• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes Sains dan Sikap kritis Siswa Kelas VI SD Negeri di Kota Mojokerto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes Sains dan Sikap kritis Siswa Kelas VI SD Negeri di Kota Mojokerto"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Analisa Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes

Sains dan Sikap kritis Siswa Kelas VI SD Negeri di Kota Mojokerto

Sunarijah a*

aPengawas Sekolah Madya Dinas Pendidikan Kota Mojokerto *Koresponden penulis: sunarijah@yahoo.com

Abstract

This study aims to examine the superiority of Guided discovery learning discovery findings and to determine the significance of the interaction between Guided discovery learning and motivation for learning outcomes of science and critical attitudes of students. The design of this study uses a quasi-type nonequivalent control group design pre-test and post-test type. The subjects of this study were the sixth-grade students of Public Elementary Schools in Mojokerto City 2016/2017 Academic Year. Determination of the sample using cluster random sampling technique, and obtained the research sample is SDK Kranggan 1 and SDN Surodinawan with a total of 144 students. The research data was collected using tests, motivation questionnaires, and critical attitude questionnaires. Data analysis using manova factorial design technique. All calculations use the help of the IBM SPSS Statistics 20 for Windows application program. Based on the results of the analysis it can be concluded that: (1) there are differences in learning outcomes of significant science and critical attitudes between groups of students who use guided Guided discovery learning findings and groups of students who use expository Guided discovery learning; (2) there are differences in learning outcomes of science and students' critical attitudes that are significant between groups of students who have high motivation and groups of students who have low motivation; and (3) there is no significant interaction effect between Guided discovery learning and motivation on learning outcomes of science and critical attitudes of students.

Keywords: Guided discovery learning, motivation, learning outcomes, and critical attitudes.

Pendahuluan

Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subjek pembela-jaran yang secara aktif mengkonstruk pengetahuan dan keterampilannya, sesuai dengan kapasitas dan tingkat perkembang-an berpikirnya, sambil diajak berkolaborasi untuk memecahkan masalah-masalah nyata di masyarakat (Nichols, 2015). Namun kenyataannya, pembelajaran di sekolah masih saja terpaku pada paradigma penerusan informasi, bahkan lebih pada ‘pemberitaan isi buku’ yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal (Joni, 2008). Masih banyak guru yang berpendapat bahwa siswa akan semakin

pandai jika mengetahui banyak fakta. Pandangan sempit tersebut akan membatasi belajar sebagai kegiatan menghafal banyak fakta (Winkel, 2012). Pembelajaran seperti ini cenderung mengarah pada proses pemindahan pengetahuan, yaitu guru akan lebih banyak mentransfer fakta-fakta tanpa memberikan kesempatan siswa untuk memaknainya atau mengkonstruksi pengetahuan yang dipelajarinya. Pola-pola pembelajaran yang bersifat hafalan tersebut akan berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran (Santyasa, 2004).

Selama ini pembelajaran Sains masih banyak yang berpusat pada guru (teacher-centered), dan kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat

(2)

aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dipelajarinya (Sudarma, 2012). Guru belum mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yaitu lingkungan belajar yang mampu mempertahankan siswa agar terlibat aktif dalam belajar. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian Subagia dan Wiratma (2007) mengenai pemahaman guru terhadap hakikat mengajar. Dalam penelitian tersebut diperoleh temuan bahwa secara umum guru-guru Sains masih memahami mengajar sebagai proses pemindahan pengetahuan dari guru (pembelajar) ke siswa (pebelajar). Paradigma mengajar seperti ini menyebabkan sikap ketergantungan pebelajar kepada pembelajar. Dengan pemahaman mengajar seperti ini, pembelajaran Sains lebih banyak menggunakan Guided discovery learning langsung atau pembelajaran ekspositori de-ngan menekankan pada proses bertutur (ceramah dan tanya jawab). Guided discovery learning ini dirancang untuk kegiatan yang berurutan, yang secara jelas diarahkan untuk tujuan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa (Jacobsen et al., 2009).

Inti dari pembelajaran Sains adalah mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga Sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Amin (2007) berpendapat bahwa pembelajaran Sains sebaiknya diarahkan untuk ‘mencari tahu’ dan ‘berbuat’ agar dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Sejalan dengan pendapat tersebut, Zubaidah, et al. (2014) mengemukakan bahwa pembelajaran Sains hendaknya menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses serta sikap kritis untuk mengembangkan kompetensi.

Pembelajaran Sains sebaiknya dilaksanakan dengan metode ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap kritis, serta mengomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran Sains tersebut, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan berbagai strategi dan metode pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan bermakna (Zubaidah, et al., 2014). Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik Sains dan pembelajaran Sains, serta karakteristik siswa seperti yang telah diuraikan tersebut adalah pembelajaran penemuan (discovery learning). Pembelajaran penemuan menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau gagasan pokok dari suatu bidang studi, kebutuhan akan keterlibatan siswa yang aktif dalam proses pembelajaran, dan keyakinan bahwa pem-belajaran sesungguhnya terjadi karena penemuan personal (Arends, 2004). Ketika pembelajaran penemuan diterapkan dalam pembelajaran Sains, pembelajaran tersebut menekankan penalaran induktif (dari spesifik ke umum) dan proses inkuiri (penyelidikan) yang menjadi ciri metode ilmiah dan pemecahan masalah.

Pembelajaran penemuan berhubungan dengan ide Piaget, yang mengatakan bahwa setiap kali guru memberi tahu siswa, maka sesungguhnya siswa tidak belajar. Bruner (dalam Santrock, 2011) mengemukakan bahwa pembelajaran penemuan mendorong siswa untuk berpikir sendiri dan menemukan cara menyusun dan mendapatkan pengetahuan. Pembelajaran penemuan ini juga memupuk rasa ingin tahu. Pembelajaran penemuan sangat efektif dalam pembelajaran Sains. Secara empirik

(3)

telah ditemukan bahwa siswa yang mempelajari Sains dengan menggunakan aktivitas dan metode pembelajaran penemuan mendapat nilai lebih tinggi dalam pelajaran sains daripada siswa di kelas yang diajar dengan metode pembel-ajaran langsung, (Bredderman; dan Glasson dalam Santrock, 2011).

Temuan ini diperoleh pada pendidikan dasar dan menengah. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Mabie dan Baker (dalam Castronova, 2002). Dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa terjadi peningkatan prestasi siswa yang menggunakan metode pembelajaran berbeda. Di kelas kelompok proyek (belajar penemuan) menunjukkan peningkatan pengetahuan pretest 70-80% dibandingkan dengan kelompok yang diajar menggunakan metode tradisional yang hanya terjadi peningkatan 11%. Namun demikian, Santrock (2011) mengungkapkan bahwa kebanyakan yang digunakan di sekolah dewasa ini bukanlah pembelajaran penemuan “murni”. Dalam pembelajaran penemuan “murni” siswa didorong untuk belajar sendiri dan instruksi diberikan pada level minimal atau bahkan tidak diberikan sama sekali. Sehingga saat guru mulai menggunakan pembelajaran penemuan, guru menyadari bahwa agar efektif, ini perlu untuk dimodifikasi, yang kemudian memunculkan istilah pembelajaran penemuan terbimbing (Guided discovery learning).

Pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pembelajaran dimana siswa didorong untuk menyusun sendiri pemahamannya, namun juga dibantu dengan pertanyaan dan pengarahan dari guru. Hal ini dikarenakan belajar sendiri tidak selalu bermanfaat bagi banyak siswa. Memberi materi lalu

membiarkan siswa belajar sendiri akan menyebabkan siswa mendapatkan solusi yang salah dan strategi yang tidak efisien untuk menemukan informasi. Bahkan ada siswa yang tidak menemukan pengetahuan sama sekali. Menurut Eggen & Kauchak (2012), pembelajaran penemuan terbimbing dapat mendorong pemahaman materi secara mendalam dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Saat siswa memberikan bukti bagi kesimpulan yang diperoleh, hal ini sesungguhnya inti dari berpikir kritis.

Selain itu, pembelajaran penemuan terbimbing secara efektif dapat meningkatkan motivasi siswa. Hal ini dikarenakan pembelajaran penemuan terbimbing memiliki ciri-ciri, yaitu: keterlibatan siswa yang tinggi, jaminan keberhasilan, serta membangkitkan rasa ingin tahu dan tantangan pada siswa. Semakin besar keterlibatan siswa, semakin besar minat mereka. Keterlibatan juga meningkatkan persepsi siswa terhadap kontrol dan otonomi, yang keduanya dapat meningkatkan motivasi siswa. Seseorang secara intrinsik termotivasi oleh kegiatan dan pengalaman yang membangkitkan rasa ingin tahu, tantangan, dan perasaan ‘misteri’. Struktur model pembelajaran penemuan terbimbing memanfaatkan ciri-ciri ini. Saat pembelajaran mencapai kesimpulan yang disepakati, persepsi siswa terhadap kompetensi mereka sendiri juga meningkat. Kombinasi dari faktor-faktor ini –minat yang meningkat lewat keterlibatan, persepsi yang meningkat terhadap kontrol dan kompetensi, dan jaminan keberhasilan yang diberikan oleh pertanyaan berujung terbuka (open-ended question) –bisa secara signifikan meningkatkan motivasi siswa, (Eggen & Kauchak, 2012).

(4)

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran Sains di SDN belum dapat dikatakan telah sesuai dengan konteks pembelajaran da-lam Kurikulum 2006, yaitu pembelajaran yang berbasis aktivitas yang berlandaskan pendekatan ilmiah dan diperkuat dengan penerapan discovery atau inquiry learning, pembelajaran yang menghasilkan karya dan berbasis pemecahan masalah. Temuan yang peneliti peroleh di lapangan berkenaan dengan pembelajaran Sains di SDN adalah: (1) perolehan rerata nilai Sains di beberapa SDN yang diambil secara acak di wilayah Kota Mojokerto masih relatif rendah, (2) guru Sains lebih menekankan pada siswa untuk menerima materi yang disampaikan, dan tidak memberikan kesempatan pada siswanya untuk menemukannya sendiri, (3) sebagian besar guru Sains jarang menggunakan media pembelajaran.

Selain itu, pembelajaran praktik di laboratorium Sains jarang dilakukan. Sesekali guru melakukan pembelajaran praktik secara kelompok di ruang kelas. Yang seringkali terjadi adalah guru hanya melakukan demonstrasi di depan kelas sebagai pengganti pembelajaran praktik. Hal ini dikarenakan kurang memadahinya laboratorium Sains yang ada, baik dari segi jumlah ruang, peralatan praktikum, maupun petugas laboratorium. Setiap SDN rata-rata hanya memiliki satu laboratorium Sains, sedangkan jumlah siswa rata-rata adalah 700 siswa. Temuan peneliti tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran Sains yang dilakukan belum sepenuhnya mengedepankan pencapaian tujuan pembelajaran Sains dari segi produk, proses, dan sikap kritis. Pembelajaran Sains di sekolah masih menitikberatkan pada pencapaian tujuan dari segi produk, yaitu penguasaan sekumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep,

prinsip, teori dan hukum saja.

Semestinya, siswa diharapkan juga memiliki kemampuan untuk mengem-bangkan pengetahuan dan menerapkan konsep yang diperolehnya untuk menjelas-kan dan menjawab permasalahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang tak kalah pentingnya, seharusnya proses untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut didasari oleh sikap-sikap positif, seperti: ingin tahu, jujur, objektif, terbuka, kritis, dan bertanggung jawab. Sikap-sikap tersebut merupakan cerminan atau indikator sikap kritis (Gega, 1986; dan Harlen, 1996). Namun demikian, kurangnya perhatian guru dalam menumbuhkan sikap kritis dalam pembel-ajaran Sains tak lepas dari kurang dibiasakannya siswa bekerja secara ilmiah atau dengan metode ilmiah. Ardhana, et al. (2004) mengemukakan bahwa dalam mempelajari Sains, siswa perlu dibantu dengan keterampilan ilmiah atau bekerja secara ilmiah karena hal ini akan mampu melatih menumbuhkan sikap kritis. Sikap kritis ini akan sangat membantu dalam mengubah prinsipnya dan menerima perbedaan jika ada sesuatu yang baru.

Pembelajaran Sains yang mengedepankan perolehan hasil tanpa memperhatikan proses atau kerja ilmiah, tentu akan memberikan pemahaman konsep, teori, atau hukum yang kering dan kurang bermakna. Untuk itu, Guided discovery learning yang tepat adalah pembelajaran yang lebih banyak doing science, bukan pembelajaran yang listening to scientific knowledge. Artinya, dalam pembelajaran Sains sebaiknya guru mengurangi ceramah dan lebih banyak berperan sebagai fasilitator dengan mendorong siswa melakukan proses-proses ilmiah (Rapi, 2005). Jika dilihat dari hakikat Sains (IPA sebagai produk dan

(5)

Sains sebagai proses), pembelajaran Sains di sekolah semestinya memberikan penekanan yang seimbang antara keduanya. Hal ini karena kedua dimensi tersebut merupakan dua dimensi yang terjalin erat sebagai satu kesatuan. Proses Sains akan menghasilkan pengetahuan yang baru, dan pengetahuan sebagai produk Sains akan memunculkan perta-nyaan baru untuk diteliti melalui proses Sains, sehingga menghasilkan pengetahuan (produk Sains) yang baru lagi (Sadia, 2014).

Kariasa & Subrata (2000) mengungkapkan bahwa produk Sains akan tercapai dengan baik apabila proses untuk mendapatkan pengetahuan tersebut juga dilatih dengan baik, melalui keterampilan-keterampilan (keterampilan proses) dan sikap-sikap seperti yang di-miliki oleh ilmuwan (sikap kritis). Hal senada juga diungkapkan oleh Suastra (2009), bahwa penumbuhan sikap kritis siswa dapat dilakukan dengan meniru cara kerja ilmuwan menerapkan sikap kritis dalam melakukan penelitian-penelitiannya. Pembelajaran Sains dengan Guided discovery learning penemuan adalah pembelajaran Sains yang dirancang sehingga siswa dapat menemukan konsep atau prinsip ilmiah melalui proses mentalnya sendiri. Pembelajaran penemuan terbimbing mengajak dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan proses mentalnya, seperti: mengadakan pengamatan, melakukan pengukuran, mengadakan klasifikasi, mendeskripsikan data yang diperoleh, dan menarik kesimpulan (Sadia, 2014). Menurut Sudarma (2012), sikap kritis dapat ditumbuhkan apabila sejak dini siswa telah dikenalkan dengan kegiatan-kegiatan melalui metode atau proses ilmiah dalam pembelajaran Sains. Guided

discovery learning penemuan terbimbing sa-ngat mengakomodir terjadinya kegiatan-kegiatan tersebut melalui fase atau tahap-tahap pembelajarannya, yaitu: identifikasi masalah, pengumpulan data, pengolahan data, verifikasi, dan generalisasi.

Selain faktor Guided discovery learning, terdapat sejumlah faktor yang juga berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Guru perlu memperhatikan karakteristik siswa, seperti: bakat, minat, motivasi, gaya kognitif, intelegensi, dan lainnya. Hal ini dikarenakan variabel-variabel tersebut ikut mempengaruhi hasil pembelajaran. Reigeluth (1983) menyebut karakteristik siswa tersebut sebagai kondisi pembelajaran. Reigeluth (1983:14) mengemukakan bahwa “instructional condi-tions are defined as factors that influence the effects of methods and are therefore important for prescribing methods. Hence, conditions are variables that both (1) interact with methods to influence their relative effectiveness and (2) cannot be manipulated in a given situation.” Reigeluth & Merrill (1979) mengelompokkan variabel kondisi pembelajaran menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) tujuan dan karakteristik mata pelajaran, (2) kendala dan karakteristik mata pelajaran, dan (3) karakteristik pebelajar. Karakteristik pebelajar adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan pebelajar, seperti: bakat, minat, motivasi, orientasi tujuan, intetegensi, gaya kognitif, learning outcomes yang telah dimiliki, dan lain-lain.

Djaali (2013) mengemukakan bahwa tinggi rendahnya learning outcomes siswa disebabkan oleh adanya pengaruh dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berpengaruh dan erat kaitannya dengan learning outcomes, di antaranya adalah motivasi yang dimiliki siswa. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh banyak ditentukan oleh

(6)

pendekatan, metode atau strategi yang digunakan guru dalam pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada bagaimana suatu bahan ajar disampaikan dan ada variabel lain yang sangat diperlukan terhadap keberhasilan pembelajaran yaitu motivasi, (Degeng, 1989). Menurut pandangan peneliti, peran motivasi dalam kegiatan pembelajaran merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan, karena juga mempengaruhi learning outcomes. Kenyataannya, siswa yang memiliki motivasi tinggi lebih giat belajar dan tidak mudah menyerah meskipun menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Seorang cenderung senang melakukan kegiatan belajar apabila orang tersebut merasa senang terhadap pelajaran. Ini berarti bahwa seorang siswa yang mengerjakan kegiatan belajar dengan rasa senang dan termotivasi akan cenderung mengulangi dan bila kegiatan terus diulang-ulang, maka akan dapat meningkatkan prestasinya.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, kiranya perlu dilakukan peningkatan terhadap learning outcomes Sains dan sikap kritis siswa di SDN. Penerapan Guided discovery learning penemuan terbimbing diduga dapat digunakan sebagai alternatif dalam peningkatan kualitas pembelajaran, learning outcomes Sains dan sikap kritis siswa SDN. Hasil pengamatan empirik pada guru-guru SDN di Kota Mojokerto menunjukkan bahwa para guru masih kurang memahami, dan kurang dapat menerapkan Guided discovery learning penemuan terbimbing secara baik. Untuk itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Analisa Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes Sains

dan Sikap kritis Siswa Kelas VI SD Negeri di Kota Mojokerto”. Hal ini dikarenakan Guided discovery learning penemuan terbimbing diduga dapat meningkatkan learning outcomes Sains dan sikap kritis siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keunggulan antara Guided discovery learning penemuan terbimbing (Guided discovery learning) versus Guided discovery learning ekspositori (expository learning), serta untuk mengetahui signifikansi interaksi antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning outcomes Sains dan sikap kritis siswa kelas VI di SD Negeri Kota Mojokerto.

Metode

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi-experimental) dengan jenis pre-test and post-test nonequivalent control-group design faktorial 2x2. Dalam penelitian ini terdapat satu variabel bebas dan satu variabel moderator, yang mana masing-masing variabel tersebut dibagi menjadi dua taraf atau dimensi yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikatnya, sehingga merupakan pola rancangan faktorial 2x2. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) variabel bebas, yakni Guided discovery learning, yang dibagi menjadi dua taraf/dimensi, yaitu: Guided discovery learning penemuan terbimbing dan ekspositori; dan (2) variabel moderator, yakni motivasi siswa, yang juga dibagi menjadi dua taraf/dimensi, yaitu: motivasi tinggi dan motivasi rendah.

Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VI SD Negeri di kota Mojokerto pada tahun pelajaran 2016/2017. Untuk menentukan sekolah yang dijadikan sampel penelitian, digunakan teknik cluster random sampling (teknik sampling secara acak kelompok).

(7)

Dari 67 SDN, dipilih dua SDN secara acak sebagai sampel penelitian. Selanjutnya, dari dua SDN yang terpilih, diambil masing-masing dua kelas VI. Jadi total terdapat empat kelas yang terpilih sebagai sampel penelitian. Alasan diambilnya dua SDN sebagai sampel penelitian secara acak adalah dikarenakan meskipun wilayah penelitian cukup luas, namun populasi yang ada relatif homogen. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis instrumen penelitian sebagai alat pengumpulan data, yaitu: (1) instrumen tes, dan (2) instrumen angket, yang terdiri atas: (a) angket motivasi, dan (b) angket sikap kritis. Instrumen tes digunakan untuk mengukur variabel learning outcomes siswa. Data-data mentah yang telah terkumpul tersebut kemudian diolah dan dianalisis, baik secara statistik deskriptif maupun inferensial. Teknik analisis statistik deskriptif dilakukan untuk mendapatkan gambaran penyebaran data penelitian masing-masing variabel sebagaimana adanya, tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum, (Sugiyono, 2007:29). Sementara itu, teknik analisis statistik inferensial dilakukan untuk menguji hipotesis penelitian. Dalam penelitian ini, teknik manova yang digunakan untuk menguji pengaruh atau perbedaan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning outcomes dan sikap kritis siswa adalah manova (factoral design).

Hasil

Analisis data dengan teknik manova untuk menguji hipotesis pengaruh utama dan pengaruh interaksi variabel Guided discovery learning dan motivasi terhadap variabel learning outcomes Sains dan sikap kritis dihitung dengan bantuan program aplikasi IBM SPSS Statistic 20 for Windows disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Pengaruh Utama (Tests of Between-Subjects Effects) Source Dependent Variable Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model Hasil_Belajar Sikap_Ilmiah 3985,0885979,179ab 3 3 1993,060 1328,363 27,478 0,000 58,761 0,000 Intercept Hasil_Belajar 640530,229 Sikap_Ilmiah 522433,389 1 640530,229 8830,802 0,000 1 522433,389 23110,318 0,000 Guided_discovery_learning Hasil_Belajar Sikap_Ilmiah 1628,839 2488,774 1 1 1628,839 2488,774 110,093 0,000 22,456 0,000 Motivasi_Berprestasi Hasil_Belajar Sikap_Ilmiah 3798,877 1281,528 1 1 3798,877 1281,528 52,374 0,000 56,690 0,000 Guided_discovery_learning

* Motivasi_Berprestasi

Hasil_Belajar 162,962 1 162,962 2,247 0,136 Sikap_Ilmiah 0,066 1 0,066 0,003 0,957 Error Hasil_Belajar 10154,710 140 Sikap_Ilmiah 3164,849 140 72,534 22,606

Total Hasil_Belajar 652406,000 144 Sikap_Ilmiah 528073,000 144 Corrected Total Hasil_Belajar 16133,889 143 Sikap_Ilmiah 7149,937 143

a. R Squared =0 ,371 (Adjusted R Squared = 0,357)

b. R Squared = 0,557 (Adjusted R Squared = 0,548)

Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes

Sains

Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-1 dengan teknik manova diperoleh nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,00 < 0,05, berarti Ho1 ditolak. Sehingga dapat

disimpulkan “Ada perbedaan learning outcomes Sains yang signifikan antara kelompok siswa yang menggunakan Guided discovery learning penemuan terbimbing dan ekspositori.” Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-2 dengan teknik manova diperoleh bahwa nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,00 < 0,05. Hal ini berarti bahwa Ho2 ditolak. Sehingga dapat

disimpulkan“Ada perbedaan learning outcomes Sains yang signifikan antara kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah.” Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-3 dengan teknik manova diperoleh bahwa nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,316 > 0,05. Hal ini berarti bahwa Ho3 diterima. Sehingga dapat

disimpulkan“Tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning outcomes Sains.”

(8)

Pengaruh Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Sikap kritis Siswa

Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-4 dengan teknik manova diperoleh bahwa nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,00 < 0,05. Hal ini berarti bahwa Ho4 ditolak.

Sehingga dapat disimpulkan “Ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang menggunakan Guided discovery learning penemuan terbimbing dan ekspositori.” Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-5 dengan teknik manova diperoleh bahwa nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,00 < 0,05. Hal ini berarti bahwa Ho5 ditolak.

Sehingga dapat disimpulkan “Ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah.” Berdasarkan hasil uji hipotesis ke-5 dengan teknik manova diperoleh bahwa nilai probabilitas (sig.) perhitungan = 0,957 > 0,05. Hal ini berarti bahwa Ho6 diterima. Sehingga

dapat disimpulkan “Tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap sikap kritis siswa kelas VI SDN.”

Pembahasan

Pengaruh Guided discovery learning terhadap Learning outcomes Sains

Berdasarkan hasil uji hipotesis dapat ditunjukkan bahwa ada perbedaan

learning outcomes Sains yang signifikan antara kelompok siswa yang diberi perlakuan dengan Guided discovery

learning penemuan terbimbing dan

kelompok siswa yang diberi perlakuan dengan Guided discovery learning

ekspositori. Perbedaan learning outcomes

Sains yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan tersebut menunjukkan bahwa learning outcomes Sains dipengaruhi oleh Guided discovery learning yang digunakan.

Perbedaan learning outcomes Sains pada kedua kelompok siswa ini diduga karena adanya perlakuan yang berbeda,

yaitu berupa penerapan Guided discovery learning yang berbeda. Dugaan ini cukup beralasan karena materi pelajaran dan soal-soal tes yang diberikan pada kedua kelompok sama, serta fasilitas belajar pada masing-masing kelas sudah setara. Hal ini berarti bahwa penerapan Guided discovery

learning penemuan terbimbing

memberikan pengaruh yang lebih baik pada perolehan learning outcomes Sains dari-pada penerapan Guided discovery learning

ekspositori. Dengan kata lain dapat diinter-pretasikan bahwa penerapan Guided discovery learning penemuan terbimbing lebih efektif dalam perolehan learning outcomes Sains daripada penerapan Guided discovery learning ekspositori.

Dalam penerapan Guided discovery learning penemuan terbimbing, siswa tidak hanya aktif secara fisik namun juga secara mental. Siswa dilibatkan dengan permasalahan nyata, memunculkan rasa ingin tahu dan antusias yang tinggi, melakukan proses ilmiah, seperti: mengamati, mengklasifikasi, mengukur, dan menghitung, serta melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti: menganalisis, mengevaluasi, dan berpikir kritis. Pembelajaran penemuan terbimbing sangat efektif dalam pembelajaran Sains telah ditunjukkan dalam penelitian Bredderman & Glasson (dalam Santrock, 2011). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa siswa yang mempelajari Sains dengan menggunakan aktivitas dan metode pembelajaran penemuan terbimbing mendapat nilai lebih tinggi dalam pembelajaran Sains daripada di kelas yang diajar dengan metode pembelajaran langsung.

Keunggulan lain dari penggunaan

Guided discovery learning penemuan

terbimbing adalah: (a) dengan interaksi yang tinggi, siswa akan memiliki konsepsi yang benar tentang topik yang mereka pela-jari, (b) pemahaman yang terbangun dengan pembelajaran penemuan terbimbing cenderung menghasilkan retensi

(9)

(penyimpanan) dan transfer jangka panjang yang lebih baik, (c) membimbing siswa mengembangkan pemahaman jauh lebih mengasyikkan daripada sekedar menjelaskan topik yang ada pada siswa, dan (d) model pembelajaran penemuan terbimbing sangat fleksibel (Eggen & Kauchak, 2012).

Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. oleh Udo; Ugwuadu; serta Akinbobolaa & Afolabib (2010), Ozomadu (2011); Abdisa & Getinet; dan Smitha (2012); Akanmu & Fajemidagba; Mirasi, et al.; dan Salu (2013), Akanbi & Kolawole (2014), dan Bamiro (2015).

Penelitian Udo (2010); Akinbobolaa & Afolabib (2010); dan Abdisa & Getinet (2012) tentang pengaruh relatif dari tiga metode pembelajaran, yaitu: penemuan terbimbing, demonstrasi, dan metode tradisional (ekspositori) terhadap prestasi dan kinerja siswa menunjukkan hasil yang relatif sama. Dalam penelitian-penelitian tersebut diperoleh temuan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam prestasi dan kinerja antara siswa yang diajarkan dengan penemuan terbimbing, demonstrasi, dan ekspositori. Siswa yang diajar dengan metode penemuan terbimbing memiliki rerata skor postes paling tinggi, diikuti siswa yang diajar dengan demonstrasi, dan siswa yang diajar dengan metode ekspositori yang terendah. Hasil analisis

post hoc dengan uji Scheffe menunjukkan bahwa metode penemuan terbimbing yang paling efektif, diikuti oleh demonstrasi, sedangkan metode ekspositori adalah yang paling tidak efektif.

Hasil penelitian Smitha (2012) menyimpulkan bahwa ada perbedaan pres-tasi sains yang signifikan antara kelompok siswa dengan pembelajaran penemuan terbimbing dan ekspositori. Kelompok siswa dengan pembelajaran penemuan ter-bimbing memiliki skor rerata postes yang lebih tinggi daripada kelompok siswa

dengan pembelajaran ekspositori. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Salu (2013) yang menyimpulkan bahwa ada pengaruh penerapan Guided discovery learning penemuan terbimbing pada mata pelajaran Sains terhadap learning outcomes

siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa

learning outcomes Sains lebih tinggi 4,7% pada strategi penemuan terbimbing (77,32%) dibanding dengan strategi konvensional (72,53%).

Dalam penelitian Mirasi, et al. (2013) disimpulkan bahwa pembelajaran

Guided discovery (GD) sangat efektif dalam mengajar biologi sebagai lawan

exposition-with-interaction methods (EI). Pencapaian rata-rata prestasi belajar siswa dengan metode GD lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan metode EI. Mereka yang diajar dengan metode GD secara signifikan memiliki kinerja yang lebih baik daripada yang diajar dengan metode EI. Hasil penelitian Akanbi & Kolawole (2014) menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata postes learning outcomes

Biologi yang signifikan antara siswa yang menggunakan strategi penemuan terbimbing dan siswa yang menggunakan strategi konvensional. Ini menunjukkan bahwa strategi penemuan terbimbing mampu meningkatkan prestasi siswa dalam pelajaran Biologi. Dalam penelitian Bamiro (2015) ditemukan bahwa siswa yang diajar dengan strategi penemuan terbimbing memperoleh nilai rata-rata postes secara signifikan lebih tinggi daripada mereka yang diajar dengan ceramah (lecture

strategy). Temuan penelitian ini

membuktikan efektivitas strategi penemuan terbimbing lebih baik dalam meningkatkan prestasi siswa daripada metode ceramah.

Guided discovery learning

penemuan terbimbing merupakan salah satu Guided discovery learning yang dilandasi oleh pandangan konstruktivisme. Menurut pandangan konstruktivisme, belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan oleh siswa berdasarkan

(10)

pengetahuan yang telah dimilikinya (Roblyer, 2006; dan Basser, 2006). Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah proses aktif mengkonstruksi arti. Proses belajar memiliki ciri: (1) belajar berarti membentuk makna, (2) konstruksi arti adalah proses yang terus-menerus, (3) belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru, (4) proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut, (5) learning outcomes dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya, dan (6) learning outcomes seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi siswa dengan bahan yang dipelajari (Suparno, 1997).

Pandangan konstrukivisme memberi penekanan pada belajar aktif (Donaldson, 2005). Guided discovery

learning penemuan terbimbing mampu

mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah yang bersifat kontekstual, dan mereka bekerja sama secara kolaboratif dalam suatu kelompok kecil, serta secara bergantian mempresentasikan hasil kerja mereka di depan kelas. Kegiatan belajar semacam ini merupakan kegiatan belajar yang bermakna, bukan sekedar kegiatan menerima dan menghafal pengetahuan yang diberikan oleh guru. Dalam strategi penemuan terbimbing, kegiatan pembelajaran lebih ditekankan pada proses, sehingga siswa mengalami kegiatan belajar yang lebih mendalam melalui aktivitas pemecahan masalah, tidak sekedar tahu dan hafal isi materi pembelajaran.

Pengaruh Motivasi terhadap Learning outcomes Sains

Berdasarkan hasil uji hipotesis kedua dapat disimpulkan bahwa ada perbe-daan learning outcomes yang signifikan

antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan yang memiliki motivasi rendah. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi memperoleh rerata learning

outcomes yang lebih baik daripada

kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah. Perbedaan learning outcomes Sains yang signifikan pada kedua kelompok siswa tersebut menunjukkan bahwa tingkat motivasi siswa mempengaruhi perolehan

learning outcomes siswa. Perolehan

learning outcomes yang lebih baik pada siswa dengan tingkat motivasi tinggi ini sesuai dengan Heckhausen (1987); dan Keller et al. (dalam Degeng, 1991) yang mengungkapkan bahwa siswa yang motivasinya tinggi akan selalu bekerja keras, tangguh, tidak mudah putus asa, ingin mendapatkan prestasi yang lebih tinggi, khawatir akan kegagalan, berorientasi ke masa depan, menyenangi tugas yang memiliki tingkat kesulitan sedang, dan menyukai balikan yang cepat mengenai prestasinya, juga bertanggung jawab dalam memecahkan masalah.

Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Narang (1981), Ames & Archer (1988), Hamsu (1999), Tella (2007), Utomo (2009), Singh; Bakhtiarvand et al; Cavas; dan Awan et al. (2011), Chetri; dan Susanti (2014). Hasil penelitian Narang (1981); dan Hamsu (1999) menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif yang signifikan antara motivasi dengan learning outcomes. Begitu juga Bakhtiarvand et al. (2011) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara motivasi dan learning outcomes dengan nilai korelasi (r) = 0,43 dan signifikansi (p) < 0,01. Temuan lain yang sejalan ditunjukkan dalam penelitian Ames & Archer (1988); Tella (2007); Utomo (2009); dan Cavas (2011). Hasil penelitian mereka menemukan adanya perbedaan

learning outcomes yang signifikan antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan

(11)

rendah. Siswa yang memiliki motivasi tinggi memperoleh learning outcomes yang lebih tinggi daripada siswa yang memiliki motivasi rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat motivasi siswa berpengaruh terhadap learning outcomes siswa.

Korelasi antara motivasi dengan prestasi akademik siswa menengah juga ditunjukkan dalam penelitian Awan et al.

(2011); dan Chetri (2014). Dalam penelitian Awan et al. (2011) disimpulkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara motivasi dengan hasil prestasi akademik siswa pada pelajaran matematika dan bahasa Inggris dengan angka korelasi sebesar 0,424 dan 0,403 dengan taraf signifikansi 0,01. Sementara hasil penelitian Chetri (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan prestasi akademik siswa dengan nilai chi-square hitung = 3,394 dan signifikan pada taraf signifikansi untuk empat derajat kebebasan 0,05.

Blank (dalam Singh, 2011) mengungkapkan bahwa berkembangnya motivasi sejak dini berimplikasi signifikan pada karir akademik di masa depan. Banyak temuan penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi lebih dimungkinkan mengalami peningkatan prestasi akademik, dan memiliki angka putus sekolah yang lebih rendah. Hasil penelitian juga menemukan bahwa siswa yang memiliki motivasi tinggi, memiliki ekspektasi yang tinggi pula pada learning outcomes sebagai pencapaian akhir. Motivasi merupakan karakteristik individu yang khas, yang berbeda antara individu dengan motivasi tinggi dan individu dengan motivasi rendah. Perbedaan kedua individu dengan motivasi berbeda tersebut berimplikasi pada perbedaan individu dalam menerima, mengorganisasi, memroses, memikirkan, dan memecahkan masalah. Individu yang memiliki motivasi tinggi berbeda dengan individu yang memiliki motivasi rendah, sehingga hasil yang diperoleh

masing-masing individu juga akan berbeda. Individu yang memiliki motivasi tinggi akan memperoleh learning outcomes yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki motivasi rendah. Semakin tinggi motivasi seorang siswa, semakin tinggi pula learning outcomes yang diperolehnya. Dengan temuan ini menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara motivasi dengan learning outcomes. Hal ini berarti temuan-temuan penelitian terdahulu yang telah dikemukakan sebelumnya mendukung hasil penelitian ini.

Pengaruh Interaksi Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Learning outcomes Sains

Pada hasil uji hipotesis ketiga telah ditunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap

learning outcomes Sains pada siswa kelas VI SDN. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis dengan teknik manova, diperoleh nilai Fhitung = 2,247 dan taraf signifikansi

0,136, lebih dari taraf signifikansi penelitian, yaitu 0,05. Tidak adanya pengaruh interaksi antar kedua variabel bebas, yaitu Guided discovery learning dan motivasi menunjukkan bahwa masing-masing variabel bebas tersebut memberikan pengaruh yang kuat pada variabel terikatnya, yaitu learning outcomes secara terpisah dan mandiri (sendiri-sendiri). Pernyataan ini sesuai dengan hasil uji hipotesis pertama dan kedua yang telah dibahas pada dua sub bab sebelumnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kerlinger (1986) bahwa interaksi dapat pula tidak terjadi, jika lebih dari satu variabel bebas membawa akibat utama (main effect) yang terpisah terhadap variabel terikat. Adanya pengaruh masing-masing variabel Guided discovery learning

dan motivasi yang sama-sama kuat terhadap variabel learning outcomes, maka pengaruh interaksi kedua variabel bebas

(12)

terhadap variabel terikat diharapkan lemah dan tidak signifikan. Tidak adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara

Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning outcomes Sains sesuai dengan beberapa temuan penelitian terdahulu. Hasil penelitian Utomo (2009), Winarto (2012), Salu (2013), dan Susanti (2014) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara

Guided discovery learning dan motivasi terhadap perolehan learning outcomes

siswa.

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan pada subbab A dan B se-belumnya bahwa secara terpisah, masing-masing variabel Guided discovery learning

dan motivasi berpengaruh terhadap perolehan learning outcomes siswa. Pe-ngaruh masing-masing variabel bebas terhadap perolehan learning outcomes juga didukung baik secara teoritis maupun empiris oleh penelitian-penelitian terdahulu. Tidak adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning

outcomes Sains, menunjukkan bahwa

Guided discovery learning penemuan

terbimbing dapat diterapkan dalam kelas dan dapat meningkatkan learning outcomes

siswa, terlepas apakah siswa memiliki motivasi tinggi ataukah rendah. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Guided discovery learning

penemuan terbimbing terhadap learning outcomes siswa tidak dipengaruhi oleh motivasi. Hal ini berarti bahwa strategi penemuan terbimbing memiliki keunggulan ketika diterapkan di dalam kelas, dan ber-dampak pada perolehan learning outcomes

siswa. Begitu juga sebaliknya, temuan penelitian menunjukkan bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap

learning outcomes, namun tidak ada

pengaruh interaksi dengan penerapan strategi penemuan terbimbing. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan adanya siswa yang memiliki tingkat motivasi berbeda dalam pembelajaran, akan berdampak pada

perolehan learning outcomes siswa yang berbeda pula.

Pengaruh Guided discovery learning terhadap Sikap kritis

Hasil uji hipotesis keempat dengan teknik manova diperoleh nilai Fhitung =

110,093 dengan signifikansi (p) = 0,00 < 0,05. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang diajar dengan Guided discovery

learning penemuan terbimbing dan

kelompok siswa yang diajar dengan Guided

discovery learning ekspositori. Hasil

analisis statistik deskriptif menunjukkan skor rerata sikap kritis siswa yang diajar dengan Guided discovery learning

penemuan terbimbing adalah 64,41, lebih tinggi daripada kelompok siswa yang diajar dengan Guided discovery learning

ekspositori, yaitu 55,80.

Temuan penelitian ini sesuai dengan kajian teoritis dan empiris. Penelitian sebelumnya tentang pengaruh Guided discovery learning yang berbeda terhadap sikap kritis siswa dilakukan oleh Winarni (2006), Al Jbour (2007), Maimuna; dan Ergul et al. (2011), Sudarma (2012), Al Rabadi et al. (2013), dan Afrida (2014). Temuan penelitian Winarni (2006) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada sikap kritis antara kelompok siswa dengan strategi inkuiri terbimbing dan ekspositori. Sikap kritis siswa dengan strategi inkuiri terbimbing lebih tinggi daripada dengan ekspositori. Penelitian Al Jbour (2007) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Guided discovery learning terhadap sikap kritis siswa. Temuan penelitian menyimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada skor rerata sikap kritis antara kelompok eksperimen (process approach teaching method) dan kelompok kontrol (traditional teaching method). Ini sejalan dengan temuan penelitian Al Rabadi et al. (2013) yang menyimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan sikap kritis siswa kelas 8

(13)

SDN di Jordania karena metode pembelajaran yang digunakan (process approach and traditional teaching).

Hasil penelitian lain yang sejalan adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Maimuna (2011). Dalam penelitiannya diperoleh temuan bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kemampuan sikap kritis siswa kelas VII SDN, yaitu sebesar 7,03% selama dua siklus pembelajaran dalam penelitian yang dilakukannya. Peningkatan kemampuan bersikap kritis yang dimiliki siswa disebabkan oleh keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yang bersifat ilmiah (proses ilmiah). Proses ilmiah yang dialami siswa dalam pembelajaran inkuiri terbimbing akan melibatkan sikap-sikap kritis yang ditunjukkan dalam pelaksanaan setiap tahap pembelajarn inkuiri. Sedangkan hasil penelitian Ergul et al. (2011) menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara siswa (kelompok usia 13-14 tahun) yang diajar dengan pembelajaraan sains berbasis penemuan dengan yang diajar dengan pembelajaran tradisional dengan signifikansi p = 0,02 < 0,05. Kelompok siswa dengan pembelajaraan sains berbasis penemuan memperoleh rerata skor tes sikap kritis yang lebih tinggi daripada kelompok siswa yang diajar dengan pembelajaran tradisional.

Pengaruh Guided discovery

learning terhadap sikap kritis juga

ditunjukkan dalam hasil penelitian Sudarma (2012), dan Afrida (2014). Sudarma (2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap kritis siswa kelas V SD yang diajar dengan strategi siklus belajar dan yang diajar dengan pembelajaran langsung menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Skor rata-rata sikap kritis siswa yang diajar dengan strategi siklus belajar lebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran langsung. Sedangkan dalam

penelitian Afrida (2014) tentang pengaruh tiga Guided discovery learning (problem

solving, Guided discovery, dan

konvensional) terhadap sikap kritis,

learning outcomes biologi, dan kemampuan berpikir kritis siswa SMA ditemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan

Guided discovery learning terhadap sikap kritis siswa. Skor rerata sikap kritis siswa yang diajar dengan strategi penemuan terbimbing paling tinggi, yaitu 75,83, kemudian disusul strategi problem solving

72,26, dan terakhir pembelajaran konvensional sebesar 67,64.

Sikap kritis dapat ditumbuhkan pada diri siswa, jika sejak dini siswa di-perkenalkan dengan kegiatan-kegiatan tertentu melalui metode atau proses ilmiah dalam proses pembelajaran. Guided discovery learning penemuan terbimbing memiliki fase-fase pembelajaran, yaitu: pemberian rangsangan, identifikasi masalah, pengumpulan dan pengolahan data, verifikasi, serta generalisasi, yang secara umum disebut metode ilmiah (Moore, 2005). Fase-fase tersebut sangat memungkinkan untuk membantu siswa dalam memahami atau menguasai konsep sains, melatih keterampilan proses, dan menumbuhkan sikap kritis, di samping mengembangkan pengetahuan siswa terhadap sains. Kondisi pembelajaran seperti ini, akan memberikan peluang

kepada siswa untuk

menumbuhkembangkan sikap kritis mereka, seperti: rasa ingin tahu, respek terhadap fakta atau bukti, sikap berpikiran terbuka, dan berpikir kritis.

Pembelajaran penemuan yang dikemukakan Bruner (1966) menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan. Carin & Sund (1989) menyatakan bahwa sikap yang selalu mengiringi proses discovery/inquiry

(14)

dalam pembelajaran Sains adalah sikap kritis, yang mencakup: hasrat ingin tahu, kerendahan hati, sikap terbuka, jujur/objektif, dan pendekatan positif terhadap kegagalan. National Research

Council (2001) mengungkapkan bahwa

faktor kunci dari pembelajaran Sains dengan belajar penemuan adalah pengalaman siswa, investigasi terhadap suatu pemecahan masalah. Perolehan pengetahuan dari pengalaman akan menjadikan siswa lebih antusias dan mendorong keingintahuan, yang me-rupakan bagian dari sikap kritis.

Menurut Harlen (dalam Bundu, 2006), untuk mengembangkan sikap kritis siswa, dalam pembelajaran guru perlu memperlihatkan contoh sikap kritis, memberi penguatan positif terhadap sikap kritis dengan pujian dan penghargaan, memberikan kesempatan untuk mengembangkan sikap kritis dengan mendiskusikan tingkah laku yang berhubungan dengan sikap kritis. Memperlihatkan contoh sikap kritis yang dapat ditiru siswa merupakan hal yang paling penting dan positif yang dapat dilakukan oleh guru, misalkan menunjukkan atau memberi contoh pada siswa bahwa pendapat guru juga dapat diubah atau dibantah jika telah ditemukan bukti-bukti pendukung atau fakta-fakta yang lain. Begitu juga saat siswa sudah memperlihatkan sikap positif, maka guru perlu memberikan penguatan berupa penghargaan atau pujian yang tulus. Selain itu, siswa mulai diajak untuk selalu menumbuhkan sikap ingin tahu respek terhadap bukti atau fakta, berpikir terbuka, dan berpikir kritis melalui tugas-tugas yang dapat dimaknai dengan jelas oleh siswa. Pembelajaran yang bermakna tentu akan menumbuhkan rasa keingintahuan siswa untuk memahami dan mengerti apa yang akan dan sedang dikerjakannya. Sikap ingin tahu akan memunculkan pertanyaan yang kritis, dan pertanyaan-pertanyaan kritis akan menyadarkan siswa tentang kemungkinan adanya beberapa

alternatif jawaban yang didapat dalam suatu kegiatan. Alternatif jawaban tentu didasarkan pada fakta atau bukti dan data yang tepat. Implikasi penggunaan data dan fakta yang diperoleh adalah sikap jujur untuk mau menerima ide baru atau mengubah pendapatnya, jika tidak lagi didukung oleh fakta dan data yang akurat. Pengaruh Motivasi terhadap Sikap kritis

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa rerata skor sikap kritis kelompok siswa dengan tingkat motivasi tinggi adalah 63,76, lebih tinggi daripada kedua kelompok siswa dengan tingkat motivasi rendah, yaitu 56,70. Berdasarkan hasil uji hipotesis kelima dengan teknik manova, diperoleh bahwa nilai F hitung = 56,690 dan signifikansi (p) = 0,00. Sehingga disimpulkan bahwa ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah pada siswa kelas VI SDN. Adanya perbedaan sikap kritis antara kedua kelompok siswa dengan tingkat motivasi yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap sikap kritis siswa.

Pengaruh motivasi terhadap sikap kritis siswa didukung oleh kajian teori maupun empiris melalui temuan-temuan penelitian yang diperoleh oleh Simatupang (2011), Cavas (2011), serta Pyari & Shrama (2013). Penelitian yang berkaitan dengan pengaruh motivasi terhadap sikap kritis siswa dilakukan oleh Simatupang (2011). Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa sikap kritis siswa yang memiliki motivasi tinggi lebih baik (lebih tinggi) daripada sikap kritis siswa yang memiliki motivasi rendah. Hal ini senada dengan temuan Cavas (2011). Dalam penelitian Cavas (2011) ditunjukkan bahwa tingkat motivasi siswa juga mempengaruhi sikap kritis dan prestasi mereka di bidang sains. Sehingga siswa yang memiliki motivasi

(15)

tinggi untuk belajar akan lebih berhasil dalam belajar sains dan sikap kritis mereka lebih positif daripada siswa lainnya. Hasil penelitiannya menemukan bahwa dengan bertambah tingkat motivasi siswa dari rendah ke tinggi, maka rata-rata skor sikap kritis siswa juga bertambah meningkat, yaitu 3,34 pada kelompok siswa dengan motivasi rendah, dan 4,40 pada kelompok siswa dengan motivasi tinggi. Keterlibatan adalah faktor utama yang meningkatkan minat intrinsik seseorang terhadap satu kegiatan. Hal yang sama berlaku bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran. Semakin besar keterlibatan mereka, semakin besar minat mereka (Eggen & Kauchak, 2012). Dengan keterlibatan yang besar dan motivasi yang tinggi, maka siswa akan semakin bersemangat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Selain itu, orang secara intrinsik termotivasi oleh kegiatan dan pengalaman yang membangkitkan rasa ingin tahu, tantangan dan perasaan misteri, (Eggen & Kauchak, 2012).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pyari & Shrama (2013) tentang pe-ngaruh variabel psiko-sosial dan biografi pada sikap kritis siswa sekolah menengah, ditemukan bahwa ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah. Siswa yang memiliki motivasi tinggi memiliki sikap kritis yang lebih baik. Dengan tingkat motivasi yang tinggi, sikap-sikap kritis dapat lebih mudah ditumbuhkembangkan selama pembelajaran Sains berlangsung. Hal ini dikarenakan, siswa akan selalu memiliki dorongan yang kuat untuk terus belajar dengan tekun dan aktif dalam proses ilmiah dalam kegiatan belajarnya untuk mencapai learning outcomes yang diinginkan.

Pengaruh Interaksi Guided discovery learning dan Motivasi terhadap Sikap kritis

Berdasarkan hasil uji hipotesis

keenam ditunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara

Guided discovery learning dan motivasi terhadap sikap kritis siswa kelas VI SDN. Hal ini didukung oleh hasil analisis dengan teknik manova, yaitu diperoleh nilai Fhitung

= 0,003 dan signifikansi (p) = 0,956 > 0,05. Tidak adanya pengaruh interaksi antar kedua variabel bebas, yaitu Guided discovery learning dan motivasi terhadap sikap kritis dikarenakan masing-masing variabel bebas tersebut memberikan pengaruh yang signifikan pada variabel sikap kritis secara terpisah (sendiri-sendiri). Seperti diungkapkan oleh Kerlinger (1986); dan Hair et al. (1995) bahwa interaksi tidak terjadi jika lebih dari satu variabel bebas membawa akibat utama (main effect) yang terpisah terhadap variabel terikat. Adanya pengaruh masing-masing variabel Guided discovery learning dan motivasi yang sama-sama kuat terhadap sikap kritis siswa, maka pengaruh interaksi kedua variabel bebas terhadap variabel terikat diharapkan lemah dan tidak signifikan.

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan pada subbab D dan E se-belumnya bahwa masing-masing variabel

Guided discovery learning dan motivasi berpengaruh terhadap sikap kritis siswa secara terpisah. Pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap sikap kritis siswa juga didukung baik secara teoritis maupun empiris oleh penelitian-penelitian terdahulu. Tidak adanya pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap sikap kritis, menunjukkan bahwa Guided discovery

learning penemuan terbimbing dapat

diterapkan dalam kelas dan dapat me-ningkatkan sikap kritis siswa, terlepas apakah siswa memiliki motivasi tinggi ataukah rendah. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Guided discovery learning penemuan terbimbing terhadap sikap kritis siswa tidak di-pengaruhi oleh motivasi. Hal ini berarti bahwa strategi penemuan terbimbing memiliki keunggulan ketika diterapkan di

(16)

dalam kelas, dan berdampak pada peningkatan sikap kritis siswa. Begitu juga sebaliknya, temuan penelitian menunjukkan bahwa motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap sikap kritis, namun tidak ada pengaruh interaksi antara motivasi dengan penerapan strategi penemuan terbimbing pada sikap kritis siswa. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan adanya siswa yang memiliki tingkat motivasi berbeda dalam pembelajaran, akan berdampak pada sikap kritis siswa yang berbeda pula.

Simpulan

Berdasarkan deskripsi umum, hasil pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian, dapat disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut. (1) Ada perbedaan learning outcomes Sains yang signifikan antara kelompok siswa yang menggunakan Guided discovery learning

penemuan terbimbing dengan kelompok siswa yang menggunakan Guided discovery learning ekspositori pada siswa kelas VI SDN. (2) Ada perbedaan learning outcomes Sains yang signifikan antara kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah pada kelas VI SDN. (3) Tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap learning outcomes Sains siswa kelas VI SDN. (4) Ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang menggunakan

Guided discovery learning penemuan

terbimbing dengan kelompok siswa yang menggunakan Guided discovery learning

ekspositori pada siswa kelas VI SDN. (5) Ada perbedaan sikap kritis yang signifikan antara kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah pada siswa kelas VI SDN. (6) Tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara Guided discovery learning dan motivasi terhadap sikap kritis siswa kelas VI SDN.

Daftar Pustaka

Abdisa, G., & Getinet, T. 2012. The Effect of Guided discovery on Students’ Physics Achievement. Latin-American Journal of Physics Education, 6 (4): 530-537.

Afrida, H. 2014. Pengaruh Strategi Problem Solving, Guided discovery, dan Konvensional terhadap Sikap kritis,

Learning outcomes Biologi, dan

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa di SMAN 3 Langsa. Tesis tidak diterbitkan. Medan: PPs Unimed.

Akanmu, M. A., & Fajemidagba, M. O. 2013. Guided-discovery Learning

Strategy and Senior School Students Performance in Mathematics in Ejigbo, Nigeria. Journal of Education and Practice, 4 (12): 82-89.

Akanbi, A. A. & Kolawole, C. B. 2014. Effects of Guided-Discovery and

Self-Learning Strategies on Senior

Secondary School Students’ Achievement in Biology. Journal of Education and Leadership Development, 6(1): 19-42.

Akinbobolaa, A. O. & Afolabi, F. 2010. Constructivist Practices through Guided discovery Approach: The effect on Students’ Cognitive Achievement in Nigerian Senior Secondary School Physics. Eurasian Journal Physics and Chemistry Education, 2 (1): 16-25. Al Jbour, F. 2007. The Effect of Process

Approach based Teaching Method on

Science Achievement and Attitude

among First Round Basic Stage Students at United Arab Emirates. MA Thesis.

Amman-Jordan: Amman Arab

University for Higher Studies.

Al Rabadi, I. G., Al Momani, H. O. S., & Al Rabadi, K. I. S. 2013. The Effect of Using Process Approach on Science Achievement and Scientific Attitudes among Jordanian Basic Stage Students.

Journal of Education and Practice, 4 (20): 136-150.

Ames & Archer. 1988. Achievent Goal in The Classroom: Students’ Learning

(17)

Strategies and Motivation Processes.

Journal of Educational Psychology 80 (3): 260-267.

Amin, M. 2007. Pembelajaran Kontekstual melalui Hand-On Activity. Model-model Pembelajaran Inovatif. Malang: UM Press.

Ardhana, W., Kaluge, L., & Purwanto. 2004. Pembelajaran Inovatif untuk

Pemahaman dalam Belajara

Matematika dan Sains di SD, SDN, dan SMU. Laporan Penelitian Hibah Pasca Angkatan I Tahun II. Direktorat PPM, Dirjen Dikti – Depdiknas.

Arends, R. I. 2004. Learning to Teach

(Sixth Edition). New York, NY:

McGraw-Hill.

Awan, R. U. N., Noureen, G., & Naz, A. 2011. A Study of Relationship between Achievement Motivation, Self Concept and Achievement in English and Mathematics at Secondary. International Education Studies, 4 (3): 72-79.

Bakhtiarvand, F., Ahmadian, S., Delrooz, K., & Farahani, H. A. 2011. The Moderating Effect of Achievement Motivation on Relationship of Learning

Approaches and Academic

Achievement. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 28: 486 – 488. Bamiro, A. O. 2015. Effects of Guided

discovery and Think-Pair-Share

Strategies on Secondary School Students’ Achievement in Chemistry.

SAGE Open, January-March 2015: 1–7. Baser, M. 2006. Promoting Conceptual

Change through Active Learning Using Open Source Software for Physics Simulations. Australasian Journal of Educational Technology, 22 (3): 336-354.

Bruner, J. S. 1966. Toward A Theory of Instruction. New York, NY: Norton. Bundu, P. 2006. Penilaian Keterampilan

Proses dan Sikap kritis dalam

Pembelajaran Sains Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Dikti Direktorat

Ketenagaan.

Carin, A. A., & Sund, R. B. 1989. Teaching Science through Discovery. Sidney: Charles E. Merril Publishing Company. Castronova, J. A. 2002. Discovery

Learning for the 21st Century: What is it and how does it compare to traditional learning in effectiveness in the 21st Century?(Online), (http://www.google.com/url?sa=t&rct=j &q=&esrc=s& source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&v ed=0CD8QFjAE&url=http%3A%2F%2 Fteach.valdosta.edu%2Fare%2Flitrevie ws%2Fvol1no1%2Fcastronova_litr.pdf &ei=AwEU_7SKJG3rAea_4GQDQ&us g=AFQjCNEUo0hNhPIReW4YNPQac A7yT1jrJw&bvm=bv.67720277,d.bmk), diakses 27 Mei 2014.

Cavas, P. 2011. Factors Affecting the Motivation of Turkish Primary Students for Science Learning. Science Education International, 22(1): 31-42.

Chetri, S. 2014. Achievement Motivation of Adolescents and Its Relationship with Academic Achievement. International Journal of Humanities and Social Science Invention, 3 (6): 8-15.

Degeng, I. N. S. 1991. Kontribusi Jenis kelamin, Gaya Kognitif, dan Motivasi terhadap Cara Belajar mahasiswa IKIP Malang. Malang: Pusat Penelitian IKIP Malang

Degeng, I. N. S. 1989. Teori Pembelajaran

I: Taksonomi Variabel. Program

Magister Manajemen Universitas Terbuka. Draft.

Djaali, H. 2013. Psikologi Pendidikan (Cetakan ke-7). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Donaldson, N. 2005. Addressing

Misconceptions in Constructivist,

Application- based Physics Course, Paper presented at The thirty-Fifth Annual Conference of International Society for Exploring Teaching and

(18)

(https://www.isetl.org/conference/presen

tation.cfm?pid =215), diakses 20

Oktober 2007.

Eggen, P., & Kauchak, D. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir (Edisi ke-6). Jakarta: PT. Indeks.

Ergul, R., Simsekli, Y., Calis, S., Ozdilek, Z., Gocmencelebi, S., & Sanli, M. 2011. The Effects of Inquiry-Based Science Teaching on Elementary School Students’ Science Process Skills and Science Attitudes. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP), 5 (1): 48-68.

Gega, P. C. 1986. Science in Elementary Education. New York, NY: John Wiley & Sons.

Hair, J. F., Anderson, R. E., Tatham, R. L., & Black, W. C. 1995. Multivariate Data Analysis: With Reading (4th editions). Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.

Hamsu. A. G. 1999. Motivasi Siswa SLTA di Provinsi Sulawesi Selatan. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs UM. Harlen, W. 1996. The Teaching of Science.

London: David Fulton Publisher.

Heckhausen, H. 1987. The Anatomy of

Achievement Motivation, dalam A.

Maher (Ed). Personality and

Psychopathology. New York, NY:

Academic Press.

Jacobsen, D. A., Eggen, P., & Kauchak, D. 2009. Methods for Teaching:

Metode-metode Pengajaran Meningkatkan

Belajar Siswa TK-SMA (Edisi ke-8). Terjemahan oleh Achmad Fawaid dan Khoirul Anam. 2009. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Joni, T. R. 2008. Resureksi Pendidikan Profesional Guru. Malang: LP3 UM-Cakrawala Indonesia.

Kariasa, I. N., & Subrata, I. N. 2000.

Upaya Meningkatkan Sikap kritis dan Kualitas Learning outcomes Siswa SD Melalui Pembelajaran Sains dengan

Pendekatan Keterampilan Proses.

Laporan Penelitian Dosen Muda. LP3M STKIP Negeri Singaraja.

Kerlinger, F. N. 1986. Asas-asas Penelitian Behavioral (Edisi ke-3). Terjemahan Landung R. Simatupang. 2006. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Maimuna, S. 2011. Peningkatan

Kemampuan Bersikap kritis dan

Prestasi Belajar Sains (Fisika) dengan Pendekatan Inkuiri Terbimbing Pada Siswa Kelas VII.3 SDN 1 Probolinggo

Tahun Pelajaran 2009-2010. Tesis

Tidak Diterbitkan. Malang: Prodi Pendidikan Dasar PPS – UM.

Mirasi, W., Osodo, J., & Kibirige, I. 2013. Comparing Guided discovery and Exposition-with-Interaction Methods in Teaching Biology in Secondary Schools.

Mediterranean Journal of Social

Sciences, 4 (14): 81-87.

Moore, K. D. 2005. Effective Instructional Strategies from Theory to Practice. London: Sage Publications.

Narang, S. 1981. Academic Performance

Some Personality and Perception

Variabel. New Delhi: Chand and

Company.

National Research Council. 2001. Inqury and The National Science Education Standards. A Guide for Teaching and

Learning. Washington DC: National Academy Press.

Nichols, J. R. 2015. 4 Essential Rules Of

21st Century Learning. (Online),

(http://www.teachthought.com/

learning

/4-essential-rules-of-21st-century-learning/), diakses tanggal 23

April 2016.

Ozomadu, E. A. 2011. Effectiveness of

Guided discovery and Expository

Methods on Students’ Achievement in Senior Secondary Shool Mathematics.

Enugu-Afrika: Godfrey Okoye University.

(19)

Psycho-Socio and Biographical Variables on Scientific Attitude of Secondary School Students.

International Journal of Advanced Research, 1 (6): 554-574.

Rapi, N. K. 2005. Pengaruh Model Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar

Fisika dan Sikap kritis Siswa

(Eksperimen Pada SMA Lab IKIP

Negeri Singaraja). Tesis tidak

diterbitkan. Singaraja: IKIP Negeri Singaraja.

Reigeluth, C. M. 1983. Instructional Design Theories and Models: An Overview of Their Current Status. Volume I. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Reigeluth, C. M., & Merrill, M. D. 1979. Classes of Intructional Variabels.

Educational Technology, 19 (3): 5-24. Roblyer, M. D. 2006. Integrating

Educational Technology into Teaching (4th Editions). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Merrill Prentice Hall.

Sadia, I. W. 2014. Model-model Pembelajaran Sains Konstruktivistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Salu, B. 2013. Pengaruh strategi Penemuan Terbimbing terhadap Motivasi dan

Learning outcomes Sains Siswa Kelas IV SDN Rantepao I Kabupaten Toraja Utara. Jurnal Pendidikan Sains, 1 (1): 85-91.

Santrock, J. W. 2011. Psikologi Pendidikan

(Edisi Kedua). Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group.

Santyasa, I. W. 2004. Pengaruh Model dan

Setting Pembelajaran terhadap

Remediasi Miskonsepsi, Pemahaman Konsep, dan Learning outcomes Fisika

Pada Siswa SMU. Disertasi tidak

dipublikasikan. Malang: PPS UM. Simatupang, R. 2011. Pengaruh Guided

discovery learning Berbasis Masalah dan Motivasi terhadap Sikap kritis dan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Biologi SMA Negeri 17 Medan. Tesis

tidak Diterbitkan. PPS Universitas

Negeri Medan. (Online),

(http://digilib.unimed.ac.id/public/

UNIMED-Master-1208-081188910028%20Abstrak.pdf), diakses

12 Septem ber 2015.

Singh, K. 2011. Study of Achievement Motivation in Relation to Academic Achievement of Students. International Journal of Educational Planning & Administration, 1 (2): 161-171.

Smitha, V. P. 2012. Inquiry Training Model and Guided discovery learning for Fostering Critical Thinking and Scientific Attitude (1st Edition). London: Vilavath Publications, Kozhikode. (Online), (http://www.lulu.com/shop/

smitha-vp/inquiry-training-model-and-guided-discovery-learning-for-foste

ring-critical-thinking-and-scientific-attitude/paperback/product-20308765. html), diakses 25 Februari 2016.

Suastra, I. W. 2009. Pembelajaran Sains Terkini: Mendekatkan Siswa dengan

Lingkungan Alamiah dan Sosial

Budayanya. Singaraja: UNDIKSHA.

Subagia, I. W., & Wiratma, I. G. L. 2007. Potret Pelaksanaan Pembelajaran Sains Pada Berbagai Jenjang Sekolah di Bali.

Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 14(1): 45-54.

Sudarma, I. K. 2012. Pengaruh Guided discovery learning dan kemampuan Awal terhadap Pemahaman Konsep Sains dan Sikap kritis Siswa Kelas V di

Sekolah Dasar. Disertasi

Gambar

Tabel 1. Hasil Uji Pengaruh Utama (Tests  of Between-Subjects Effects)  Source  Dependent  Variable  Type III Sum of  Squares  df  Mean  Square  F  Sig

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa tingkat penggunaan dermaga sangat tinggi dan dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan pengembangan pelabuhan, sehingga

bentuk asalnya, yaitu bentuk yang paling kecil dari bentuk kompleks. Bentuk asal terdapat pada perulangan sebagian yang b.d.-nya berupa bentuk kom- pleks. Perulangan

n gerak lokomotor dalam aktivitas ritmik yang berorientasi pada arah, ruang dan waktu secara beregu dengan atau tanpa menggunakan musik, serta nilai percaya diri, disiplin dan

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan terjadinya fluktuasi dari masing-masing saham individu, banyak faktor yang menyebabkan kinerja saham tersebut mengalami

Data hasil pembacaan oleh sensor ketinggian air ditampilkan kontrol panel sistem pemantau, lalu data tersebut dikirim ke web server dengan interval pengiriman 5

Bagi guru, saat pembelajaran matematika berbasis masalah agar dapat lebih menekankan proses meninjau ulang proses dan hasil agar kemampuan berpikir tingkat

Skripsi yang berjudul “Sikap dan Strategi Manajer dalam Menghadapi Shoplifting pada Ritel Modern” ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna

Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Premananto dan Madyan (2004) yang membuktikan bahwa variabel-variabel (makro) pembentuk