• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Deskripsi lokasi penelitian di masing-masing kabupaten disajikan sebagai berikut:

Kabupaten Bondowoso, secara geografis berjarak 199 km dari ibu kota Provinsi Jawa Timur (Surabaya), dengan letak geografi antara 113.48o Bujur Timur dan 7.51o-7.56o Lintang Selatan. Keadaan topografi di Kabupaten Bondowoso bervariasi mulai bentuk wilayah datar sampai berbukit dan bergunung-gunung dengan lereng kemiringan 0-2 persen sampai lebih dari 10 persen, dengan ketinggian antara 25 sampai dengan 1000 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Bondowoso adalah 156.010 hektar. Batas wilayah Kabupaten Bondowoso adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Banyuwangi, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Jember, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo. Curah hujan setiap tahun mencapai 2170.2 mm, dengan hari hujan 91 hari. Tipe iklim (Schmid dan Ferguson) bulan kering : bulan basah adalah 57.1 persen (BPS Kabupaten Bondowoso, 2007:1-5).

Secara administrasi, Kabupaten Bondowoso mempunyai 23 wilayah Kecamatan dan 199 wilayah Desa serta 10 wilayah kelurahan. Jumlah dan tingkat pendidikan pendudukan di Kabupaten Bondowoso disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Jumlah dan Tingkat Pendidikan Penduduk di Kabupten Bondowoso Jumlah Penduduk: ƒ Laki-laki ƒ Perempuan 708.683 orang 344.137 orang 364.546 orang Tingkat Pendidikan:

ƒ Tidak Tamat/Belum Tamat SD ƒ Tamat Sekolah Dasar

ƒ Tamat SLTP ƒ Tamat SMU

ƒ Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi

354.208 orang 198.458 orang 40.596 orang 34.293 orang 6.029 orang

(2)

Komoditas sayuran yang diusahakan petani di Kabupaten Bondowoso adalah: Kubis, Buncis, Ketimun, Kacang Panjang, Bawang Merah, Lombok Besar, Lombok Kecil, Tomat Mawar, Sawi/Petsai, dengan komoditas dominan adalah Kacang Panjang, Buncis, Sawi/Petsai dan Tomat Mawar.

Kabupaten Pasuruan, berjarak sekitar 60 km dari ibu kota Provinsi Jawa Timur, dengan letak geografi antara 112.30o - 113.30o Bujur Timur dan 7.30o - 8.30o Lintang Selatan. Secara geologis, Kabupaten Pasuruan terbagi menjadi: pegunungan, perbukitan, dataran rendah, dan pesisir, dengan ketinggian antara 180 sampai dengan 3.000 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Pasuruan adalah 147.401,5 hektar. Batas wilayah Kabupaten Pasuruan adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Malang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto. Curah hujan untuk wilayah Kabupaten Pasuruan tergolong tipe D yaitu merupakan daerah kering, meskipun di daerah pegunungan mempunyai curah hujan yang cukup (BPS Kabupaten Pasuruan, 2007:3-8).

Secara administrasi, Kabupaten Pasuruan mempunyai 24 wilayah Kecamatan dengan 341 wilayah Desa dan 24 Wilayah Kelurahan. Jumlah dan tingkat pendidikan pendudukan di Kabupaten Pasuruan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah dan Tingkat Pendidikan Penduduk di Kabupten Pasuruan Jumlah Penduduk: ƒ Laki-laki ƒ Perempuan 1.455.536 orang 720.012 orang 735.524 orang Tingkat Pendidikan:

ƒ Tidak Tamat/Belum Tamat SD ƒ Tamat Sekolah Dasar

ƒ Tamat SLTP ƒ Tamat SMU

ƒ Tamat Akademi/Perguruan Tinggi (S1) ƒ Tamat S2 ƒ Tamat S3 547.010 orang 527.010 orang 233.130 orang 131.457 orang 16.635 orang 282 orang 12 orang Mata Pencaharian: ƒ Petani

ƒ Pegawai Negeri Sipil ƒ TNI/POLRI

ƒ Pedagang ƒ Pegawai Swasta ƒ Tidak/ Belum Bekerja

437.822 orang 11.121 orang 4.137 orang 61.083 orang 103.468 orang 583.472 orang

(3)

Komoditas sayuran yang di usahakan petani di Kabupaten Pasuruan adalah: Kubis, Kacang Kapri, Kentang, Kacang Panjang, Tomat, Bawang Merah, Lombok Besar, dengan komoditas dominan adalah Kubis dan Kacang Kapri.

Pemilihan tanaman sayuran yang diusahakan oleh petani sayur baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan erat kaitannya dengan harga jual produk pertanian tersebut saat ini. Untuk menetapkan tanaman yang akan diusahakan, petani berpedoman pada tingkat harga komoditas tertentu, bila dijumpai harga komoditas tertentu (misalnya Kubis) saat ini harganya murah, maka tanaman yang dipilih untuk diusahakan pada musim tanam berikutnya adalah Kubis. Petani dengan pengalamannya selama bertahun-tahun mendapatkan bahwa bila komoditas tertentu dalam kurun waktu yang relatif lama harganya murah, maka untuk masa panen berikutnya harga komoditas tersebut akan mahal harganya. Kenyataan di lapang, bahwa harga komoditas ditentukan oleh ketersediaan komoditas tersebut. Bila ketersedian komoditas tersebut besar (banyak), sementara permintaan sedikit, maka harga komoditas tersebut akan murah. Sebaliknya, bila ketersediaan komoditas tersebut sedikit, sementara permintaan tetap atau meningkat maka harga akan naik. Berdasarkan kenyataan ini, maka peningkatan pengetahuan petani tentang penawaran dan permintaan perlu ditingkatkan.

Sebagian petani, utamanya petani yang sudah maju, sudah berpedoman pada hukum permintaan dan penawaran tersebut. Petani sudah memiliki data tentang waktu suatu komoditas banyak diperlukan oleh konsumen. Untuk melengkapi dan memastikan data yang dimiliki sudah memadai, petani sebelum tanam sudah memastikan terlebih dahulu dengan cara survey, petani datang pada daerah-daerah sentra sayuran, untuk melihat komoditas apa yang banyak diusahakan saat ini. Petani yang berpengalaman akan menanam tanaman yang saat ini tidak banyak diusahakan oleh petani lain.

Pemilihan tanaman yang akan diusahakan juga tergantung pada modal yang dimiliki oleh petani. Pada saat modal yang dimiliki oleh petani cukup besar, petani mengusahakan tanaman Kubis, tetapi bila modal yang dimiliki sedikit petani di Kabupaten Bondowoso menanam tanaman Buncis dan Sawi, sedang petani di Kabupaten Pasuruan menanam tanaman Kacang Kapri. Pemilihan

(4)

tanaman Buncis dan Sawi dikarenakan biaya yang dikeluarkan relatif kecil, ke dua tanaman tersebut memerlukan perawatan minimal, dan khusus tanaman Buncis bisa dipanen sampai 12 kali dalam satu musim tanam. Pemilihan tanaman Kacang Kapri bagi petani di Kabupaten Pasuruan, dikarenakan ada kerjasama dengan penyandang dana yang berfungsi sebagai pembeli hasil panen Kacang Kapri petani. Petani diberi pinjaman modal (untuk membeli benih, pupuk, pestisida, dan jaring) untuk menanam Kacang Kapri, dengan ketentuan hasil panen harus disetorkan pada pemilik modal. Harga jual Kacang Kapri sudah ditetapkan pada saat kesepatakan dibuat. Petani cukup senang dengan cara ini, karena petani mendapatkan kemudahan untuk memperoleh biaya dalam melakukan usahataninya, dan petani memperoleh kepastian harga jual hasil usahataninya. Hasil wawancara diketahui bahwa dengan sistem kerjasama, disamping petani memperoleh kepastian harga, petani juga memperoleh keuntungan yang relatif besar dari usaha menanam Kacang Kapri.

Lokasi pemasaran produksi sayuran Kabupaten Bondowoso adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal daerah-daerah sekitar, seperti Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, Kabupaten Banyuwangi, dan paling jauh adalah Kota Denpasar. Selanjutnya lokasi pemasaran produksi sayuran Kabupaten Pasuruan, disamping untuk memenuhi kebutuhan lokal, juga untuk memenuhi kebutuhan sayuran di Jakarta dan Bandung.

Umur petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan bervariasi dari muda sampai tua. Petani yang mengusahakan tanaman sayuran dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Sebaran Responden Menurut Umur Kabupaten Bondowoso Pasuruan Umur n1(140) % n2 (134) % < 31 tahun (Muda) 31-47 tahun (Dewasa) >47 tahun (Tua) 12 94 34 8.57 67.14 24.29 8 79 47 5.97 58.96 35.07 Rataan Skor (tahun)

Selang Skor (22-69)

tahun Bondowoso Pasuruan Perbedaan

(5)

Kisaran umur petani adalah 22 tahun hingga 69 tahun. Umur petani sayuran termuda (22 tahun) dan umur petani sayuran tertua (69 tahun) dijumpai di Kabupaten Bondowoso. Selanjutnya umur petani di Kabupaten Bondowoso sebagian besar (67.14 persen), dan di Kabupaten Pasuruan sebagian besar (58.96 persen) petani ada pada tingkat dewasa. Rata-rata umur petani sayuran tersebut masih produktif, masih memungkinkan untuk ditingkatkan cara-cara usahataninya, sehingga memungkinkan pula untuk ditingkatkan produktivitasnya, yang pada akhirnya dapat ditingkatkan pula kesejahteraannya.

Kondisi Penyuluhan di Daerah Penelitian

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006, tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, sebagai dasar hukum tentang penyuluhan di Indonesia, tampaknya belum dapat dilaksanakan secara baik. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan, belum melaksanakan Undang-undang tersebut dalam administrasi pemerintahan. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh pertanian diketahui bahwa di Kabupaten Bondowoso kelembagaan penyuluhan masih bersifat sektoral, yakni keberadaan penyuluh pertanian melekat pada induk organisasinya secara sendiri-sendiri. Artinya penyuluh tanaman pangan berada di Dinas Ketahanan Pangan, penyuluh perikanan berada di Dinas Perikanan, serta penyuluh perkebunan berada di Dinas Perkebunan. Kondisi ini menyulitkan dalam koordinasi pelaksanaan penyuluhan di wilayah kerja penyuluh. Selanjutnya, kelembagaan penyuluhan di Kabupaten Pasuruan berada dalam satu atap, yakni berada pada Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten, sehingga koordinasi dalam pelaksanaan penyuluhan di masing-masing wilayah kerja penyuluhan dapat berjalan dengan baik. Hasil pengamatan ini didukung oleh data kelembagaan penyuluhan pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur, data BPS Kabupaten Bondowoso tahun 2007, dan data BPS Kabupaten Pasuruan tahun 2007, sebagaimana disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) belum sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun

(6)

2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, yaitu satu Balai Penyuluhan Pertanian untuk satu Kecamatan.

Tabel 14. Jumlah Kecamatan, Jumlah Balai Penyuluhan Pertanian, Jumlah Desa, dan Jumlah Penyuluh

Jumlah Kabupaten

Kecamatan BPP % Desa Penyuluh %

Bondowoso 23 4 17.39 199 92 46.23

Pasuruan 24 19 79.17 341 97 28.45

Sumber: Data diolah dari data Diperta Tk. I Jawa Timur-2006, Kabupaten Bondowoso dalam Angka-2007, dan Kabupaten Pasuruan dalam Angka-2007.

Dari Tabel 14 diketahui bahwa Kabupaten Bondowoso memiliki Balai Penyuluhan Pertanian sebanyak 4 BPP (17.39 persen) dari jumlah kecamatan yang ada, hal ini lebih sedikit dibandingkan Kabupaten Pasuruan yang memiliki 19 BPP (79.17 persen) dari jumlah kecamatan yang ada. Bila dilihat dari jumlah BPP yang sudah ada, maka Kabupaten Pasuruan lebih siap untuk melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 16 tersebut dibanding Kabupaten Bondowoso, namun berdasarkan informasi yang diperoleh baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan sampai penelitian ini selesai dilaksanakan, belum ada sosialisasi tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 16 tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa sampai dengan setahun setelah Undang-undang Nomor 16 tersebut diundangkan, pembentukan Balai Penyuluhan Pertanian di masing-masing Kecamatan belum bisa dilaksanakan. Akibatnya, salah satu fungsi BPP yaitu sebagai tempat bertemunya para penyuluh dan petani belum bisa terlaksana dengan baik.

Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah penyuluh di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan, belum sesuai dengan program Departemen Pertanian, yaitu satu penyuluh untuk satu Desa. Di Kabupaten Bondowoso, dari 199 desa yang ada baru terdapat sebanyak 92 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau baru terpenuhi sebesar 46.23 persen, sedangkan di Kabupaten Pasuruan, dari 341 desa yang ada baru terdapat 97 orang PPL atau baru terpenuhi sebesar 28.45 persen. Dari data tersebut diketahui bahwa jumlah penyuluh belum sesuai dengan kebutuhan, yaitu satu orang penyuluh untuk satu desa. Berdasarkan wawancara dengan penyuluh diperoleh hasil bahwa sedikitnya jumlah penyuluh baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan disebabkan oleh

(7)

banyaknya tenaga penyuluh pertanian yang memasuki purna tugas, namun sampai saat ini belum dilakukan penggantian. Informasi lain menyebutkan bahwa sebagian dari penyuluh pertanian beralih tugas ke jabatan lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Padmowihardjo (2004:45) yang menyatakan bahwa penyuluh pertanian tersebar secara tidak merata di masing-masing BPP di seluruh Indonesia, tugas mereka tidak jelas, banyak penyuluh pertanian yang alih tugas ke jabatan lain, sehingga mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga penyuluh dengan jumlah petani/ kelompok tani yang harus dilayaninya.

Kondisi Lahan di Daerah Penelitian

Pada masyarakat pedesaan yang agraris, lahan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan mereka. Lahan merupakan sumber mata pencaharian untuk mempertahankan hidup, bahkan di luar itu tanah merupakan tempat tinggal, sehingga dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman manusia dalam hidup bermasyarakat.

Luas lahan yang dikuasai oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan relatif cukup luas. Luas penguasaan lahan selengkapnya disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15. Sebaran Responden Menurut Luas Penguasaan Lahan Kabupaten Bondowoso Pasuruan Luas Lahan n1(140) % n2 (134) % ≤ 0.25 ha > 0.26 - ≤ 0.75 ha > 0.75 ha 33 74 33 23.57 52.86 23.57 12 50 72 8.96 37.31 53.73 Rataan Skor (Ha)

Bondowoso Pasuruan Perbedaan

Luas lahan 0.70 1.1 0.4

Keterangan: Selang Skor Penguasaan Lahan (0.1-5.5) ha; Penguasaan Lahan Rendah ≤ 0.25 ha, Sedang > 0.26 - ≤ 0.75 ha, dan Tinggi > 0.75 ha

Penguasaan lahan antara petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan tidak berbeda nyata. Petani sayuran di Kabupaten Bondowoso mengusahakan lahan dengan luasan sedang, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mengusahakan lahan dengan luasan lahan tinggi. Menurut Soekartawi (2002:14-15), pengusahaan pertanian selalu didasarkan atau

(8)

dikembangkan pada luasan lahan pertanian tertentu. Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Pentingnya faktor lahan, bukan saja dilihat dari segi luas atau sempitnya lahan, tetapi juga dilihat dari aspek kesuburan lahan, macam penggunaan lahan (lahan sawah, tegalan), dan topografi (lahan dataran rendah dan lahan dataran tinggi).

Jenis lahan yang diusahakan oleh petani sayuran bervariasi dari lahan kering sampai lahan berpengairan teknis. Data sebaran responden menurut jenis penguasaan lahan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Sebaran Responden Menurut Jenis Lahan

Kabupaten Bondowoso Pasuruan Jenis Lahan

n1 (140) % n2 (134) %

Lahan Kering Sawah Tadah Hujan Irigasi ½ Teknis Irigasi Penuh 2 5 37 96 1.43 3.57 26.43 68.57 63 6 21 44 47.01 4.48 15.67 32.84 Jenis lahan yang diusahakan oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso adalah lahan irigasi penuh dan lahan irigasi setengah teknis, sedangkan di Kabupaten Pasuruan lahan yang diusahakan petani sayuran adalah lahan kering dan lahan irigasi penuh. Berdasarkan jenis lahan yang diusahakan maka kesempatan petani sayuran di Kabupaten Bondowoso untuk berusahatani lebih baik jika dibandingkan dengan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan. Petani di Kabupaten Bondowoso dapat memanfaatkan lahannya untuk ditanami sayuran sepanjang tahun karena mendapat irigasi yang cukup, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan hanya dapat menanami lahannya pada saat musim penghujan.

Penguasaan luas lahan dan jenis lahan oleh petani sayuran baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan tidak diimbangi dengan tingkat produksi yang memadai. Data monografi desa tahun 2006 menunjukkan bahwa rata-rata produksi Kubis di dua kabupaten tersebut hanya berkisar 16-18 ton per hektar. Bila data produksi ini dihitung berdasarkan populasi tanaman kobis per hektar, maka satu pohon Kubis hanya menghasilkan berat sekitar 0.3-0.5 kg. Biaya produksi tanaman kobis per pohon mencapai Rp 750,- - Rp 1.000,-.

(9)

Bila harga Kubis dipasar Rp 1.000,-per kg, maka per pohon petani akan memperoleh uang sebesar Rp 500,- dengan demikian petani sudah bisa dipastikan akan merugi. Solusi yang diperlukan oleh petani sayuran, utamanya petani Kubis ialah meningkatkan produktivitas lahan melalui cara-cara budidaya tanaman yang benar, sehingga diperoleh produksi yang tinggi.

Masalah Budidaya Tanaman yang Dihadapi Petani Sayuran

Tingkat pemahaman petani sayuran terhadap cara-cara budidaya yang baik, seperti: cara mengelola lahan dengan baik, dan cara memelihara tanaman dengan baik masih rendah, sehingga menyebabkan tingkat produktivitas lahannya rendah. Pemahaman petani sayuran tentang kesuburan lahan, termasuk juga cara-cara mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan masih rendah. Persiapan lahan untuk tanaman sayuran kurang sempurna. Petani melakukan pengolahan lahan kurang intensif, rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso mengolah lahan sampai lahan siap ditanami adalah tiga kali, sedang petani di Kabupaten Pasuruan mengolah lahan sebanyak dua kali. Hal lainnya yang kurang diperhatikan oleh petani sayuran adalah mempertahankan dan meningkatkan kesuburan lahan. Petani jarang menambahkan atau memberikan pupuk kandang atau kompos ke lahan yang diusahakan. Akibatnya lahan menjadi kurang subur, dan cenderung mengeras.

Dalam memelihara tanaman, petani sayuran sangat tergantung pada input luar yang tinggi. Perilaku petani dalam memelihara tanamannya, seperti: penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan. Pada saat wawancara diketahui bahwa petani menggunakan pupuk buatan dengan tidak memperhitungkan kebutuhan tanaman atau tidak sesuai dengan anjuran. Rata-rata petani memupuk tanaman sayuran dengan pupuk Urea sebanyak 5 kuintal per hektar dan dengan pupuk ZA sebanyak 3 kuintal per hektar, dimana ke dua pupuk tersebut mempunyai kandungan unsur hara yang sama, yaitu Nitrogen, sedang jenis pupuk yang lainnya seperti pupuk P dan pupuk K jarang dilakukan. Perilaku petani dalam pemberian pupuk tersebut menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman terjadi secara berlebihan tanpa diimbangi dengan pertumbuhan generatif. Akibatnya tingkat produktivitas tanaman menjadi rendah.

(10)

Masalah lain yang berhubungan dengan perilaku petani sayuran dalam budidaya tanaman ialah penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Hampir seluruh petani responden yang ditanya, menggunakan pestisida lebih dari satu jenis dalam sekali pengendalian hama dan penyakit tanaman. Petani sayuran juga menggunakan pestisida tidak tepat dosis, sehingga pemakaian pestisida menjadi berlebihan. Kondisi ini, menyebabkan hama menjadi tahan (resisten) terhadap pestisida yang digunakan oleh petani, sehingga petani berusaha untuk menambah dosis pada penyemprotan berikutnya, dan bahkan mengganti pestisida dengan jenis yang lain yang juga belum tentu efektif dalam mengendalikan hama. Akibat lain dari penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, ialah meningkatnya pengeluaran petani untuk membeli pestisida, sehingga biaya produksi usahatani menjadi lebih tinggi.

Faktor Internal Petani

Faktor internal petani merupakan sifat-sifat atau ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Faktor internal petani diukur berdasarkan: pendidikan formal, pendidikan non formal, etos kerja, kekosmopolitan, dan pengalaman usaha. Hasil pengukuran terhadap indikator faktor internal petani disajikan pada Tabel 17.

Pendidikan merupakan indikator utama pembangunan dan kualitas sumberdaya manusia pertanian. Pendidikan formal diukur berdasarkan jumlah tahun dalam menempuh pendidikan formal. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan menempuh pendidikan formal rendah yaitu 8 tahun atau tidak tamat SLTP. Tingkat pendidikan petani sayuran di Kabupaten Bondowoso (64.29 persen) berpendidikan sekolah dasar, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (63.43 persen) juga berpendidikan sampai sekolah dasar. Rendahnya pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan menyebabkan kemampuan mengelola usahataninya menjadi kurang maksimal, sehingga produktivitas usahataninya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Prijono dan Pranarka (1996:71), yang menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan

(11)

bimbingan dan/atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia baik individu maupun sosial.

Tabel 17. Sebaran Responden Menurut Faktor Internal Petani Kabupaten Bondowoso Pasuruan Faktor Internal Petani(X1) Kategori n1(140) % n2(134) % Pendidikan Formal (X1.1) Lulus SD Lulus SMP SMU PT 90 28 13 9 64.28 20.00 9.29 6.43 87 26 19 2 64.93 19.40 14.18 1.49 Pendidikan Non

Formal (X1.2) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 128 1 3 8 91.43 0.71 2.14 5.72 95 0 16 23 70.90 0.00 11.94 17.16 Etos Kerja (X1.3) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 24 72 43 1 17.14 51.43 30.72 0.71 9 53 37 35 6.72 39.55 27.61 26.12 Kekosmopolitan (X1.4) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 132 2 3 3 94.29 1.43 2.14 2.14 130 1 3 0 97.01 0.75 2.24 0.00 Pengalaman Usaha (X1.5) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 78 49 10 3 55.71 35.00 7.14 2.15 73 55 6 0 54.48 41.04 4.48 0.00 Rataan Skor

Faktor Internal Petani (X1) Bondowoso Pasu ruan

Perbedaan Pendidikan Formal

Slang Skor (3-16) tahun 7.7 7.6 0.1

Pendidikan Non Formal

Slang Skor (0-100) persen 7.4 25.1 17.7** Etos Kerja

Slang Skor (3-9) jam 5.9 6.5 0.6

Kekosmopolitan

Slang Skor (4-200) km 15.7 9.7 6.0

Pengalaman Usaha

Slang Skor (2-50) tahun 13.9 14.0 0.1

Keterangan:

ƒ Kriteria (Pendidikan Non Formal) Sangat Rendah: skor 0-25, Rendah: skor 26-50, Sedang: skor 51-75, Tinggi: skor 76-100

ƒ Kriteria (Etos Kerja) Sangat Rendah: skor 3-4.5, Rendah: skor 4.6-6.0, Sedang: skor 6.1-7.5, Tinggi: skor 7.6-9.0

ƒ Kriteria (Kosmopolitan) Sangat Rendah: skor 4-53, Rendah: skor 54-102, Sedang: skor 103-151, Tinggi: skor 152-200

ƒ Kriteria (Pengalaman Usaha) Sangat Rendah: skor 2-14, Rendah: skor 15-26, Sedang: skor 27-38, Tinggi: skor 39-50

(12)

Terdapat perbedaan yang sangat nyata antara pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh petani di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso mengikuti pendidikan non formal atau kegiatan penyuluhan dalam dua tahun terakhir adalah sangat rendah, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mengikuti pendidikan non formal dalam dua tahun terakhir adalah rendah. Hasil wawancara dengan petani sayuran diketahui bahwa di Kabupaten Bondowoso dalam dua tahun terakhir pernah ada penyuluhan sebanyak dua kali, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mendapatkan penyuluhan secara rutin tiap bulan.

Rendahnya tingkat pendidikan non formal yang ditempuh oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan menyebabkan petani sayuran tidak dapat mengembangkan kemampuannya dalam berusahatani. Berdasarkan pengamatan di lapang petani sayuran melakukan cara budidaya tanaman secara turun temurun dari orang tua mereka dan tidak berani mencoba cara-cara baru yang dapat meningkatkan hasil produksi mereka, sehingga hasil produksi mereka dari tahun ke tahun tetap dan bahkan cenderung turun. Untuk itu petani sayuran perlu diberi kesempatan untuk meningkatkan pendidikannya melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan, kursus pertanian, dan magang ke petani yang lebih maju dalam usahataninya. Melalui pendidikan, petani sayuran dapat diubah perilakunya (pengetahuan dan keterampilannya) kearah yang modern, yang dapat menjadikan petani terbuka terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan ke masa depan, mempunyai kesanggupan untuk merencanakan usahataninya dengan baik sehingga petani dapat lebih mandiri dalam melaksanakan usahataninya. Hasil penelitian Inkeles dan Smith (Budiman, 1996:35) menemukan bahwa pendidikan memberikan hasil yang paling efektif untuk mengubah perilaku manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kemudian, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara ke dua yang efektif untuk mengubah perilaku manusia.

Etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau suatu umat terhadap kerja. Kalau pandangan dan sikap itu melihat kerja sebagai hal yang luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja itu akan tinggi; sebaliknya, kalau

(13)

melihat kerja sebagai suatu hal tak berarti untuk kehidupan manusia maka etos kerja menjadi rendah. Orang-orang yang mempunyai etos kerja tinggi, cenderung menyukai pekerjaan dan memperoleh kepuasan darinya (Anoraga, 1992:11). Menurut Soesarsono dan Sarma (2004:18), ”etos kerja lebih” adalah: (1) tiba dan memulai kerja lebih awal, (2) bekerja dengan lebih tertib dan seksama, (3) bekerja dengan lebih bersemangat dan gairah, (4) bekerja dengan lebih cekatan dan cepat selesai, (5) bekerja dengan waktu (durasi) lebih lama dari jam kerja, dan (6) hasil kerja lebih banyak dan lebih bermutu. Dalam penelitian ini yang dimaksud etos kerja adalah waktu yang dicurahkan petani untuk bekerja dalam usahataninya.

Petani sayuran di Kabupaten Bondowoso memiliki etos kerja yang rendah dan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan memiliki etos kerja yang sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa petani sayuran belum melakukan pekerjaan usahataninya secara maksimal dan profesional. Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa petani sayuran telah bekerja di lahan usahataninya mulai jam 06.00 pagi sampai jam 11 siang, kemudian sebagian petani sayuran masih melanjutkan pekerjaan usaha-taninya pada sore hari, yaitu dari jam 15.00 sampai jam 17.00. Dilihat dari jam kerja yang telah dicurahkan oleh petani sayuran untuk mengerjakan usahataninya masih dapat ditingkatkan, dan juga perlu dicari cara untuk meningkatkan kualitas dari jam kerja yang telah dicurahkan petani sayuran tersebut, agar hasil usahataninya semakin meningkat. Puspadi (2003:120) menyatakan bahwa etos kerja merupakan penentu konsep profesional, dan etos kerja individu atau kelompok, tidak dominan ditentukan oleh faktor budaya yang dianut oleh individu bersangkutan tetapi juga ditentukan oleh struktur ekonomi, sosial dan politik yang berlaku dalam masyarakat.

Tingkat kosmopolitan adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Kekosmopolitan dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Tingkat kosmopolitan petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan adalah rendah. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso menempuh perjalanan untuk mencari informasi sejauh 15.7 km, sedang petani di Kabupaten Pasuruan menempuh perjalanan sejauh 9.7 km. Perbedaan jarak tempuh antara petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan

(14)

Kabupaten Pasuruan dalam mencari informasi disebabkan oleh karena petani sayuran di Kabupaten Bondowoso jauh dari lokasi sentra tanaman sayuran di Jawa Timur, sedangkan petani sayuran di Pasuruan lebih dekat dengan sentra tanaman sayuran di Jawa Timur. Petani sayuran di Kabupaten Pasuruan dekat dengan sentra tanaman sayuran di Kabupaten Pasuruan sendiri seperti: Kecamatan Tosari, dan Kecamatan Tutur, dan dekat dengan sentra tanaman sayuran di Kabupaten Malang. Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa petani sayuran di Kabupaten Bondowoso bepergian keluar desanya untuk memperoleh informasi tentang usahataninya sampai ke daerah Probolinggo, Pasuruan, dan Malang. Sifat kekosmopolitan yang rendah bagi petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan menyebabkan proses adopsi inovasi menjadi rendah, ini terbukti dengan rendahnya tingkat produktivitas usahatani yang dicapai oleh mereka. Mardikanto (1993:75) menyatakan bahwa bagi warga masyarakat yang relatif lebih kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat, tetapi bagi yang lebih ”localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih ”baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri.

Pengalaman usaha adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani, yaitu memperoleh produksi yang tinggi. Jadi pengalaman usaha dalam kaitannya dengan petani adalah sesuatu yang pernah dialami, dijalani, dirasakan, dan ditanggung oleh petani dalam menjalankan kegiatan usahataninya dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani, yaitu memperoleh produksi yang tinggi.

Pengalaman usaha petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan adalah rendah. Rata-rata petani di Bondowoso berpengalaman dalam berusahatani sayuran selama 13.9 tahun, sedangkan rata-rata pengalaman petani sayuran di Pasuruan adalah 14.0 tahun. Bila dihubungkan dengan rata-rata umur petani pada Tabel 13, maka petani sayuran di Kabupaten

(15)

Bondowoso dan di Kabaupaten Pasuruan mulai berusahatani sayuran pada umur 28 tahun dan 30 tahun.

Berdasarkan wawancara mendalam dengan petani responden, diketahui bahwa petani di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan beralih menjadi petani sayuran setelah mereka mengalami pemutusan hubungan kerja dengan tempat kerja mereka sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan rendahnya tingkat kemampuan petani dalam melakukan usahataninya, yang akhirnya akan mengurangi tingkat keberhasilan dalam berusahatani. Pengalaman berusahatani merupakan salah satu penentu keberhasilan petani dalam melaksanakan usahataninya.

Kegiatan Penyuluhan

Secara harfiah, kegiatan penyuluhan diartikan sebagai aktivitas atau usaha mengubah perilaku petani, agar mereka tahu, mau, dan mampu melaksanakan perubahan-perubahan dalam usahataninya demi tercapainya peningkatan produksi, keuntungan, dan perbaikan kesejahteraan keluarganya. Penyuluhan pertanian merupakan suatu bentuk pendidikan yang cara (metode), bahan (materi), dan sasarannya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan-kepentingan baik sasaran, waktu, dan tempat (Kartasapoetra, 1991:3). Kegiatan penyuluhan diukur berdasarkan kesesuaian materi penyuluhan, kesesuaian metode penyuluhan, kesesuian media yang digunakan dalam penyuluhan, frekuensi interaksi petani dengan penyuluh dan kemampuan penyuluh dalam memberikan materi penyuluhan. Kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh terhadap petani sayuran baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18.

Materi penyuluhan adalah segala sesuatu yang disampaikan/diajarkan ke petani pada saat penyuluhan. Penyampaian materi yang baik ialah dengan mempertimbangkan kebutuhan petani sasaran. Agar materi penyuluhan sesuai dengan kebutuhan petani sayuran, maka perencanaan materi yang akan disuluhkan disusun bersama-sama dengan petani sayuran.

(16)

Tabel 18. Sebaran Responden Menurut Kegiatan Penyuluhan Kabupaten

Bondowoso Pasuruan Kegiatan Penyuluhan

(X2) Kategori n1(140) % n2(134) %

Materi Penyuluhan (X2.1) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 72 16 48 4 51.43 11.43 34.28 2.86 19 42 60 13 14.18 31.34 44.78 9.70 Metode Penyuluhan (X2.2) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 55 28 51 6 39.29 20.00 36.43 4.28 14 48 59 13 10.45 35.82 44.03 9.70 Media Penyuluhan (X2.3) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 73 7 56 4 52.14 5.00 40.00 2.86 46 41 16 31 34.33 30.60 11.94 23.13 Frekuensi Interaksi Petani

dengan Penyuluh (X2.4) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 93 42 5 0 66.43 30.00 3.57 0.00 120 14 0 0 89.55 10.45 0.00 0.00 Kemampuan

Penyuluh (X2.5) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 72 18 47 3 51.43 12.85 33.57 2.15 25 23 50 36 18.66 17.16 37.31 26.87 Rataan Skor

Slang Skor (0-100) persen Bondowoso Pasuruan Perbedaan Materi Penyuluhan (X2.1) 32.8 50.5 17.7** Metode Penyuluhan (X2.2) 35.2 51.0 15.8** Media Penyuluhan (X2.3) 30.5 45.8 15.3** Frekuensi Interaksi Petani dengan

Penyuluh (X2.4)

19.5 15.3 4.2* Kemampuan Penyuluh (X2.5) 32.0 53.1 21.1**

Keterangan:

ƒ Bws = Bondowoso; Psr = Pasuruan

ƒ Kriteria Sangat Rendah: skor 0-25, Rendah: skor 26-50, Sedang: skor 51-75, Tinggi: skor 76-100 ƒ ** Berdasarkan uji beda rata-rata antara Bondowoso dan Pasuruan nyata pada α 0.01

* Berdasarkan uji beda rata-rata antara Bondowoso dan Pasuruan nyata pada α 0.05

Tabel 18 tampak bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara pemahaman terhadap materi penyuluhan oleh petani sayuran di Kabupaten Pasuruan dan di Kabupaten Bondowoso. Pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh di Kabupaten Bondowoso adalah rendah, sedangkan pemahaman terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh di Kabupaten Pasuruan adalah sedang. Rendahnya tingkat pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh di Kabupaten Bondowoso disebabkan oleh sedikitnya penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh kepada petani sayuran.

(17)

Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui bahwa selama penelitian berlangsung tidak ada aktivitas penyuluhan oleh penyuluh. Informasi lebih lanjut yang digali dari responden yang menjadi target penelitian mendalam, diketahui bahwa dalam dua tahun terakhir hanya ada dua kali penyuluhan, dimana penyuluhan pertama membicarakan tentang budidaya tanaman kentang, dan penyuluhan ke dua membicarakan tentang pembuatan pupuk bokasi. Pada penyuluhan pertama maupun ke dua hanya melibatkan beberapa orang petani sayuran. Menurut informasi pemilihan petani tersebut didasarkan pada kedekatan penyuluh dengan petani sayuran, sedangkan petani sayuran yang tidak mempunyai hubungan dekat dengan penyuluh tidak pernah memperoleh undangan untuk mengikuti penyuluhan. Penyebab lain dari rendahnya pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh adalah ketidak-sesuaian antara materi yang disampaikan oleh penyuluh dengan keinginan petani sayuran, petani sayuran belum pernah menanam tanaman kentang, tanaman utama petani adalah sayuran yang banyak dibutuhkan oleh konsumen di sekitar Kabupaten Bondowoso, seperti Buncis, Tomat Mawar, Sawi, dan Kubis. Sehingga minat petani untuk memahami materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh rendah. Wawancara mendalam dengan petani responden diperoleh informasi bahwa penyuluhan dengan materi tanaman Kentang adalah atas pesanan pemilik modal, sehingga penyuluhan tersebut didasarkan atas proyek, bukan atas kebutuhan petani sayuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjitropranoto (2003:99) yang menyatakan bahwa dalam tiga dekade terakhir materi penyuluhan pertanian didominasi oleh upaya agar petani mau dan mampu menerapkan teknologi yang dianjurkan dalam rangka program/proyek intensifikasi guna mencapai target produksi tertentu. Seharusnya materi penyuluhan pertanian harus disesuaikan dengan fungsinya dan tidak dibatasi hanya pada teknologi pertanian yang dianjurkan dan informasi yang berkaitan dengan teknologi tersebut, tetapi harus seluas mungkin sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan aspirasi, inisiatif, kreativitas, inovasi dan wawasan dalam menyelenggarakan usaha pertanian secara luas termasuk pengolahan, penyimpanan, pengkemasan, transportasi dan pemasaran hasil usaha.

(18)

Tingginya pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh di Kabupaten Pasuruan disebabkan oleh kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan petani sayuran. Saat ini petani sayuran dihadapkan pada tingginya harga pupuk setelah subsidi pupuk tersebut dicabut oleh pemerintah. Untuk memupuk tanaman sayurannya, petani di Kabupaten Pasuruan menggunakan pupuk Urea dan pupuk lengkap (NPK), dimana untuk pupuk NPK saat ini harganya mencapai Rp 5.000,- per kilogram. Harga pupuk NPK tersebut memberatkan bagi petani sayuran, sehingga sebagian besar petani sayuran tidak mampu untuk membelinya. Pada saat petani sayuran dihadapkan pada tingginya harga pupuk dan ketidakmampuan untuk membelinya, penyuluh datang dengan mengadakan penyuluhan dan memberikan praktikum tentang pembuatan pupuk bokasi, dimana praktikum pembuatan pupuk bokasi tersebut merupakan alternatif/ solusi pemecahan masalah bagi petani sayuran untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pupuk, sehingga minat petani sayuran untuk mengikuti penyuluhan sangat besar.

Metode penyuluhan merupakan cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis hingga materi penyuluhan dapat dimengerti dan diterima petani sasaran (Ibrahim dkk., 2003:24). Cara penyuluh menyampaikan materi penyuluhan, akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pemahaman petani terhadap materi yang disampaikan oleh penyuluh tersebut.

Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 140 orang petani responden di Kabupaten Bondowoso sebagian besar (39.29 persen) pemahaman petani sayuran terhadap cara penyuluh menyampaikan materi penyuluhannya berada pada kategori rendah, dan dari 134 orang petani responden di Kabupaten Pasuruan sebagian besar (44.03 persen) pemahaman petani sayuran terhadap cara penyuluh menyampaikan materi penyuluhannya berada pada kategori sedang. Cara penyuluh menyampaikan materi penyuluhan memberikan pemahaman sebesar 35.2 persen di Kabupaten Bondowoso, lebih rendah jika dibandingkan dengan Kabupaten Pasuruan dimana petani sayuran dapat memahami materi penyuluhan sebesar 51.0 persen.

Rendahnya pemahaman materi penyuluhan oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso disebabkan penggunaan metode penyuluhan oleh

(19)

penyuluh yang cenderung tetap. Berdasarkan informasi dari petani, pada beberapa kali penyuluhan yang dilakukan, penyuluh selalu menggunakan metode ceramah dan diskusi. Tingginya pemahaman materi penyuluhan oleh petani sayuran di Kabupaten Pasuruan disebabkan penggunaan berbagai metode penyuluhan oleh penyuluh pada saat melakukan penyuluhan. Pada saat melakukan penyuluhan, penyuluh mengkombinasikan beberapa metode penyuluhan, yaitu metode ceramah, diskusi, dan metode praktek. Dengan penggunaan berbagai metode tersebut, petani sayuran lebih dapat memahami materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh. Penyampaian materi penyuluhan oleh penyuluh dengan metode ceramah hanya sebagian kecil yang mampu diingat dan dipahami oleh petani sayuran, materi penyuluhan akan mampu diingat dan dipahami oleh petani sayuran bila menggunakan metode ceramah, diskusi, dan metode praktek. Hal ini sesuai dengan pendapat Garnadi (1971:19) yang menyatakan bahwa daya tangkap/serap petani mengenai materi penyuluhan adalah: 20 persen jika hanya melalui telinga atau mendengar, 30 persen jika hanya melalui mata atau melihat, 60 persen jika melalui telinga dan mata, dan 75 persen jika menggunakan alat bantu penyuluhan. Pendapat Garnadi tersebut menunjukkan bahwa petani sayuran belajar lebih banyak, belajar lebih cepat dan mengingat pelajaran lebih lama, jika penyuluh menggunakan berbagai metode penyuluhan dalam setiap kali melakukan

penyuluhan. Media penyuluhan adalah alat-alat atau perlengkapan penyuluhan yang

diperlukan oleh seorang penyuluh guna memperlancar proses mengajarnya selama kegiatan penyuluhan itu dilaksanakan (Mardikanto, 1993:145). Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar (52.14 persen) penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani sayuran di Kabupaten Bondowoso, dan sebagian besar (34.33 persen) penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani sayuran di Kabupaten Pasuruan tidak mempergunakan media atau berada pada kategori rendah. Pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan dengan tanpa menggunakan media penyuluhan di Kabupaten Bondowoso adalah relatif rendah (rataan skor 30.5 persen), lebih rendah jika dibandingkan dengan Pemahaman petani sayuran terhadap materi penyuluhan dengan tanpa menggunakan media penyuluhan di Kabupaten Pasuruan yaitu sebesar 45.8

(20)

persen. Media penyuluhan bila dipergunakan dalam penyuluhan dapat membantu meningkatkan pemahaman petani terhadap materi penyuluhan yang disampaikan. Namun demikian, penyuluh baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan tidak pernah menggunakan media penyuluhan dalam kegiatan penyuluhannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penyuluh, penyuluh menyadari tentang pentingnya media penyuluhan dalam melakukan penyuluhan namun penyuluh tidak mempunyai anggaran khusus untuk pengadaan media penyuluhan.

Frekuensi interaksi antara petani dengan penyuluh adalah tingkat intensitas bertemunya petani dengan penyuluh, untuk mendapatkan informasi tentang usahataninya. Frekuensi interaksi antara petani dengan penyuluh diukur ber-dasarkan seringnya petani mencari penyuluh untuk memperoleh informasi dalam satu musim. Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar (66.43 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan sebagian besar (89.55 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan frekuensi interaksi antara petani dengan penyuluh ada pada kategori rendah. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso (rataan skor 19.5 persen) dan rata-rata petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 15.3 persen) jarang mencari atau menemui penyuluh pada saat menghadapi kesulitan dalam usahataninya.

Berdasarkan pengamatan di lapang diketahui bahwa petani sayuran lebih suka mencari atau datang pada orang lain (petani sayuran lainnya) untuk bertanya tentang masalah yang dihadapi dalam usahataninya daripada datang ke penyuluh. Penyebabnya adalah bahwa sebagian besar waktu petani sayuran dihabiskan untuk mengelola usahataninya, sehingga interaksi petani lebih sering terjadi dengan sesama petani sayuran lainnya. Hanya pada waktu-waktu tertentu petani sayuran datang ke agen sarana produksi, dimana pada saat datang ke agen sarana produksi tersebut tujuan utama petani adalah untuk membeli sarana produksi, sekaligus bertanya tentang masalah yang dihadapi. Penyebab lainnya adalah penyuluh di Kabupaten Bondowoso dan Pasuruan bertempat tinggal di luar kecamatan, hanya pada saat jam kerja penyuluh datang ke kecamatan atau hanya sesekali datang ke desa dan ke petani sayuran, dimana pada waktu yang sama petani juga menjalankan aktivitasnya di tempat usahataninya. Agar petani sayuran dapat

(21)

menjadikan penyuluh sebagai tujuan utama untuk memperoleh informasi guna menyelesaikan masalah yang dihadapi, maka kehadiran penyuluh di dekat petani sayuran sangat diperlukan. Untuk mendekatkan penyuluh dengan petani sayuran, sesuai dengan amanat Undang-undang 16 tahun 2006, tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, maka pos penyuluhan di tingkat desa perlu segera dibentuk.

Kemampuan (ability) adalah kecakapan individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan (Robbins, 2001:45-48). Kemampuan penyuluh dalam memberikan materi usahatani sayuran sangat diperlukan, petani dapat memahami materi penyuluhan yang disampaikan bila penyuluh dapat mengkomunikasikan materi tersebut dengan baik. Semakin tinggi kemampuan penyuluh dalam menyampaikan materi penyuluhan, maka semakin mudah petani memahami materi penyuluhan. Kemampuan penyuluh dalam memberikan materi usahatani sayuran diukur berdasarkan tingkat pemahaman petani terhadap materi yang disampaikan oleh penyuluh.

Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar (51.43 persen) kemampuan penyuluh dalam memberikan materi penyuluhan kepada petani sayuran di Kabupaten Bondowoso adalah rendah, dan sebagian besar (37.31 persen) kemampuan penyuluh dalam memberikan materi penyuluhan kepada petani sayuran di Kabupaten Pasuruan adalah sedang. Rata-rata kemampuan penyuluh dalam menyampaikan materi penyuluhan di Kabupaten Bondowoso (rataan skor 32.0 persen) adalah rendah, lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pemahaman petani terhadap materi penyuluhan yang disampaikan oleh penyuluh di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 53.1 persen). Berdasarkan data pada Tabel 18 diketahui bahwa kemampuan penyuluh adalah rendah, hal ini disebabkan oleh latar belakang keahlian yang dimiliki oleh penyuluh baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan adalah non sayuran. Dari hasil wawancara dengan penyuluh diketahui bahwa keahlian yang merela miliki adalah tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, dan budidaya ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Padmowihardjo (2004: 46) yang menyatakan bahwa pada umumnya penyuluh pertanian yang ada sekarang tidak menguasai usahatani sayuran, karena hampir semua penyuluh adalah berasal dari penyuluh pertanian di

(22)

bidang produksi, terutama produksi pangan sebagai realisasi dari revolusi hijau di Indonesia.

AksesInformasi

Akses informasi adalah usaha petani untuk mencari informasi yang ada kaitannya dengan usahataninya. Menurut Slamet (2001:6), informasi adalah bahan mentah untuk menjadi pengetahuan, dan pengetahuan itu sangat diperlukan untuk bisa mempertahankan hidupnya, apalagi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Dunia petani tidak lagi sebatas desanya, tetapi sudah meluas ke semua daerah di negaranya bahkan ke manca negara. Oleh karena itu, para petani juga semakin memerlukan informasi tentang dunianya yang semakin luas. Informasi yang diperlukan oleh petani adalah informasi baru tentang segala hal yang berkaitan dengan usahataninya, seperti: informasi baru tentang teknologi budidaya pertanian, tentang sarana produksi, permintaan pasar, cuaca, serangan hama dan penyakit, dan berbagai alternatif usahatani lainnya. Akses informasi dalam penelitian ini didasarkan atas usaha petani untuk mencari informasi yang ada kaitannya dengan usahataninya, yang meliputi usaha petani mencari informasi kepada sesama petani, ke tokoh masyarakat, agen sarana produksi, dan melalui media massa. Hasil pengukuran terhadap akses informasi disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (50.71 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso, dan sebagian besar (58.21 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mencari informasi usahatani ke sesama petani adalah rendah. Sumber informasi yang paling dekat dengan petani sayuran adalah petani sayuran lain yang telah berhasil di dalam usahataninya. Petani sayuran yang berhasil adalah petani sayuran yang dapat menghasilkan produk yang tinggi pada setiap menjalankan usahatani, yang juga bisa memperoleh keuntungan yang tinggi dalam setiap usahatani. Petani sayuran lebih suka mencari informasi kesesama petani sayuran yang ada disekitarnya oleh karena sumber informasi tersebut selalu tersedia pada saat diperlukan, petani sayuran tidak perlu bepergian untuk mendapatkan informasi, dan petani dapat pergi ke lahan bersama-sama dengan petani sayuran lainnya sambil bertukar informasi. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa informasi yang dicari dan dipertukarkan oleh petani sayuran

(23)

adalah informasi yang bersifat sederhana dan merupakan masalah sehari-hari petani sayuran, seperti cara budidaya sayuran, harga sarana produksi, harga produk, dan kemana petani sayuran tersebut dapat menjual produknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjitropranoto (2003:100-101) yang menyatakan bahwa sumber informasi yang paling dekat dengan petani adalah petani lain yang telah berhasil menerapkan teknologi dan atau memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber informasi. Petani yang berhasil tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi petani lain karena kedekatan, keakraban, dan kesamaan cara pandang mereka terhadap sesuatu masalah.

Tabel 19. Sebaran Responden Menurut Akses Informasi Kabupaten

Bondowoso Pasuruan Akses Informasi

(X3) Kategori n1(140) % n2(134) %

Antar Petani (X3.1) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 32 71 34 3 22.86 50.71 24.28 2.15 24 78 31 1 17.91 58.21 23.13 0.75 Tokoh Masyarakat (X3.2) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 82 46 11 1 58.57 32.86 7.86 0.71 69 62 3 0 51.49 46.27 2.24 0.00 Agen Saprodi (X3.3) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 30 66 41 3 21.43 47.14 29.28 2.15 52 55 27 0 38.81 41.04 20.15 0.00 Media Massa (X3.4) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 76 55 9 0 54.29 39.28 6.43 0.00 77 56 1 0 57.46 41.79 0.75 0.00 Rataan Skor

Selang Skor (0-100) persen Bondowoso Pasuruan Perbedaan

Antar Petani (X3.1) 38.4 37.5 0.9

Tokoh Masyarakat (X3.2) 22.9 25.9 3.0

Agen Saprodi (X3.3) 40.8 32.3 8.5**

Media Massa (X3.4) 22.4 20.7 1.7

Keterangan:

ƒ Kriteria Sangat Rendah: skor 0-25, Rendah: skor 26-50, Sedang: skor 51-75, Tinggi: skor 76-100 ƒ ** Berdasarkan uji beda rata-rata antara Bondowoso dan Pasuruan nyata pada α 0.01

Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang dalam kehidupan di desa mampu mempengaruhi penduduk berkat pengakuan atas kepemimpinannya yang banyak dilandasi oleh kharisma, sifat pribadi, kepeduliannya terhadap desa dan penduduknya serta memiliki kualifikasi dalam bidang tertentu. Dukungan tokoh masyarakat terhadap usahatani yang dilakukan oleh petani sayuran dibatasi pada

(24)

kesediaan tokoh masyarakat tersebut untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh petani.

Dukungan tokoh masyarakat terhadap kegiatan usahatani baik di Kabupaten Bondowoso maupun di Kabupaten Pasuruan adalah rendah. Rata-rata dukungan tokoh masyarakat terhadap usahatani petani sayuran di Kabupaten Bondowoso sangat rendah (rataan skor 22.9 persen), lebih rendah dibandingkan dengan dukungan tokoh masyarakat terhadap usahatani petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 25.9 persen). Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (58.57 persen) petani sayuran di Bondowoso dan sebagian besar (51.49 persen) petani sayuran di Pasuruan memperoleh dukungan tokoh masyarakat terhadap usaha yang dilakukan petani sayuran ada pada kategori sangat rendah. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani responden didapat informasi bahwa orang yang dituakan (tokoh masyarakat) baik di lingkungan petani sayuran di Kabupaten Bondowoso maupun di lingkungan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mempunyai pengetahuan yang terbatas tentang pertanian, utamanya pengetahuan dalam budidaya tanaman sayuran, sehingga petani sayuran tidak dapat memperoleh informasi usahatani dari tokoh masyarakat tersebut.

Sumber informasi lain disamping ke sesama petani sayuran dan ke tokoh masyarakat yang menjadi tujuan petani untuk mencari informasi adalah agen sarana produksi. Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar (47.14 persen) usaha petani sayuran untuk mencari informasi usahatani ke agen sarana produksi di Kabupaten Bondowoso, dan sebagian besar (41.04 persen) usaha petani sayuran untuk mencari informasi usahatani ke agen sarana produksi di Kabupaten Pasuruan ada pada kategori rendah. Petani sayuran di Kabupaten Bondowoso lebih sering (rataan skor 40.8 persen) mencari informasi ke agen sarana produksi dibanding dengan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 32.3 persen). Petani mencari informasi tentang usahatani sayuran ke agen sarana produksi pada saat mereka mencari atau membeli bahan-bahan seperti pupuk dan obat-obatan. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa petani sayuran di Kabupaten Bondowoso mempunyai kebiasaan untuk membeli sarana produksi sesuai dengan kebutuhan pada saat sarana produksi tersebut diperlukan atau digunakan, sedangkan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan lebih senang

(25)

membeli sarana produksi dalam jumlah besar, sehingga petani sayuran di Kabupaten Bondowoso lebih sering pergi ke agen sarana produksi pada saat mereka memerlukan bahan-bahan untuk usahataninya. Hal ini mengakibatkan petani sayuran sering datang dan sering berinteraksi dengan agen sarana produksi dan sekaligus memanfaatkannya untuk mencari informasi usahatani. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani responden juga diketahui bahwa petani sayuran di Kabupaten Bondowoso sengaja membeli sarana produksi sedikit demi sedikit dengan harapan mereka lebih sering dapat datang ke agen sarana produksi sekaligus untuk mencari informasi usahatani (utamanya harga produk), sehingga petani sayuran dalam menjual produk usahataninya sudah mengetahui dengan pasti harga hasil usahataninya.

Sumber informasi lainnya adalah media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Dari Tabel 19 diketahui bahwa sebagian besar petani sayuran di Kabupaten Bondowoso (54.29 persen) dan sebagian besar (57.46 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan memiliki kemampuan untuk membaca media massa dan mendengarkan serta menonton media elektronik ada pada kategori sangat rendah. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso menggunakan waktunya untuk membaca koran dan mendengarkan serta menonton media elektronik dalam satu musim adalah sebesar 22.4 persen, sedangkan rata-rata petani sayuran di Kabupaten Pasuruan adalah sebesar 20.7 persen.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa akses untuk memperoleh koran bagi petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan relatif sulit, hal ini disebabkan oleh jarak tempuh untuk mendapatkan koran bagi petani sayuran di Kabupaten Bondowoso adalah 32 km dari kota Kabupaten, sedangkan di Pasuruan adalah sekitar 17 km dari kecamatan Lawang di Kabupaten Malang, namun kedua daerah penelitian tersebut terpencil. Temuan pada saat wawancara dilakukan, dari rumah tangga petani di Kabupaten Bondowoso lebih banyak yang memiliki televisi dan radio dibanding di Kabupaten Pasuruan, sehingga akses informasi petani di Kabupaten Bondowoso baik melalui media cetak maupun media elektronik menjadi lebih baik. Dari data pada Tabel 19 tersebut diketahui bahwa petani sayuran secara terbatas telah memanfaatkan berbagai sumber informasi untuk memenuhi kebutuhan

(26)

usahataninya, hal ini sesuai dengan pendapat van den Ban dan Hawkins (1999:43-45) yang menyatakan bahwa petani menggunakan sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan untuk mengelola usahatani mereka, dan pengetahuan baru itu dikembangkan tidak hanya oleh lembaga penelitian, tetapi juga oleh banyak pelaku yang berbeda. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mengelola usahataninya dengan baik, petani memanfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi, yang meliputi: (1) petani-petani lain; (2) organisasi penyuluhan milik pemerintah; (3) perusahaan swasta yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli hasil pertanian; (4) agen pemerintah yang lain, lembaga pemasaran dan politisi; (5) organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya; (6) jurnal usahatani, radio, televisi, dan media massa lainnya; dan (7) konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan.

Faktor Eksternal Petani

Faktor eksternal petani adalah faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh petani. Oleh karena berada di luar kendalinya maka perilaku faktor eksternal dianggap ”given.” Faktor eksternal petani dalam penelitian ini meliputi lingkungan sosial, pelatihan, partisipasi petani pada kegiatan kelompoktani, dan insentif produksi. Hasil pengukuran terhadap faktor eksternal petani disajikan pada Tabel 20.

Lingkungan sosial adalah daerah atau kawasan dimana masyarakat tinggal dan berinteraksi. Lingkungan sosial dapat berupa nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat di lingkungan sosial tersebut. Dalam penelitian ini lingkungan sosial dibatasi pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar (52.14 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan sebagian besar (39.55 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan masih cukup kuat dalam mempertahankan dan menjunjung norma yang berlaku di masyarakat. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso lebih taat terhadap norma yang berlaku di masyarakat dengan rataan skor (52.4 persen) dibanding dengan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan yang menunjukkan skor (45.5 persen). Hasil pengamatan

(27)

di lapang menunjukkan bahwa sistem nilai yang berlaku dan masih ditaati oleh masyarakat di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan terbatas pada: datang pada kiyai untuk menanyakan waktu bertanam yang terbaik untuk usahataninya, berkirim doa pada leluhur pada saat akan memulai tanam, dan menyajikan sesaji berupa bubur merah dan putih pada saat akan panen. Petani yakin bila ritual tersebut dilakukan usahataninya akan berhasil.

Tabel 20. Sebaran Responden Menurut Faktor Eksternal Petani Kabupaten

Bondowoso Pasuruan Faktor Eksternal

Petani (X4) Kategori n1(140) % n2(134) % Pengaruh Norma (X4.1) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 4 54 73 9 2.86 38.57 52.14 6.43 26 46 53 9 19.40 34.33 39.55 6.72 Pelatihan (X4.2) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 9 16 43 72 6.43 11.43 30.71 51.43 23 26 71 14 17.16 19.40 52.99 10.45 Keberadaan Petani dalam

Kegiatan Kelompoktani (X4.3) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 56 17 60 7 40.00 12.14 42.86 5.00 60 31 34 9 44.78 23.13 25.37 6.72 Insentif Produksi (X4.4) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 11 107 21 1 7.86 76.43 15.00 0.71 2 69 52 11 1.49 51.49 38.81 8.21 Rataan Skor

Selang Skor (0-100) persen Bondowoso Pasuruan Perbedaan

Pengaruh Norma (X4.1) 52.4 45.5 6.9**

Pelatihan (X4.2) 71.7 52.2 19.5**

Keberadaan Petani dalam Kegiatan Kelompoktani (X4.3)

41.4 35.3 6.1

Insentif Produksi (X4.4) 38.1 50.5 12.4**

Keterangan:

ƒ Kriteria Sangat Rendah: skor 0-25, Rendah: skor 26-50, Sedang: skor 51-75, Tinggi: skor 76-100 ƒ ** Berdasarkan uji beda rata-rata antara Bondowoso dan Pasuruan nyata pada α 0.01

Pelatihan merupakan upaya untuk meningkatkan kecakapan petani dalam melaksanakan suatu pekerjaannya, dan pelatihan itu sendiri harus dapat menimbulkan perubahan diri bagi orang yang dilatihnya. Latihan dan pengembangan petani merupakan langkah akhir dalam upaya menjamin petani memiliki pengetahuan, keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan usahataninya (Departemen Pertanian, 2006:7). Petani memerlukan adanya pelatihan yang ada kaitannya dengan usahatani sayuran mereka. Tabel 20

(28)

menunjukkan bahwa sebagian besar (51.43 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso memiliki keinginan yang tinggi untuk mengikuti pelatihan usahatani, sedangkan sebagian besar (52.99 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan memiliki keinginan atau minat yang sedang untuk mengikuti pelatihan. Minat petani untuk mengikuti pelatihan di Kabupaten Bondowoso lebih kuat (rataan skor 71.4 persen) dibandingkan minat petani di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 52.2 persen). Tingginya minat petani sayuran untuk mengikuti pelatihan tentang usahatani mengindikasikan bahwa petani masih mempunyai keinginan untuk meningkatkan cara-cara usahatani yang telah dikuasainya dengan maksud untuk meningkatkan produksi usahataninya dan meningkatkan pendapatan usahatninya.

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu dua tahun terakhir tidak ada kegiatan pelatihan yang ditawarkan dan diikuti oleh petani. Rata-rata petani di Kabupaten Bondowoso dan di Kabupaten Pasuruan menyatakan bahwa mereka pernah mengikuti pelatihan SLPHT lima tahun yang lalu, dimana pelatihan yang pernah diikuti oleh petani sayuran di Kabupaten Bondowoso adalah SLPHT Kopi, sedang petani sayuran di Kabupaten Pasuruan mengikuti pelatihan SLPHT padi. Minat petani sayuran yang tinggi untuk mengikuti pelatihan tentang budidaya tanaman sayuran ditunjukkan pada saat wawancara berlangsung, mereka memanfaatkan waktu wawancara untuk bertanya pada peneliti tentang permasalahan budidaya sayuran yang sering dihadapi dalam usahataninya. Petani sayuran sangat respon terhadap jawaban-jawaban yang diperolehnya, sehingga mereka meminta waktu khusus untuk berdiskusi lebih lanjut. Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani sayuran tentang cara-cara budidaya yang baik cukup besar, agar produksi sayuran petani dapat meningkat, pendapatan petani sayuran juga meningkat, dan akhirnya kesejahteraan petani sayuran dan keluarganya juga meningkat. Untuk mengatasi dan memenuhi keinginan petani sayuran akan pelatihan maka kesiapan petugas di lapangan (utamanya PPL) sangat mendesak. PPL dan unsur masyarakat lainnya yang mempunyai kemampuan untuk memberikan informasi kepada petani diharapkan ada di tengah-tengah petani.

Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa sebagian besar (42.86 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso keberadaannya dalam kegiatan kelompoktani

(29)

ada pada kategori sedang, dan sebagian besar (44.78 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan keberadaannya dalam kegiatan kelompoktani sangat rendah. Rata-rata petani sayuran di Kabupaten Bondowoso (rataan skor 41.4 persen) dan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 35.5 persen) keberadaannya dalam kegiatan kelompoktani adalah rendah. Rendahnya keberadaan petani dalam kegiatan kelompoktani disebabkan oleh informasi yang mereka terima bahwa petani yang bisa menjadi anggota kelompoktani adalah mereka yang tinggal dalam satu kawasan (kampung). Kenyataan dilapang, bahwa kawasan tempat tinggal petani terpisah-pisah karena faktor topografi yaitu daerah berbukit sehingga menyulitkan petani untuk berhimpun dalam satu kelompok. Disamping itu, kelompoktani pada masa lalu sebagian besar dibentuk atas dasar kepentingan pemerintah, tidak atas dasar kebutuhan petani itu sendiri. Akibatnya petani tidak merasa memiliki, dan tidak merasa kebutuhan pelaksanaan usahataninya tercukupi dari kelompoktani tersebut, sehingga petani enggan untuk menjadi anggota kelompoktani.

Insentif produksi adalah tambahan penghasilan yang diberikan kepada produsen agar bergairah untuk bekerja atau berproduksi. Insentif produksi dalam bidang pertanian, diberikan agar petani bergairah dalam menghasilkan produksi pertanian. Termasuk dalam insentif produksi ini adalah: (1) permintaan suatu komoditi pertanian, (2) harga, (3) iklim usaha, dan (4) bunga bank.

Petani dalam mengusahakan tanaman sayuran sudah melihat pada kebutuhan pasar, telah sering memperoleh harga jual yang sesuai bagi produknya, mudah dalam memasarkan hasil produknya, tetapi sedikit sekali petani yang memanfaat-kan pinjaman bank untuk kegiatan usahataninya. Tabel 20 menunjukmemanfaat-kan bahwa sebagian besar (76.43 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan sebagian besar (51.49 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan masuk dalam kategori rendah dalam kesempatan pernah merasakan insentif produksi. Kesempatan menerima insentif produksi petani sayuran di Kabupaten Bondowoso (Rataan skor 38.1 persen) lebih rendah dibandingkan dengan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan (rataan skor 50.5 persen).

Petani di Bondowoso dan di Pasuruan telah melihat pada kebutuhan pasar saat merencanakan dan melaksanakan usahatani. Pada saat merencanakan

(30)

komoditi yang akan ditanam, petani telah melakukan perjalanan baik di dalam desanya maupun keluar desanya untuk mencari informasi tentang kecenderungan petani lain dalam mengusahakan komoditi tanaman. Petani memilih komoditi tertentu untuk diusahakan yang menurut mereka mempunyai peluang memperoleh harga yang tinggi pada saat panen. Usaha petani mencari informasi sebelum menanam ini sebagian memberikan hasil sesuai dengan harapan, sebagian lagi kecewa dengan hasil yang mereka peroleh.

Komoditi sayuran merupakan komoditi yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, dan pada saat berikutnya terjadi penurunan permintaan. Pada saat banyak dibutuhkan komoditi sayur dihargai tinggi, tetapi bila sedikit kebutuhan konsumen maka harga sayuran akan rendah. Selama penelitian berlangsung harga tomat mawar di Kabupaten Bondowoso bergerak sesuai dengan kebutuhan konsumen tersebut. Selama dua minggu berturut-turut harga tomat mawar sangat tinggi, yaitu Rp 9.000,- per kilogram, tetapi pada minggu berikutnya turun menjadi Rp 3.000,- per kilogram. Harga komoditi sayuran, disamping ditetapkan oleh pergerakan penawaran dan permintaan terhadap komoditi tersebut, harga juga ditetapkan oleh banyak sedikitnya tengkulak yang masuk ke daerah petani. Pada saat harga tinggi banyak tengkulak yang masuk ke daerah petani untuk membeli produk usahatani petani, tetapi pada saat harga sayuran murah sedikit tengkulak yang masuk ke daerah petani untuk membeli produk petani, sehingga pada saat harga tinggi petani dapat memilih pembeli yang memberikan harga tertinggi bagi produk usahataninya, namun bila harga murah petani kesulitan dalam memasarkan hasil usahataninya karena sedikit sekali tengkulak yang mau membeli produknya.

Petani sering dihadapkan pada sedikitnya modal yang dimiliki, sehingga petani lebih sering menanam tanaman yang sesuai dengan modal yang dimiliki tersebut, akibatnya banyak petani yang menanam jenis tanaman yang sama pada saat yang bersamaan. Bila petani menanam jenis tanaman yang sama dalam waktu yang bersamaan dan dalam skala yang besar, maka akan terjadi kelebihan produksi pada saat yang bersamaan, sehingga akan menyebabkan harga produk menjadi murah atau bahkan tidak bisa terjual. Untuk mengatasi permasalahan modal tersebut, dan berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan petani

(31)

ditemukan bahwa banyak petani yang datang ke bank perkreditan rakyat untuk meminjam modal. Bank perkreditan rakyat menjadi tujuan petani untuk meminjam modal, karena disamping persyaratan yang diminta sederhana, yaitu berupa Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang dimiliki oleh petani, modal pinjaman bisa didapat pada hari itu juga. Hal ini sesuai dengan kondisi petani sayuran, yaitu biasanya petani datang kepada penyedia dana pada saat petani tidak mempunyai uang lagi. Pemerintah telah menyiapkan pinjaman modal untuk usahatani, yang dapat diakses di BRI. Namun petani tidak memanfaatkan kesempatan tersebut, alasan yang menyebabkan petani enggan untuk meminjam modal ke BRI adalah: adanya persyaratan berupa agunan yang harus dipenuhi agar supaya petani bisa meminjam, adanya tenggang waktu yang cukup lama karena BRI mensyaratkan diberlakukannya survei kepada nasabah sebelum pinjaman tersebut diberikan. Adanya banyak persyaratan yang ditetapkan oleh BRI tersebut, menjadikan petani menjauhi BRI dalam memenuhi kekurangan modal, sebab pada saat dana dikucurkan kebutuhan petani akan tujuan meminjam modal tersebut telah terlewatkan.

Kapasitas Diri Petani

Kapasitas atau kemampuan individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan tidak sama satu sama lainnya. Setiap individu pada hakikatnya mempunyai kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual memainkan peran yang lebih besar dalam pekerjaan rumit yang menuntut persyaratan untuk pemrosesan informasi, sedang kemampuan fisik memiliki makna penting khusus untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut keterampilan. Kapasitas diri petani dalam penelitian ini, diukur berdasarkan tingkat: pengetahuan, keterampilan, sikap mental, rasa percaya diri, komitmen dalam menjalankan usahatani, dan kewiusahaan. Hasil pengukuran terhadap peubah kapasitas diri petani disajikan pada Tabel 21.

Pengetahuan adalah aspek perilaku yang terutama berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan kemampuan mengembangkan intelegensia (Padmowihardjo, 1978:83). Dalam penelitian ini

(32)

yang dimaksud pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani berkenaan dengan hal usahataninya.

Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Kapasitas Diri Petani Kabupaten

Bondowoso Pasuruan Kapasitas Diri

Petani (X5) Kategori n1(140) % n2(134) % Pengetahuan Petani (X5.1) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 0 13 122 5 0.00 9.29 87.14 3.57 0 14 120 0 0.00 10.45 89.55 0.00 Keterampilan Petani (X5.2) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 0 36 99 5 0.00 25.72 70.71 3.57 0 14 108 12 0.00 10.45 80.60 8.95 Sikap Mental (X5.3) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 10 53 60 17 7.14 37.86 42.86 12.14 5 22 74 33 3.73 16.42 55.22 24.63 Percaya Diri (X5.4) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 21 30 71 18 15.00 21.43 50.71 12.86 2 22 62 48 1.49 16.42 46.27 35.82 Komitmen Petani (X5.5) S-Rendah

Rendah Sedang Tinggi 8 106 22 4 5.72 75.71 15.71 2.86 2 65 44 23 1.49 48.51 32.84 17.16 Kewirausahaan (X5.6) S-Rendah Rendah Sedang Tinggi 11 39 72 18 7.86 27.85 51.43 12.86 0 27 78 29 0.00 20.15 58.21 21.64 Rataan Skor

Selang Skor (0-100) persen Bondowoso Pasuruan Perbedaan Pengetahuan Petani (X5.1) 59.7 59.6 0.1 Keterampilan Petani (X5.2) 56.8 61.6 4.8** Sikap Mental (X5.3) 52.2 63.1 10.9** Percaya Diri (X5.4) 53.2 66.9 13.7** Komitmen Petani (X5.5) 46.2 58.7 12.5** Kewirausahaan (X5.6) 55.0 62.6 7.6** Keterangan:

ƒ Kriteria Sangat Rendah: skor 0-25, Rendah: skor 26-50, Sedang: skor 51-75, Tinggi: skor 76-100 ƒ ** Berdasarkan uji beda rata-rata antara Bondowoso dan Pasuruan nyata pada α 0.01

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar (87.14 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan sebagian besar (89.55 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan memiliki tingkat pengetahuan sedang. Tingkat pengetahuan yang telah dicapai oleh petani sayuran baik di Kabupaten Bondowoso maupun petani sayuran di Kabupaten Pasuruan dapat menunjang pelaksanaan kegiatan usahatani ke arah yang lebih produktif dan menguntungkan.

(33)

Spencer dan Spencer (1993:11) menyatakan bahwa keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Keterampilan petani dalam usahatani adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam usahataninya. Termasuk dalam keterampilan petani dalam menyelesaikan tugas-tugas usahataninya adalah: (1) keterampilan dalam mengolah tanah, dan (2) keterampilan dalam merawat tanaman yang diusahakan. Berdasarkan Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar (70.71 persen) petani sayuran di Kabupaten Bondowoso dan sebagian besar (80.60 persen) petani sayuran di Kabupaten Pasuruan memiliki tingkat keterampilan sedang. Tingkat keterampilan petani sayuran merupakan salah satu penentu untuk mencapai tujuan usahatani, yaitu tanaman yang subur dan produksi yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani sayuran.

Indikator keberhasilan usahatani salah satunya ditentukan oleh keterampilan petani dalam mempersiapkan lahan (mengolah tanah) untuk usahataninya. Pengolahan tanah merupakan awal keberhasilan petani dalam budidaya sayuran, semakin sering petani mengolah tanah (sebelum tanah tersebut ditanami) maka akan semakin baik lahan tersebut untuk ditanami sayuran. Umumnya pengolahan tanah yang baik untuk tanaman sayuran adalah 3-4 kali, dengan rincian: pertama pengolahan tanah pertama adalah untuk membalik tanah dengan tujuan agar gulma yang ada dipermukaan tanah mati dan hama penyakit yang ada dalam tanah juga mati, kedua membalik tanah untuk kedua kalinya dengan tujuan untuk menghancurkan tanah, ketiga menghancurkan tanah sekaligus menggemburkan tanah, dan keempat adalah membentuk lahan sesuai dengan kebutuhan tanaman, yaitu: digulud atau dibentuk bedengan. Tingkat pengolahan tanah sebelum lahan tersebut ditanami, disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pengolahan Tanah Kabupaten Bondowoso Pasuruan Kategori n1 (140) % n2 (134) % Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi 4 20 60 56 2.86 14.28 42.86 40.00 4 24 93 13 2.99 17.91 69.40 9.70 Keterangan: Sangat Rendah: Olah tanah 1 kali, Rendah: Olah tanah 2 kali, Sedang: Olah tanah 3

Gambar

Tabel 13.  Sebaran Responden Menurut Umur  Kabupaten  Bondowoso Pasuruan Umur  n 1 (140)  % n 2  (134) %  &lt; 31   tahun (Muda)  31-47 tahun (Dewasa)  &gt;47    tahun (Tua)  12 94  34  8.57 67.14 24.29         8 79 47  5.97 58.96 35.07  Rataan Skor (tahun
Tabel 17.  Sebaran Responden Menurut Faktor Internal Petani  Kabupaten  Bondowoso  PasuruanFaktor Internal  Petani(X 1 )  Kategori n 1 (140) % n 2 (134) %  Pendidikan Formal  (X 1.1 )  Lulus SD  Lulus SMP  SMU  PT  90 28 13 9  64.28 20.00 9.29 6.43  87 26
Tabel 18.  Sebaran Responden Menurut Kegiatan Penyuluhan  Kabupaten  Bondowoso Pasuruan Kegiatan Penyuluhan  (X 2 )  Kategori  n 1 (140) % n 2 (134) %  Materi Penyuluhan (X 2.1 )  S-Rendah
Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Kapasitas Diri Petani  Kabupaten
+5

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu perubahaan yang dapat kita lihat adalah Provinsi Aceh menjadi salah satu tujuan wisata di Indonesia, hal ini tentunya banyak menarik wisatawan

Hubungannya dapat dilihat dari pembelajaran Numbered Heads Together yang merupakan bagian dari model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus,

cukup kuat untuk mempengaruhi mereka, yang ada malah saya yang di pengaruhi, dan kadang kalau saya melakukan kesalahan atau melukai hati Tuhan, saya sangat sulit untuk

Kesiapan kerja sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara faktor yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan yaitu motivasi kerja, bimbingan karier, dan prestasi

Pada bab ini, Anda akan diajak untuk dapat memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia, dengan cara memahami struktur atom berdasarkan teori atom

Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang ingin menggadaikan kepada orang lain terhadap suatu gadaian, dengan syarat

Patogen lain seperti Mycoplasma hominis, Haemophilus influenza, Streptococcus pyogenes, Bacteroides, yang berasal dari apendisitis atau diverkulitis

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal. Gangguan pertukaran