• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... PERSYARATAN GELAR... LEMBAR PERSETUJUAN... PENETAPAN PANITIA UJIAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRACK... DAFTAR ISTILAH...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... PERSYARATAN GELAR... LEMBAR PERSETUJUAN... PENETAPAN PANITIA UJIAN... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRACK... DAFTAR ISTILAH..."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

i DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSYARATAN GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA UJIAN ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

ABSTRAK ... x

ABSTRACK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR ISTILAH ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Permasalahan ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9 1.3 Tujuan Penelitian ... 9 1.3.1 Tujuan Umum ... 9 1.3.2 Tujuan Khusus ... 9 1.4 Manfaat Penelitian ... 10 1.4.1 Manfaat Teoretis ... 10 1.4.2 Manfaat Praktis ... 11

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 11

1.5.1 Ruang Lingkup Objek ... 12

(2)

ii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN ... 13

2.1 Tinjauan Pustaka ... 13

2.2 Konsep ... 16

2.2.1 Pola Penataan Ruang ... 17

2.2.2 Interaksi Sosial ... 18

2.2.3 Hirarki Sosial ... 19

2.2.4 Komunitas Pertapa Masa Bali Kuno ... 19

2.3 Landasan Teori ... 21

2.3.1 Teori Logika Sosial Ruang ... 21

2.3.2 Teori Arkeologi Pascaprosesual ... 23

2.4 Model Penelitian ... 25

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Rancangan Penelitian ... 29

3.2 Lokasi Penelitian ... 29

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 30

3.3.1 Jenis Data ... 30

3.3.2 Sumber Data ... 30

3.4 Instrumen Penelitian ... 31

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.5.1 Observasi ... 31

3.5.2 Wawancara ... 32

3.5.3 Studi Pustaka ... 32

3.6 Teknik Analisis Data ... 33

3.6.1 Analisis Tetangga Terdekat ... 33

(3)

iii

3.7 Penyajian Hasil Data ... 34

BAB IV TINJAUAN UMUM SITUS GUNUNG KAWI ... 36

4.1 Keadaan Lingkungan Situs ... 36

4.2 Pemanfaatan dan Kontribusi Masyarakat Setempat terhadap Situs Gunung Kawi ... 38

4.3 Sejarah Penelitian Situs Gunung Kawi ... 41

4.4 Data Arkeologis Situs Gunung Kawi ... 47

4.4.1 Subsitus Gunung Kawi A (GKWA) ... 47

4.4.2 Subsitus Gunung Kawi B (GKWB) ... 52

4.4.3 Subsitus Gunung Kawi C (GKWC) ... 58

4.4.4 Subsitus Gunung Kawi D (GKWD) ... 59

4.4.5 Subsitus Gunung Kawi E (GKWE) ... 65

4.5 Fungsi Situs Gunung Kawi ... 66

BAB V POLA PENATAAN RUANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INTERAKSI DAN HIRARKI SOSIAL MANUSIA MASA LAMPAU DI SITUS GUNUNG KAWI ... 71

5.1 Pola Penataan Ruang Situs Gunung Kawi ... 71

5.1.1 Pola Penataan Ruang dalam Skala Situs ... 72

5.1.2 Pola Penataan Ruang dalam Skala Subsitus ... 73

5.1.2.1 Penataan Ruang pada Subsitus GKWA ... 73

5.1.2.2 Penataan Ruang pada Subsitus GKWB... 75

5.1.2.3 Penataan Ruang pada Subsitus GKWC... 77

5.1.2.4 Penataan Ruang pada Subsitus GKWD ... 78

5.1.2.5 Penataan Ruang pada Subsitus GKWE ... 80

5.1.3 Penataan Ruang pada Fitur-Fitur Ceruk Pertapaan dan Biara ... 81

(4)

iv

5.2 Pertimbangan Sosial Pemilihan Situs Gunung Kawi sebagai Situs Mandala

... 82

5.3 Implikasi Penataan Ruang terhadap Interaksi Sosial pada Situs Gunung Kawi ... 85

5.4 Implikasi Penataan Ruang terhadap Hirarki Sosial Penghuni Ruang Situs Gunung Kawi ... 91 BAB VI PENUTUP ... 101 6.1 Simpulan ... 101 6.2 Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN ... 110

(5)

v ABSTRAK

Pola Penataan Ruang dan Implikasinya terhadap Interaksi dan Hirarki Sosial Manusia Masa Lampau pada Situs Gunung Kawi, Kabupaten Gianyar, Bali

Situs Gunung Kawi merupakan situs terbesar dari periode Hindu Buddha di Bali. Situs ini secara administratif terletak di Banjar Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini membahas pola penataan ruang dan implikasinya terhadap interaksi dan hirarki sosial manusia masa lampau penghuni situs ini.

Penulis menggunakan metode pengumpulan data seperti observasi, wawancara dan studi kepustakaan serta metode pengolahan data melalui analisis tetangga terdekat dan analisis kontekstual. Teori yang digunakan untuk mempertajam interpretasi hasil analisis adalah Teori Logika Sosial Ruang dan Teori Arkeologi Pascaprosesual menggunakan basis teori mengenai agensi dan kelas yang dikemukakan Pierre Bourdieu dan Anthony Giddens serta relasi kuasa/pengetahuan dan pendisiplinan yang dikemukakan Michel Foucault.

Berdasarkan hasil penelitian, pola penataan ruang pada skala situs, Situs Gunung Kawi menunjukan pola mengelompok. Pada skala subsitus pola penataan ruang secara umum menunjukan pola linear yang pada beberapa subsitus dipadukan dengan pola mengelompok. Bentuk penataan ruang dengan pola mengelompok menunjukan adanya pembedaan ruang berdasarkan kelas-kelas tertentu. Bentuk penataan ruang seperti ini berimplikasi pada pembatasan interaksi sosial antar kelas dan menyebabkan terjadinya hirarki sosial. Pembatasan interaksi sosial dibentuk melalui mekanisme regionalisasi yang merupakan bentuk pendisiplinan komunitas pertapa/rsi penghuni situs pada masa lampau. Adapun hirarki ruang sosial yang terbentuk merupakan bentuk materialisasi dari perbedaan status sosial dan tingkat pengetahuan antar penghuni ruang.

Kata Kunci: Pola Penataan Ruang, Interaksi Sosial, Hirarki Sosial, Pendisiplinan, Kuasa/Pengetahuan

(6)

vi ABSTRACT

Spatial Arrangement Pattern and Its Implication to Social Interaction and Social Hierarchy of Ancient Community in Gunung Kawi Site, Gianyar Regency

Gunung Kawi Site is the biggest site from Hindu Buddhist period in Bali. This site located in Banjar Penaka, Tampaksiring Village, Tampaksiring District, Gianyar Region. This research highlight the spatial arrangement pattern and its implication to social interaction and social hierarchy of the ancient community settled the site in the past.

Gathered data techniques used were observation, bibliographical study, and interview while the analysis including Nearest Neighbor Analysis and contextual analysis. To enrich the interpretation, The Social Logic of Space Theory and Post-Procesual Theory were used with the basic theory of agency - class a la Pierre Bourdieu and Anthony Giddens, and discipline and power/knowledge theory a la Michel Foucault.

Based on the research, spatial arrangement pattern of Gunung Kawi site shows the clustered pattern in site scale. In subsite scale the spatial arrangement generally show linear pattern which combined with clustered pattern. The clustered pattern used in Gunung Kawi site shows the space diferentiation of social classes. This pattern was also implicated on the social interaction bordering and causing social hierarchy. The social interaction bordering made in space regionalisation which was the form of disciplinisation of the ancient ascetic community setlled the site in the past. The social hierarchy develoved from the spatiality of the site is a materialization form of social status and knowledge difference.

Key Words: Spatial Arrangement Pattern, Social Interaction, Social Hierarchy, Disciplinization, Power/Knowledge

(7)
(8)

2 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian arkeologi ruang merupakan salah satu studi khusus yang

menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spatial) dari benda atau

situs arkeologi daripada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi

waktu (temporal). Kajian ini, meskipun berakar dari tradisi lama penelitian

arkeologi, baru populer pada empat dasawarsa terakhir dan muncul sebagai bagian

dari kajian arkeologi modern (Mundardjito, 2002: 2-3; Seibert, 2006: xiii). Bila

dilihat dari sisi historis dan sifat pendekatannya, kajian arkeologi keruangan

muncul dari dua kutub produsen teori-teori arkeologi dunia, Eropa dan Amerika,

serta dipengaruhi dua pendekatan rumpun keilmuan yang berbeda yaitu rumpun

ilmu-ilmu alam (geografi dan ekologi) serta rumpun ilmu-ilmu sosial.

Awal perkembangan arkeologi keruangan di Eropa sangat dipengaruhi

kajian distribusi spasial dengan pengembangan peta-peta sebaran artefak serta

upaya-upaya untuk mencari keterkaitan kompleks budaya dengan sumberdaya

alam. Produk kajian arkeologi berupa peta sebaran ini pertama kali dilakukan oleh

geograf-antropolog Jerman antara tahun 1880-1900 dan kemudian berpengaruh

(9)

3

awalnya juga menggunakan pendekatan geografi dan lingkungan, akan tetapi pada

perkembangannya juga diwarnai oleh pendekatan ekonomi sebagai akibat dari

gagasan Vita-Finzi dan Higgs mengenai daerah tangkapan (catchment area)

(Mundardjito, 2002: 6-7).

Kajian arkeologi keruangan di Amerika pada awalnya juga dipengaruhi

oleh pendekatan geografi dan lingkungan akan tetapi pada masa selanjutnya

arkeologi ruang di Amerika lebih condong pada analisis sosial. Sebagai contoh

dalam hal ini adalah penelitian Julian Steward yang mempelajari pola pemukiman

komunitas prasejarah dalam satu wilayah luas dengan proses perkembangan

organisasi sosial. Adapun penelitian lain yang membawa banyak perubahan dalam

kajian arkeologi ruang di Amerika adalah penelitian Gordon R. Willey yang

mempelajari pola ruang pemukiman secara regional di lembah Sungai Viru, Peru

(Mundardjito, 2002: 7).

Kajian arkeologi ruang di Indonesia dapat dikatakan kajian yang relatif

baru. Meskipun arah penelitian arkeologi ruang sudah mulai tampak pada

tulisan-tulisan arkeolog kolonial, kajian arkeologi ruang baru mulai tampak pada tahun

1980-an. Mundardjito dianggap sebagai pionir dalam kajian arkeologi ruang

dengan metode dan analisis yang dilakukan secara kuantitatif. Disertasinya yang

membahas pertimbangan ekologis masyarakat Jawa Kuno dalam menempatkan

bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Yogyakarta menjadi masterpiece utama

(10)

kajian-4

kajian keruangan mulai muncul sebagai salah satu tren kajian arkeologi Indonesia

hingga saat ini.

Peneliti-peneliti setelah Mundardjito yang mengkaji arkeologi keruangan di

Indonesia misalnya Srijaya (1996) dengan kajian pertimbangan ekologis

penempatan situs-situs Hindu Buddha di Kabupaten Gianyar, Bali, dan Degroot

(2009) dengan kajian distribusi, orientasi, dan organisasi ruang situs-situs candi di

Jawa Tengah. Kajian-kajian arkeologi keruangan juga menjadi topik yang ditulis

oleh mahasiswa dalam penelitian skripsinya. Di Universitas Indonesia, kajian

keruangan secara umum banyak mengkaji tata kota dan pemukiman, sedangkan di

Universitas Gadjah Mada, arkeologi keruangan menjadi tren populer penelitian

arkeologi terutama dengan pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam

metode penelitiannya. Adapun di Universitas Udayana dan Universitas Hasanuddin

kajian arkeologi ruang belum menjadi kajian yang begitu populer.

Studi keruangan dalam bidang arkeologi dibagi dalam tiga skala menurut

luasan satuan ruang yang dipelajari yaitu skala mikro, skala meso, dan skala makro.

Pada skala mikro arkeologi keruangan mengkaji sebaran dan hubungan lokasional

antara benda-benda arkeologi dan ruang-ruang dalam suatu bangunan atau fitur.

Pada skala selanjutnya yakni skala meso, arkeologi keruangan mempelajari sebaran

dan hubungan lokasional antara artefak-artefak dan fitur-fitur dalam suatu situs.

(11)

5

yang mempelajari sebaran dan hubungan lokasional antara benda-benda arkeologi

dan situs-situs dalam suatu wilayah (Clarke, 1977: 11-16; Mundardjito, 2002: 4-5).

Kajian terhadap ruang dalam arkeologi selalu didasari oleh dua dasar

pemikiran yang berbeda. Dasar pemikiran pertama dapat ditunjukkan dengan

pendekatan ekologis, dimana ruang, dalam hal ini adalah komponen lingkungan,

dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kebudayaan manusia. Dasar

pemikiran kedua ditunjukkan dengan pendekatan sosial. Dalam dasar pemikiran

yang kedua, manusia dengan segala aktivitasnya dipandang sebagai faktor yang

mempengaruhi ruang. Setiap aktivitas manusia membutuhkan ruang yang khusus

sesuai dengan kebutuhannya sehingga berakibat pada rekayasa ruang. Ruang hasil

rekayasa ini kemudian dapat dipandang sebagai perwujudan material dari sistem

gagasan (ideologi) dan sifat masyarakat pendukungnya (Barceló dan Maximiano,

2006: 2).

Kajian sosial dari ruang dalam Arkeologi berkembang seturut kemajuan

paradigma keilmuan Arkeologi. Sebelum tahun 1960-an, kajian sosial ruang

misalnya terfokus pada tata ruang pemukiman, bentuk-bentuk pemukiman, dan

tipologi bangunan. Setelah tahun 1960-an, kajian sosial ruang dipengaruhi oleh

munculnya paradigma baru dalam ilmu geografi dan arkeologi. Metode dan model

formal yang bersifat matematis mulai digunakan misalnya dengan menerapkan

aturan ukuran situs untuk menunjukan hirarki pemukiman, dan model pusat

(12)

6

ketika mulai muncul paradigma Arkeologi Pascaprosesual, kajian sosial ruang

semakin berkembang terutama dengan pandangan yang melibatkan ruang sebagai

bagian yang secara aktif membentuk kebudayaan manusia. Pada periode ini,

kajian-kajian arkeologi keruangan terpengaruh oleh teori-teori sosial postmodern seperti

Pierre Bourdieu, Anthony Giddens, Andre Lavebre, Michel Foucault, dan lain

sebagainya. Tema-tema yang berkembang antara lain misalnya berkenaan dengan

kekuasaan dan gender (Preucel dan Meskell, 2007: 219).

Salah satu situs arkeologi yang potensial untuk dijadikan bahan kajian

arkeologi ruang dengan pendekatan sosial adalah situs candi dan pertapaan Gunung

Kawi. Situs ini merupakan situs terbesar dari periode Hindu Buddha di Bali dan

terdiri atas dua komponen bangunan yang berbeda yaitu pahatan candi dan

ceruk-ceruk pertapaan yang dibuat pada tebing jurang. Adanya pemisahan ruang dan

penataan dengan pola-pola tertentu dapat dijadikan data untuk mengetahui

bagaimana jalinan interaksi sosial antara penghuninya dipengaruhi oleh tata ruang.

Begitu pula gejala pemisahan ruang dapat dibaca sebagai bentuk pengorganisasian

secara hirarki baik secara religius maupun sosial.

Pahatan-pahatan candi di Situs Gunung Kawi berjumlah sepuluh buah dan

dipahat pada tebing-tebing yang dibelah oleh Sungai Pakerisan. Sepuluh buah

pahatan candi tersebut ditempatkan pada tiga lokasi yang berbeda. Dua lokasi

pertama berada pada tebing sungai yang lebih hulu. Pada lokasi ini dipahatkan lima

(13)

7

pahatan candi. Adapun pahatan candi yang terakhir berada pada tengah-tengah

kompleks pertapaan di sebelah tenggara situs dan hanya berjumlah satu buah

pahatan saja.

Keterangan mengenai keberadaan bangunan suci dan kompleks pertapaan

di sepanjang Sungai Pakerisan terekam dalam prasasti Tengkulak A yang

dikeluarkan oleh Raja Marakata pada 945 Saka (1023 M). Prasasti Tengkulak

menyebut situs ini sebagai katyagan dan mandala bernama Amarawati. Nama

Amarawati dalam Prasasti Tengkulak oleh beberapa ahli diidentifikasi sebagai situs

candi dan pertapaan Gunung Kawi (Soekmono, 1974: 211).

Pendapat lain mengatakan bahwa pahatan-pahatan candi ini dibangun

sekitar abad XI atas perintah Raja Anak Wungsu untuk penghormatan terhadap

ayahnya, Raja Udayana (Wiguna, 2008: 40). Interpretasi ini didapat berdasarkan adanya inskripsi yang terdapat pada bagian atas ‘’pintu’’ pada pahatan-pahatan

candi di kelompok timur. Inskripsi-inskripsi tersebut ditulis dengan tipe huruf

Kadiri kuadrat dan berbunyi haji lumāh ing jalu dan rwanakira. Inskripsi haji lumāh ing jalu dipahatkan pada satu buah pahatan candi paling utara. Pahatan candi ini merupakan pahatan candi paling tinggi dan diperkirakan merupakan pahatan

candi untuk Raja Udayana (Kempers, 1991: 154). Adapun inskripsi rwanakira

terbaca pada pahatan candi kedua sebelah selatan pahatan candi berinskripsi tadi.

Inskripsi rwanakira ini merujuk pada dua orang anak Raja Udayana yang

(14)

8

pendapat lain yang bersifat kronologis pernah dikemukakan oleh Damais. Menurut

Damais, inskripsi haji lumāh ing jalu sebagai suatu sengkalan yang menghasilkan

angka tahun 1001 S atau 1079 M yang cocok dengan masa pemerintahan Raja Anak

Wungsu (Damais, 1995: 53)

Empat buah pahatan candi pada tebing sebelah barat tidak memiliki

inskripsi, akan tetapi sangat mungkin pada zaman dahulu terdapat pula inskripsi

pada ambang pintunya namun telah hilang karena kerusakan-kerusakan alami

(Srijaya, 1996: 50). Empat buah pahatan candi di sisi barat ini menurut penafsiran

Stutterheim kemungkinan merupakan pahatan candi yang dibuat untuk istri-istri

atau selir raja setelah meninggal. Tafsiran ini diajukan Stutterheim dengan melihat

kenyataan bahwa perempuan telah memiliki peran penting pada masa Bali Kuno.

Pentingnya peranan perempuan pada masa Bali Kuno antara lain dapat dilihat pada

sumber-sumber prasasti dimana istri atau selir raja acapkali disebutkan namanya

serta banyaknya arca-arca yang dibuat secara berpasangan (Kempers, 1991:

154-56).

Pahatan candi paling kecil berada di sebelah tenggara situs. Pahatan candi

ke sepuluh ini merupakan pahatan candi paling kecil dan berada di tengah-tengah

kompleks gua pertapaan di sisi barat aliran Sungai Pakerisan. Pada ambang ‘’pintu’’ pahatan candi ini terdapat pula inskripsi rakryān dan diperkirakan

merupakan pahatan candi untuk menghormati petugas tinggi dalam kerajaan

(15)

9

Pahatan-pahatan candi ini secara arsitektural banyak dipengaruhi oleh

pengaruh Jawa, terutama Jawa Timur. Seperti diketahui bahwa candi-candi di Jawa

Timur pada umumnya tidak memiliki pernak-pernik hiasan maupun lekuk-lekuk

seperti pelipit dan sisi genta. Proporsinya seimbang dan harmonis tidak kelihatan

tinggi maupun tambun (Wiguna, 2008: 38).

Komponen bangunan kedua yang terdapat pada Situs Gunung Kawi adalah

ceruk-ceruk pertapaan. Sama halnya dengan pahatan-pahatan candi, ceruk-ceruk

ini juga dibuat pada tebing batu. Ceruk-ceruk pertapaan ini dibangun secara

tersebar. Ada yang dibangun di dekat kompleks pahatan candi dan ada pula yang

dibangun pada tempat yang berbeda sehingga khusus sebagai tempat pertapaan

saja.

Keberadaan ceruk-ceruk pertapaan ini merupakan sebuah indikasi

mengenai penggunaan situs ini sebagai hunian secara luas oleh suatu komunitas

yang disebut sebagai pertapa atau golongan rsi (Astra, 2009: 29-30; Wahyuni,

2015: 4). Pada masa Bali Kuno, kelompok rsi dan para pertapa merupakan salah

satu golongan yang selalu mendapatkan perhatian raja. Hal ini dikarenakan pada

masa tersebut kaum agamawan memiliki kedudukan yang penting dalam birokrasi

pemerintahan (Astra, 2008: 17).

Baik pahatan candi dan ceruk-ceruk pertapaan di Situs Gunung Kawi

memiliki penataan ruang yang jelas. Secara umum terdapat lima himpunan

(16)

10

Selain itu terdapat pula perbedaan-perbedaan bentuk ruang yang kemungkinan

besar juga berhubungan dengan fungsi dan status sosial penghuni situs ini pada

masa lalu.

Penelitian mengenai penataan ruang Situs Gunung Kawi pernah dilakukan

oleh Gotama (2002) tetapi baru pada tataran fisik dan tafsiran religinya saja

sedangkan hubungannya dengan interaksi dan hirarki sosial penghuninya belum

pernah dilakukan. Selain itu, penelitian-penelitian secara khusus mengenai Situs

Gunung Kawi yang telah dilakukan antara lain membahas kepurbakalaan secara

umum (Lama, 1965), tipologi ceruk (Sudiani, 1996), penerapan konsep mandala

dan triangga (Wiguna, 2008), proporsi arsitektural pahatan candi (Gunawarman,

2015), semiotika (Schoenfelder, 2010), dan aspek pengelolaan sumberdaya

arkeologi (Purniti, 2011). Menyadari hal tersebut, dilakukan penelitian dengan

alasan bahwa kajian-kajian keruangan dan sosial pada situs-situs arkeologi masih

sedikit sekali mendapatkan perhatian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan

tambahan pengetahuan mengenai aspek-aspek kehidupan pada masa Bali Kuno

terutama berkaitan dengan penataan ruang dan aspek-aspek sosial yang terjadi di

dalamnya.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini pada dasarnya ingin menjawab beberapa permasalahan yang

(17)

11

dengan sosioaktivitas penghuninya pada masa lampau. Adapun beberapa

permasalahan yang dijawab adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola penataan ruang pada Situs Gunung Kawi?

2. Bagaimana hubungan antara pola penataan ruang dengan interaksi sosial penghuni

Situs Gunung Kawi pada masa lampau?

3. Bagaimanakah hirarki sosial ruang pada Situs Gunung Kawi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini merupakan tolak ukur untuk menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Adapun tujuan dalam penelitian ini

yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah merekonstruksi aspek-aspek sosial

budaya yang terdapat pada Situs Gunung Kawi. Penelitian ini menekankan pada

penataan ruang dan interaksi serta hirarki sosial yang terdapat di dalamnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Tujuan khusus

tersebut antara lain:

1. Mengetahui pola penataan ruang pada Situs Gunung Kawi. Pola penataan ruang

(18)

12

acak), penataan ruang dalam sub-situs atau beberapa fitur yang mengelompok,

serta pembagian ruang sesuai dengan fungsinya baik sebagai ruang privat yang

dihuni atau sebagai ruang publik yang mengakomodir banyak interaksi sosial.

2. Mengetahui hubungan antara penataan ruang pada Situs Gunung Kawi dengan

pola interaksi sosial penghuninya pada masa lampau. Penataan ruang dengan

membagi ruang dalam kelompok-kelompok tertentu menentukan populasi

manusia yang berhubungan juga dengan kuantitas dan intensitas interaksi sosial

pada Situs Gunung Kawi.

3. Mengetahui hirarki sosial ruang pada Situs Gunung Kawi. Hirarki sosial yang

menjadi tujuan penelitian ini ditafsirkan melalui pembacaaan terhadap tata ruang,

indikator status sosial, jarak yang memisahkan ruang sebagai indikasi pembatas

hirarki sosial, serta data-data epigrafis dan filologis yang terkait dengan penelitian

ini.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan sumbangan

pemikiran secara teoretis dan praktis. Adapun manfaat itu sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi data penelitian

arkeologi masa Hindu-Buddha terutama dalam kajian arkeologi keruangan dan

(19)

penelitian-13

penelitian selanjutnya baik yang membahas Situs Gunung Kawi maupun situs-situs

lain di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini tentu memiliki manfaat-manfaat praktis bagi berbagai

kalangan antara lain peneliti, institusi cagar budaya, dan masyarakat Bali sendiri

sebagai masyarakat penerus peradaban Hindu. Manfaat praktis penelitian ini antara

lain memberikan sumbangan pengetahuan berupa nilai penting budaya (cultural

values) dari komplek Situs Gunung Kawi sebagai situs warisan budaya terbesar dari periode Hindu Buddha di Bali. Signifikansi nilai ini dapat dijadikan acuan

dalam pengelolaan dan pemanfaatan situs-situs tersebut dalam berbagai

kepentingan seperti kepentingan religius dan pariwisata.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian (research scope) berguna untuk membatasi

penelitian sehingga penelitian tidak bergeser atau meluas dari tujuan penelitian.

Penentuan ruang lingkup penelitian memberikan batasan-batasan tertentu pada

peneliti sehingga hasil penelitian yang dilakukan menjadi lebih terarah dan sesuai

dengan tujuan utamanya. Ruang lingkup pada penelitian ini secara umum dibagi

dalam dua kategori berdasarkan objek penelitian sebagai data utama yang dikaji

(20)

14

yang telah diajukan sebelumnya. Penjelasan secara lebih khusus berkenaan dengan

ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.5.1 Ruang Lingkup Objek

Ruang lingkup objek penelitian mencakup objek yang diteliti. Objek

penelitian yang diteliti adalah lanskap ruang Situs Gunung Kawi. Objek penelitian

ini secara umum dibagi menjadi dua yaitu objek berupa fitur yang dibuat oleh

manusia masa lampau dan lanskap alami yang ikut membentuk ruang. Fitur-fitur

tersebut berupa pahatan candi, ceruk pertapaan, ruang terbuka di depan pahatan

candi, jaringan jalan, dan pintu gerbang. Lanskap alami yang menjadi komponen

ruang pada Situs Gunung Kawi meliputi tebing, jurang, dan Sungai Pakerisan.

1.5.2 Ruang Lingkup Permasalahan

Ruang lingkup permasalahan mencakup permasalahan-permasalahan yang

menjadi pokok utama dalam penelitian. Penelitian ini dititikberatkan pada

pembahasan bentuk penataan ruang, hubungan penataan ruang dengan interaksi

sosial, dan hirarki sosial dari ruang pada komplek Situs Gunung Kawi.

Variabel-variabel yang dicermati dalam ruang lingkup permasalahan ini adalah bentuk

penataan ruang sebagai variabel yang dapat menentukan hirarki sosial ruang, jarak

antarruang sebagai variabel yang dapat menentukan intensitas interaksi sosial dan

simbol pembatasan hirarki ruang, serta kapasitas ruang sebagai variabel yang dapat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel dan histogram di atas, maka dapat diketahui bahwa mayoritas tingkat kreativitas guru dalam mengajar dilihat dari sudut pandang guru kelas III di SD

Menurut Kotler & Keller (2016:297), positioning adalah pengaturan produk untuk menduduki tempat yang jelas, berbeda, dan diinginkan dibandingkan produk pesaing

Penerapan metode lean pada penelitian ini adalah mengurangi “waste” berupa waktu pendinginan dalam proses pemeliharaan dengan merancang portable air ejector

Pada tahap ini, dilakukan proses pembangunan data, yaitu membangun data untuk dimasukkan ke dalam tabel-tabel pada skema basis data, yang selanjutnya akan digunakan untuk diolah

• Mengembangkan dengan baik perasaan introvert mereka Bidang karir yang cocok untuk seorang ENTP:. •

Peserta pelatihan berasal dari 16 kecamatan, 24 desa wilayah Poor Farmer Kabupaten Lombok Timur tahun 2007 terdiri dari: Fasilitator Desa (FD) sebanyak 48 orang, Komite

Prevalensi HIV, penggunaan narkoba, dan perilaku berisiko yang tinggi pada kelompok mantan pengguna narkoba merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.. Program

Proses penyerapan dapat terjadi akibat proses yang aktif dan pasif terutama tergantung pada konsentrasi relatif subtansi di dalam dan di luar usus, difusi terjadi dari