• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 7 Universitas Kristen Petra"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2. LANDASAN TEORI

2.1. Nalar dari Masing-Masing Konsep

2.1.1. Pengertian Service

Banyak pengertian tentang jasa yang diinterpretasikan secara berbeda- beda oleh banyak pihak. Ada beberapa definisi tentang jasa yang cukup relevan berkaitan dengan penelitian ini. Jasa yang merupakan salah satu bentuk produk, dapat didefinisikan secara berbeda. Gummesson (1987) mendefinisikan jasa sebagai “something which can be bought and sold but which you cannot drop on your feet” (p.39). Definisi ini menekankan bahwa jasa bisa diperjualbelikan atau ditukarkan, tetapi tidak bisa dirasakan secara fisik.

Menurut Kotler (2000), jasa didefinisikan sebagai “setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu”. Meskipun demikian terdapat jasa yang membutuhkan produk fisik sebagai persyaratan utama misalnya komputer dan perangkatnya dalam warnet, bus sebagai jasa transportasi.

Secara garis besar menurut Johns (1999) konsep “service” mengacu pada tiga lingkup definisi utama yaitu :

1. Lingkup industri

Jasa digunakan untuk menggambarkan berbagai sub-sektor dalam kategorisasi ekonomi, seperti transportasi, finansial, kesehatan, pendidikan, dan perdagangan ritel.

2. Lingkup Penawaran

Jasa dipandang sebagai produk intangible yang outputnya lebih berupa aktivitas ketimbang objek yang bersifat fisik.

3. Lingkup Proses

Jasa mencerminkan penyampaian jasa inti, interaksi personal, kinerja (performance), serta pengalaman layanan.

(2)

Selanjutnya John (1999) menegaskan terdapat perbedaan yang signifikan antara perspektif penyedia jasa dan perspektif pelanggan terhadap konsep service.

Menurut penyedia jasa, proses jasa mencakup elemen-elemen penyampaian inti dan kinerja interpersonal. Sementara itu, menurut perspektif pelanggan, jasa lebih dilihat sebagai pengalaman berupa transaksi inti dan pengalaman personal.

Di dalam Tjiptono dan Tjandra (2005, p.22) mengungkapkan bahwa jasa memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dari barang dan berdampak pada strategi mengelola dan memasarkannya. Keempat karakteristik tersebut kemudian dinamakan paradigma IHIP, yaitu meliputi:

a. Intangibility

Di dalam sifat jasa, intangible berarti jasa tidak dapat dilihat, diraba, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Jasa berbeda dengan barang, barang berupa objek yang terlihat, alat, material, ataupun benda, sedangkan jasa merupakan perbuatan, tindakan pengalaman, proses, kinerja (performance) atau usaha. Di dalam penilaian sebuah jasa, jasa tidak dapat dinilai sebelum pelanggan mengalami atau mengkonsumsi sendiri jasa tersebut.

b. Heteroginity

Jasa mempunyai sifat sangat variabel karena merupakan non-standardized output yang berarti terdapat banyak bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Hasil atau proses jasa yang dirasakan atau dialami oleh pelanggan bisa berbeda-beda karena jasa melibatkan unsur manusia dalam proses produksi dan konsumsinya.

c. Inseparability

Tidak seperti barang yang terlebih dahulu diproduksi, dijual, kemudian baru dikonsumsi, jasa pada umumnya dijual terlebih dahulu, kemudian baru diproduksi dan dikonsumsi. Di dalam jasa, hubungan atau interaksi antara penyedia jasa dengan pelanggan mempunyai peran yang vital dalam mempengaruhi hasil atau output dari jasa tersebut. Dalam hubungan antara penyedia jasa dan pelanggan, efektivitas individu penyedia jasa mempunyai peran yang penting dan kritis dalam proses penyampaian jasa.

(3)

d. Perishability

Perishability berarti jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu datang, dijual kembali, atau dikembalikan. Apabila permintaan akan jasa bersifat konstan, maka tidak akan timbul permasalahan karena kapasitas dan staf penyedia jasa sudah dipersiapkan, tetapi jika bersifat fluktuatif, maka timbul resiko tidak terpenuhinya permintaan karena permintaan yang berlebihan. Kegagalan dalam memenuhi permintaan pelanggan akan menimbulkan ketidakpuasan pelanggan sehingga menyebabkan kualitas jasa juga mengalami penurunan dan pelanggan berpindah ke penyedia jasa lain.

2.1.2. Pengertian Kualitas

Berbicara mengenai kualitas, tidaklah mudah karena tidak bisa didefinisikan secara akurat. Dalam dunia industri kualitas menjadi hal yang sangat penting terutama dalam menghasilkan produk atau jasa mereka. Kualitas menjadi tolak ukur suatu barang atau jasa dinilai berdasarkan kriteria produsen atau penyedia jasa dan juga pelanggan.

Konsep kualitas sendiri sering dianggap sebagai ukuran relatif kesempurnaan atau kebaikan sebuah produk atau jasa, yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah ukuran seberapa besar tingkat kesesuaian antara produk atau jasa dengan persyaratan atau spesifikasi kualitas yang ditetapkan sebelumnya.

Berdasarkan perspektif TQM (Total Quality Management), kualitas dipandang secara lebih komprehensif dan holistik, di mana bukan hanya aspek hasil saja yang ditekankan, melainkan juga meliputi proses, lingkungan, dan sumber daya manusia.

(4)

Menurut David Garvie (Tjiptono dan Diana, 1996) terdapat lima alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu:

a. Trancedental Approach

Dalam pendekatan ini, kualitas dipandang sebagai innate excelence, yaitu sesuatu yang bisa dirasakan atau diketahui, namun sukar didefinisikan, dirumuskan atau dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapan dalam seni musik, drama seni tari, dan seni rupa, sehingga kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan dan diketahui tetapi sulit dioperasionalkan dan dijabarkan.

b. Product Based Approach

Pendekatan ini menggarap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Pandangan ini sangat obyektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan dan preferensi individual.

c. User Based Approach

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan atau keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang sama dengan kepuasan makasimum yang dirasakannya.

d. Manufacturing Based Approach

Pendekatan ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan faktor- faktor perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai sama dengan persyaratannya (conformance to requirements). Dalam sektor jasa, dapat dikatakan kualitasnya bersifat operations-driven.

Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.

(5)

e. Value Based Approach

Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas tinggi belum tentu produk yang paling bernilai, akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling tepat untuk dibeli.

2.1.3. Pengertian Service Quality

Lewis dan Bloom (1983), adalah pakar yang pertama kali mendifinisikan kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Melalui definisi ini, kualitas jasa bisa diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan.

Menurut Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1990), definisi kualitas jasa adalah ”the extent of discrepancy between customer expectation or desires and their perception” (p.19). Yaitu adanya perbedaan antara harapan pelanggan tentang suatu jasa dan apa yang dirasakan atau diterima pelanggan sesungguhnya.

Jadi terdapat dua faktor yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dipersepsikan atau dirasakan. Jika jasa yang dirasakan sesuai dengan jasa yang diharapkan maka kualitas jasa akan dinilai baik, sedangkan jika jasa yang dirasakan tidak sesuai dengan jasa yang diharapkan, maka kualitas jasa akan dipersepsikan negatif.

Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1985) mengemukakan sepuluh dimensi pokok yang berkaitan dengan kualitas jasa yang kemudian dalam riset selanjutnya Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1988) menyederhanakan sepuluh dimensi pokok tersebut menjadi lima dimensi pokok, yaitu:

a. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan sejak pertama kali dan juga dalam jangka waktu yang disepakati.

b. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kesediaan, keinginan, dan kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat.

(6)

c. Assurance (jaminan), yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juga mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan.dengan mudah dan juga dirancang agar dapat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.

d. Empathy (empati), berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.

e. Tangibles (berwujud), meliputi daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, penampilan pegawai dan material yang digunakan oleh perusahaan.

2.1.4. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Banyak para peneliti yang mendefinisikan kepuasan pelanggan dengan berbagai macam definisi. Kepuasan merupakan suatu perasaan seseorang setelah mengalami sesuatu dan hal tersebut menimbulkan kesan atau dampak tertentu.

Sehingga dalam hal ini kepuasan tidak dapat diukur secara pasti dengan rumusan tertentu.

Kotler (1997) menyatakan bahwa kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dengan harapannya. Kepuasan merupakan tingkat perasaan pelanggan yang diperoleh setelah pelanggan melakukan atau menikmati sesuatu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kepuasan pelanggan merupakan perbedaan antara yang diharapkan pelanggan (nilai harapan) dengan situasi yang diberikan perusahaan di dalam usaha memenuhi harapan pelanggan.

Harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang akan diterimanya bila ia membeli atau mengkonsumsi suatu barang atau jasa. Sedangkan kinerja yang dirasakan adalah persepsi pelanggan yang ia terima setelah mengkonsumsi produk yang dibeli.

Menurut Davis dan Cozensa (1993) kepuasan (satisfaction) adalah sebagai konstruk, yaitu seberapa jauh pelanggan dapat dipenuhi oleh kinerja suatu produk.

Pelanggan pasti akan puas apabila harapannya dipenuhi dan akan merasa senang

(7)

bila harapannya dilebihi. Berdasarkan fokus produk dan jasa, Oliver (1997, p.87) mendefinisikan bahwa kepuasan pelanggan adalah “The consumer's fulfillment response”, yaitu penilaian bahwa fitur produk atau jasa, atau produk jasa itu sendiri, memberikan tingkat pemenuhan berkaitan dengan konsumsi yang menyenangkan, termasuk tingkat under-fullfilment dan over- fullfilment.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, bisa dikatakan bahwa kepuasan adalah merupakan suatu perasaan dimana pelanggan merasa terpenuhi kebutuhannnya sesuai dengan harapannya terhadap kinerja produk atau jasa yang dikonsumsi dan dirasakannya. Kepuasan merupakan suatu perasaan dan pengalaman pelanggan ketika dia menikmati produk atau jasa yang dibelinya.

Ada lima faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan pelanggan menurut Irawan (2003), yaitu:

1. Kualitas produk

Konsumen akan merasa puas apabila produk yang mereka gunakan berkualitas.

2. Kualitas pelayanan

Konsumen akan merasa puas apabila mereka mendapatkan kualitas pelayanan yang baik.

3. Faktor emosional

Konsumen akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum apabila mereka menggunakan produk atau jasa perusahaan atau merk tertentu.

4. Harga

Konsumen akan merasa puas apabila produk mempunyai kualitas yang sama dengan harga yang relatif murah.

5. Biaya dan kemudahan untuk mendapatkan produk atau suatu jasa.

Konsumen yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan produk atau jasa akan cenderung untuk merasa puas.

Kepuasan pelanggan dalam perusahaan jasa lebih berfokus kepada kualitas jasa yang disampaikan dan hasil yang diperoleh seperti yang apa dijanjikan kepada pelanggan. Pelanggan merasa puas dari bagaimana mereka merasakan jasa

(8)

yang ditawarkan dan bagaimana mereka mendapatkan keuntungan dari pembelian jasa tersebut.

2.1.5. Pengertian Kepercayaan Pelanggan

Kepercayaan pelanggan terhadap suatu produk atau jasa biasanya timbul dikarenakan pelanggan menilai kualitas produk dengan apa yang mereka lihat, pahami, atau apa yang mereka rasakan. Sebab itu penting bagi perusahaan untuk membangun rasa percaya pelanggan terhadap produk atau jasa yang ditawarkannya, supaya tingkat kepercayaan pelanggan lebih tinggi terhadap perusahaan dan tercipta kepuasan pelanggan.

Anderson dan Narus (1990) mendefinisikan kepercayaan sebagai berikut:

“Trust as a belief that another company will perform actions that will result in positive outcomes for the firm while not taking actions that would result in negative outcomes” (p.52). Berdasarkan definisi di atas kepercayaan merupakan keyakinan suatu perusahaan terhadap perusahaan lainnya bahwa perusahaan lain tersebut akan memberikan outcome yang positif bagi perusahaan. Sementara itu, Moorman (1993) mengemukakan definisi tentang kepercayaan yang tidak jauh berbeda dengan definisi di atas serta menjelaskan adanya pernyataan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam suatu hubungan. Salah satu pihak dianggap berperan sebagai controlling assets (memiliki sumber-sumber, pengetahuan) sementara pihak lainnya menilai bahwa berbagi penggunaan sumber-sumber tersebut dalam suatu ikatan akan memberikan manfaat. Keyakinan pihak yang satu terhadap pihak yang lain akan menimbulkan perilaku interaktif yang akan memperkuat hubungan dan membantu mempertahankan hubungan tersebut.

Perilaku tersebut akan meningkatkan lamanya hubungan dengan memperkuat komitmen di dalam hubungan. Pada akhirnya, kepercayaan akan menjadi komponen yang bernilai untuk menciptakan hubungan yang sukses. Kepercayaan tersebut juga mengurangsi risiko dalam bermitra dan membangun hubungan jangka panjang serta meningkatkan komitmen dalam berhubungan.

Faktor yang diduga mempengaruhi kepercayaan antara lain dikemukakan oleh Gounaris dan Veneris (2002) yaitu mengenai service quality sebagai anteseden bagi terbentuknya kepercayaan. Morgan dan Hunt (1994) menjelaskan

(9)

bahwa “trust is positively associated with the extent to which the firm involved in the relation share the same values and timely information to solve disputes and align perception expectation” (p.213). Ganesan (1994) juga mempelajari mengenai upaya membangun kepercayaan antara pemasok dengan pembeli dalam satu saluran distribusi. Pengaruh dari reputasi, kepuasan di masa lalu, pengalaman dengan mitra dan persepsi tentang investasi pihak lain yang dipergunakan dalam membina hubungan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa dari perspektif pembeli reputasi supplier dan investasinya dalam membina hubungan tersebut merupakan hal yang penting dalam membangun kepercayaan. Dari sisi perspektif pemasok bahwa hanya kepuasan di masa lalu yang berpengaruh dalam membentuk kepercayaan pembeli.

Moorman, et al (1993) menyelidiki hubungan antara agen riset pemasaran dan kliennya untuk melihat bagaimana upaya membangun kepercayaan dari perspektif klien. Hasil analisis menunjukkan bahwa kemampuan agen dalam menjalankan tugas secara positif mempengaruhi kepercayaan klien terhadap agen.

Menurut Andaleeb (1992) untuk mengetahui bahwa suatu pihak trustworthy (layak dipercaya) perlu untuk mengetahui kapasitas dan kemampuannya untuk dapat menghasilkan hasil yang diinginkan

Hoy and Tschannen-Moran (1998); Tschannen-Moran and Hoy (2001) mengemukakan bahwa terdapat lima dimensi yang membentuk kepercayaan, yaitu:

a. Benevolence, yakni itikat baik dan keyakinan bahwa suatu pihak akan dilindungi dan tidak akan dirugikan oleh pihak yang dipercayai (Baier, 1986;

Butler and Cantrell, 1984).

b. Reliability, yakni kemampuan dapat diandalkan untuk memenuhi sesuatu yang dibutuhkan oleh seseorang atau kelompok apabila mereka membutuhkan.

c. Competence, yakni kemampuan yang dimiliki oleh suatu pihak dari segi skill dan pengetahuan yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

d. Honesty, yakni sejauh mana pernyataan atau ungkapan dapat ditepati. Suatu pernyataan akan dianggap benar apabila dapat mengkonfirmasi yang sebenarnya terjadi menurut perspektif pelanggan dan komitmen terhadap janji ditepati.

(10)

e. Opennes, yakni keterbukaan untuk memberitakan atau memberikan informasi yang dibutuhkan kepada pelanggan.

2.1.6. Pengertian Loyalitas Pelanggan

Setiap perusahaan tentunya menginginkan adanya loyalitas pada setiap pelanggan yang pernah mencoba produk barang atau jasa yang mereka tawarkan.

Loyalitas pelanggan didapat melalui terciptanya kepuasan pelanggan atas produk yang dikonsumsi pelanggan di mana pelanggan merasa harapannya terpenuhi sehingga akan mengarah pada loyalitas.

Menurut Johnson (1997) definisi loyalitas pelanggan adalah “Customer loyalty is a predisposition toward purchasing and or using a particular product, manufacturer or service provider again” (p.61). Dapat diartikan bahwa loyalitas pelanggan adalah kecenderungan untuk membeli, atau menggunakan produk tertentu, perusahaan manufaktur atau penyedia jasa secara berulang. Jadi pembelian atau pemakaian suatu produk atau jasa secara berulang adalah salah satu ciri daripada loyalitas pelanggan.

Loyalitas pelanggan menjadi suatu jaminan bagi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari jangka pendek, perusahaan akan memperoleh laba dari transaksi pembelian, sedangkan secara jangka panjang, loyalitas merupakan jaminan untuk perusahaan tetap dapat mendapatkan keuntungan dari transaksi yang berkelanjutan sehingga perusahaan dapat survive dan juga berkembang.

Atribut-atribut pembentuk loyalitas pelanggan menurut Griffin (1995) adalah sebagai berikut:

1. Makes regular repeat purchase

Konsumen yang loyal adalah konsumen yang melakukan pembelian ulang terhadap jasa suatu perusahaan dalam suatu periode waktu tertentu.

2. Purchases across product and service line

Konsumen yang setia tidak hanya membeli satu macam jasa dalam suatu perusahaan, melainkan jasa lainnya juga.

(11)

3. Refers Other

Konsumen yang setia akan merekomendasikan hal-hal yang positif mengenai jasa suatu perusahaan kepada rekan lainnya dan meyakinkan konsumen sehingga konsumen ikut membeli dan menggunakan jasa dari perusahaan tersebut.

Sedangkan menurut Zeithaml et al (1996) tujuan akhir dari perusahaan adalah untuk menjalin relasi dengan pelanggannya adalah untuk membentuk loyalitas yang kuat. Indikator dari loyalitas yang kuat adalah :

1. Say positive things, adalah mengatakan hal yang positif tentang produk atau jasa yang telah dikonsumsi.

2. Recommend friend, adalah merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi kepada teman atau pihak lain.

3. Continue purchasing, adalah pembelian yang dilakukan secara terus menerus terhadap produk yang telah dikonsumsi.

2.2. Tautan Antar Konsep

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur yang mengungkapkan tentang service quality, satisfaction, trust dan loyalty mengemukakan bahwa service quality adalah perbedaan antara keinginan konsumen dengan kenyataan pelayanan yang mereka terima (Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, 1990);

satisfaction adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesan terhadap kinerja suatu produk atau jasa dengan harapan yang dimilikinya (Kotler, 1997); trust adalah suatu keyakinan bahwa suatu perusahaan dapat diandalkan untuk memenuhi kewajibannya (Schurr dan Ozane, 1985); loyalty adalah sikap konsumen dengan melakukan pembelian ulang terhadap produk atau jasa suatu perusahaan atau merk tertentu (Zeithaml et al, 1996).

Dari konsep tersebut diyakini kualitas jasa suatu perusahaan akan mempengaruhi kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan. Kotler (2000) mengungkapkan bahwa kualitas jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas jasa.

Selain kepuasan, kualitas jasa yang ditawarkan akan mempengaruhi terbentuknya

(12)

kepercayaan pelanggan dan loyalitas secara langsung. Pelanggan yang merasakan kualitas jasa yang baik akan percaya bahwa perusahaan dapat memenuhi kebutuhannya karena perusahaan mempunyai kualitas dan kemampuan yang layak sehingga dapat menghantarkan kualitas pelayanan yang dikehendakinya.

Kepuasan yang dirasakan oleh pelanggan akan berpengaruh terhadap kepercayaannya pada perusahaan tersebut. Pelanggan yang puas akan cenderung meyakini bahwa perusahaan bisa memenuhi kebutuhannya lagi dan akan dipuaskan lagi.

Konsep-konsep tersebut mempunyai kaitan yaitu bahwa kepuasan dan kepercayaan yang terbentuk dari kualitas jasa yang dirasakan akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Karena untuk terbentuknya suatu loyalitas diyakini bahwa puas atau tidaknya konsumen dan tingkat kepercayaan terhadap perusahaan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, dalam hal ini kepuasan dan kepercayaan mempunyai peranan sebagai variabel mediasi dalam pembentukan loyalitas pelanggan. Sedangkan kualitas layanan selain berpengaruh terhadap kepuasan dan kepercayaan, juga berpengaruh langsung terhadap loyalitas pelanggan.

Service Quality atau kualitas jasa diukur oleh lima dimensi yaitu:

reliability yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan sejak pertama kali. Responsiveness yaitu kesediaan, keinginan, dan kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat. Assurance yakni perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Jaminan juga mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko dan keragu-raguan.dengan mudah dan juga dirancang agar dapat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan. Empathy berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.

Tangibles meliputi daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, penampilan pegawai dan material yang digunakan oleh perusahaan.

(13)

Dalam penelitian ini kepuasan pelanggan diukur melalui keseluruhan kualitas jasa yang dirasakan oleh pelanggan. Sedangkan kepercayaan dibentuk oleh keyakinan akan adanya benevolence, reliability, competence, honesty dan openess dalam perusahaan. Dimana benevolence adalah niat baik perusahaan untuk melindungi dan tidak merugikan pelanggan. Reliability adalah kemampuan perusahaan untuk dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan permintaan pelanggan. Competence adalah kemampuan perusahaan dari segi skill dan pengetahuan untuk menghadirkan jasa kepada pelanggan. Honesty adalah kejujuran dan kebenaran untuk menyampaikan jasa sesuai dengan pernyataan yang dijanjikan. Sedangkan opennes adalah keterbukaan dari pihak penyedia jasa untuk memberikan informasi yang benar kepada pelanggan yang membutuhkan.

Loyalitas pelanggan terlihat melalui beberapa hal dengan melihat melalui sikap pelanggan antara lain : say positif things yaitu mengatakan hal yang positif tentang jasa yang dipergunakan kepada orang lain, recommend friend yaitu merekomendasikan kepada teman atau orang lain mengenai jasa yang telah dipergunakan kepada teman atau pihak lain, dan continue purchasing yaitu pembelian atau pemakaian jasa secara terus menerus atau berulang.

Dari penjabaran variabel-variabel diatas dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan suatu loyalitas dari pelanggan kepada perusahaan tercermin dari bagaimana tingkat kepuasan dan kepercayaan terhadap perusahaan tersebut. Hal ini bisa kita lihat bagaimana kualitas jasa menjadi hal yang sangat vital dalam membangun loyalitas pelanggan.

(14)

2.3. Kerangka Berpikir

FENOMENA

Semakin banyaknya pemain dalam usaha travel agency mengharuskan para agen travel menerapkan strategi yang tepat dalam persaingan yang ketat untuk mendapatkan pelanggan. PT MKI berusaha untuk mempertahankan pelanggan lama dan memperoleh pelanggan baru dengan berusaha meningkatkan service quality sehingga timbul kepuasan dan kepercayaan terhadap PT MKI dimana pada akhirnya akan menimbulkan loyalitas dalam jangka panjang.

HIPOTESIS

1. Diduga kualitas layanan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan PT. MKI.

2. Diduga kualitas layanan berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan PT. MKI.

TRUST 1. Benevolence

2.Reliability 3. Competence

4. Honesty 5. Openness

(Hoy & Tschannen-Moran, 1998;

Tschannen-Moran & Hoy, 2001).

LOYALITAS 1. Say positive things.

2. Recommend friend 3.Repeated purchasing Zeithaml, et. al. (1996) SATISFACTION

Overall Satisfaction

SERVICE QUALITY 1. Reliability 2. Responsiveness

3. Assurance 4. Empathy 5. Tangibles

Zeithaml, Parasuraman, dan Berry (1988)

3. Diduga kepuasan berpengaruh terhadap kepercayaan pelanggan PT. MKI.

4. Diduga kepuasan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan PT. MKI.

5. Diduga kepercayaan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan PT. MKI.

6. Diduga kualitas layanan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan PT. MKI.

(15)

2.4. Model Hipotesa

TRUST SERVICE

QUALITY

LOYALTY SATISFACTION

Assurance

Reliability Responssiveness Empathy Tangible

Overall Satisfaction

Say Positive Things

Continue Purchasing Recommend

Friend

Benevolence

Reliability

Competence

Honesty

Openness

H1 H2

H3

H6

H5 H4

(16)

2.5. Hipotesa Penelitian

Konsumen dapat menilai beberapa petunjuk nyata sehubungan dengan penyedia jasa untuk secara bertahap membangun kepercayaan (Doney dan Cannon 1997; Chiou dan Droge 2006). Diantara petunjuk petunjuk ini, kepuasan terhadap atribut produk dan persepsi kualitas jasa mewakili evaluasi terhadap pengalaman langsung, dimana bila dipersepsikan baik konsumen akan mempunyai keyakinan pada penyedia jasa dan kemudian akan meningkatkan kepercayaan kepada penyedia jasa. Biasanya apa yang dilakukan oleh kebanyakan perusahaan adalah hanya menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas baik yang kemudian membentuk citra positif dan terpercaya sehingga cukup untuk memperoleh kepercayaan pelanggan (Blackston, 1992).

Beberapa studi empiris mengkonfirmasikan bahwa persepsi kualitas jasa dan kepuasan adalah merupakan suatu urutan (Cronin dan Taylor, 1992; Paterson, 2000). Gotlieb dan Brown (1994) mengukur secara langsung model yang membedakan arah hubungan kausal dan menemukan bahwa kualitas jasa mempengaruhi kepuasan, dimana pada gilirannya akan berpengaruh terhadap minat. Dalam Ferrinadewi dan Djati (2004) mendefinisikan kepercayaan (trust) sebagai persepsi terhadap kehandalan dari sudut pandang pelanggan didasarkan pada pengalaman, atau mengarah pada tahapan transaksi atau interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan kinerja produk dan tercapainya kepuasan.

Proposisi yang ditunjukkan oleh Ferrinadewi (2004) adalah kepercayaan terbentuk dari kepuasan pelanggan yang kemudian menjadi indikasi awal terbentuknya kesetiaan pelanggan.

Dalam penelitiannya, Fornel et al (1996) mengatakan: “In fact many researchers advocates that in the effort to improve business performance;

customer satisfaction should be measured and managed and its importance has led marketing scholars to recommend firms to improve their customers’

satisfaction judgements because satisfaction is a key to customer loyalty and retention” (p.31). Dapat diartikan bahwa banyak peneliti yang menjelaskan bahwa dalam usaha meningkatkan performa bisnis, kepuasan pelanggan seharusnya diukur dan di kendalikan dan tingkat kepentingannya telah membawa para ahli pemasaran merekomendasikan kepada perusahaan-perusahaan untuk

(17)

meningkatkan penilaian terhadap kepuasan pelanggan karena kepuasan adalah kunci menuju loyalitas pelanggan dan retensi.

Menurut penelitian Morgan dan Hunt (1994) mengungkapkan bahwa komitmen dalam bentuk loyalitas konsumen adalah merupakan hasil dari kepercayaan. Kepercayaan dan komitmen merupakan dua hal yang paling penting dalam paradigma relationship marketing, dan kepercayaan merupakan hal yang kelihatan nyata untuk loyalitas pelanggan yang sejati (Oliver, 1999).

Menurut penelitian, yang dilakukan oleh Zeitahml et al (1996) dan Boulding et al (1993) yang menganalisa hubungan antara service quality terhadap loyalitas, menunjukkan bahwa service quality mempunyai pengaruh yang positif terhadap loyalitas pelanggan. Boulding et al (1993) dalam penelitiannya mengenai hubungan antara overall sercive quality dan dimensi individual service loyalty, secara empiris menemukan hubungan antara service quality dengan dimensi service loyalty yaitu kesediaan untuk merekomendasikan dan minat pembelian ulang.

Dengan demikian, maka dapat diajukan hipotesa berikut :

Hipotesa 1 : Kualitas layanan mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepercayaan pelanggan.

Hipotesa 2 : Kualitas layanan mempunyai pengaruh yang positif terhadap kepercayaan pelanggan.

Hipotesa 3 : Kepuasan mempunyai pengaruh positif terhadap kepercayaan pelanggan.

Hipotesa 4 : Kepuasan mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.

Hipotesa 5 : Kepercayaan mempunyai pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan.

Hipotesa 6 : Kualitas layanan mempunyai pengaruh yang positif terhadap loyalitas pelanggan.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika pelanggan berkonsentrasi atau berbelanja atau membeli dalam volume besar, daya tawar mereka dapat mempresentasikan kekuatan besar yang mempengaruhi

Menurut Handoko (2002) pengukuran kinerja adalah usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses pengelolaan pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang

Hal ini terjadi karena dengan melakukan upaya perencanaan pajak, perusahaan dapat melaksanakan kewajiban pajak dengan benar, di mana pajak yang dibayarkan berada

Metode Simplified Sequential Search Algorithm-Modified atau SSSA-Mod (Angkasaputra, K. & Sebastiano, F., 2018) adalah suatu metode dari modifikasi metode Simplified

Sehingga salah satu tujuan dari SIA dalam siklus pendapatan adalah untuk mendukung performance dari aktivitas bisnis perusahaan dengan memproses data transaksi secara efisien,

Di dalam metode harga pokok proses, biaya overhead pabrik terdiri dari biaya produksi selain biaya bahan baku, bahan penolong, dan biaya tenaga kerja (baik yang

Kotler (2003) menyatakan kepuasan pelanggan adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang yang merupakan hasil dari perbandingan antara hasil yang diharapkan atas layanan

Penemuan tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Darwis (2012) yang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara earnings management