PENGARUH VARIASI SALINITAS DAN TEMPERATUR
LINGKUNGAN TERHADAP PEMBENTUKAN FRAKSI ES PADA
PEMBUAT BUBUR ES BERTIPE SCRAPER BLADE
A.S.Pamitran1*, Pandu S Nugraha2
1
Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok 16426, Indonesia
2
Program Sarja Teknik Perkapalan, Departemen Teknik Mesin, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok 16424, Indonesia
*Corresponding author: [email protected]
Abstrak
Ice Slurry merupakan teknologi terbarukan dalam sistem refrigerasi. Ice slurry pada awalnya digunakan secara luas sebagai second refrigerant pada sistem pendinginan gedung, namun seiring dengan waktu ice slurry diaplikasikan juga sebagai pendingin ikan. Ice slurry adalah fasa yang terletak antara fasa liquid dan fasa es, ice slurry memiliki kelebihan dalam mendinginkan ikan, selain memiliki luas permukaan kontak dengan ikan yang lebih besar dari es balok juga dapat dibuat dari suspensi salah satunya air laut. Ice slurry berbahan dasar air laut memiliki kelebihan dalam besarnya titik beku, yaitu memiliki titik beku yang lebih rendah dari air murni. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh salinitas dan temperatur lingkungan terhadap fraksi es yang dibentuk dan dihasilkan dengan menggunakan scraper blade ice slurry generator (pembuat ice slurry bertipe scraper blade)
Kata kunci: Ice slurry, second refrigerant, salinitas, temperatur lingkungan, fraksi es
Daftar Notasi Subscript dan superscript
C Fraksi Es (kg/kg) ice Es
T Temperatur (oC) cf Carrier Fluid/larutan k Konduktivitas thermal (W/m.K) is Ice Slurry
μ Viskositas (Kg/m.s) ppt part per thousand
ρ Masa Jenis (kg / m3)
1. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara maritim, memiliki potensi pembangunan kelautan yang besar dan beragam. Indonesia
memiliki luas laut terbesar di dunia, dengan panjang pantai berkisar 81.000 kilometer, luas zona ekonomi eksklusif berkisar 2,7 juta kilometer persegi serta
wilayah laut teritorial 3,1 juta kilometer persegi. Luas laut Indonesia tersebut telah diakui sebagai Wawasan Nusantara oleh
United Nation Convention of The Sea
(UNCLOS, 1982). Laut indonesia yang terletak dijalur pertemuan tiga lempeng utama dunia yang paling aktif, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Samudera Pasifik dan lempeng Benua Eurasia. Posisi kerangka geologi tersebut memberikan keuntungan karena lempeng tersebut merupakan tempat yang potensial adanya sumber daya energi dan mineral yang besar di lautan dan didarat selain memiliki kekayaan energi, laut Indonesia juga mengandung sumberdaya alam (flora dan fauna) yang besar, sebut saja jenis fauna seperti ikan, kepiting, udang, kerang mutiara, dan masih banyak lagi. Serta flora laut Indonesia seperti rumput laut, terumbu karang, hutan bakau dan berbagai jenis mikroba yang turut meramaikan keanekaragaman hayati dan non hayati laut Indonesia. Salah satu pengembangan kelautan guna memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia ialah mengeksplorasi dan memperbaharui sumberdaya hayati (hasil-hasil perikanan). Diperkirakan 8500 jenis ikan hidup diperairan Indonesia (Australian museum) dan merupakan 45% dari jumlah jenis global di dunia. Indonesia juga memiliki jenis ikan tangkap (laut dan perairan umum) yang besar dan beragam dengan
volume produksi perikanan tangkap yang meningkat 2,73% tiap tahunnya (statistik perikanan tangkap Indonesia 2010), hal ini dapat menjadi acuan untuk mempertimbangkan pengembangan disektor perikanan.
Meskipun volume produksi perikanan tangkap Indonesia meningkat, hal ini tidak serta-merta menambah jumlah nelayan ataupun meningkatkan kesejahteraan nelayan Indonesia, nelayan Indonesia masih tergolong ke dalam warga negara yang dipandang sebagai warga marjinal yang berekonomi lemah, tercatat pada statistik tahun 2010 (dalam periode 2000-2010) nelayan Indonesia mengalami penurunan jumlah dengan rata-rata 0,92% pertahun, yaitu dari 3.104.861 orang pada tahun 2000 menjadi 2.620.277 orang pada tahun 2010 (Statistik Perikanan Tangkap 2010, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap xxxiv-134). Salah satu faktor penyebabnya adalah pengelolaan dan pengolahan hasil tangkap yang kurang baik. Proses paska penangkapan ikan hasil tangkapan yang kurang dikelola dengan baik menyebabkan kualitas ikan tangkapan menurun yang dampaknya berimbas pada harga jual ikan. Proses paska penangkapan ikan yang sangat vital ialah penanganan kesegaran ikan dan kualitas ikan dengan cara pendinginan hasil tangkapan.
Tabel Kualitas ikan berdasarkan waktu pendinginan
Ikan yang disimpan pada
Tidak layak dimakan lagi sesudah 16oC 11oC 5oC 0oC 1-2 hari 3 hari 5 hari 14-15 hari
(Sumber : Modul Program Keahlian Budidaya Ikan, Dr. Ir. Masyamir, M.Eng, 2001)
Proses pendinginan ikan menjadi sangat penting, dengan mendinginkan ikan sampai sekitar temperatur 0oC dapat memperpanjang masa kesegaran ikan. Pengaruh pendinginan terhadap mutu ikan dapat dilihat pada tabel diatas. Narasumber penulis menjelaskan selama ini menggunakan sistem pengawetan dan pendinginan menggunakan es balok yang ditambah dengan garam untuk menjaga kualitas ikan tangkapan membuat nelayan menggelontarkan dana tambahan untuk keperluan pendinginan ini. Sistem pendinginan es balok dinilai kurang cocok dan berhasil untuk ikan tangkapan laut karena dapat merusak kondisi atau bentuk ikan, karena tumbukan langsung es balok dengan ikan, hal inilah yang dapat menurunkan kualitas ikan. Dari hal tersebut, maka dibutuhkan sistem pendinginan yang lebih modern dan dengan harga terjangkau yang dapat mempertahankan kualitas ikan tangkapan
lebih baik sehingga nilai jual ikan tidak jatuh di tempat pelelangan ikan (TPI).
Salah satu pendinginan efektif yang menggantikan sistem pendinginan konvensional menggunakan es balok ialah sistem pendinginan menggunakan media
bubur es (ice slurry). Penggunaan ice
slurry untuk mendinginkan ikan
diharapkan dapat memperpanjang usia kesegaran ikan dikarenakn bersifat lembut dan luas penampang es yang lebih besar sehingga mengoptimalkan pendinginan dan mempercepat waktu pendinginan (rapid chilling). Ice slurry yang berbahan dasar air laut akan semakin baik untuk menjaga kesegaran ikan karena mengandung unsur klorin (Cl) yang dapat membunuh bakteri penyebab pembusukan. Ikan yang didinginkan dengan ice slurry akan lebih segar dan tahan lama bila dibandingkan dengan penggunaan es balok atau bongkahan es sebagai media pendingin. Ice slurry juga memiliki sifat termoddinamika yang baik, yaitu kapasitas panas yang besar yang disebabkan pemanfaatan kalor sensibel dan kalor laten sehingga media ini mampu menyerap panas lebih besar dari pada larutan brine konvensional. Selain itu meskipun berada pada fase liquid-ice, ice slurry tetap mampu dialirkan melalui pipa dengan
pressure drop yang masih terjangkau oleh
2. Tinjauan Teoritis 2.1 Ice Slurry
Ice slurry termasuk secondary
refrigerant yang memanfaatkan temperatur
rendah dari primary refrigerant untuk mengubah fase menjadi ice partikel pada sebagian fluida. Fluida yang digunakan dapat berupa air murni atau campuran antara air dengan larutan penurun titik beku, yaitu Sodium Chloride, Ethanol, Ethylene Glycol, Propylene Glycol (Kauffeld et al., 2005). Pemanfaatan ice
slurry menjadi populer karena efek
pendingin yang lebih besar dan kemudahan dalam sistem transportasi ice
slurry untuk pendinginan dibanding
secondary refrigerant lainnya.
Penyimpanan energi ice slurry lebih tinggi dibanding secondary refrigerant lainnya karena terdapat panas laten dari kristal es pada hasil ice slurry. Selain itu, ice slurry juga mempunyai pendinginan yang cepat dan efektif karena mempunyai luas kontak permukaan pada partikel ice slurry. Dalam pengaplikasiannya sebagai sistem pendingin, manfaat dari ice slurry salah satunya adalaah dapat mengurangi ukuran tank, pompa, pipa dan chiller karena tingginya densitas energi penyimpanan dan kemampuan berpindah dari ice slurry, bahkan dapat mereduksi lebih dari 70% daya pompa dibanding dengan fluida biasa (Kasza et al., 1988). Dewasa ini banyak peneliti melakukan riset dibidang ini
karena manfaatnya yang besar sebagai alat penukar panas. Aplikasinya adalah dalam dunia industri (Wang and Kusumoto,2001; Rivet, 2009), kesehatan dan aplikasi langsung pendinginan makanan serta ikan (Wang and Goldstein, 2003; Pineiro et al., 2004). Riset tentang ice slurry banyak ditujukan tentang aliran ice slurry untuk mengetahui karakteristik thermofluida. Contohnya adalah Gupla dan Frazer (1990) yang menjelaskan ice slurry menggunakan 6% ethylene glycol dengan fraksi es pada ice slurry 0%-20% dan debit antara 1,18 m3/hour dan 2,16 m3/hour serta ukuran ice slurry 0,125 mm dan 0,625 mm pada heat exchanger menghasilkan kesimpulan bahwa kenaikan total koefisien perpindahan kalor sebanding dengan debit dan berbanding terbalik dengan kenaikan fraksi es, tekanan jatuh konstan sampai ice fraction 20% dan naik cepat pada kenaikan fraksi es lebih dari 20%. Sedangkan Kauffeld (1999) melakukan riset dengan membandingkan campuran etanol dan campuran potassium carbonate sebagai bahan ice slurry. Untuk larutan etanol menghasilkan partikel es yang kecil mempunyai koefisien perpindahan kalor yang meningkat seiring dengan bertambahnya fraksi es. Sedangkan dengan campuran potassium carbonate menghasilkan partikel es yang besar dan mempunyai koefisien perpindahan kalor
yang menurun dengan bertambahnya fraksi es.
2.2 Proses Pembentukan Kristal Es pada Ice Slurry
Pembentukan kristal es pada ice slurry pada setiap alat ice slurry generator selalu melalui tiga tahap dasar, yaitu supersaturation dari larutan, nucleation, dan perkembangan kristal es (growth of ice crystals).
Supersaturation
Proses kristalisasi hanya dapat muncul jika terdapat daya penggerak (driving
force) yang memadai, untuk itulah
supersaturation dari ice slurry yang disebabkan oleh larutan sangat dibutuhkan. Pada kondisi ini, larutan berada dalam situasi non-equilibrium dan terdapat perbedaan potensi kimia (μ antara fase larutan dan fase crystalline solid nya.
μ μ μ
Perbedaan potensi kimia yang terjadi terbentuk akibat adanya temperatur atau pressure driving force. Supersaturation dapat terbentuk melalui supercooling pada larutan pada temperatur equilibrium atau menggeser temperatur equilibrium dengan cara mengganti tekanannya.
Nukleasi (Nucleation)
Pada larutan supersaturation, nukleus awal dapat terbentuk ketika molekul-molekul bersatu dan membentuk kesatuan
yang stabil. Keadaan ini dapat muncul baik secara homogen maupun heterogen. Pada nukleasi homogen, fase baru mulai terbentuk dari cairan encer melalui fluktuasi statistikal dari kesatuan molekul. Pada air, keadaan ini hanya muncul ditemperatur yang sangat rendah (umumnya dibawah -40oC). Pada aplikasinya, tipe nukleasi ini jarang terjadi tak seperti nukleasi heterogen yang sering muncul. Sementara tipe nukleasi heterogen, pada permukaan luar molekul terdapat partikel-partikel, kotoran atau dinding-dinding wadah yang membantu pembentukan nukleasi awal. Permukaan dari objek asing ini membantu molekul utama untuk membentuk kisi-kisi kristal. Nukleasi heterogen ini dapat muncul ditemperatur yang lebih tinggi dibandingkan nukleasi homogen.
Pertumbuhan (growth)
Tahap pertumbuhan nukleus menjadi kristal muncul ketika ada penambahan solute molecules dari larutan supersaturation. Proses ini umumnya terdiri dari tiga tahap, yaitu transfer masa oleh molekul difusi dari bagian dalam larutan melalui boundary layer sekeliling nukleus, pengumpulan molekul ke sekeliling permukaan, dan perpindahan kalor secara simultan dari kristal ke bagian dalam dari larutan.
3. Metode Penelitian
Pada gambar dibawah dapat dilihat sistem pendingin dari ice slurry generator yang digunakan, alat ini memiliki komponen utama yaitu generator yang berfungsi mengambil kalor dari larutan ice
slurry, kondensor, kompresor dan
agitator/auger yang berfungsi mengaduk
agar tidak terjadi penggumpalan / aglomerisasi.
Gambar ice slurry generator
Gambar ice slurry generator yang diisolasi Scraper blade ice slurry generator
adalah alat pembuat ice slurry dimana dalam tangki generator terdapat auger atau agitator yang berfungsi mengaduk agar tidak terjadi penggumpalan atau aglomerisasi. Pada auger terdapat scraper dimana jika auger berputar maka scraper akan ikut berputar dan akan menyapu
lapisan es yang menempel pada dinding tangki generator (ice scaling). Untuk gambar visualisasi dari auger dan scraper dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar auger dan scraper
Untuk evaporator yang dibuat berdimensi sebagai berikut, tinggi 480 mm, diameter dalam 260 mm, diameter luar 360 mm. Dan untuk dimensi auger adalah tinggi 460 mm, diameter 220 mm. untuk visualisasi evaporator dan auger dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 3D evaporator
Gambar auger
Gambar 3D auger
Gambar dibawah menunjukan skematik dari komponen-komponen alat pengujian ice slurry generator.
Gambar skema alat pengujian
Untuk mengolah hasil ice slurry menggunakan persamaan-persamaan dibawah ini.
Densitas ice slurry diperoleh dengan menambahkan fraksi massa densitas es murni dan densitas larutan, atau secara matematis ditulis dengan persamaan:
ρ
ρ ρ
(1)
Untuk menentukan viskositas ice
slurry menggunakan model persamaan
yang diajukan oleh Thomson (1985), yaitu:
μ μ (2)
Untuk menghitung fraksi es dari ice
slurry dapat menggunakan perhitungan
dengan variabel massa jenis atau densitas, dengan persamaan sebagai berikut:
ρ
ρ ρ
ρ ρ ρ ρ ρ
ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ ρ (3)
Fraksi es dalam persen adalah sebagai berikut:
ρ
ρ
ρ ρ
ρ ρ (4)
3.1 Variasi dalam Pengujian
Dalam pengujian atau penelitian dilakukan beberapa variasi salinitas, yaitu 21 ‰ (21 ppt), 26 ‰ dan 29 ‰. Untuk variasi selanjutnya adalah variasi temperatur lingkungan untuk setiap variasi salinitas, yaitu 17oC, 25oC dan 30oC dengan mengatur besarnya temperatur yang dikondisikan oleh portable air conditioning. Putaran motor listrik dibuat konstan selama running alat yaitu sebesar 115 rpm dan running motor listrik dilakukan pada saat temperatur air laut mencapai 10oC, hal ini dilakukan sama terhadap variasi semua salinitas dan temperatur lingkungan (ambient
temperatur). Serta lamanya waktu
pendinginan (chilling time) yaitu satu jam tiga puluh menit dan dibuat sama untuk variasi lainnya (setiap variasi baik salinitas dan temperatur lingkungan memiliki
chilling time yang sama).
4. Hasil Penelitian
4.1 Penurunan Temperatur tiap Variasi Temperatur Lingkungan
Dengan mevariasikan salinitas pada volume air laut yang sama serta kecepatan dan running motor listrik pada temperatur air laut yang sama data yang diperoleh (temperatur tiap salinitas) dari alat ukur (National Instrument DAQ) kemudian di plot kedalam sebuah grafik dan kurva. Untuk hasil dari plot data tersebut dapat dilihat pada kurva dibawah ini.
Gambar Grafik hubungan waktu dan temperatur air laut setiap variasi salinitas pada temperatur
lingkungan 17oC
Gambar grafik diatas menunjukan hubungan antara nilai temperatur air laut (sumbu-y) dan waktu pendinginan air laut (sumbu-x) pada variasi salinitas dengan temperatur lingkungan tertentu (17oC). Pada temperatur 17 derajat celcius setiap salinitas menunjukan penurunan temperatur yang hampir seragam. Namun, penurunan pada temperatur salinitas 21‰ lebih cepat dibandingkan dengan salinitas lainnya, hal ini dikarenakan waktu
pengujian pada salinitas tersebut dilakukan pada malam hari sehingga pengkondisian temperatur lingkungan lebih efektif. Hal inilah yang mendasari mengapa pada diagram diatas salinitas 21‰ memiliki kecepatan penurunan temperatur sedikit lebih cepat dibandingkan dengan salinitas lainnya. Tetapi hal ini tidaklah sepenuhnya benar, masih banyak parameter-parameter lainnya yang dapat mempengaruhi keabsahan data, diantaranya pembacaan data oleh alat ukur baik oleh alat itu sendiri maupun oleh peneliti.
Gambar grafik hubungan waktu dan temperatur air laut tiap variasi salinitas pada temperatur
lingkungan 25oC
Pada temperatur lingkungan sebesar 25oC, salinitas 21‰ masih menunjukan kecepatan pendinginan yang lebih cepat dibandingkan dengan salinitas lainnya, hal ini sama dengan penjelasan pada grafik yang sebelumnya yaitu percobaan dengan salinitas 21‰ dilakukan pada malam hari yang menyebabkan perpindahan panas dari kondenser ke lingkungan lebih efektif bila dibandingkan pada siang hari, temperatur kondenser yang lebih rendah selain
mempengaruhi kinerja kompresor juga dapat mempengaruhi temperatur refrigerant yang masuk kedalam evaporator, rendahnya temperatur refrigerant yang masuk kedalam evaporator akan membuat penyerapan panas lebih efektif (penyerapan panas air laut).
Gambar grafik hubungan waktu dan temperatur air laut tiap variasi salinitas pada temperatur
lingkungan 30oC
Pada grafik variasi salinitas dengan temperatur system 30oC salinitas 29‰ memiliki waktu penurunan temperatur lebih cepat dan memiliki titik beku paling rendah dibandingkan dengan salinitas lainnya. Berbeda dengan grafik-grafik sebelumnya (gambar 4.1 dan gambar 4.2) yang memperlihatkan salinitas 21‰ memiliki waktu penurunan temperatur yang lebih cepat, untuk salinitas 21‰ pada pengambilan data ini semua salinitas dilakukan pada siang hari. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa semakin tinggi salinitas air laut maka titik bekunya makin rendah.
4.2 Penurunan Temperatur tiap Variasi Salinitas
Gambar hubungan waktu pendinginan setiap temperatur lingkungan pada salinitas 21‰
Grafik diatas menunjukan hubungan antara temperatur air laut (sumbu-y pada grafik) lamanya waktu pendinginan (sumbu-x pada grafik) untuk setiap variasi temperatur lingkungan pada salinitas yang sama, yaitu salinitas 21 ppt. Untuk penurunan temperatur salinitas 21 ppt pada temperatur lingkungan 30oC sedikit lebih lambat dibandingkan dengan penurunan temperatur pada variasi temperatur lingkungan lainnya. Hal ini dikarenakan perpindahan panas antara kondenser dan lingkungan sistem lebih kecil sehingga tekanan kerja discharge lebih besar yang mengakibatkan kerja kompresor lebih besar juga pada temperatur lingkungan 30oC dibandingkan dengan temperatur lingkungan lainnya.
Gambar hubungan waktu pendinginan setiap temperatur lingkungan pada salinitas 26‰
Pada grafik diatas menunjukan pada temperatur lingkungan 25oC memiliki kecepatan pendinginan lebih lama dibandingkan dengan temperatur lingkungan lainnya dan pada temperatur 30oC memiliki titik beku paling besar dibandingkan dengan temperatur lingkungan lainnya. Dalam hal ini untuk temperatur lingkungan 30oC memiliki titik beku paling besar dikarenakan perbedaan temperatur lingkungan dengan temperatur kondenser kecil sehingga perpindahan panas atau panas yang dibuang kondenser ke lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan temperatur lingkungan yang lebih rendah, jika suhu kondenser tinggi akan mempengaruhi kerja kompresor dan temperatur refrigerant yang masuk kedalam evaporator, semakin besar temperatur refrigerant yang masuk kedalam evaporator maka penyerapan panas air laut yang berada dalam tangki generator akan kecil. Untuk kasus dimana temperatur lingkungan 25oC lebih lambat dalam penurunan temperatur air laut, hal
ini dapat terjadi karena kesalahan dalam pembacaan atau pengambilan data. Pada saat pengambilan data untuk salinitas 26‰ pada temperatur lingkungan 25oC, NI DAQ mengalami fluktuatif dalam pembacaan data, setelah dilakukan kajian ternyata frekwensi inverter pada motor listrik dapat menggangu pembacaan data NI DAQ.
Gambar hubungan waktu pendinginan setiap temperatur lingkungan pada salinitas 29‰
Grafik diatas menunjukan hubungan antara temperatur air laut dan waktu pendinginan pada salinitas air laut 29‰ pada setiap variasi temperatur lingkungan. Dari grafik dapat terlihat bahwa pada temperatur 30oC mengalami penurunan temperatur air laut dalam waktu cepat sedangkan pada temperatur lingkungan 25oC mengalami penurunan temperatur air laut dalam waktu yang lama dibandingkan dengan temperatur lingkungan lainnya. Jika berdasarkan literatur seharusnya temperatur lingkungan 17oC yang mengalami penurunan temperatur air laut lebih cepat dan temperatur lingkungan
30oC yang mengalami penurunan temperatur air laut lebih lambat. Faktor penyebab hasil data yang didapat tidak sesuai dengan literatur tidak lain adalah kebocoran sistem isolasi yang menyebabkan temperatur yang dikondisikan (temperatur lingkungan) tidak sesuai dengan pembacaan alat ukur pada awalnya. Contoh kebocoran isolasi itu antara lain adalah isolasi penutup sistem dari plastik polypropylene (PP) yang terbuka, sobek atau berlubang. Pada saat pengambilan data untuk temperatur lingkungan 25oC, NI DAQ mengalami fluktuatif dalam pembacaan data yang menyebabkan grafik untuk temperatur lingkungan 25oC menjadi tidak mulus atau
smooth (dapat dilihat pada grafik diatas)
dan hal ini sudah dijelaskan pada penjelasan grafik salinitas 26‰.
Untuk tiap variasi salinitas pada temperatur lingkungan yang sama dan variasi temperatur lingkungan untuk salinitas yang sama, pada setiap temperatur air laut yang berada didalam tangki generator mencapai temperatur 10oC motor listrik mulai di-running sehingga memutar auger shaft didalam evaporator/tangki generator yang kemudian mengaduk air laut. Sesaat auger mengaduk air laut, terjadi konveksi paksa terhadap air laut karena pengadukan auger yang menyebabkan temperatur air laut
meningkat yang tidak berapa lama kemudian turun kembali karena temperatur air laut mulai tersebar merata ke seluruh bagian volume air laut di dalam tangki generator. Sebelum adanya pengadukan dari auger (yang berfungsi juga untuk meratakan temperatur air laut di dalam tangki generator/evaporator selain untuk mengaduk air laut), temperatur air laut tidak merata, dalam artian, temperatur air laut di dekat dinding tangki generator lebih rendah (kontak dengan refrigerant lebih dekat) dibandingkan dengan temperatur air laut yang jauh dari dinding tangki generator .
4.3 Fraksi Es tiap Variasi Salinitas dan Temperatur Lingkungan
Fraksi es yang dihasilkan ice slurry merupakan fungsi atau kombinasi dari besarnya massa jenis air laut, massa jenis
ice slurry yang dihasilkan yang bergantung
pada besarnya salinitas air laut. Fraksi es dari ice slurry dapat dihitung dengan menggunakan persamaan massa jenis atau densitas. Untuk data besarnya massa jenis air laut, massa jenis ice slurry yang dihasilkan dan besarnya temperatur ice
slurry yang diukur setelah dikeluarkan dari
evaporator/tangki generator untuk perhitungan fraksi es dapat dilihat pada tabel dibawah (massa jenis dalam satuan kg/m3 dan fraksi es dalam persen).
Tabel fraksi es yang dihasilkan setiap variasi salinitas pada temperatur lingkungan 17oC.
Tabel fraksi es yang dihasilkan setiap variasi salinitas pada temperatur lingkungan 25oC.
Tabel fraksi es yang dihasilkan setiap variasi salinitas pada temperatur
lingkungan 30oC.
Untuk sajian data fraksi es dalam bentuk grafik dapat dilihat pada grafik dibawah.
Gambar fraksi es pada temperatur lingkungan 17oC pada setiap variasi salinitas
Gambar fraksi es pada temperatur lingkungan 25oC pada setiap variasi salinitas
Gambar fraksi es pada temperatur lingkungan 30oC pada setiap variasi salinitas
Pada tiga grafik diatas menunjukan besarnya fraksi es (sumbu-x) berbanding dengan besarnya salinitas air laut
(sumbu-y) pada temperatur lingkungan 17oC
(gambar 4.7), temperatur lingkungan 25oC (gambar 4.8) dan temperatur lingkungan 30oC (gambar 4.9). Dari grafik dapat diketahui bahwa pada temperatur lingkungan 17oC salinitas 29‰ memiliki fraksi es terbesar dengan fraksi es sebesar 18,687% dari massa air laut dan sama halnya dengan kedua grafik berikutnya, yaitu temperatur lingkungan 25oC dan 30oC yang menunjukan salinitas 29‰ memiliki fraksi es terbesar diantara salinitas lainnya yaitu 16,057%
(temperatur lingkungan 25oC) dan 11,370% (temperatur lingkungan 30oC). Hal ini sesuai dengan literatur, bahwa pada penurunan temperatur bergantung pada besarnya salinitas, jika salinitas makin besar maka temperatur atau titik beku larutan (air laut) makin rendah. Ketika variasi salinitas dengan waktu pendinginan sama, maka salinitas yang memiliki nilai fraksi garam lebih besar akan memiliki rentang waktu pendinginan lebih cepat dari pada salinitas yang memiliki fraksi garam lebih sedikit atau dengan kata lain salinitas yang memiliki fraksi garam lebih tinggi akan memiliki waktu nukleasi lebih cepat (nukleasi terjadi pada temperatur yang lebih tinggi) bila dibandingkan dengan salinitas yang memiliki fraksi garam lebih kecil.
Dari grafik diatas menunjukan bahwa rata-rata fraksi es yang dihasilkan oleh setiap salinitas bergantung pada besar kecilnya temperatur lingkungan. Dari grafik diketahui bahwa pada fraksi es terbesar dihasilkan pada temperatur lingkungan 17oC dan diikuti oleh variasi temperatur lingkungan berikutnya (25oC dan 30oC). Dari grafik pun dapat diketahui bahwa selisih fraksi es yang didapatkan oleh setiap variasi salinitas makin curam (makin tinggi) ketika temperatur lingkungan makin tinggi dan disimpulkan bahwa semakin rendah temperatur
lingkungan maka fraksi es yang dihasilkan pun akan semakin banyak. Pada saat temperatur lingkungan rendah maka panas yang dibuang kondenser akan semakin efektif (selisih temperatur/ kondenser dan ambient lebih besar). Semakin efektif panas yang dibuang kondenser ke lingkungan/ambient akan menurunkan temperatur kondenser yang mengakibatkan penurunan tekanan kerja discharge sehingga kerja kompresor makin kecil dan koefisien performa sistem makin besar atau makin baik. Besar kecilnya temperatur refrigerant pada kondenser (kalor refrigerant yang dibuang kondenser ke lingkungan) akan mempengaruhi besar kecilnya temperatur refrigerant masuk ke dalam evaporator atau tangki generator. Makin rendah temperatur refrigerant yang masuk kedalam evaporator maka makin besar pula perpindahan panas yang terjadi antara air laut yang berada pada evaporator/tangki generator dengan refrigerant.
5. Diskusi
Dari penelitian diketahui bahwa semakin besar salinitas air laut maka fraksi es yang dihasilkan makin besar dan titik beku ice slurry semakin rendah, hal ini sesuai dengan sifat koligatif larutan, yaitu semakin banyak zat yang terlarut dalam larutan (dalam hal ini, kadar garam) maka titik beku larutan makin rendah.
Untuk temperatur lingkungan yang makin rendah maka fraksi es yang dihasilkan makin banyak, hal ini disebabkan perpindahan panas dari kondensor ke lingkungan makin efektif jika temperatur lingkungan makin rendah (selisih temperatur kondenser dan lingkungan besar).
6. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa semakin besar fraksi garam atau salinitas pada air laut maka titik bekunya akan semakin rendah. Pembentukan fraksi es pada ice slurry berbahan dasar air laut bergantung pada besarnya salinitas air laut tersebut, semakin besar salinitas air laut maka fraksi es yang dihasilkanpun akan besar. Dari data yang diperoleh selama penelitian untuk variasi salinitas 21‰, 26‰ dan 29‰ fraksi es yang terbentuk pada salinitas 29‰ lebih besar dibandingkan dengan salinitas lainnya. Hal ini berbanding terbalik pada variasi temperatur lingkungan, semakin besar temperatur lingkungan maka fraksi es yang dihasilkan akan semakin kecil. Pada variasi temperatur lingkungan 17oC, 25oC dan 30oC fraksi es yang diperoleh pada temperatur lingkungan 17oC untuk setiap salinitas lebih besar bila dibandingkan dengan temperatur lingkungan lainnya. Kesimpulan lainnya untuk variasi temperatur lingkungan adalah bahwa jarak atau selisih fraksi es yang dihasilkan oleh
setiap salinitas pada variasi temperatur lingkungan selisihnya makin besar jika temperatur lingkungan makin tinggi (selisih fraksi es yang dihasilkan tiap salinitas pada temperatur lingkungan 30oC lebih besar dibandingkan dengan selisih fraksi es yang dihasilkan tiap salinitas pada temperatur lingkungan 25oC).
7. Saran
Pengisolasian temperatur lingkungan yang lebih baik akan membuat data yang dihasilkan lebih baik.
Pengkalibrasian alat ukur akan memberikan penyajian data yang baik.
Perlunya pengawasan yang lebih baik terhadap pembuatan tangki generator untuk meminimalisir human error.
Memperbanyak pengambilan data untuk hasil yang lebih baik/valid.
8. Kepustakaan
A, Melinder. (2008). General properties
and characteristics of aqueous
solutions used in indirect systems. In:
Proc. 8th IIRGustav Lorentzen Conf. Nat. Working Fluids, Copenhagen. B. Frei, H. Huber.(2005).Characteristic of
Different Pump Types Operating With Ice Slurry. International Journal of
Refrigeration, 28, 92-97.
Dadang Ardiansyah, Helmi. (2012).
Skripsi dari awal sampai akhir:
Rancang Bangun Orbital Rod
Evaporator Ice Slurry Generator dan
Pengaruh Salinitas terhadap
Pembentukan Ice Slurry Berbahan Dasar Air Laut. Depok: Program
Sarjana Fakultas Teknik UI.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap . (2011). Statistik Perikanan Tangkap
Indonesia, 2010. Jakarta: Kementrian
Kelautan dan Perikanan. (http://statistik.kkp.go.id/index.php/ar sip/c/29/Statistik-Perikanan-Tangkap-tahun-2010/?category_id=3).
E.N rgaard, M. Kauffeld, T.A.S rensen, T.M. Hansen. (2005).Performance of Components of Ice Slurry Systems : Pumps, Plate Heat Exchangers, and Fittings. International Journal of
Refrigeration, 28, 83-91.
Jean-Pierre Be´de´carrats, Franc’oise Strub, Christophe Peuvrel. ( 2009). Thermal and hydrodynamic considerations of ice slurry in heat exchangers. International Journal of
Refrigeration, 32, 1791 – 1800.
Kasza,K. Hayashi,K. (2001). Ice slurry
cooling research: effects of microscale
ice particle characteristics and
ice slurry fluidity. ASHRAE Trans.
107 (Pt. 1), 346e351.
Kauffeld, M., Kawaji, M., Egolf, P.W. (2005). Handbook on Ice Slurries Fundamentals and Engineering. Paris :
International Institute of
Refrigeration.
Kauffeld M, Wang M J, Goldstein V, Kasza K E. (2010) .Ice Slurry Applications. International Journal of
Refrigeration, 33, 1491 – 1505.
Knodel, B.D. France, D.M. Choi, U.S. Wambsganss, M.W. (2000). Heat
transfer and pressure drop in ice-water slurries. Appl Therm. Eng 20,
671–685.
Kuswantoro. (2008). Skripsi dari awal
sampai akhir: Rancang Bangun
Scraper Dan Analisis Pengaruhnya
Terhadap Performa Ice Slurry
Generator. Depok: Program Sarjana
Fakultas Teknik UI.
Lee, D.W. Yoon, E.S. Joo, M.C. Sharma,A. (2006). Heat transfer characteristics of the ice slurry at melting process in a tube flow.
International Journal of
Refrigeration. 29, 451–455.
Niezgoda-Zelasko, B. (2006). Heat transfer of ice slurry flows in tubes.
International Journal of
Refrigeration. 29, 437–450.
Niezgoda-Zelasko, B. Zalewski. (2006). Momentumtransfer of ice slurry flows in tubes, modelling. International
Journal of Refrigeration. 29, 429–436.
Nandy P, Imansyah, Noviandra H, Adiprana R. (2004). Measurement of
Heat Transfer Coefficient of Ice Slurry
with Plate Heat Exchanger. The 7th
International Conference Quality in Research (QIR).
Nandy P, Nasruddin, Permana A, Jatmika A. (2006). Rancang Bangun dan
Karakterisasi Ice Slurry Generator.
Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) V.
Setiawan, Arief. (2011). Skripsi dari awal
sampai akhir: Unjuk Kerja Sistem Refrigerasi Ice Slurry Generator Berbahan Dasar Air Laut. Depok:
Program Sarjana Fakultas Teknik UI.
SlurryICETM, Thermal Energy Storage Design Guide
Stamatiou, E. Kawaji, M. (2005). Thermal and flow behavior of ice slurries in a
vertical rectangular channel. Part II. Forced convective melting heat transfer. International Journal of
Refrigeration. 48,3544–3559.
Stamatiou.E, Meewise. Jw, Kawaji M. (2005). Ice Slurry Generation Involving Moving Parts. International
Journal Refrigeration, 28, 60-72.
Wang, M.J. Goldstein, V. (2003). Ice
slurry: advanced fish chilling and preservation technology. Am. Fis Soc.
Symp. 38, 379e386
http://maniacinstrument.wordpress.com/20 12/06/06/berbagai-tipe-thermocouple/