• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra. M., Rowlinson, S., Fellows, R., Liu, A. M. M., 2012). Selain itu, leadership menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra. M., Rowlinson, S., Fellows, R., Liu, A. M. M., 2012). Selain itu, leadership menjadi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori

Dalam pembahasaan mengenai dasar-dasar teori, penulis menitikberatkan pada teori-teori yang berhubungan erat dengan Leadership dan Leadership Style, Employee Empowerment, Organizational Learning, dan Competitive Advantage. Sehingga melalui, teori-teori ini, dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa Leadership Style (Charismatic Leadership) berdampak pada Competitive Advantage perusahaan di Surabaya melalui Employee Empowerment dan Organizational Learning.

2.1.1. Leadership dan Leadership Style

Leadership dapat menyediakan saluran secara langsung bagi individu untuk menginterpretasikan kebijakan dan praktik di dalam organisasi (Tuuli, M. M., Rowlinson, S., Fellows, R., Liu, A. M. M., 2012). Selain itu, leadership menjadi sumber penting di dalam semua organisasi dan ditunjukan kepada individu melalui lingkup yang luas yang terkait dengan bakat dan kemampuan setiap individu (Lester, 1975). Leadership adalah faktor penting dalam inisiasi dan implementasi dari perubahan dalam organisasi (Lievens, F., Geit, Pascal V., Coetsier P.,1997).

Leadership adalah keterampilan manajemen yang melibatkan kemampuan untuk mendorong sekelompok orang terhadap tujuan bersama dan berfokus pada pengembangan pengikut dan kebutuhan mereka (Ojokuku et.al, 2012). Leadership merupakan proses timbal balik dari pengaruh sosial dimana pemimpin dan bawahan saling memberikan pengaruh untuk dapat mencapai tujuan di dalam suatu organsasi (Ngodo, 2008).

Leadership merupakan hal yang memiliki efek paling dinamis dengan adanya interaksi antar individu di dalam suatu organisasi atau kemampuan manajemen untuk melakukan kolaborasi tergantung pada kemampuan pemimpin di dalam suatu organisasi (C. Timothy, 2011). Leadership di dalam organisasi

(2)

harus berubah sesuai dengan perkembangan dan pendewasaan organisasi tersebut (Bass et al., 2003).

Leadership juga merupakan sebuah kunci yang dapat menentukan kesuksesan suatu organisasi (Bass, 1997). Oleh karena itu, leadership dapat menentukan keberhasilan organisasi yang harus dipelajari secara ekstensif di dalam manajemen (Bass, 1997). Di dalam organisasi, pemimpin biasanya memutuskan apa yang terjadi di dalam organisasi dan memberikan arah, visi, serta momentum yang membawa kepada keberhasilan di dalam organisasi (Agbor, 2008).

Leadership style adalah suatu kemampuan dan metode yang bertujuan untuk mewujudkan target di dalam organisasi dan juga akan mempengaruhi semua kegiatan di dalam organisasi (Bass et al., 2003). Leadership style merupakan sarana yang dapat menjadikan pemimpin lebih efektif dimana setiap pemimpin harus dapat menganalisa dan menentukan leadership style yang tepat bagi perusahaannya (Lester, 1975). Leadership style adalah cara dan pendekatan dengan memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi orang untuk dapat mencapai tujuan perusahaan (Ojokuku et al., 2012). Leadership style

merupakan penentu utama keberhasilan atau kegagalan dari setiap organisasi (Ojokuku et al., 2012).

Yukl (2001) menyatakan bahwa fokus pada seluruh kepemimpinan dalam organisasi meliputi peran kepemimpinan yang dilakukan oleh orang-orang dalam posisi manajerial (bawahan) dan bukan hanya orang-orang di bagian atas organisasi saja. Berdasarkan teori dan perilaku kepemimpinan terdapat dua macam gaya utama yaitu Transformational Leadership dan Transactional Leadership (Bass, 1997). Ojokuku et al. (2012) melakukan penelitian dan meringkas di dalam jurnalnya bahwa dalam teori kepemimpinan modern terdapat lima gaya kepemimpinan, yaitu Charismatic Leadership, Transactional Leadership, Transformational Leadership, Visionary Leadership, dan Culture-based Leadership. Namun pada penelitian ini, penulis hanya akan membahas lebih dalam mengenai gaya kepemimpinan dari Charismatic Leadership.

(3)

2.1.2. Charismatic Leadership

Bass (1997) mengusulkan sebuah model transformational leadership

terdiri dari empat dimensi, yaitu :

a. idealized influence / charisma.

b. inspirational leadership.

c. intellectual stimulation.

d. individualized consideration.

Pemimpin transaksional berkonsentrasi mencoba untuk mempertahankan status quo dengan memenuhi kebutuhan psikis dan material pengikutnya dengan cara menekankan charisma. Berikut adalah perbedaan antara charismatic leadership

dengan transformational leadership (Popper & Zakkai, 1994):

Transformational leadership :. keadaan dimana pemimpin memiliki keinginan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan tetapi juga tidak terlalu memiliki kecemasan jika bawahan tidak dapat memenuhi keinginan karena lebih fokus pada kebutuhan pengembangan kepemimpinan. Secara umum, pola kepemimpinan ini lebih bergantung pada individu pemimpin untuk mengalami perubahan.

Charismatic leadership : keadaan dimana pemimpin memiliki keinginan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan tetapi juga memiliki kecemasan jika bawahan tidak dapat memenuhi keinginan tersebut, terkait perubahan yang dapat memberikan semangat terhadap pemindahan dan atribut yang berhubungan dengan organisasi.

Jenis kepemimpinan ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli sosiologi Jerman yang bernama Max Weber. Pertumbuhan dan pengembangan charismatic leadership dalam organisasi karena adanya krisis situasi untuk menciptakan kebutuhan psikologis yang kuat (Popper & Zakkai, 1994).

Pemimpin yang berkarisma mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Charismatic leadership adalah menginspirasi loyalitas kepada organisasi, rasa hormat, memiliki kemampuan untuk melihat visi yang biasanya diterjemahkan ke dalam misi dan respon yang semangat kepada bawahan serta merupakan komponen yang penting di dalam transformational leadership

(4)

karismatik sehingga mereka menempatkan banyak kepercayaan dan keyakinan dalam visi dan nilai-nilai yang dianut oleh pemimpin serta mengembangkan intens perasaan emosional pemimpinnya (Yammarino & Bass, 1988).

Charismatic leadership adalah pemimpin yang mau untuk berkembang pada penciptaan makna yang menginsiprasi orang lain untuk mengejar visi yang ingin dicapai (Gardner & Avolio, 1998). Charismatic leadership adalah pemimpin diharapkan dapat mengkomunikasikan visi kepada bawahan mereka dan memastikan bahwa output yang dihasilkan sesuai dengan visi yang ada (Alon & Higgins, 2005).

Seringkali charismatic leader disebut sebagai lambang sebuah drama yang menyusun dan mengatur alur drama tersebut. Charismatic leadership diharapkan untuk menanamkan bekerja dengan nilai-nilai dengan mengartikulasikan visi menarik dan berperilaku dengan cara memperkuat nilai-nilai yang melekat dalam visi tersebut serta akan meningkatkan kebermaknaan dari bekerja bawahan mereka (Hoogh et al., 2004). Charismatic leadership menyediakan lahan subur bagi kreativitas dan inovasi (Ojokuku et al., 2012).

House & Spangler (1991) menyatakan bahwa perhatian charismatic leadership telah bergeser kepada pemimpin yang peduli terhadap pengikut dan komunitas sosial. Charismatic leader mengubah kebutuhan, nilai-nilai, preferensi dan aspirasi pengikut sehingga pengikut termotivasi untuk melayani kepentingan kolektif yang lebih besar. Pemimpin karismatik memiliki tujuan serta kepribadian yang memotivasi pengikutnya untuk melaksanakan tujuan tersebut sehingga di dalam tipe kepemimpinan secara tradisional, charismatic leadership menjadi salah satu yang paling dihargai (Ojokuku et al., 2012).

Teori charismatic leadership mengidentifikasi karakteristik dan perilaku yang membedakan pemimpin yang memiliki potensi untuk menyalakan ”api” karisma kepada bawahan mereka (Klein & House, 1995), artinya pemimpin yang dapat memberikan semangat kepada bawahan untuk dapat mencapai visi perusahaan. Selain itu, charismatic leader juga dipercaya oleh bawahannya karena mereka dapat meyakinkan bawahan mereka dengan motivasi, entusiasme dan komitmen yang diterapkan oleh pemimpin kepada bawahan sehingga dapat mengembangkan keterampilan mereka (Javidan & Waldman, 2003).

(5)

Simonton (1988) juga menyatakan bahwa artikulasi visi dan terciptanya tujuan baru untuk pengikut adalah elemen sentral bagi keberhasilan charismatic leader. Charismatic leader juga menghormati pengikut dan memikirkan tentang perasaan dan kebutuhan pengikut. Pengikut memiliki rasa kepercayaan kepada pemimpin dan dapat membuat pengikut merasa kagum dan hormat (Waldman, David, A., Ramirez, Gabriel, G., House, Robert, J., & Puranam, Phanish, 2001).

House & Spangler (1991) menyatakan bahwa terdapat lima karaketristik dari charismatic leadership, antara lain :

a. Pemimpin fokus kepada ikatan emosional pengikut.

b. Pengikut memiliki semangat dan motivasi secara emosional. c. Pemimpin mengidentifikasikan misi kepada pengikut.

d. Pengikut memiliki rasa aman, percaya, dan yakin kepada pemimpin. e. Pengikut memiliki motivasi dari dalam dirinya.

Selain itu, terdapat enam bagian yang penting di dalam charismatic leadership, yaitu (Conger et al., 2000) :

1. Reverence for the leader : memiliki rasa respek dan mengagumi pemimpin.

2. Trust in the leader : percaya kepada pemimpin.

3. Satisfaction with the leader : merasa puas terhadap leadership style yang diterapkan oleh pemimpin dalam menyelesaikan pekerjaan.

4. Work-group collective identity : membagi masalah dan dapat

menyelesaikan secara bersama-sama.

5. Perceived group task performance : pemimpin memiliki harapan yang tinggi untuk mencapai tujuan.

6. Feeling of empowerment : pengikut merasa mampu akan kemampuannya dalam mengerjakan tugas.

2.1.2.1. Dimensi Charismatic Leadership

Menurut Choi (2006), charismatic leadership terdiri dari tiga dimensi yaitu :

(6)

Tabel 2.1. Dimensi Charismatic Leadership.

Dimensi Definisi

Envisioning Membuat dan mengkomunikasikan visi kepada bawahan (Rafferty & Griffin, 2004). Dengan menunjukkan dedikasi teguh pada visi dan melakukan pengorbanan pribadi, pemimpin menginspirasi bawahannya untuk mengesampingkan kepentingan diri mereka demi tujuan bersama dan memiliki harapan yang tinggi dalam bekerja (Choi, 2006).

Empathy Mendasari hubungan perilaku dan karakteristik antara pemimpin dan bawahan, seperti bawahan percaya dan menghormati pemimpinnya serta bawahan dilibatkan dalam pengambilan keputusan (Choi, 2006). Bawahan cenderung untuk mengenali para pemimpin dan merasa bangga menjadi seperti mereka (Bodla & Nawaz, 2010).

Empowerment Persepsi peningkatan kepercayaan dalam kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kerja dengan keterampilan terhadap pekerjaannya (Gist, 1987). Dengan kemampuan yang ada, mereka dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan pemimpin merasa puas dengan kinerja bawahan (Choi, 2006).

2.1.3. Employee Empowerment

Di dalam perusahaan, keterlibatan karyawan menjadi pemberdayaan yang kuat bagi para karyawan (Bowen & Lawler, 1992; Spreitzer, 1995). Selain itu, keterlibatan karyawan dianggap sebagai pendahuluan untuk melakukan employee empowerment (Spreitzer, 1996). Struktur hirarki dan teknik kepemimpinan secara tradisional didominasi oleh praktek manajemen yang ditujukan untuk employee empowerment (Conger & Kanungo, 1988). Di samping itu, organisasi yang berkomitmen untuk melakukan employee empowerment dapat memotivasi dan mempertahankan karyawan mereka dengan membuat kepercayaan dan melibatkan dalam pengambilan keputusan (Ongori, 2009).

(7)

Employee empowerment merupakan hal yang berguna, diberdayakan dan dikaitkan dengan karakteristik yang serupa dengan motivasi diri dan komitmen dimana memiliki tanggung jawab untuk melakukan usaha dan kualitas dengan baik (Thomas & Velthouse, 1990). Bandura (1989) menyatakan bahwa karyawan yang pasif tidak berpartisipasi atau terlibat banyak yang terkait dengan ekspektasi usaha dan kinerja yang perlu dikembangkan agar employee empowerment dapat berjalan. Individu yang diberdayakan akan memiliki peran yang lebih aktif dalam organisasi dan akan mengambil inisiatif serta partisipasi dalam peningkatan kegiatan organisasi (Pelit, Elbeyi, Ozturk, Yuksel, Arslanturk, Yalcin, 2010).

Employee empowerment adalah suatu kegiatan dan cara pemberdayaan yang dipraktekkan sesuai dengan tujuan yang memunculkan hubungan antara tugas yang dilakukan dan akan memunculkan kepuasan kerja terhadap karyawan (Pelit et al., 2010). Employee empowerment juga merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa percaya diri seseorang akan kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas yang diberikan dengan standar yang tinggi (Wall, 2004). Sedangkan, Brymer (1991) mendefinisikan employee empowerment sebagai proses desentralisasi pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi dimana manajer memberikan lebih banyak keleluasaan dan otonomi kepada karyawan.

Employee empowerment diartikan sebagai upaya organisasi untuk meningkatkan kekuatan persepsi individu, kontrol, dan kemampuan untuk mempengaruhi sistem yang lebih besar dari bagian mereka (Griffith, M., Allen, J. O., Zimmerman, M. A., 2008). Employee empowerment membuat setiap individu lebih bertanggung jawab terhadap hasil dari tindakan dan keputusan mereka (Hamed, 2010). Thomas dan Velthouse (1990) percaya bahwa karyawan yang memiliki pengalaman sukses di tempat kerja akan memberikan dampak kompetensi yang positif.

Dua jenis utama dari employee empowerment adalah pemberdayaan struktural yang dikaitkan dengan delegasi kekuasaan oleh manajer kepada karyawan dan pemberdayaan psikologis yang sebagian besar didasarkan pada penentuan nasib sendiri dan nilai intrinsik (Thomas & Velthouse, 1990).

Employee empowerment dikaitkan dengan motivasi intrinsik yang diwujudkan dalam satu kesatuan dari empat kognisi, yaitu competence,

(8)

meaningfulness, self determination, dan impact. Employee empowerment juga terkait dengan self-efficacy, yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kerja dengan keterampilan yang dimilikinya (Spreitzer, 1995).

2.1.3.1. Dimensi Employee Empowerment

Menurut Spreitzer (1995), employee empowerment dibagi menjadi empat dimensi yang berbeda, yaitu :

Tabel 2.2. Dimensi Employee Empowerment.

Dimensi Definisi

Competence Serupa dengan konsep self-efficacy. Bandura (1977) berpendapat ketika seseorang memiliki tingkat harga diri yang tinggi, maka mereka akan memproyeksikan kemampuannya untuk bekerja dalam lingkungannya dalam bentuk kompetensi.

Meaning Nilai dari tujuan kerja atau tujuan yang dapat dibandingkan dengan cita-cita dan standar individu serta melibatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. (Hackman, 1987).

Self-determination Penentuan dari nasib seseorang berdasarkan dari pilihan yang telah diambil (Deci, 1989).

Impact Dampak perilaku dianggap memiliki efek atas hasil strategis, administratif dan operasional di lingkungan kerja seorang karyawan (Thomas & Velthouse, 1990).

2.1.4. Organizational Learning

Di dalam dunia bisnis yang begitu sengit dan gejolak ekonomi, maka perusahaan harus selalu mau untuk belajar, melakukan perubahan perilaku, dan meningkatkan kinerja di dalam perusahaan (Slater & Narver, 1995). Tekanan kompetitif lingkungan yang ada sekarang memerlukan kebutuhan untuk fokus pada pengambilan risiko dan kreativitas yang menyebabkan perkembangan

(9)

bentuk-bentuk organisasi baru yang dikenal sebagai organizational learning

(Rijal, 2010).

Organizational learning mengacu pada pemberian kontribusi untuk perkembangan dalam beberapa bidang, dimana mencakup perilaku organisasi dan teori, psikologi kognitif dan sosial, sosiologi, ekonomi, sistem informasi, strategi manajemen, dan teknik (Argote & Spektor, 2011). Organizational learning merupakan sebuah keterlibatan anggota organisasi dalam interaksi dan berbagi pengalaman dan pengetahuan (Curado, 2006). Fiol & Lyles (1985) menunjukkan bahwa organizational learning dapat digunakan untuk menggambarkan proses dimana organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Selain itu, mentransfer pengetahuan dari individu kepada organisasi memerlukan strategi dan alat yang memungkinkan integrasi pengetahuan individu ke dalam kelompok dengan cara organizational learning (Franco & Haase, 2009).

Rijal (2010) menyatakan bahwa organizational learning merupakan situasi dimana organisasi lebih adaptif, fleksibel dan melakukan pembelajaran individu untuk meningkatkan kinerja organisasi. Sedangkan, Celep, C., Konakli, T., Recepoglu, E. (2011) menyatakan bahwa organizational learning adalah suatu proses yang tidak dapat dilakukan dengan proses yang cepat dan tidak dapat dihindari karena merupakan suatu proses untuk mencapai perkembangan yang lebih baik dan dapat mengikuti perkembanagan zaman yang lebih maju.

Organizational learning merupakan upaya kolaborasi di mana individu menciptakan ide-ide baru dengan berbagi pengetahuan yang mereka miliki melalui interaksi dengan orang lain (Castaneda & Rios, 2007). Organizational learning merupakan sarana utama untuk mencapai strategi pembaharuan dalam suatu perusahaan (Crossan, M. M., Lane, H. W., White, R. E., 1999).

Huber (1991) mendefinisikan organizational learning sebagai pengolahan informasi yang didapat dan digunakan untuk menyimpan pengetahuan dalam memori organisasi. Konsep organizational learning dikaitkan dengan belajar dan bekerja dimana pembelajaran yang ada harus dilalui melalui latihan (Brown, 1991). Organizational learning adalah peningkatan kinerja melalui penambahan pengetahuan dan pemahaman (Fiol & Lyles, 1985). Organizational learning

(10)

merupakan perubahan yang terjadi dalam sebuah organisasi karena organisasi tersebut memperoleh pengalaman (Argote dan Spektor, 2011).

Selain itu, organizational learning adalah sebuah organisasi yang terampil menciptakan, memperoleh dan mentransfer pengetahuan, dan dapat memodifikasi perilaku untuk mencerminkan pengetahuan baru dan wawasan (Garvin, 1993). Teori belajar menunjukkan bahwa dorongan untuk belajar dipicu oleh perbedaan antara kinerja dan tingkat aspirasi (Holland & Salama, 2010). Kim (1993) menyatakan bahwa, organizational learning merupakan proses di mana individu memegang posisi penting yang memiliki elemen yang penting dalam suatu rutinitas.

Organizational learning dibagi menjadi empat dimensi, yaitu information acquisition, information distribution, information interpretation, dan organizational memory (Huber, 1991). Dari empat dimensi yang ada, Kim (1993) dan Sanchez (2005) memperluas empat dimensi Huber dan mengganti dimensi organizational memory dengan behavioral and cognitive changes yang akan berdampak pada kinerja di dalam sebuah organisasi.

2.1.4.1. Dimensi Organizational Learning

Menurut Kim (1993) dan Sanchez (2005) dari definisi yang ada, organizational learning terdiri dari empat dimensi, yaitu:

Tabel 2.3. Dimensi Organizational Learning.

Dimensi Definisi

Information Acquisition

Mengumpulkan informasi dari sumber-sumber di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan dimana pembelajaran merupakan aspek penting dari perolehan informasi melalui pelatihan karyawan.

Information Distribution

Informasi dikumpulkan melalui berbagai sumber dan cara-cara yang perlu dibagikan kepada para anggota organisasi yang memerlukan (Huber, 1991). Beberapa saluran dan saluran yang ada yang memungkinkan untuk distribusi informasi.

(11)

Information Interpretation

Proses dimana informasi-informasi dapat diinterpretasikan dan diterjemahkan agar mudah dipahami (Huber, 1991). Organisasi menggunakan media yang berbeda untuk menafsirkan informasi, yaitu kontak pribadi, telepon percakapan, memorandum tertulis, surat, laporan khusus, rantai formal perintah.

Resulting

Behavioural and Cognitive

Changes

Proses pembelajaran yang pada dasarnya adalah tentang adanya perubahan (Garvin, 1993). Jika tidak ada perubahan perilaku atau kognitif yang terjadi maka berarti proses organizational learning tidak terjadi sehingga pada akhirnya perusahaan hanya mengembangkan potensial karyawan yang tidak berarti (Huber, 1991).

2.1.5. Competitive Advantage

Kreativitas dapat digunakan untuk membantu, memimpin, dan mengubah organisasi untuk menciptakan competitive advantage terhadap kompetitor. (Agbor, 2008). Competitive advantage muncul karena adanya penciptaan sebuah kompetensi yang unggul yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dan menghasilkan keuntungan (Barney,1991). Selain itu, kreativitas organisasi bukan hanya tergantung pada bagaimana pemimpin mendesain organisasi dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk mengembangkan kreativitas, tetapi juga tergantung pada bagaimana pemimpin dapat menginspirasi semua orang untuk mengembangkan kompetensi dengan baik (Agbor, 2008).

Competitive advantage adalah kemampuan yang memungkinkan organisasi untuk membedakan dirinya dari para pesaingnya (Barney,1991). Li et.al (2006) menyatakan bahwa competitive advantage adalah kemampuan untuk menghasilkan produk atau menawarkan jasa yang berbeda untuk meraih keuntungan kompetitif yang memiliki arti kemampuan suatu organisasi untuk dapat mempertahankan posisinya melebihi dari kompetitor. Competitive advantage adalah pemilihan strategi yang sesuai dengan kekuatan sumber daya perusahaan sebagai syarat untuk sukses di lingkungan pasar (Grant, 1991).

(12)

Competitive advantage adalah kemampuan yang memungkinkan organisasi untuk membedakan dirinya dari para pesaing dan merupakan hasil dari keputusan manajemen (Tracey, Michael, Vonderembse, Mark, A., Lim, Jeen-Su, 1999).

Beberapa faktor yang mendasari perusahaan agar dapat bertahan dalam pasar global adalah kebutuhan untuk fokus pada waktu, fleksibilitas, dan kecepatan merespon akan kebutuhan konsumen sehingga menciptakan competitive advantage bagi perusahaan tersebut (D’Souza & Williams, 2000). Sebuah

perusahaan harus memiliki kemampuan untuk memproduksi produk dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing atau menjadikan produk yang dibuat unik sehingga produk dapat menjadi dikenal banyak orang dan dihargai oleh pelanggan sehingga dapat menciptakan competitive advantage (Porter, 1991).

D’Souza & Williams (2000) menyatakan bahwa banyak para manager yang setuju bahwa biaya dan kualitas akan terus tetap menjadi dimensi dari sebuah competitive advantage. Di samping itu, Li et al. (2006) menyatakan bahwa price atau cost, quality, delivery dependability, dan time to market juga telah konsisten diidentifikasi sebagai dimensi sebuah competitive advantage memiliki peranan penting.

2.1.5.1. Dimensi Competitive Advantage

Menurut Li et al. (2006), competitive advantage memiliki lima dimensi, antar lain :

Tabel 2.4. Dimensi Competitive Advantage.

Dimensi Definisi

Price / cost Kemampuan dari sebuah organisasi untuk dapat berkompetisi dengan pesaing berdasarkan harga atau biaya.

Quality Kemampuan dari sebuah organisasi untuk menawarkan kualitas dan kinerja produk yang dapat memberikan nilai tambah kepada customer.

Delivery Dependability

Kemampuan suatu organisasi untuk memberikan ketepatan waktu dengan jenis dan volume produk yang dibutuhkan oleh customer.

(13)

Innovation dan fitur baru kepada customer.

Time to Market Kemampuan sebuah organisasi untuk memperkenalkan produk baru dengan cepat kepada customer dibandingkan kompetitor.

2.2. Hubungan Antar Variabel

Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas hubungan masing-masing antar variabel yang telah dijelaskan pada landasan teori dan juga membahas mengenai kajian terdahulu yang terkait dengan hubungan antar variabel.

2.2.1. Hubungan antara Charismatic Leadership dengan Employee Empowerment.

Salah satu karakteristik charismatic leadership adalah memiliki komunikasi yang terbuka terhadap penyampaian visi organisasi kepada karyawan sehingga dapat memberdayakan karyawan dan tujuan organisasi dapat tercapai (Spreitzer, 1995). Dengan adanya salah satu karakteristik, kita dapat mengetahui bahwa charismatic leadership berpengaruh terhadap employee empowerment. Selain itu, tingkat pemberdayaan pengikut merupakan konteks dari proses charismatic leadership terhadap suara pengikut (Detert & Burris, 2007). Hal yang paling penting adalah empowerment merupakan salah satu dimensi di dalam charismatic leadership (Choi, 2006).

Dalam charismatic leadership, employee empowerment dapat membuat pengikut dapat mengeluarkan suara dengan berani karena dilibatkan dalam pengambilan keputusan (Conger et al., 2000). Hal ini juga didukung bahwa charismatic leader juga menghormati pengikut dan memikirkan tentang perasaan dan kebutuhan pengikut yang dapat diwakili dengan ikatan emosional yang kuat berdasarkan oleh nilai kepada pengikutnya (Choi, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Choi (2006) menyatakan bahwa

charismatic leadership memiliki hubungan positif dengan employee empowerment yang mengarah pada self-efficacy. Dalam penelitian ini juga dinyatakan bahwa dimensi dalam charismatic leadership, yaitu empowerment

memiliki hubungan yang paling kuat dengan dimensi employee empowerment, yaitu competence. Karyawan dapat mengerjakan pekerjaannya dengan

(14)

keterampilan yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan kinerja yang mengarah pada kompetensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Spreitzer & DeJanasz (1995), menyatakan bahwa manajer yang melakukan empowerment dianggap sebagai pemimpin transformational oleh para pengikutnya. Hal ini disebabkan karena mereka dilihat oleh bawahan mereka sebagai sosok yang berkarisma, inovatif, dan mempengaruhi mereka untuk selalu mencapai level yang lebih tinggi. Charisma

merupakan bagian di dalam transformationl leadership (Bass et al., 1987). Sehingga, charismatic leadership juga dapat memiliki hubungan positif dengan

organizational learning.

Dari teori dan studi empiris yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menetapakan hipotesis pertama sebagai berikut:

H1: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap employee empowerment dalam perusahaan di Surabaya.

2.2.2. Hubungan antara Charismatic Leadership terhadap Organizational Learning.

Pemimpin karismatik mengilhami anggota tim untuk memiliki kepercayaan diri, ketegasan dan dapat memberikan informasi dari suatu tujuan dan visi (Avolio, Bruce, J., Zhu, Weichun, Koh, William, & Bhatia, Puja, 2004). Penyampaian atau pendistribusian informasi merupakan salah satu dimensi di dalam organizational learning (Huber, 1991).

Paulsen et al., (2009) telah melakukan penelitian bahwa charismatic leadership memiliki pengaruh positif terhadap perubahan dalam bidang R&D. hal ini dapat dilakukan karena pada dasarnya charismatic leadership dapat membuat pengikut merasa mampu dalam bekerja dengan keterampilannya (Spreitzer, 1995) sehingga pengikut mau untuk tanggap terhadap perubahan. Selain itu, melakukan perubahan merupakan salah satu dimensi dalam organizational learning, yaitu resulting behavioural and cognitive changes (Huber, 1991).

Penelitian yang dilakukan oleh Hoogh et al (2004) menyatakan bahwa charismatic leadership memiliki pengaruh positif terhadap competitive advantage. Charismatic leadership memiliki pengaruh terhadap pemberian informasi melalui

(15)

menyampaikan visi kepada bawahannya Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi dalam charismatic leadership, yaitu envisioning memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi dalam organizational learning, yaitu

information distribution.

Penelitian yang dilakukan oleh Zagorsek et al. (2009) menyatakan bahwa transformational leadership memiliki hubungan positif terhadap dua dimensi di dalam organizational learning, yaitu information acquisition dan behavioural and cognitive changes. Dua dimensi lainnya memiliki pengaruh secara tidak langsung sehingga bisa saja memiliki hubungan yang negatif. Charisma merupakan bagian di dalam transformationl leadership (Bass et al., 1987). Sehingga charismatic leadership juga dapat memiliki hubungan positif dengan organizational learning.

Dari teori dan studi empiris yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menetapakan hipotesis kedua sebagai berikut:

H2: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap organizational learning dalam perusahaan di Surabaya.

2.2.3. Hubungan antara Employee Empowerment terhadap Competitive Advantage.

Pemberdayaan memungkinkan karyawan dan manajer untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk dapat mencapai competitive advantage yang berkelanjutan dalam pekerjaan mereka yang diperbaharui dan juga akan memberikan competitive advantage bagi organisasi (Kahreh et al., 2011). Menurut Conger & Kanungo (1988), empowerment dapat menciptakan dan mengatur innovation di dalam organisasi. Selain itu, terdapat hubungan antara empowerment dengan fleksibilitas individu yang mengarah pada perilaku inovasi (Thomas & Velthouse, 1990). Didukung juga dengan salah satu dimensi dalam competitive advantage adalah product innovation (Li et al., 2006).

Kahreh et al., (2011) telah melakukan penelitian bahwa terdapat dampak yang berkelanjutan terhadap employee empowerment dengan competitive advantage bagi organisasi di sektor jasa keuangan di Iran. Pemberdayaan memungkinkan karyawan dan manajer untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk mendapatkan competitive advantage yang berkelanjutan dalam

(16)

pekerjaan mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa dimensi dalam employee empowerment, yaitu competence memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi dalam competitive advantage, yaitu product innovation.

Selain itu, Spreitzer, G., C. Suzanne, Janasz, De, & Qiunn, Robert, E (1999) memberikan hasil bahwa pemberdayaan memiliki pengaruh terhadap inovasi. Hal ini dilakukan agar bawahan juga dapat berpikir dan turut ambil bagian dalam inovasi agar organisasi dapat berjalan lebih efektif. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa dimensi dalam employee empowerment, yaitu impact memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi dalam competitive advantage, yaitu product innovation.

Dari teori dan studi empiris yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menetapakan hipotesis ketiga sebagai berikut:

H3: Terdapat dampak positif antara employee empowerment terhadap competitive advantage dalam perusahaan di Surabaya.

2.2.4. Hubungan antara Organizational Learning terhadap Competitive Advantage.

Garvin (1993) menyatakan bahwa behavioural and cognitive changes memiliki pengaruh yang positif terhadap organizational performance. Selain itu, perusahaan harus selalu mau untuk belajar, melakukan perubahan perilaku, dan meningkatkan kinerja di dalam perusahaan yang mengacu pada competitive advantage dalam perusahaan (Slater & Narver, 1995).

Organizational learning merupakan pengetahuan yang digunakan oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi perilaku yang mengacu pada inovasi, yaitu implementasi ide baru dari pengetahuan yang ada (Hurley & Hult, 1998). Innovation merupakan salah dimensi dalam competitive advantage (Li et al., 2006). Organizational learning dapat membantu perusahaan di dalam mencapai competitive advantage, agar perusahaan terus dapat berkompetitif maka perusahaan harus dapat mengembangkan kemampuan untuk dapat terus belajar (Njuguna, 2009).

(17)

Penelitian oleh Pemberton et al (2001) mengatakan bahwa organizational learning membantu untuk mengidentifikasi, menangkap, dan memanfaatkan pengetahuan serta informasi yang didapatkan untuk meningkatkan competitive advantage. Hal ini dilakukan dengan menggunakan benchmarking sebagai tools dari organizational learning dan menghasilkan dampak yang positif terhadap competitive advantage.

Penelitian yang dilakukan oleh Hsio & Chang (2011), menunjukkan bahwa dengan terciptanya organizational learning maka juga akan terjadi organization innovation. Organization innovation secara tidak langsung mengacu pada dimensi competitive advantage yaitu product innovation (Li et al,2006). Penerapkan organizational learning terutama pada dimensi behavioral and cognitive changes akan berdampak terhadap pencapaian competitive advantage terutama pada dimensi product innovation. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dimensi dalam organizational learning memiliki hubungan, yaitu behavioral and cognitive changes memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi dalam competitive advantage, yaitu product innovation.

Dari teori dan studi empiris yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menetapakan hipotesis keempat sebagai berikut:

H4: Terdapat dampak positif antara organizational learning terhadap competitive advantage dalam perusahaan di Surabaya.

2.2.5. Hubungan antara Charismatic Leadership terhadap Competitive Advantage.

Leadership style memiliki peranan yang sangat penting untuk dapat mencapai competitive advantage karena leadership style dijalankan oleh seorang pemimpin yang dikenal sebagai tulang punggung organisasi dan sumber utama di dalam organisai (Khan, 2013). Charismatic leadership adalah pemimpin yang mau untuk berkembang pada penciptaan makna yang menginsiprasi orang lain untuk mengejar visi yang ingin dicapai (Gardner & Avolio, 1998). Selain itu,

charismatic leadership menyediakan lahan subur bagi kreativitas dan inovasi (Ojokuku et al., 2012). Product innovation merupakan salah satu dimensi dalam competitive advantage (Li et al., 2006).

(18)

Penelitian yang dilakukan oleh Paulsen et al., (2009) menyatakan bahwa charismatic leadership memiliki pengaruh positif terhadap inovasi di dalam sebuah tim. Alur yang digunakan adalah charismatic leadership akan mendorong adanya identitas tim sehingga dapat bekerjasama dan menghasilkan inovasi. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa dimensi dalam charismatic leadership, yaitu empowerment memiliki hubungan yang kuat dengan dimensi dalam competitive advantage, yaitu product innovation. Melalui empowerment setiap orang dapat mengembangkan keterampilan yang dimiliki yang mengarah pada penciptaan inovasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Khan (2013) menunjukkan bahwa charismatic leadership memiliki dampak positif terhadap competitive advantage.

Dari teori dan studi empiris yang telah disebutkan diatas, maka peneliti menetapakan hipotesis kelima sebagai berikut:

H5: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap competitive advantage dalam perusahaan di Surabaya.

2.3. Kerangka Pemikiran Teoritis

Model di bawah ini menggambarkan kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti analisis dampak charismatic leadership terhadap competitive advantage melalui employee empowerment dan organizational learning sebagai variabel intervening.

(19)

2.4. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan di penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

H1: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap employee empowerment pada perusahaan di Surabaya.

H2: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap organizational learning pada perusahaan di Surabaya.

H3: Terdapat dampak positif antara employee empowerment terhadap competitive advantage pada perusahaan di Surabaya.

H4: Terdapat dampak positif antara organizational learning terhadap competitive advantage pada perusahaan di Surabaya.

H5: Terdapat dampak positif antara charismatic leadership terhadap competitive advantage pada perusahaan di Surabaya.

Gambar

Tabel 2.1. Dimensi Charismatic Leadership.
Tabel 2.2. Dimensi Employee Empowerment.
Tabel 2.3. Dimensi Organizational Learning.

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga teori-teori ini dapat digunakan sebagai dasar pedoman untuk membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap competitive advantage melalui

Kotler (2003) menyatakan kepuasan pelanggan adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang yang merupakan hasil dari perbandingan antara hasil yang diharapkan atas layanan

Penemuan tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2012) yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara earnings management

Penulis menggunakan teori ini sebagai landasan teori untuk mengetahui pengaruh variabel ethical leadership terhadap employee motivation dan job performance pada karyawan di

Metode Simplified Sequential Search Algorithm-Modified atau SSSA-Mod (Angkasaputra, K. & Sebastiano, F., 2018) adalah suatu metode dari modifikasi metode Simplified

XAMPP adalah perangkat lunak gratis, yang mendukung banyak sistem operasi, merupakan kompilasi dari beberapa program untuk menjalankan fungsinya sebagai server yang

Konsep-konsep tersebut mempunyai kaitan yaitu bahwa kepuasan dan kepercayaan yang terbentuk dari kualitas jasa yang dirasakan akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan

Di dalam metode harga pokok proses, biaya overhead pabrik terdiri dari biaya produksi selain biaya bahan baku, bahan penolong, dan biaya tenaga kerja (baik yang