BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pemberian layanan seksual dengan maksud dan tujuan sebagai salah satu bentuk tindak pidana gratifikasi sebenarnya telah terjadi sejak cukup lama. Namun, hingga kini gratifikasi seksual belum diatur secara tegas dalam hukum positif di Indonesia. selain itu, masih banyak timbul keraguan dalam masyarakat dan penegak hukum tentang fenomena ini terkait belum diketahui secara jelasnya apakah bentuk layanan seksual tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi atau tidak.
Sejak dahulu pembahasan tentang tindak pidana korupsi selalu menjadi hal yang kompleks dan rumit. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah krisis multidimensional dengan ancaman nyata yang berupa dampak dari kejahatan ini, oleh karenanya tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extraordinary crime. Sehingga dalam penangannannya diperlukan sifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa (extra ordinary measure).1 Hal ini juga yang kemudian perlu menjadi catatan dalam memberantas tindak pidana korupsi, utamnanya adalah aturan hukum materiil yang jelas, tegas dan relevan mengatur tindak pidana korupsi di masyarakat.
1 Nur Mauliddar, Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi Terkait Adanya Laporan Penerima
Gratifikasi, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19 No. 1 (April,2017) pp. 155-173, diakses dari www.jurnal.unsyiah.ac.id pada 11 Maret 2020
Penanganan korupsi dengan bentuk sifat dan tindakan yang luar biasa tentunya tidak dapat terwujud tanpa adanya aturan hukum yang jelas dan mengatur tegas mengenai tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi serta modus-modus operandi barunya yang dewasa ini kian beragam dan menjadi fenomena hukum yang mengejutkan bagi masyarakat.
Dalam hal peraturan hukum terkait gratifikasi di Indonesia, tertuang pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang didalamya memuat gratifikasi sebagai bagian dari 30 jenis tindak pidana korupsi yang ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut dikelompokkan kembali menjadi tujuh, yang antara lain adalah: 1) Kerugian Keuangan Negara; 2) Suap-menyuap; 3) Penggelapan dalam Jabatan; 4) Pemerasan; 5) Perbuatan Curang; 6)
Benturan Kepentingan dalam Pengadaan; 7) Gratifikasi.2
Sebagai bagian dari tindak pidana korupsi, gratifikasi juga dimaknai sebagai tindakan tercela dan tidak bermoral, sebagaimana Korupsi itu sendiri yang secara harfiah mengandung arti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, dan kata-kata yang
menghina atau memfitnah.3
Oleh sebab itu, gratifikasi tentunya merupakan tindakan yang busuk, immoral, tercela, tidak jujur, menyimpang dari norma dan kesucian, serta tentunya sangat merugikan negara dan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung yang harus dicegah dan diberantas dengan tegas.
2 Komisi Pemberantasan Korupsi, Modul Tindak Pidana Korupsi, Pusat Edukasi Anti Korupsi, diakses
dari www.aclc.kpk.go.id pada 12 Maret 2020
Itulah sebabnya dalam perkembangan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian dikenal istilah gratifikasi dan diatur secara khusus dalam Pasal 12 B serta diartikan secara khusus dalam penjelasan pasal 12 B.
Gratifikasi dalam penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaknai sebagai pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.4
Walaupun baru dikenal dan diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi sebenarnya bukan merupakan hal baru di Indonesia. Tindak kejahatan ini telah berkembang sejak zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang karenanya pula organisasi tersebut hancur dan tidak bertahan lagi. Dewasa ini, seiring dengan berjalannya waktu, bentuk-bentuk kejahatan selalu mengalami perkembangan, termasuk bentuk kejahatan gratifikasi yang baru-baru ini ramai diperbincangkan karena si pemberi menggunakan layanan seksual sebagai bentuk“hadiah” kepada si penerima gratifikasi.
4 Penjelasan Pasal 12B Ayat (1), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor
Dalam kehidupan sehari-hari, Pemberian atau hadiah tentunya merupakan perbuatan biasa dan tidak melanggar hukum. Namun tindakan ini akan lain halnya jika pemberian hadiah diberikan kepada seorang pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud sebagai hadiah atas keputusan atau kebijakan dari penyelenggara negara yang terpengaruhi atas pemberian hadiah,
yang dalam hal ini dimaknai sebagai bentuk gratifikasi.5
Sehingga dalam hal ini pemberian yang dianggap sebagai gratifikasi adalah pemberian yang dilakukan sebagai hadiah atas mendapatkan suatu keuntungan pribadi atau kelompok yang berhubungan dengan jabatan, tugas atau wewenang si penerima gratifikasi (Pegawai negeri atau penyelenggara Negara).
Sebagai bentuk luas dari tindak gratifikasi, ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap (elitis, endemic, dan sistemik). Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan elit atau pejabat. Tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Dan yang terakhir dalam tahap kritis, korupsi menjadi
sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa.6
Tentunya sangat dimungkinkan bahwa masalah korupsi di Indonesia telah sampai pada tahap sistemik. Hal ini dapat di lihat dari banyaknya korupsi yang terkadang dilakukan tanpa sadar oleh masyarakat, seperti mengambil sisa kembalian tanpa izin, menyogok untuk mempermudah urusan, dan lainnya.
5 Hafrida, Analisis Yuridis Terhadap Gratifikasi dan Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi Menurut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inovatif Jurnal Ilmu Hukum Vol. 6 No. 7 Tahun
2013:INOVATIF, diakses dari www.online-journal.unja.ac.id pada 11 Maret 2020
66 Ermansjah djaja, Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sinar
Permasalahan korupsi, khususnya tindak gratifikasi di Indonesia telah menjadi suatu permasalahan yang komplek dengan berkembangnya kejahatan ini dalam berbagai macam bentuk. Salah satu bentuk gratifikasi yang cukup membuat publik tekejut adalah gratifikasi dengan menggunakan bentuk pelayanan seksual sebagai bentuk “hadiah” untuk melancarkan urusan dan mengejar keuntungan pribadi. Kasus yang sempat ramai diperbincangkan adalah kasus mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI fraksi Partai Persatuan Pembangunan komisi IV, Al Amin Nasution.
Al Amin Nasution yang saat itu menjabat sebagai penyelenggara negara (DPR RI) sangat memiliki pengaruh atas tindakan yang dilakukannya pada
masa itu. Sebagaimana penulis kutip dari Kompas Indonesia7, Al Amin di
tangkap bersama Azirwan yang merupakan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, sekretaris pribadi Al Amin, dan seorang perempuan di hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta. Saat dilakukan penggerebekan, ditemukan pula uang tunai senilai lebih kurang Rp. 71.000.000.
Dalam perkembangan kasusnya kemudian ditemukan fakta dialog obrolan Al Amin saat melakukan pemesanan seorang wanita pekerja seks komersial yang juga turut ditangkap pada saat penggerebekan. Yang kemudian dalam fakta persidangan diketahui bahwa perempuan tersebut sengaja dipesan untuk memuluskan niat pribadi dari saudara Azirwan.
7 Kompas, Kronologi Penangkapan Amin Nasution, Kompas, diakses dari www.nasional.kompas.com
Dalam kasusnya, Al Amin menerima sejumlah uang dan bentuk pelayanan makanan dan hiburan yang diberikan karena berkaitan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajiban Al Amin sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI yang pada saat itu kaitannya untuk memproses persetujuan DPR RI dalam usulan pelepasan kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin, serta usulan pelepasan kawasan Hutan Lindung Pulau Bintan, Kabupaten Bintan, dan memberitahukan hasil Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Departement Kehutanan yang sifatnya rahasia.8
Kasus diatas merupakan satu dari beberapa kasus gratifikasi dengan bentuk layanan seks yang terjadi di Indonesia. fenomena ini sebenarnya sudah cukup banyak terjadi di lingkungan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hal ini sejalan dengan pernyataan Direktur Pengembangan Jaringan dan Kerja Antara Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJ KAKI KPK), Sujarnarko, melalui okezone.com pada Forum Anti Korupsi III, 30 Juli 2012 di Hotel Four Seasons, Jakarta, yang menyatakan bahwa praktek gratifikasi seksual marak terjadi dalam permainan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) oleh para kepala daerah.9 Hal ini semakin menegaskan bahwa
tindak gratifikasi seksual sebenarnya telah cukup sering terjadi di Indonesia, namun baik aturan maupun penangannya masih sangat kurang.
Faktanya, aturan hukum yang ada dinilai masih belum cukup dalam memberantas permasalahan korupsi, khususnya gratifikasi seks di Indonesia. Kondisi ini tentunya menimbulkan berbagai permasalahan, sehingga penegak hukum masih kesulitan dan mengalami keraguan dalam hal pembuktian dan
8 Direktori Putusan Mahkamah Agung, Putusan Nomor 161/PK/Pid.Sus/2010 Atas nama terdakwa M.
Al Amin Nur Nasution SE, Mahkamah Agung Republik Indonesia, diakses dari
www.putusan.mahkamahagung.go.id pada 11 Maret 2020
9 Mustholih, Gratifikasi Seksual Juga Terjadi di Indonesia, Okezone, diakses dari news.okezone.com
mengkategorikan bentuk-bentuk baru modus operandi gratifikasi yang muncul baru-baru ini untuk dinilai apakah termasuk dalam tindak pidana korupsi atau tidak.
Hal ini turut dinyatakan oleh Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Hibnu Nugroho melalui detikcom, yang menegaskan bahwa gratifikasi saat ini perkembangannya sudah sangat luas, jika dulu hanya berupa pemberian, fasilitas, diskon, sekarang berkembang, banyak pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak memerlukan diskon, yang kemudian diberikanlah gratifikasi seks. Serta ditegaskan pula bahwa tantangan penegak hukum adalah bukti-bukti materil yang harus
ditemukan dalam kasus gratifikasi seksual.10
Munculnya masalah dan kesulitan diatas menegaskan bahwa peraturan hukum yang ada saat ini dirasa masih belum efektif dan belum cukup relevan dalam penanganan gratifikasi seksual di Indonesia. Sehingga berdasarkan keseluruhan uraian diatas, penulis merasa diperlukan adanya penelitian yang komprehensif dan sistematis terkait gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi yang akan dikaji dalam Tugas Akhir penulis.
2. Perumusan Masalah
Dalam penelitian terkait gratifikasi seksual di Indonesia ini, terdapat dua pokok permasalahan, yakni:
1. Bagaimana pengaturan gratifikasi menurut undang-undang nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
10 Haris Fadhil, KPK Sebut Gratifikasi Seks Bisa Dijerat, Tapi Pembuktiannya Berat, Detik News,
2. Bagaimana dasar pembenar pengaturan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang pengaturan gratifikasi menurut undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan dasar pembenar pengaturan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.
4. Manfaat Penelitian 4.1 Secara Teoritis
1. Memberikan kontribusi keilmuan hukum dalam hal tindak kejahatan korupsi di Indonesia, khususnya terkait gratifikasi seksual;
2. Dapat dijadikan sebagai referensi untuk pengembangan Ilmu hukum tentang gratifikasi seksual.
4.2 Secara Praktis
1. Dapat memberikan kontribusi positif kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan penegak hukum lainnya, instansi pemerintah, instansi akademik, maupun masyarakat umum tentang gratifikasi seksual; 2. Memberikan kontribusi informasi mengenai gratifikasi seksual di
Indonesia, khususnya terkait klasifikasi gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi.
5. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan untuk mengetahui tentang pengaturan gratifikasi menurut undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, serta dasar pembenar pengaturan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. sehingga dapat mempermudah proses pembuktian dan pemberantasannya.
6. Metode Penelitian 6.1 Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan model pendekatan Undang-undang (statue approach) yang diterapkan karena akan meneliti peraturan perundang-undangan terkait dengan objek penelitian.
6.2 Jenis dan Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer meliputi: Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Bahan Hukum Sekunder meliputi: bahan hukum yang diperoleh dari jurnal-jurnal, buku-buku, makalah atau sumber-sumber lain baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan penelitian ini serta putusan pengadilan terkait kasus gratifikasi seksual;
c. Bahan Hukum Tersier meliputi: bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bahan-bahan hukum primer dan sekunder
seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, Ensiklopedia dan lain sebagainya.
7. Teknik Pengumpulan Bahan
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah model studi kepustakaan (library research) yakni mengkaji informasi tertulis tentang hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.11
8. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tugas akhir “Analisis Yuridis Gratifikasi Seksual Sebagai Bentuk Tindak Pidana Korupsi” adalah:
BAB I Pendahuluan, menguraikan alasan dan latar belakang
masalah penulis, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan penelitian.
BAB II Tinjauan pustaka, memuat teori-teori dan konsep-konsep
yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis kaji.
BAB III Tentang penelitian dan pembahasan, yang akan
membahas terkait analisis yuridis gratifikasi seksual sebagai bentuk tindak pidana korupsi.
BAB IV Penutup, berisikan kesimpulan dari pembahasan hasil
penelitian yang dilanjutkan dengan saran-saran.