat independensi anggota Komnas HAM, jika sebuah kasus pelanggaran HAM yang ditangani bersinggungan langsung dengan kepentingan penguasa.

(10)

3; Dalam UU No.39 tahun 1999 setidaknya terdapat 57 pasal yaitu Pasal 9 hingga Pasal 66 yang memuat berbagai jenis HAM yang wajib dihormati dan dilindungi oleh pemerintah.

Menurut ketentuan Pasal 1 bahwa pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan yang melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi, membatasi, mencabut hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, maka termasuk kategori sebagai pelanggaran HAM, tetapi menurut ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM hanya mengadili pelanggaran HAM berat saja, sementara pelanggaran HAM yang lain diserahkan kepada peradilan umum. Jika kita melihat rumusan pasal di atas, maka nampak bahwa dari sisi ini sesungguhnya kelihatan

inkonsistensi negara kita dalam mengapresiasi materi yang terdapat dalam

undang-undang HAM yang ada. Mestinya kewenangan Pengadilan HAM di perluas sesuai dengan tuntutan materi UU HAM itu sendiri.

b; Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

1; Dianutnya asas Retroaktif

Ketentuan pasal 43 ayat 1 UU nomor 26 tahun 2000 menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diutus oleh Pengadilan HAM ad

hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden

berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Ini berarti UUD Pengadilan HAM berlaku bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut, dalam arti adanya ketentuan berlaku surut atau menganut asas Retroaktif dan pengawasannya diawasi secara ketat oleh rakyat.

(11)

Dalam hal pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc harus berdasarkan usul dari DPR, Undang-Undang ini tidak menerangkan lebih lanjut mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya DPR mengusulkan kepada Presiden bahwa “situasi tertentu” merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah yang berwenang untuk menentukan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia atau bukan, padahal sebagai lembaga politik DPR tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik yang

merupakan tindakan yudisial dan merupakan

kewenangan Komnas HAM seperti yang diatur dalam Undang-Undang.5

Romli Atmasasmita mengatakan pemberlakuan asas Retroaktif dalam pelanggaran HAM berat masih dilematis karena beberapa sebab, yaitu:

a; Pelanggaran HAM merupakan peristiwa baru dalam sejarah bangsa Indonesia.

b; Pelanggaran HAM yang berat tidak identik dengan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku dan untuk itu pelarangan analogi masih tetap berlaku.

c; Pemberlakuan surut undang-undang Pengadilan HAM dengan muatan materi mengenai ketentuan pidana di satu sisi melanggar asas hukum tidak berlaku surut, tetapi di sisi lain jika asas hukum tidak berlaku surut diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap pelanggaran HAM berat. Hal ini berarti pelanggaran HAM berat dianggap sama dengan kejahatan biasa. d; Pemberlakukan asas Retroaktif memerlukan

justifikasi-justifikasi yang sangat kuat baik dari sisi pertimbangan filosofis, yuridis, atau sosiologis.

(12)

Dalam hukum pidana asas Retroaktif menimbulkan suatu kontroversi karena eksistensinya jelas bertentangan dengan asas Legalitas. Secara prinsip sebagai konsekuensi diakuinya asas Legalitas, aturan hukum pidana tidak boleh diberlakukan secara surut. Pasal 1 ayat 1 KUHP secara eksplisit menegaskan bahwa asas Legalitas merupakan sendi utama hukum pidana sehingga asas Retroaktif tidak mendapatkan tempat sama sekali.6

Penolakan penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana juga didasarkan pada alasan bahwa asas reroaktif sesungguhnya bertentangan dengan keadilan dan membuka potensi kesewenang-wenangan dari penguasa. Tanpa berpikir terlalu jauh, setiap orang tentu akan dapat bertanya, apakah bisa dikatakan adil jika seseorang melakukan perbuatan yang pada saat perbuatan itu dilakukan masih dianggap legal atau tidak melanggar hukum, tapi kemudian diadili sebagai perbuatan yang melanggar hukum dan dijatuhi hukuman berdasarkan peraturan yang keluar setelah perbuatan tersebut dilakukan.

Penerapan asas retroaktif dianggap sama sekali tidak menyediakan kemungkinan bagi orang untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan atau apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan penerapan asas retroaktif orang juga bisa dikenai konsekuensi hukum atau sanki yang tidak pernah ia prediksikan sebelumnya pada saat itu melanggar sebuah peraturan. Inilah mengapa penerapan asas retroaktif yang sifatnya merugikan tersangka atau terdakwa bertentangan dengan keadilan.

Persoalan ketakutan akan potensi kesewenang-wenangan penguasa pada hakikatnya adalah akar dari semua persoalan yang dihadapi oleh penerapan asas retroaktif. Hal ini tampak jelas bila merujuk kepada fakta sejarah, yang telah menunjukan beberapa praktik kesewenang-wenangan penguasa dengan menggunakan penerapan asas tertoaktif. Kesewenang-6 Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out Court System, Jakarta: Gramata Publishing, hlm 63.

(13)

wenangan inilah yang kemudian melahirkan empat persoalan yang telah diuraikan diatas yaitu mencerminkan asa lex talionis, pelanggaran hak asasi manusia, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

Itulah alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menolak penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana. Namun kalau pun asas ini mau diterapkan dalam hukum pidana, penerapannya haruslah memenuhi kriteria yang rigid dan limitative antara lain :

a; Adanya korelasi antara Hukum Tata Negara Darurat dengan hukum pidana

Asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila Negara dalam keadaan darurat dengan prinsip-prinsip hukum darurat, karenanya sifat menempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam wilayah hukum yang sangat limitative, dengan diberikan suatu kriteria yang jelas masa berlakunya dan sifat menanganan kasusnya berdasarkan case by case.

b; Asas retroaktif tidak diperkenankan bertentangan dengan pasal 1 ayat 2 KUHP yang imperative sifatnya, artinya sifat darurat keberlakuan asas retroaktif yang dibenarkan perundang-undangan dengan alasan eksepsionalitas ini tidak berada dalam keadaan yang merugikan seorang tersangka/terdakwa.

c; Substansi dari aturan yang bersifat retroaktif harus tetap memperhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substansial suatu aturan secara tegas dan tidak menimbulkan multi-interpretatif, sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu perbuatan yang dikatagorikan abuse of power.

2; Tidak mengenal daluarsa

Ketentuan mengenai daluarsa diatur dalam pasal 84 KUHP yang berbunyi Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluarsa :

a; Tenggang daluarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun, mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya lamanya sama dengan daluarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga;

(14)

b; bagaimana pun juga tenggang daluarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan;

c; wewenang menjalankan pidana mati tidak mungkin daluarsa.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan pidana menjadi gugur karena daluarsa jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana bukan pidana mati. Bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, aturan mengenai daluarsa sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana tidak dapat diberlakukan kepada terpidana.

Lalu, bagaimana kalau terpidana dijatuhi pidana seumur hidup, KUHP ternyata tidak mengaturnya. Karena yang secara eksplisit disebutkan sebagai alasan yang tidak menggugurkan pelaksanaan pidana karena daluarsa adalah pidana mati, sedangkan pidana seumur hidup tidak dijelaskan. Dengan demikian, ketentuan mengenai daluarsa dalam KUHP sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana memiliki kelemahan terutama dalam kaitannya dengan pidana seumur hidup yang dijatuhkan kepada terpidana.

Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berat, ketentuan dan justifikasi teoritis mengenai daluarsa dalam KUHP tidak berlaku atau disampingi. Ketentuan pasal 46 undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan, bahwa untuk pelanggaran

hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai daluarsa.

Ini artinya, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada tahun 1950-an sekalipun akan diproses, diperiksa dan diadili berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.

Namun, perlu juga kiranya dipikirkan hambatan yang memungkinkan muncul jika pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada rentang waktu yang cukup lama terutama jika dilihat dari proses pengumpulan alat-alat buki. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dipikirkan juga aturan mengenai ketentuan daluarsa dengan menyebutkan waktunya secara spesifik dan lebih lama dibandingkan dengan daluarsa dalam KUHP. Hal ini dirasakan penting karena proses penegakan hukum atas

(15)

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang mengatasnamakan hak asasi manusia pelakuka harus tetap menghormati dan melindungi hak asasi pelaku. Perlakukan dan perlindungan hukum dalam konteks daluarsa ini harus dilakukan secara seimbang antara pelaku dan korban.

3; Komnas HAM sebagai penyelidik

Dari kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komnas HAM selaku penyidik, yaitu memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan

didengar keterangannya mengandung persoalan.

Meskipun Komnas HAM diberikan kewenangan sub poena berupa memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, kewenangan tersebut tidak diikuti oleh saksi hukum bagi pihak-pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya jika tidak hadir atau tidak mengindahkan panggilan resmi Komnas HAM. Kewenangan sub poena Komnas HAM tersebut tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan tersedianya sanksi hukum bagi pihak-pihak yang menolak atau tidak hadir memenuhi panggilan Komnas HAM.

4; Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran HAM berat

Perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran HAM yang berat karena kerentanan-kerentanan yang dihadapi baik sebelum proses peradilan maupun saat bahkan setelah peradilan dilaksanakan. Tidak jarang saksi dan korban mendapat terror dari pelaku atau orang lain suruhan pelaku sehingga saksi dan korban

(16)

“terpaksa” enggan untuk hadir dan memberikan kesaksian di persidangan pengadilan.7

Contohnya, pada kasus Teungku Bantaqiah di Aceh yang menjadi korban kekerasan dari oknum aparat keamanan pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM), keluarga korban meminta kepada pengadilan untuk tidak melanjutkan persidangan karena saksi (korban) sering menerima ancaman teror setiap akan memberikan keterangan di pengadilan. Bahkan pada hari ketiga persidangan terjadi pelemparan granat oleh orang yang tidak dikenal sehingga mencederai 17 orang.

Hak-hak korban pelanggran HAM berat tidak pernah disinggung kecuali hanya dinyatakan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah. Perlindungan terhadap saksi dan korban akan memebrikan efek yang besar terhadap proses peradilan pelanggaran HAM. Dampak yang paling nyata adalah adanaya jaminan bagi saksi untuk memebrikan keteranagan tanpa adanya tekanan, ancaman, gangguan, intimidasi dan segala bentuk lainnya. Selain adanya hambatan, ada pula kelemahan pokok dalam penegakan HAM di Indonesia yang menyebabkan penegakan HAM masih bersifat relatif, didorong oleh unjuk rasa, demonstratif, pertentangan kelompok, dibawah tekanan negara maju dan didanai oleh beberapa lembaga internasional, belum build-in di dalam strategi nasional dan belum mewartai Pembangunan Nasional. Kelemahan pokok tersebut yaitu:8

1; Masih kurang pemahaman tentang HAM

Banyak orang menagkap pemahaman HAM dan segi pemikiran formal belaka. HAM hanya dilihat sebagaimana yang tertulis dalam “Declaration of Human Rights” atau apa yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Namun, hakikat pemahaman HAM harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi. Sebab dalam 7 Ibid, Hlm 111.

(17)

pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar “politik, hukum, sosiologi, filosifi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda internasional, yurispudensi analitis, yurispudensi normatif, etika dan estetika”. Jika makna seperti ini dapat ditangkap melalui suatu proses pembelajaran, pemahaman, penghayatan dan akhirnya diyakini, barulah kita dapat menuju kepada suatu proses untuk menjadikan HAM ini sebagai bagian dari kebijakan nasional. Bagian dari kebijakan nasional, program nasional dan konsistensi. Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang formal ini adalah barang impor.

2; Masih kurang pengalaman

Didasari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai suatu konsep formal masih terasa baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong kita harus membina kerjasama dengan beberapa negara dalam mencari gagasan, menciptakan kondisi yang kondusif, dan memberikan proteksi perlindungan HAM, persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu didorong dan ditegakkan. Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama, forum konsultasi, dan berbagai kepentingan tertentu yang sering tidak terasa bahwa tujuan yang hendak dicapai menjadi melenceng jauh dari tujuan yang semula diharapkan.

3; Kemiskinan

Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus diperangi dan diberantas. Tema memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan di forum-forum nasional, regional dan internasional, tetapi hingga saat ini belum ada solusinya. Bahkan, ide memberantas kemiskinan hanya mampu memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun uang ke kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak sosial dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan. 4; Keterbelakangan

Keterbelakangan ini adalah sesuatu penyakit yang kultural dan struktural. Kultural karena sering sekelompok orang yang terikat dalam satu budaya yang sama memiliki adat istiadat yang sama dan arah berpikir yang

(18)

sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses pendidikan dan kebiasaan menggunakan logika berpikir.

5; Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan

Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan berbangsa dan bernegara diperlukan :

a; Adanya personil pemerintahan yang berkualitas,

b; Aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggungjawab,

c; Terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi yang jelas,

d; Terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor menjaga keutuhan bangsa dan negara,

e; Adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar HAM, f; Tersedianya “bantuan hukum” (legal-aid) dimana-mana,

g; Terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa sehingga bersinergi. Setiap pemikiran, konsep atau rencana yang ditawarkan.

2.3 Meminimalisir Hambatan Penegakan HAM di Indonesia

1; Pendidikan

Sistem pendidikan telah di buka oleh pemerintah (Negara) untuk dilengkapi dengan muatan HAM. Kurikulum-kurikulum pendidikan kita di berbagai jenjang, terutama di univeristas atau perguruan tinggi, sangat akomodatiif dengan muatan HAM. Khusus di Indonesia dengan mudah kita melihat betapa kurikulum pendidikan di berbagai perguruan tinggi, telah memberi tempat yang begitu luas dan leluasa bagi muatan HAM.

Hingga pertengahan tahun 1980-an, pelajaran tentang HAM di perguruan tinggi, hanya dicantolkan dalam mata kualiah ilmu Negara di fakultas hukum. Sementara FISIP, HAM dicantolkan dalam mata kualiah ilmu politik.

Kini HAM, sudah menjadi subyek tersendiri dan diajarkan dengan berbagai pendekatan. Malah sejumlah perguruan tinggi kita sekarang telah

(19)

membuka jurusan khusus untuk HAM pada level S-2 dan S-3. Ini adalah seuah gerakan dahsyat yang menggelindingkan pemahaman tentang nilai-nilai HAM.

Dengan sistem pendidikan yang amat terbuka ini, di tambah dengan bangkitnya kelas menengah baru yang terdidik, maka gerakan masyarakat luas untuk menegakan HAM, memang membuat Negara tidak memiliki kesempataan berkelit.

Lulusan perguruan tinggi yang mempelajari HAM secara mendalam ini, telah menebarkan virus gerakan penegakan HAM. Mereka berada dan tersebar di mana-mana yang membuat sebuah loncatan vertikal dalam masyarakat kita mengenai perlindungan dan penegakan HAM. Merekalah yang memutar dynamo pergerakan mesin HAM. Mereka bagai bola salju yang menggelinding tanpa batas dihentikan. Dan tiap putaran selalu menarik salju-salju yang lainnya untuk ikut dalam pusaran, hingga menjadi gerakan dahsyat.

Bagi alumni perguruan tinggi yang mendalami HAM dan bergerak di LSM, telah menambah dahsyat tekanan masyarakat sipil mengenai perlindungan dan penegakan HAM. Bagi mereka yang bekerja di birokrasi pemerintah, telah menjadi agen perubahan dari dalam birokrasi mengenai perlindungan dan penegakan HAM. Sementara yang bergerak di sektor swasta, aktif memasukan elemen-elemen HAM dalam setiap perencanaan organisasi mereka. maka persepsi masa lalu yang dimiliki swasta bahwa HAM adalah urusan politik semata, kini mulai ditinggalkan.

Anak-anak muda yang mendalami HAM secara mendalam di perguruan tinggi tersebut, adalah anak-anak muda yang penuh idealism karena dalam tataran praktis, hingga kini HAM belum menjadi sebuah subyek yang dengan mudah memberikan kenikmatan duniawi.

Namun dalam kondisi serang ini akan berubah drastic untuk kedepan. Dengan gerakan HAM yang menggelinding dahsyat, masalah pengetahuan HAM tidak akan berbeda jauh dengan pengetahuan lainnya dalam hal penghargaan dan penerimaan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan

(20)

mengenai HAM, sama saja dengan pengetahuan dan keterampilan di bidang lainnya.

2; Peyempurnaan Peraturan perundang-undangan

Cukup banyak pasal dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang perlu disempurnakan. Namun ketentuan yang krusial untuk disempurnakan, bila perlu di hapus adalah prinsip yang bersifat retroaktif dan kadaluarsa serta diperlukan Hukum Acara tersendiri yakni Hukum Acara Pengadilan HAM.

Penyempurnaan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, harus segera dilaksanakan. Sebab ketentuan yang sangat bermasalah inilah yang merupakan penghambat dibentuknya pengadilan HAM atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

3; Pembinaan dan Peningkatan Kualitas SDM Aparat Terkait

Guna menghindari jatuhnya korban pelanggaran HAM yang lebih banyak di saat terjadinya keadaan darurat, dan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghormatan, penegakan dan penyebarluasan HAM sebagaimana sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, dengan lampiran Naskah Piagam Hak Asasi Manusia, pemerintah, DPR, TNI/Polri, Komnas HAM, kejaksaan harus secara serius melaksanakan isi Ketetapan MPR tersebut.9

Di sini Komnas HAM sangat berperan dalam mensosialisasikan HAM kepada aparat penyelenggara Negara seperti Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara, masyarakat lewat penyuluhan baik formal maupun nonformal.

Dengan telah ditingkatkannya dasar hukum pembentukan Komnas HAM dari keputusan presiden menjadi undang-undang, diharapkan Komnas HAM dapat menjalankan fungsinya dengan lebih optimal untuk mencapai tujuannya sebagaimana ditetapkan oleh undang. Dengan undang-undang tersebut, Komnas HAM juga mempunyai subpoena power untuk 9 Binsar Gultom, Pelanggaran HAM, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm 289.

(21)

menyelesaikan pelanggaran HAM. Artinya Komnas HAM harus tegas dan konsekuen memanggil saksi dugaan pelanggaran HAM. Jika Saksi tersebut tidak bersedia hadir memberikan keterangan, Komnas HAM harus menggunakan ‘upaya paksa’ dari Ketua Pengadilan sesuai pasal 95 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Wewenang Komnas HAM menjadi bertambah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan Undang-undang ini, Komnas HAM diberikan mandate sebagai satu-satunya institusi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat untuk diteruskan dan dikembangkan oleh jaksa agung.

Komnas HAM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah lembaga “mandiri”, yang kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi mengenai HAM.

Tujuan Komnas HAM, sebagaimana disebutkan di atas, adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan meningkatkan perlindungan serta penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan mampu berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan dan pemantauan, serta mediasi tentang HAM sesuai Pasal 76 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Minimnya pemahaman tentang HAM oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum menjadi kendala yang serius sehingga sering terjadi pelanggaran HAM dalam keadaan hukum darurat harus diatasi oleh pemerintah.

(22)

Cara mengatasinya adalah pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan sesuatu keadaan darurat di suatu wilayah terkait dengan bidang hukum tata Negara darurat sehingga pemberlakukan status keadaan darurat, hal itu selalu memenuhi legalitas hukum yang jelas. Pemerintah sering ragu-ragu untuk menggunakan hak prerogratifnya untuk menerapkan status keadaan darurat. Entah karena pemerintah takut dituding oleh masyarakat telah berbuat otoriter atau karena ketidakmampuan dan ketidakberanian untuk bertindak, atau karena tidak memiliki skill yang memadai untuk itu, atau karena mempunyai alasan politik tertentu.

Agar penetapan status hukum keadaan darurat di suatu daerah berjalan efektif, berbagai kebijakan dan tindakan yang harus diambil pemerintah adalah10 :

a; Pemerintah harus konsekuen terhadap pelaksanaan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, sebab hanya kedua peraturan inilah yang dapat menyelesaikan kasusu pelanggaran HAM di Indonesia.

b; Meningkatkan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan keadaan hukum darurat yang ditetapkan oleh Presiden sehingga berbagai instruksi dan prosedur tetap dalam pelaksanaan tugas TNI/Polri tidak akan merusak sendi-sendi hak asasi manusia.

c; Pemerintah tidak boleh sembarangan menetapkan status hukum keadaan darurat. Penerapannya harus melalui prosedur hukum yang benar dan sebisa mungin tidak secara mendadak, dan harus dideklarasikan terhadap publik, agar terciptanya control pengawasan dari publik.

d; Aparat terkait seperti TNI/Polri, Komnas HAM, Kejaksaan, Hakim perlu mendapatkan pendidikan formal maupun nonformal khususnya pengetahuan di bidang Hak Asasi Manusia dan Hukum Tata Negara Darurat dari Komnas HAM atau pakar/ahli yang membidangi hukum tata Negara darurat guna menjadi professional ketika melaksanakan tugas di lapangan.

(23)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih kurang optimal. Hal tersebut dikarenakan masih adanya hambatan-hambatan yang menjadikan tegaknya HAM secara menyeluruh. Hambatan yang paling komplek terdapat dalam peraturan perundang-undangannya. Seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dari penjabaran setiap pasalnya, akan timbul Asas Retroaktif, tidak adanya batas daluarsa pengajuan pelanggaran HAM, peraturan tentang Komnas HAM yang belum jelas dan adanya perlindungan saksi serta korban yang kurang diperhatikan lebih lanjut.

Untuk itu perlu adanya tindakan yang lebih khusus untuk meminimalisir berbagai hambatan yang lebih krusial nantinya. Cara meminimalisir hambatan tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan tentang HAM kepada masyarakat, menyempurnakan peraturan perundang-undangan dan melakukan pembinaan pada aparatur penegakan Hak Asasi Manusia.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak,dkk. 2010. Pendidikan Kewarganegaraa. Jakarta: Prenada Media. Atik Hartati dan Sarwono. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Pusat

Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Binsar Gultom. 2012. Pelanggaran HAM. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dwi Cahyati AW dan Warsito Adnan. 2011. Pelajaran Kewarganegaraan 1. Jakarta

: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional. Eko Prasetyo. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta : Resist Book. Hamid Awaludin. HAM Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional. Jakarta :

Kompas.

Mahrus Ali. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Jakarta : Gramata Publishing. Rhona K.M. Smith,dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: PUSHAM

Referensi

Dokumen terkait

Target dan luaran yang akan dihasilkan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah (1) berdirinya Pos DDTK Komprehensif; (2) tersusunnya buku dan kartu DDTK- Komprehensif; (3)

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah Untuk mengetahui pengaruh kondisi sosial ekonomi dan lingkungan siswa terhadap kedisiplinan siswa SMP N 4 Jiken Kabupaten Blora

At the same time, Bank Indonesia shared that it may maintain the benchmark rate at 7.5%, this would trigger more selling activity as market will start to

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERTANYA SISWA MELAUI METODE DISKUSI DENGAN TEKNIK PROBING & PROMPTING DALAM PEMBELAJARAN IPS.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Lebih dari setengah pelaku rawat informal meng- gunakan koping adaptif selama melakukan perawatan kepada klien dengan diabetes dan sebagian pelaku rawat informal

Hubungan tersebut nampak dalam (1) pesantren dengan kehormatan kiainya adalah kubu pertahanan NU baik dari segi keagamaan maupu strategi perjuangan, (2) NU

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud