• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFESIONALISME GURU DAN HASIL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFESIONALISME GURU DAN HASIL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PROFESIONALISME GURU DAN

HASIL SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

OLEH : NISFI SYAHBANI, M.PD.I

A. PENDAHULUAN

Pada Peringatan Hari Guru Nasional XI tahun 2004 Presiden mencanangkan Jabatan Guru sebagai Profesi. Pencanangan itu diharapkan menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkatkan profesionalismenya, dan sebagai upaya agar jabatan sebagai guru menjadi satu profesi yang mempunayi daya tarik tersendiri bagi putra-putri terbaik negeri ini. Dan sejak pencanangan itu pula, gairah untuk segera menetapkan undang-undang profesi guru dan dosen berikut dengan berbagai perangkat pendukungnya, menjadi semakin kuat.

Setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang awalnya terasa agak berat sudah “terpenuhi”, diantaranya dengan lahirnya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta dihasilkannya amandemen ke 4 atas UUD RI 1945 (diantaranya pasal 31 ayat 4), yang akhirnya berbunyi,

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, kini wacana bergeser dari sekitar persoalana

undang-undang profesi guru dan dosen berikut berbagai perangkat pendukungnya ke sekitar masalah kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru. Pergeseran ini memang sangat logis, karena tiga persoalan terakhir ini memang menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi satu Jabatan Profesi dimana jabatan itu harus dilakoni secara profesional.

Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi (memiliki bukti formal berupa sertifikat pendidik) dan akan tersertifikasi; dan sejumlah guru telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Secara formal, sertifikat pendidik yang digenggam oleh seorang guru adalah merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru tersebut telah memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi guru yang dipersyaratkan sesuai dengan spesialisasi yang disebutkan di dalam sertifikat pendidik yang dimilikinya, yang mencakup empat jenis kompetensi, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian.

Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru

(2)

adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri.

Saat ini ada isu yang berkembang (meskipun mungkin baru sebatas asumsi yang bukan didasarkan atas suatu penelitian ilmiyah?) bahwa hasil dari proses sertifikasi yang mulai digulirkan pada tahun 2007 yang lalu belum memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan profesionalitas guru yang tersertifikasi, yang ditandai dengan belum terlihatnya peningkatan yang signifikan atas kualitas hasil belajar siswa yang nota bene merupakan hasil kerjanya.

Terkait dengan isu ini, Kabid Dikdas pada Dinas Pendidikan Kota Jambi, dalam forum Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) SD/MI sekecamatan Kota Baru (Nopember 2012) mengatakan bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan pada tahun 2012 bagi guru yang sudah tersertifikasi di Provinsi Jambi memang menunjukkan hasil yang sangat tidak menggembirakan, dengan kelulusan kurang dari 25%. Namun demikian ditegaskannya pula bahwa, kegagalan para guru ini sebagian terbesarnya bukan karena kompetensi keguruannya yang lemah, tetapi karena para guru banyak yang tidak menguasai IT, yang merupakan tehnologi yang digunakan pada UKG tersebut. Alasan ini didasarkan pada hasil UKG yang dilakukan secara tertulis (konvensional) dengan kelulusan mencapai lebi dari 85%.

Dalam tulisan ini penulis ingin mengangkat hal-hal yang boleh jadi merupakan penyebab seandainya isu tersebut di atas mengandung unsur kebenaran, berikut dengan analisis tentang alternatif mengatasi atau mengantisifasinya, dengan merujuk pada beberapa pendapat para ahli yang berhubungan dengan masalah ini. Pertanyaan sentralnya adalah mengapa

guru masih belum profesional pada saat dimana dia sudah harus profesional.

B. PEMBAHASAN

Mudjia Rahardjo, dalam tulisannya yang berjudul Profesi dan

Profesionalisasi Keguruan mengemukan Guru sebagai profesi perlu diiringi

dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi1.

Lalau bagaimana dengan pekerjaan keguruan? Tidak diragukan lagi, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Oleh sebab itu, maka pekerjaan sebagai guru secara substansial sudah merupakan profesi meskipun belum dicanangkan presiden.

1. Syarat-Syarat Profesi

Mengutip Ritzer (1972), Mujia Raharjo menjelaskan tentang 3 sayarat pekerjaan profesi, yaitu:

a. Syarat pertama profesi adalah memiliki pengetahuan teoretik (theoretical

knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata

pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga membutuhkan pengetahuan teoretik2. Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Demikian pula dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu3. Seorang guru harus memiliki kompetensi guru yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.4

Kendati syarat kualifikasi pendidikan dan kompetensi terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga

1

Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 2

Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007. 3

Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. 4

(3)

harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik diperoleh melalui proses sertifikasi merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. (Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk Guru.(Pasal 1 ayat 3) . Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada Guru sebagai tenaga profesional (pasal 1 ayat 4).5

b. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri. Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru. Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik

5

PP No 74 Tahun 2008 tentang guru

otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien.

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka. c. Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya

yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi. Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta pada profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Selain mengemukan 3 syarat profesi ini, Mujia Raharjo juga menjelaskan bahwa karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang

(4)

dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.6

Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.

Memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah ada pengakuan terhadap profesi guru dan dosen yakni dengan sudah diundangkannya UUGD, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.

Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang

6

Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?

Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi ? Beranikah para guru mengambil-alih kembali sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?

Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional.

2. Kondisi –Kondisi Yang Menyebabkan Guru Kurang Profesional

Menurut Dedi Supriyadi (1999) menyatakan bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh yang tingkat kematangannya belum sampai pada yang telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional7. Mengapa hal ini jadi begini? Merujuk kepada apa yang dikemukan oleh Mujia Raharjo di atas tadi, penulis berkesimpulan, sebab-sebabnya adalah:

a. Banyak guru yang menekuni pekerjaan lain.

Satu penelitian membuktikan bahwa banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang mereka lupa terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Menurut Pidarta (1999) Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan kinerjanya. Namun potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan kinerjanya tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan adanya pengaruh dari berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi

7

(5)

guru itu sendiri maupun yang terdapat diluar pribadi guru. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi dilapangan mencerminkan keadaan guru yang tidak sesuai dengan harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan profesinya maupun diluar profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah. Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang berbagai pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah peningkatan mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus dijalani guru sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan suatu hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam tentang faktor penyebab munculnya dilema tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya.

Bila pekerjaan sampingan dikerjakan murni atas dasar gaji tidak cukup untuk biaya hidup, maka seyogianya persoalan sudah terselesaikan dengan tunjangan profesi (bagi yang sudah memiliki sertifikat pendidik). Hanya masalahnya kemudiaan adalah akan sebegitu mudahkan untuk merubah kebiasaan yang kurang baik tersebut, sementara ia sudah dilalui dalam waktu yang lama. Semoga ada upaya percepatan peroses profesionalisasi bagi setiap guru, terutama bagi yang telah tersertifikasi. Paling tidak sebagai bentuk upaya balancing antara hak dan kewajibannya.

b. Guru kurang profesional karena otoritas profesinya sering terganjal oleh otoritas organisasi. Padahal otoritas profesi mestinya bersifat independen (terbebas dari segala bentuk intervensi dari dan oleh siapapun), dan karena itu pula seorang profesional bertanggung jawab penuh atas segala yang dilakukan dalam wilayah profesinya.

c. Guru kurang profesional karena tidak memiliki kemampuan akademik yang memadai. Hal ini bisa terjadi dengan beberapa sebab, misalnya: Karena ia mengampu mata pelajaran yang bukan atau tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya, misalnya karena kekurangan atau kelebihan guru; atau karena pada waktu ia dirukrut masalah kuafikasi akademik tidak dipertimbangkan, sementara ia dimungkinkan untuk tersertifikasi pada mata pelajaran tersebut (Guru dalam jabatan yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV yang tidak sesuai dengan mata pelajaran, rumpun mata pelajaran, atau satuan pendidikan yang diampunya, keikutsertaannya dalam pendidikan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang diikutinya dilakukan berdasarkan mata pelajaran,

rumpun mata pelajaran, dan/atau satuan pendidikan yang diampunya (Pasal 65 huruf c))8;

d. Guru kurang profesional karena kurikulum pada proses pendidikan atau latihan profesi dalam rangka sertifikasi bagi guru dalam jabatan tidak utuh.

Walaupun untuk point c dan d bersifat emergensi yang berlaku selama paling lama 10 tahun semenjak diundangkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan PP No. 74 tahun 2008 tentang guru. Masa peralihan (Kualifikasi tidak pas, kurikulum tidak utuh, dilakukan oleh penguasa) Orientasi pada kepentingan pribadi

3. Upaya Untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru

a. Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru.

Langkah yang dilakukan guna merealisasikan program peningkatan kualifikasi pendidikan guru ini dapat ditempuh dengan dua cara yaitu : 1). Dinas Pendidikan setempat memberikan beasiswa agar guru

bersekolah lagi.

2). Guru yang bersangkutan bersekolah lagi yang dibiayai oleh pemerintah dan guru itu sendiri.

3). Guru yang bersangkutan agar bersekolah lagi dengan menggunakan swadana atau dibiayai sendiri).

b. Program Penyetaraan dan Sertifikasi

Program ini diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan.

Langkah yang dilakukan dengan cara :

1). Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran lain yang merupakan satu rumpun, misalnya guru PPKn dengan guru IPS.

2). Guru tersebut dialihkan ke mata pelajaran yang tidak serumpun misalnya guru IPS menjadi guru muatan lokal dengan memberikan tambahan penataran khusus (program penyetaraan/sertifikasi). c. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi

Guna meningkatkan profesionalisme guru perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi guru. Selama ini terkesan pelatihan yang dilakukan hanya menghabiskan anggaran, waktu dan sering tumpang tindih akibatnya banyak penataran yang tidak memberikan hasil yang maksimal dan tidak membawa perubahan pada peningkatan mutu pendidikan malah justru keberadaan pelatihan tidak

8

(6)

jarang mengganggu aktivitas kegiatan belajar mengajar karena guru sering mengikuti kegiatan pelatihan yang terkadang satu orang guru bisa mengikuti pelatihan beberapa kali pelatihan sebaliknya ada juga guru yang jarang bahkan tidak pernah mengikuti pelatihan.

d. Program Supervisi Pendidikan

Pelaksanaan proses pembelajaran di kelas tidak selamanya memberikan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan, ada saja kekurangan dan kelemahan yang dijumpai pada guru saat melaksanakan proses pembelajaran maka untuk memperbaiki kondisi demikian peran supervisi pendidikan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan sebagai upaya meningkatkan prestasi kerja guru yang pada gilirannya meningkatkan prestasi sekolah. Pelaksanaan supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan suparevisi pada dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil belajar.

Kepala sekolah yang melaksanakan supervisi pada guru harus mampu menempatkan diri sebagai pemberi bantuan bukan sebagai pencari kesalahan, hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda antara guru dengan kepala sekolah, selain itu untuk memberikan rasa nyaman guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan menerima segala perbaikan yang diberikan kepala sekolah. Tujuan akhir dari kegiatan supervisi pendidikan adalah untuk memperbaiki guru dalam hal proses belajar mengajar agar tercapai kualitas proses belajar mengajar dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.

e. Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). MGMP adalah forum atau wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis. Hakekat MGMP berfungsi sebagai wadah atau sarana komunikasi, konsultasi dan tukar pengalaman. Dengan MGMP ini diharapkan akan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

f. Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas).

Peningkatan profesionalisme guru dapat juga dilakukan melalui optimalisasi pelaksanaan Penelitian tindakan kelas yang merupakan kegiatan sistimatik dalam rangka merefleksi dan meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus sebab berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran berlangsung.

C. PENUTUP

Kesimpulan

1. Jabatan guru adalah jabatan profesi, yang harus dikerjakan secara profesional. Oleh sebab itu, maka seorang guru harus pula memenuhi persyaratan profesi guru yang meliputi kualifikasi akademik, kompetensi keguruan, dan sertifikat pendidik.

2. Ada beberapa penyebab profesionalitas guru hasil proses sertifgikasi era masa peralihan, diantaranya:

a. Guru sudah terlanjur menekuni pekerjaan lain selain guru.

b. Guru mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasinya.

c. Otoritas profesi terganjal oleh otoritas organisasi. d. Kurikulum diklat sertifikasi tidak utuh.

3. Alternatif jalan keluarnya:

a. Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru. b. Program Penyetaraan dan Sertifikasi

c. Program Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi d. Program Supervisi Pendidikan

e. Program Pemberdayaan MGMP f. Melakukan penelitian, khususnya PTK)

DAFTAR PUSTAKA

Muhlisin, Profesionalisme Kinerja Guru Menyongsong Masa Depan (artikel) ---,Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan.

---,Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.

Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

---,Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

http://gudangmakalah.blogspot.com/2011/10/tesis-kinerja-profesional-guru-dalam.html www.mudjiarahardjo.com

Referensi

Dokumen terkait

Hasil perhitungan didapatkan dari total waktu masing-masing action yang diperlukan untuk melakukan proses pembelian yang dimulai dari awal membuka website hingga

Model pengembangan dalam penelitian ini digunakan model prosedural, yaitu model pengembangan yang bersifat deskriptif, menggariskan langkah-langkah sistematis yang harus

Dengan membaca teks “ Kesehatan Badan Perlu Dijaga”, siswa dapat menganalisis isi teks yang dibaca berkaitan dengan menjaga kesehatan badan di lingkungan tempat bermain sekitar

Obyek penelitian ini adalah metode ABC dalam penentuan besarnya harga pokok jasa layanan transaksi mobile banking Sinar Sip pada Bank Sinar.. Obyek penelitian ini

Sesuai dengan kewenangan yang dimiliki daerah sebagai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diatas, Pemerintah Daerah mengajukan Retribusi Jasa Umum dengan 8

Susu murni merupakan bahan makanan yang sangat mudah terkontaminasi oleh bakteri karena komposisi itu sendiri yang mudah rusak apalagi dipanaskan pada suhu yang tinggi. Susu

Abortus merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Salah satu penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan berupa

Zat pengatur tumbuh 2.4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik pada serealia, 2.4-D berperan dalam