• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Psikologi ISSN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Psikologi ISSN:"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan

Laissez-Faire dengan Kepuasan Kerja Karyawan Departemen Handuk Jahit

PT X.

Correlation Between Job Satisfaction with Perception of Laissez-Faire Leadership Style in Sewing Departement PT X

1

Elvira Putri Kusumastuti, 2Yuli Aslamawati

1,2Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116

Email : 1elviraputrik@yahoo.com, 2yuli_aslamawati@yahoo.com

Abstract. PT WISKA is a company that produces towels with diverse forms and models such as kimono,

bathrobe, washlap, aprons, and others. Sewing Departemen are part spearheading the production of towels. There are a number of complaints from customers related to the quality of production, it also reinforced by the increased production of goods failure that occurred in the period of 2015-2016. It caused by dissatisfaction of Sewing departemen employees on the characteristics of work, it relates to employee perceptions regarding Laissez-faire leadership style. Based on this phenomenon, the problem is “How closely relations perception of laissez-faire leadership styles with job satisfaction Sewing Departemen PT X?”. The purpose of this research is to gain an empirical perception of Laissez-faire leadership style with the employee satisfaction. Researcher ysing correlational analysis techniques and population totaling 60 employee. Data collection technique used in this study were questionnaires, interviews, observation, and literature. Statistical technique used Rank Spearman correlational. The results of this study, correlation between job satisfaction with perception of laissez-faire leadership style PT X is = -0.653, that is a negative relations between job satisfaction with perception of laissez-faire leadership style.

Keywords : laissez-faire leadership style, job satisfaction, employee

Abstrak. PT X adalah perusahaan yang memproduksi handuk dengan beraneka ragam bentuk dan model

seperti kimono, baju mandi, washlap, celemek, dan lain-lain. Departemen handuk jahit adalah bagian yang menjadi ujung tombak produksi handuk. Terdapat beberapa keluhan dari pelanggan berkaitan dengan kualitas hasil produksi, hal ini juga diperkuat oleh peningkatan barang gagal produksi yang terjadi pada kurun waktu tahun 2015-2016. Hal ini diakibatkan oleh ketidakpuasan yang dikeluhkan oleh karyawan departemen Handuk Jahit mengenai karakteristik-karakteristik pekerjaan hal ini berkaitan dengan Persepsi karyawan mengenai gaya kepemimpinan Laissez-Faire yang diterapkan oleh kepala bagian. Berdasarkan fenomena tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “Seberapa Erat Hubungan Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire dengan Kepuasan Kerja Bagian Handuk Jahit PT X?”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran empirik mengenai hubungan persepsi terhadap Gaya kepemimpinan Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja Karyawan. Metode yang digunakan adalah metode korelasional dengan studi populasi terhadap 60 karyawan. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan kuisoner. Teknik statistik menggunakan teknik korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh = -0.653 hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire dengan Kepuasan Kerja Karyawan Departemen Handuk Jahit PT X.

Kata kunci : Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire, Kepuasan Kerja, Karyawan

A. Pendahuluan

PT X adalah perusahaan yang memproduksi handuk dengan beraneka ragam bentuk dan model seperti kimono, baju mandi, washlap, celemek, dan lain-lain. Permintaan produksi handuk dalam kurun waktu 2015 – 2016 melonjak hingga 30 %. Tetapi kenaikan produksi tersebut tidak sepenuhnya menguntungkan bagi PT X karena masih banyak kendala dalam menyempurnakan kinerja karyawan pada PT X kendala tersebut yaitu tidak sedikit barang yang gagal produksi meningkat pada setiap pesanan. Berikut adalah rincian handuk yang gagal produksi selama 2015-2016

(2)

Hubungan Antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire ...| 141

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

Tabel 1. rincian handuk yang gagal produksi selama 2015-2016

Banyaknya barang yang gagal produksi tersebut diperkuat dengan banyaknya keluhan dari pelanggan misalnya banyak jahitan yang tidak rata (serong), pola yang tidak sesuai antara gambar dan hasil jadi, jarak tindesan tidak sama, bahkan ada helaian rambut dan warna benang berbeda yang tersangkut pada handuk. Barang yang gagal produksi disebabkan oleh proses penjahitan yang terburu-buru, benang yang putus di tengah pengerjaan tidak dilanjutkan dengan rapi atau tidak di ulang, warna benang yang terbatas disediakan perusahaan, sering terjadi korsleting listrik, dinamo mesin jahit yang bermasalah. Berdasarkan wawancara pendalaman, didapatkan data bahwa karyawan merasa tidak puas dengan apa yang didapatkan dari perusahaan.

Ketidakpuasan karyawan dilatarbelakangi oleh jumlah upah atau gaji yang diterima karyawan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karyawan; karyawan merasa tidak mendapatkan pengawasan, pengakuan atau penghargaan; karyawan merasa pekerjaannya kurang menyenangkan; karyawan khawatir adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak dari perusahaan; dan karyawan tidak diberi kesempatan untuk maju dan berkembang.

Karakteristik karyawan (buruh) yaitu pendidikan minimal sma, usia relatif muda, bekerja dengan mengandalkan otot, mudah terpengaruh, harus selalu diberikan petunjuk dalam melaksanakan pekerjaan, harus selalu di kontrol dan di arahkan. Sedangkan kondisi yang terjadi pada departemen handuk jahit PT X, buruh tidak di berikan arahan serta bimbingan dari kepala bagian selaku atasan.

Kepala bagian departemen handuk jahit memberi kebebasan pada karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan cara mereka sendiri, kepala bagian menghindari pembuatan keputusan dan tidak terlibat dalam unit kerja. Kepala bagian menyediakan alat-alat kerja sesuai dengan standar perusahaan, meskipun sebagian alat-alat tidak dipergunakan. Kepala bagian hanya terlibat dalam tanya – jawab karyawan dengan menghindari umpan balik terhadap pekerjaan karyawan. Dalam kata lain, gaya kepemimpinan yang di terapkan di PT X adalah Gaya kepemimpinan Laissez-faire, gaya kepemimpinan ini seharusnya diterapkan bagi karyawan dengan keahlian tinggi dan mampu untuk bekerja sendiri, sedangkan pada departemen Handuk jahit ini karyawan harus mendapatkan arahan dan bimbingan dari atasan agar karyawan senantiasa memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalaha dalam penelitian ini adalah “Seberapa Erat Hubungan Persepsi terhadap

Bulan Persentase cacat

September 2015 2.76 % Oktober 2015 24.26 % November 2015 14.01 % April 2016 18.44 % September 2016 9.64 % Desember 2016 25.28 %

(3)

Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire dengan Kepuasan Kerja Bagian Handuk Jahit PT X?”. Selanjutnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran empirik mengenai hubungan persepsi terhadap Gaya kepemimpinan Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja Karyawan PT X.

B. Landasan Teori

Gaya kepemimpinan yang akan dijelaskan pada penelitian ini adalah gaya kepemimpinan Laissez-faire. Pemimpin yang menganut Laissez-faire ini secara umum memberikan bawahan bebas untuk melakukan pekerjaan dengan cara mereka sendiri dan mereka bertanggung jawab untuk keputusan mereka, atasan yang menyediakan semua peralatan kerja walaupun alat tertentu tidak diperlukan, atasan yang berpartisipasi hanya untuk menjawab pertanyaan dengan menghindari memberikan umpan balik terhadap pekerjaan karyawan. (Bartol and Martin 1994; 418).

Gaya ini dapat bekerja dengan baik jika seseorang memiliki kemampuan yang kuat pendidikan pengalaman yang cukup luas, mampu memotivasi diri sendiri dan mendorong diri sendiri untuk mengerjakan sesuatu, mampu membuktikan rekaman atas prestasi dalam proyek yang spesifik, nyaman ketika bekerja dengan tanpa pengawasan.

Seorang pimpinan diharapkan mampu memotivasi dan menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapainya kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja karyawan. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya kepuasan dapat ditingkatkan, bila atasan bersifat ramah dan memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka (Robbins, 2002 : 181).

Terdapat beberapa teori yang sering digunakan untuk mengkaji tentang kepuasan kerja, salah satunya adalah teori kepuasan kerja dari E.A. Locke (1976) yang mendefinisikan kepuasan kerja sebagai keadaan emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan seseorang dalam mencapai atau memfasilitasi pencapaian nilai-nilai pekerjaan seseorang.

Locke (1976) melihat aspek-aspek kepuasan kerja yang terdiri dari beberapa faktor yaitu, kompensasi, pengawasan, pekerjaan itu sendiri, teman- teman kerja, jaminan kerja, dan kesempatan berprestasi. Faktor-faktor tersebut dijadikan sebagai indikator dalam penelitian ini dalam skala kepuasan kerja.

C. Hasil penelitian

Tabel 2. Hasil uji korelasi rank spearman antara Persepsi Gaya Kepemimpinan

Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja sebagai berikut:

Variabel Korelasi Keterangan

Persepsi Gaya Kepemimpinan

Laissez-faire

dengan Kepuasan Kerja

-.653(**) Terdapat korelasi yang

tinggi dan negatif antara Gaya Kepemimpinan

Laissez-faire dengan

Kepuasan Kerja Besarnya hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja karyawan adalah -0.653 menunjukkan hubungan yang tinggi.

(4)

Hubungan Antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire ...| 143

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

Koefisien korelasi negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire maka semakin rendah Kepuasan Kerja karyawan departemen handuk jahit PT X. Berikut ini merupakan perhitungan tabulasi silang antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja karyawan

Tabel 3. Perhitungan tabulasi silang antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja karyawan

Persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire Kepuasan kerja Tinggi Rendah Tinggi (sering) 1 34 1.7% 56.7%

Rendah (tidak sering) 20 5

33.3% 8.3%

Terlihat pada tabel di atas bahwa terdapat 25 karyawan yang menganggap bahwa gaya kepemimpinan Laissez-faire rendah, diantaranya memiliki tingkat kepuasan kerja yang rendah sebanyak 5 karyawan (8.3%) sedangkan pada kepuasan kerja yang tinggi sebanyak 20 karyawan (33.3%). Lalu pada karyawan yang menganggap bahwa gaya kepemimpinan Laissez-faire tinggi seluruhnya sebanyak 35 karyawan, diantaranya sebanyak 34 karyawan memiliki tingkat kepuasan kerja yang rendah (56.7%) dan 1 karyawan (1,7%) yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

Karyawan pada PT X sudah mampu untuk mengoperasikan mesin jahit tipe tertentu yang disediakan oleh karyawan dibuktikan dengan masa kerja yang sebagian besar lebih dari 10 tahun. Namun, ketika pimpinan mulai menurunkan kadar arahan dan bimbingan kepada karyawan, karyawan banyak menghasilkan handuk yang gagal produksi, karyawan banyak mengobrol di tempat kerja, banyak timbul kesalahpahaman serta karyawan merasa diperlakukan tidak adil oleh kepala bagian. Dengan banyaknya barang yang gagal produksi, pimpinan memberi kebijakan untuk melakukan lembur untuk tetap menghasilkan produksi tepat waktu dan sesuai pesanan, namun ketika karyawan lembur perusahaan tidak memberikan kompensasi berupa insentif atau uang tambahan kepada karyawan yang melaksanakan lembur.

Persepsi Gaya kepemimpinan Laissez-faire ini mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, ditimbulkan dengan meningkatnya barang yang gagal produksi. Dapat dikatakan bahwa semakin sering diterapkan gaya kepemimpinan Laissez-faire ini maka semakin rendah kepuasan kerja karyawan. Hasil perhitungan menggambarkan bahwa karyawan departemen handuk jahit PT X masih membutuhkan arahan dan dukungan dari kepala bagian. Kepuasan kerja yang di rasakan oleh karyawan adalah kepuasan kerja yang rendah dibuktikan dengan perhitungan statistik dimana 39 orang dari 60 orang memiliki kepuasan kerja yang rendah. Sehingga hal itu dapat diartikan bahwa dengan gaya kepemimpinan Laissez-faire yang tinggi, maka kepuasan kerja karyawan akan rendah.

Berdasarkan hasil tabulasi silang, didapatkan data bahwa terdapat 1 orang yang mempersepsi bahwa gaya kepemimpinan Laissez-Faire tinggi (sering) dan kepuasan kerja tinggi subjek ini adalah Supervisor di Departemen handuk jahit. Supervisor pada departemen handuk jahit disini bekerja dengan tidak membutuhkan kadar arahan dan bimbingan yang tinggi sehingga ketika ia tidak mendapatkan bimbingan dan arahan, ia

(5)

akan tetap puas dengan pekerjaannya.

Selanjutnya, terdapat 5 orang yang mempersepsi bahwa gaya kepemimpinan

Laissez-Faire rendah(tidak sering) dan kepuasan kerja rendah, 2 diantara subjek ini

berada pada usia dewasa madya dan saat ini sedang memasuki masa janda, bagi mereka kesulitan ekonomi dalam hal ini pendapatan dan keuangan terbatas merupakan masalah utama yang dihadapi. 3 diantara subjek ini berada pada usia dewasa dini dimana pada masa ini, mereka mengalami masa job hopping, penyesuaian pekerjaan yaitu memilih pekerjaan yang cocok dengan minat dan bakatnya, daya tarik pekerjaan, dan penyesuaian diri dengan pekerjaan. Mereka cenderung kurang puas dengan pekerjaannya berkaitan dengan komitmen, jumlah gaji, juga kurang involve terhadap pekerjaan.

D. Kesimpulan

Semakin sering(lekat) gaya kepemimpinan Laissez-Faire maka semakin rendah kepuasan kerja karyawan. Terdapat hubungan yang negatif antara Gaya Kepemimpinan Laissez-Faire Dengan Kepuasan Kerja karyawan departemen handuk jahit PT X, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin sering diterapkan gaya kepemimpinan Laissez-faire, maka semakin rendah kepuasan kerja karyawan departemen handuk jahit PT X, begitu pula sebaliknya jika semakin jarang diterapkan gaya kepemimpinan Laissez-faire, maka semakin tinggi kepuasan kerja karyawan departemen handuk jahit PT X. Pada aspek kepuasan kerja, karakteristik pekerjaan yang berpengaruh secara berurutan pada rendahnya kepuasan kerja karyawan departemen handuk jahit yaitu aspek Co-workers, Compensation, The work itself, Job

Security, Advancement Opportunity, dan Supervision.

Daftar Pustaka

Bartol, K., & Martin, D.C. (1994). Management, 2 edition, published by McGraw-Hill Inc.

Chaudry, Abdul Qayyum. (2012). Impact of Transactional and Laissez Faire

Leadership Style on Motivation. 258-264. doi : http://ijbssnet.com/journals/Vol_3_No_7_April_2012/28.pdf

Hersey, Paul., & Blanchard, Ken. (1982). MANAGEMENT OF ORGANIZATIONAL

BEHAVIOR: Utilizing Human Resources, 4th Edition. New Jersey:

Prentice-Hall, Inc. http://www.wiska.co.id/

Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku Organisasi, jilid 1, edisi 16. Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia

Saba, Irum. (2011). Measuring The Job Satisfaction Level Of The Academic Staff In

Bahawalpur Colleges. International Journal of Academic Research in

Business and Social Sciences Vol. 1, No. 1.

Wexley & Yukl. (1977). Organization Behavior and Personel Psychology. Illinois : McGram Hill

(6)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

145

Studi Deskriptif Mengenai Pengalaman Flow pada Musisi di

Komunitas Klab Jazz Bandung

Descriptive Study Of Flow Experience In Jazz Musician In Klab Jazz Bandung

1

Ditra Aditya Prasista, 2Hedi Wahyudi

1,2Prodi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116

email: 1ditraprasista@gmail.com, 2hediway@yahoo.co.id,

Abstract. jazz is a music that has a high complexity. Many jazz musicians try so hard to show their work,

but it’s hard maintaining or achieving its popularity because of the music they play can only be accepted by the community or certain circles and eventually they stop and play in other genres that is more easily accepted by society. Even so there are people in the community Bandung Jazz clubs are still pursue jazz music and considered optimal by the audience of jazz. Playing jazz is not east, their work was less acceptable to the general public so that they find it’s difficult to achieve popularity, but it is a challenge, they say that jazz is not just to gain popularity, but they can feel happiness, pleasure and satisfaction when they playing jazz. They say that when playing jazz, they feel themself drifting and late in that their play. This flow experience can make someone being optimal on their field. This research uses descriptive method, the subject of this research are about ten people. Measuring instrument used in this study is the adaptation of Flow State Scale (FSS). The results obtained from this study of ten musicians, there are seven musicians in flow intense, a musician in flow is not intense, and the two musicians are not in flow. Dimensions were found to be high on the whole subject is a skill challenge balance, unambiguous feedback, concentration to the task at hand, loss of self-consciousness and the transformation of time. recomend of this study for musicians who do not experience can flow in flow, musicians must be able to assess the ability of in order to adjust their work according to his ability and set clear objectives in a work.

Keywords : Flow Experience, jazz, Flow State Scale

Abstrak. Musik jazz merupakan musik yang memiliki kompleksitas tinggi. Banyak musisi jazz di

Indonesia yang berusaha untuk menampilkan karya – karyanya, namun kesulitan dalam mempertahankan atau mencapai popularitasnya dikarenakan musik yang mereka mainkan hanya dapat diterima oleh komunitas atau kalangan tertentu saja dan pada akhirnya mereka berhenti dan bermain di genre musik lain yang lebih mudah diterima masyarakat. Walaupun begitu terdapat musisi di komunitas Klab Jazz Bandung yang masih menekuni musik jazz dan permainannya dianggap optimal oleh para penikmat jazz. Menurut mereka selain sulit dalam memainkannya, karyanya pun kurang bisa diterima oleh masyarakat umum sehingga mereka kesulitan untuk mencapai popularitas, namun hal tersebut merupakan tantangan, mereka berpendapat bahwa musik jazz bukan hanya sekedar meraih popularitas saja, tetapi mereka dapat merasakan kebahagiaan, kenikmatan dan kepuasan tersendiri ketika mereka memainkan musik jazz. Ketika memainkan jazz merasa dirinya hanyut dan larut dalam permainan yang mereka mainkan. Pengalaman flow ini dapat membuat seseorang optimal pada bidangnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, subjek penelitian ini berjumlah sepuluh orang. Alat ukur yang digunakan adalah adaptasi Flow State Scale (FSS). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini dari sepuluh musisi terdapat tujuh musisi mengalami flow intens, satu musisi mengalami flow tidak intens, dan dua musisi tidak mengalami flow. Dimensi yang ditemukan tinggi pada seluruh subjek adalah challenge skill balance, unambiguous feedback, concentration to the task at hand, loss of self consciousness dan transformation of time. Saran dari penelitian ini agar musisi yang tidak mengalami flow dapat mengalami flow, musisi harus mampu menilai kemampuan mereka agar dapat menyesuaikan karya yang sesuai dengan kemampuannya lalu menetapkan tujuan yang jelas dalam suatu karya.

Kata Kunci : Pengalaman Flow, Musik jazz, Flow State Scale

A. Pendahuluan

Di Indonesia terdapat beragam jenis musik misalnya musik dangdut, pop, rock,

soul, jazz dsb. Salah satu jenis musik yang sedang berkembang di Indonesia adalah

musik jazz.

(7)

yang memiliki kompleksitas tinggi. Dalam memainkan musik jazz dibutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sangat diperlukan pemahaman yang dalam mengenai unsur musik seperti ritme, melodi dan harmoni yang tidak lazim yang biasa digunakan di musik lainnya, sehingga diperlukan kesabaran dan juga latihan rutin.

Banyak musisi jazz yang berusaha untuk menampilkan karya – karyanya, namun kesulitan dalam mempertahankan atau mencapai popularitasnya dikarenakan musik yang mereka mainkan hanya dapat diterima oleh komunitas atau kalangan tertentu saja dan pada akhirnya mereka berhenti dan bermain di genre musik lain yang lebih mudah diterima masyarakat. Selain itu tidak jarang musisi yang merasa kesulitan dalam mempelajari teknik permainan di musik jazz. Banyaknya teori dan cara permainan memungkinkan adanya perbedaan dan membuat musisi tersebut bingung mengikuti metode yang mana. Selain itu, terkadang para musisi ini merasa kesulitan dalam mempelajari suatu karya, ritme dan harmoni yang tidak lazim di tambah partitur yang sulit untuk di dapat menjadi salah satu penghambat mereka.

Permainan solo improvisasi spontanitas terkadang membuat musisi – musisi tersebut tegang dan hilang konsentrasi di atas panggung. Mereka terkadang merasa khawatir akan penilaian orang – orang terhadap mereka, karena pada umumnya orang yang menonton jazz adalah musisi juga. Terlalu berhati – hati membuat para musisi ini menjadi ragu ketika memainkan not yang pada akhirnya mereka tidak menikmati permainannya.

Walaupun begitu terdapat musisi di komunitas Klab Jazz Bandung yang masih bertahan dan tetap menekuni musik jazz, permainannya pun dianggap optimal oleh para penikmat jazz. Menurut mereka memainkan musik jazz tidaklah mudah, selain sulit dalam memainkannya, karyanya pun kurang bisa diterima oleh masyarakat umum sehingga mereka kesulitan untuk mencapai popularitas, namun mereka merasa tertantang untuk memainkan musik jazz, ketika mereka berhasil memainkannya mereka merasa puas dan ingin memgulangi perasaan tersebut. mereka selalu mengevaluasi permainannya sehingga mereka memiliki tujuan yang jelas mengenai hal apa yang harus ditingkatkan untuk meningkatkan kemampuannya. Mereka berpendapat bahwa musik jazz bukan hanya sekedar meraih popularitas saja, tetapi mereka dapat merasakan kebahagiaan, kenikmatan dan kepuasan tersendiri ketika mereka memainkan musik jazz.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai gambaran pengalaman flow yang dialami oleh musisi dari komunitas Klab Jazz Bandung.

B. Landasan Teori

Menurut Csikzentmihalyi, pengalaman flow dapat digambarkan dan dijelaskan melalui kesembilan dimensi, keseluruhan dimensi tersebut dipetakan oleh Jackson (1996, dalam Cox, 2002)

1. Challenge – skill balance

Adanya perasaan seimbang yang dirasakan antara tuntutan situasi dan keterampilan pribadi.

2. Action – awareness merging

Karakteristik ini berfokus pada melakukan tugas secara otomatis. Otomatis ini mengarah atau menyebabkan individu untuk menampilkan aktivitas yang lebih mulus dan menghindari munculnya pikiran-pikiran yang mengganggu. Keterlibatan yang begitu mendalam ini menyebabkan adanya perasaan otomatis ketika seseorang bertindak atau beraktivitas. Individu yang mengalami flow terikat dengan aktivitasnya dan pada saat yang sama mereka berada di “dalam” aktivitas mereka tersebut. Individu tidak harus memikirkan apa yang mereka lakukan sebelum mereka melakukan hal

(8)

Studi Deskriptif Mengenai Pengalaman Flow pada Musisi di Komunitas Klab Jazz Bandung| 147

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

tersebut.

3. Clear goals

Perasaan pasti dan tujuan yang jelas tentang hal yang akan dicapai. 4. Unambiguous feedback

Feedback atau umpan balik yang diterima segera dan jelas, memastikan

perasaan bahwa semua berjalan berdasarkan dengan rencana dan umpan balik segera agar seseorag tidak bertanya-tanya seberapa baik performa mereka selama flow.

5. Concentration on the task at hand

Perasaan yang dirasakan sangat fokus ketika beraktivitas, kesatuan aksi dan kesadaran dibuat mungkin dengan adanya konsentrasi seutuhnya dan memfokuskan perhatian dengan aktivitas yang dilakukan saat tersebut. Konsentrasi ini terjadi tanpa usaha. Hal ini tidak berhubungan dengan upaya individu untuk mengontrol ataupun menekan pikiran.

6. Sense of control

Dimensi yang merujuk pada perasaan individu yang mengontrol dan menguasai tugas yang mereka hadapi. Karakteristik dari pengalaman yang dirasakan ini pula terjadi tanpa usaha yang disengaja.

7. Loss of self-consciousness

Berhubungan dengan menghilangnya diri individu yang menjadi satu dengan aktivitas yang sedang dilakukan. Hal ini merupakan kapasitas untuk menghindari perhatian dan rasa khawatir akan kemampuan individu. Selama flow, kesadaran mengevaluasi dan merencanakan sebelum bertindak. Seseorang tidak harus berpikir dengan keras sebelum bertindak.

8. Transformation of time

Adanya perasaan kurang menyadari berjalannya waktu. Waktu dapat dirasakan berjalan lebih cepat maupun lebih lambat.

9. Autotelic experience

Adanya perasaan melakukan suatu aktivitas untuk kepentingan diri sendiri tanpa ekspektasi akan keuntungan di masa depan.

Dalam pengalaman flow yang dialami oleh seseorang, dimensi-dimensi tersebut tidak perlu seluruhnya muncul sehingga ada dimensi-dimensi yang mungkin tidak dirasakan atau dialami individu, namun pada pengalaman flow yang sangat intens, seluruh dimensi tersebut akan dialami dan dirasakan oleh individu.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Skor maksimal = 20 Skor minimal = 4 Panjang kelas = 8 Nilai tinggi = 12 – 20 Nilai rendah = 4 – 12 s 1 2 3 4 5 6 7 8 9 HASIL

A TINGGI 17 TINGGI 17 TINGGI 19 TINGGI 19 TINGGI 19 TINGGI 18 TINGGI 18 TINGGI 19 TINGGI 19 F.I B TINGGI 16 TINGGI 16 TINGGI 16 TINGGI 16 TINGGI 18 TINGGI 16 TINGGI 17 TINGGI 18 TINGGI 15 F.I

(9)

C TINGGI 17 TINGGI 14 TINGGI 15 TINGGI 16 TINGGI 17 TINGGI 16 TINGGI 15 TINGGI 15 TINGGI 13 F.I D TINGGI 14 RENDAH 11 TINGGI 12 TINGGI 12 TNGGI 16 TINGGI 15 TINGGI 16 TINGGI 15 RNDH 11 F

E TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 19 TINGGI 18 F.I F TINGGI 19 TINGGI 19 TINGGI 17 TINGGI 20 TINGGI 20 TINGGI 19 TINGGI 18 TINGGI 18 TINGGI 20 F.I G TINGGI 16 TINGGI 15 TINGGI 16 TINGGI 16 TINGGI 17 TINGGI 20 TINGGI 17 TINGGI 17 TINGGI 16 F.I H TINGGI 12 TINGGI 14 TINGGI 13 TINGGI 15 TINGGI 16 TINGGI 15 TINGGI 13 TINGGI 14 TINGGI 18 F.I I TINGGI 15 TINGGI 14 RNDH 11 TINGGI 15 TINGGI 18 TINGGI 13 TINGGI 19 TINGGI 16 TINGGI 16 T.F J TINGGI 16 TINGGI 16 RNDH 11 TINGGI 17 TINGGI 15 RNDH 9 TINGGI 13 TINGGI 18 TINGGI 17 T.F

Keterangan

:

1. Dimensi challenge-skill balance A – J : Subjek 2. Dimensi action-awareness merging F.I : Flow Intens

3. Dimensi clear goals F : Flow

4. Dimensi unambiguous feedback T.F : Tidak Flow 5. Dimensi concentration on the task at hand

6. Dimensi sense of control

7. Dimensi loss of self-consciousness 8. Dimensi transformation of time 9. Dimensi autotelic experience

Tujuh musisi yang mengalami flow yang intens

Ketujuh musisi ini mengalami dimensi challenge skill balance, artinya musisi – musisi ini merasa tertantang, mereka suka dengan karya yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Mereka yakin bahwa hasil latihannya akan membuat mereka bisa menguasai tantangan dari suatu karya tersebut, artinya mereka merasa optimis bisa menguasai suatu karya karena kemampuan yang dimilikinya.

Menurut mereka hal tersebut dapat terjadi karena mereka rutin melatih karya yang akan mereka tampilkan, namun ketujuh musisi ini semuanya sepakat bahwa yang terpenting adalah pemilihan dari karya yang akan ditampilkan. Mereka memilih karya yang menurut mereka sulit namun mampu untuk dikuasai, serta memikirkan konsekuensi apabila memainkan karya tersebut, artinya sebelum memilih karya musisi ini memahami kemampuannya sampai mana sehingga mereka bisa membandingkan antara kemampuan yang mereka miliki dengan tantangan atau tigkat kesulitan pada karya yang akan dimainkan. Pada saat pemilihan karya, ketujuh musisi ini memahami apa yang ingin mereka capai. Ketika mereka sudah yakin akan pemilihan suatu karya maka mereka melatihnya dengan rutin.

(10)

Studi Deskriptif Mengenai Pengalaman Flow pada Musisi di Komunitas Klab Jazz Bandung| 149

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

Empat dari tujuh musisi ini telah menempuh pendidikan s1 musik, satu musisi pernah mengikuti sekolah/ les selama lima tahun dan dua musisi lainnya belajar secara otodidak. Menurut subjek yang telah menempuh pendidikan s1 musik dan subjek yang pernah mengikuti sekolah/ les musik, mereka mempunyai tutntutan untuk berlatih terus sehingga merka memiliki kemampuan (skill) untuk menghadapi tantangan sehingga mempermudah subjek untuk mengalami dimensi challenge balance skill. Setiap instansi baik itu sekolah tinggi maupun sekolah musik/ tempat les, memiliki tujuan (clear goals) yang telah ditetapkan yang nantinya bisa dijadikan feedback bagi para musisi tersebut sehingga memungkinkan para musisi ini mengalami flow. Bagi musisi yang belajar otodidak walaupun mereka tidak memiliki tuntutan, namun mereka tetap berlatih secara rutin setiap harinya. Mereka belajar melalui video yang ada di internet dan bertanya pada musisi yang lebih senior.

Dengan latihan rutin ini mereka merasa gerakan atau not yang mereka mainkan terjadi begitu saja dengan spontan, artinya dalam hal ini ketujuh musisi merasakan dimensi action awareness merging.

Ketujuh musisi ini merasakan dimensi clear goals, artinya mereka memiliki tujuan yang jelas, bukan hanya untuk berhasil memainkan lagu saja tetapi mereka paham dengan apa yang ingin mereka lakukan. Pada saat mereka memiliki tujuan yang jelas dan ingin melakukannya hal tersebut terjadi secara otomatis. Kemudian ketika tujuannya tercapai mereka akan memilih tantangan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi.

Ketujuh musisi ini juga mengalami unumbigous feedback. Mereka mengetahui seberapa baik performanya. Ketika mereka merasa bahwa performanya kurang baik maka mereka akan melatih tantangan yang belum berhasil mereka kuasai dengan melatih kekurangan - kekuarangannya sehingga pada saat mereka nantinya menghadapi tantangan tersebut, mereka akan melakukannya lebih baik, namun apabila mereka merasa optimal maka mereka menetapkan tujuan yang baru yaitu memilih tantangan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi, dalam hal ini berhubungan dengan dimensi clear goals. Pemilihan tantangan yang sulit ini berguna untuk peningkatan

skill, hal ini berhubungan dengan dimensi challenge skill balance.

Selama memainkan musik jazz, ketujuh musisi ini dapat berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukannya. Artinya ketujuh musisi ini mengalami dimensi

concentrationon the task at hand sehingga Subjek merasa menyatu dengan apa yang

dilakukannya sehingga gerakan yang dilakukan muncul secara spontan, artinya subjek mengalami dimensi loss of self-consciousness yang membuat subjek kehilangan rasa cemas mengenai dirinya, mereka tidak peduli apa yang dipikirkan orang pada performanya pada saat di atas panggung.

Para subjek yang mengalami flow dengan intens ini juga mengalami dimensi

transformation of time. Artinya, mereka merasa bahwa jalannya waktu seolah-olah

berubah ketika sedang mengalami pengalaman flow. Saat berimprovisasi, mereka menjadi sangat fokus pada setiap hal yang dilakukannya sehingga mereka tidak memiliki ruang untuk menempatkan perhatiannya pada hal-hal yang terjadi di sekitarnya, termasuk salah satunya adalah jalannya waktu.

Ketujuh musisi ini juga mengalami dimensi autotelic experience. Mereka merasa bahwa pengalaman selama memainkan musik jazz sangat berharga, menyenangkan, dan memuaskan.

Satu musisi mengalami flow tidak intens, subjek mengalami tujuh dari Sembilan dimensi. Dimensi yang tidak dialami oleh subjek yaitu action awareness merging dan autotelic experience.

(11)

Subjek tidak mengalami dimensi action awareness merging, artinya gerakan yang dilakukan subjek, masih belum spontan atau tidak otomatis.

Subjek mempelajari musik jazz secara otodidak dan kemauannya sendiri sehingga subjek menetapkan jadwal latihan rutin sendiri setiap harinya. Subjek mengakui bahwa ia kesulitan untuk mengingat notasi tema pada suatu karya sehingga terkadang subjek memainkan notasi yang salah.

Subjek yang terkadang melakukan kesalahan memainkan notasi tema suatu karya, hal ini menyebabkan subjek kurang puas dengan penampilannya, dan merasa pengalaman tersebut kurang berharga, yang artinya subjek tidak mengalami dimensi

autotelic experience, pengalamannya di atas panggung membuat subjek merasa biasa

saja. Walaupun demikian, subjek sudah berada pada channel flow dikarenakan subjek sudah memenuhi proximal condition (challenge skill balance, clear goals dan

unumbigous feedback).

Subjek sudah memiliki tujuan jelas yang ingin di capai yaitu menyelesaikan suatu karya. Dari penuturan subjek tersebut terlihat bahwa subjek melatih bagian tema lagu dan chord progression, artinya disini subjek sudah mengalami clear goals. hanya saja subjek lebih rutin melatih dan mempersiapkan bagian improvisasinya saja. ketika subjek sudah bisa memainkan tema suatu karya subjek tidak melatihnya lagi, sehingga subjek belum merasa terbiasa dengan tema suatu lagu tersebut sehingga menyebabkan subjek tidak spontan dalam memainkan tema notasi pada suatu karya (action

awareness merging),

Ketidakpuasan subjek membuat subjek menilai dirinya bahwa kekurangannya berada pada tema suatu karya, artinya disini subjek mampu menilai seberapa baik penampilaanya di atas panggung (unumbigous feedback).

Satu orang musisi yang tidak mengalami flow dikarenakan tidak mengalami dimensi clear goals dan tidak mengalami dimensi sense of control.

Subjek tidak mengalami dimensi clear goals, artinya subjek tidak memiliki tujuan yang jelas dan tidak paham apa yang ingin di capai. Subjek mengakui bahwa ia merasa tertantang untuk memainkan musik jazz. Ia menyukai tema yang sulit pada suatu karya (challenge skill balance), namun subjek terkadang merasa kebingungan ketika berada pada bagan improvisasi. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Subjek sendiri menyadari seberapa baik penampilannya di atas panggung. Ia mengakui bahwa kekurangannya ada pada bagian improvisasi, ia mepersepsi tantangan hanya berada pada tema karya lagu saja. Subjek sendiri menilai kemampuannya berada pada tingkat intermediate/advance (menengah), disini artinya subjek mengalami dimensi unumbigous feedback, ia sudah bisa menilai kemampuan dirinya, tetapi subjek tidak menetapkan tujuan untuk menutupi atau memperbaiki kekurangannya tersebut, dengan kata lain subjek tidak memiliki clear goals. sehingga subjek sering kali merasa kebingungan apa yang harus dilakukannya pada saat improvisasi.

Subjek mempelajari musik jazz secara otodidak, sehingga terkadang subjek bingung materi apa yang harus di latih pada bagian improvisasi.

Dari penuturannya, dapat terlihat bahwa subjek hanya menetapkan tujuan sebatas berhasil memainkan tema dari suatu karya saja. Subjek tidak menetapkan apa yang harus dicapai atau memahami apa yang harus ia lakukan pada saat improvisasi, menyebabkan subjek tidak memiliki kendali akan gerak tubuhnya. Subjek menuturkan ketika berimprovisasi subjek merasa kaku karena kebingungan apa yang akan ia lakukan, artinya subjek disini tidak mengalami dimensi sense of control, dimana pada orang yang mengalami flow intens memiliki kendali akan gerak tubuhnya.

(12)

Studi Deskriptif Mengenai Pengalaman Flow pada Musisi di Komunitas Klab Jazz Bandung| 151

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

mearasa bahwa penampilannya pada saat itu sangat berharga (autotelic experience). Dari penuturannya di atas, sebenarnya subjek memiliki peluang untuk mengalami

flow. Apabila dilihat mengenai persepsi tantangan dan kemampuannya, subjek berada

pada tahap arousal, dimana tantangan (bagan improvisasi) berada pada level yang tinggi, sedangkan kemampuannya berada pada level menengah.

Satu orang musisi yang tidak mengalami flow dikarenakan tidak mengalami dimensi clear goals

Subjek tidak mengalami dimensi clear goals, artinya subjek tidak memiliki tujuan yang jelas. Menurut penuturannya subjek tidak mengalami hal ini ketika ia berada pada bagan improvisasi. Pada saat di atas panggung subjek mengalami dimensi

challenge skill balance, subjek merasa tertantang untuk menguasai suatu karya, subjek

pun yakin dengan kemampuannya, namun terkadang subjek tidak tahu apa yang harus ia mainkan pada saat improvisasi.

Berbeda dengan subjek sebelumnya, subjek ini masih memiliki kendali akan gerak tubuhnya (sense of control), jika subjek sebelumnya merasa kaku, subjek ini lebih memilih untuk menabuh terus drumnya hanya saja ia tidak tahu apa yang ia lakukan. Subjek berpendapat berimprovisasi dan bermain “asal – asalan” dua hal yang berbeda. Ketika berada pada bagan improvisasi ia lebih sering bermain sesukanya tanpa konsep dan tanpa maksud serta tujuan yang ingin disampaikan kepada penonton. Subjek menuturkan bahwa improvisasi haruslah spontan sehingga subjek jarang melatih bagan improvisasinya.

Subjek mempelajari musik jazz secara otodidak dan kemauannya sendiri. Pada saat improvisasi terkadang subjek kehabisan ide dan bingung apa yang akan dilakukannya sehingga ia mengakui bahwa terkadang ia bermain “asal – asalan” pada saat berimprovisasi.

Subjek mengalami dimensi action awareness merging, secara spontan subjek mampu memainkan notasi (menabuh drum) yang ia inginkan, baik itu pada tema suatu karya, maupun pada saat bagan improvisasi. Subjek tidak peduli apa yang penonton pikirkan terhadap permainannya (loss of self consciousness), subjek dengan mudah memusatkan perhatiannya pada apa yang sedang dilakukannya.

Subjek mengetahui seberapa baik permainannya pada saat itu (unumbigous

feedback), ia mempersepsi bahwa tantangan yang sulit di hadapi adalah pada saat

improvisasi, ia yakin mampu menghadapi tantangan tersebut walaupun subjek mengakui bahwa ia lebih sering mengasal untuk menutupi kebingungannya.

Disini dapat terlihat bahwa tantangan (bagan improvisasi) berada pada level yang tinggi, sedangkan kemampuannya berada pada level menengah, artinya subjek berada pada tahap arousal, apabila ia meemahami apa yang ingin ia capai, memungkinkan antara kemampuan dan tantangan menjadi seimbang dan memungkinkan subjek untuk mengalami flow.

D. Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Dari 10 musisi di komunitas Klab Jazz Bandung yang menunjukkan adanya indikasi mengalami pengalaman flow, tujuh musisi diketahui mengalami pengalaman flow yang intens. satu musisi mengalami flow yang tidak intens, dan 2 orang mengalami arrousal. 2. Dimensi yang ditemukan tinggi pada seluruh subjek adalah challenge skill balance,

unambiguous feedback, concentration to the task at hand, loss of self consciousness

(13)

Daftar Pustaka

Asakawa, K. (2004), Flow experience and autotelic personality in Japanese College Students : How do they experience challenges n daily life?journal of happiness Studies

Carolyn, L. (2001), An exploration of flow among collegiate marching band participants Carpentier, J., Mageau, G. A., & Vallerand, R. J. (2011).Ruminations and Flow:Why Do People with a More Harmonious Passion Experience Higher Well-Being?Springer Science+Business Media B.V.

Compton, W. (2005). An Introduction To Positive Psychology. USA : ThomsonWadsworth

Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychological of optimal experince. New York: Harper & Row.

Elliot, D.J. (1995). Music Matters: A nNew Philosophy of Music Education. New York: Oxford University Press.

Jackson, S. A., & Marsh, H. W. (1996). Development and validation of a scale to measure optimal experience : The Flow Scale. Journal of Sport & Exercise Psychology, 18, 17-35.

Mack, D. (2001). Pendidikan Musik : Antara harapan dan realitas. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia

Noor, H (2009). Psikometri aplikasi dalam penyusunan instrumen pengukuran perilaku.

Bandung : Universitas Islam Bandung

Orlick, T. (2000). In pursuit of excellence: How to win in sport and life through mental training (3rd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics

Rentfrow & Gosling (2003). The do re mi’s of everyday life : the structure and Personality correlates of music preferences

(14)

Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448

153

Hubungan Social Support dengan Parenting Stress pada Ibu dengan

Anak Tunagrahita di SLB-C Z Bandung

Correlation Between Social Support and Parenting Stress Towards Mother Who Have an Intellectual Disability Child at SLB-C Z Bandung

1

Hanifah Nastiti Putri Azni, 2Suci Nugraha

1,2Fakultas psikologi, Universitas Islam Bandung, jl. Tamansari No. I Bandung 40116

Email: 1Hanifahnastiti@yahoo.com 2sucinugraha.psy@gmail.com

Abstract. Raising a child with intellectual disability can cause a great pressure for mother, and it will have

impacts on parenting that is not optimal and the consequences will be felt by the child. Mother is expected to reduce the stress so that parenting can be run optimally and children will be not unnoticed by mother. To ease the burden faced by the mother, the support of the surrounding is very important to help the mother in order to withstand the difficulties. The purpose of this study was to determine the correlation between social supports and parenting stress towards mothers who have an intellectual disabled child in SLB-C Z Bandung. The method of research is the study of correlation with the respondents as many as 12 people. Measuring instrument used is a psychological scale created by the researchers based on the theory of Social Support by Sarafino (1994) and measuring tools Parenting Stress Scale by Berry & Jones (1995). The results showed that there is a negative correlation between social support and parenting stress towards mothers who have an intellectual disabled child in SLB-C Z Bandung (Rs = -0.770), the higher the mother's received a social support, the lower the intensity of parenting stress felt by the mother.

Keywords : social support, parenting stress, child with intellectual disability.

Abstrak Membesarkan anak tunagrahita dapat menyebabkan ibu merasakan tekanan yang berat dan akan

berdampak pada pengasuhan anak yang kurang optimal. Ketika ibu merasakan stres dalam pengasuhan anaknya, ibu diharapkan dapat mengurangi stresnya agar pengasuhan anak dapat dijalankan dengan optimal dan anak akan terperhatikan oleh ibu. Dukungan dari sekitarnya sangatlah penting untuk membantu ibu agar bisa bertahan menghadapi kesulitannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara social support dengan parenting stress ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C Z Bandung. Metoda penelitian yang digunakan adalah studi korelasi dengan responden sebanyak 12 orang. Alat ukur yang digunakan adalah skala psikologi yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori Social Support dari Sarafino (1994) dan alat ukur Parenting Stress Scale dari Berry & Jones (1995). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara Social support dengan Parenting stress ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus di SLB-C Z Bandung (Rs= -0,770), maka semakin tinggi dukungan sosial yang diterima ibu, semakin rendah intensitas stress pengasuhan yang dirasakan ibu.

Kata kunci : social support, parenting stress, anak tunagrahita

A. Pendahuluan

Dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus, umumnya akan muncul kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh ibu, seperti terjadinya kebingungan ketika anak mereka tidak berkembang sebagaimana mestinya, ibu juga merasa kesulitan mencari informasi tentang kondisi anaknya dan mencari tempat terapi untuk anaknya, ibu juga merasa tertekan dan malu dengan kondisi anaknya dan juga kesulitan membagi perhatian antara anaknya dan pasangan (Astutik 2014). Masalah lain yang benar-benar faktual adalah kondisi finansial keluarga yang terganggu akibat banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh anak berkebutuhan khusus tersebut, seperti mencari terapis, sekolah khusus, dan lain-lain (Sianiwati Sunarto, 2007, dalam Halim, Budiman 2009). Keterbatasan yang dimiliki anak membuat ibu mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif yang dirasakan oleh ibu saat mengasuh anak. ibu dapat merasakan malu atas komentar negatif yang diberikan pada anaknya, dan hal tersebut membuat ibu

(15)

kehilangan kepercayaan dirinya dan merasakan malu untuk pergi keluar rumah bersama anaknya. Meski dengan adanya perasaan negatif yang dirasakan, ibu kemudian bisa bangkit dan mengatasi emosi negatif tersebut, ibu sangat dekat dengan anaknya karena menghabiskan sebagian besar waktu dengan anaknya. Ibu juga berperan aktif dalam pengasuhan anak dan aktif dalam mencari informasi mengenai kondisi anaknya, dan memiliki harapan positif pada anaknya bahwa nantinya anaknya akan menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.

Ada pula ibu yang tidak bisa mengolah emosi negatif yang dirasakannya dan tetap merasa bahwa hari-hari yang dilaluinya berat dan mengasuh anak merupakan beban yang sangat berat. Selain merasa malu dan kesulitan dengan kondisi anaknya, ibu juga kadang merasa tidak bersedia menerima anaknya dan ingin mengabaikannya. Ibu tidak memiliki harapan yang positif pada anaknya karena ibu takut kecewa jika harapannya tidak terpenuhi. Ibu merasa ketika ada orang lain yang membicarakan hal buruk mengenai kondisi anaknya itu merupakan hal yang sangat berat yang kemudian membuat ibu menjadi merasa sangat lelah. Ibu kesulitan mengelola emosinya, ibu akan menjadi tidak sabar ketika mengasuh anak dan kemudian menjadi marah.

Stres dialami oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, stres mengasuh anak atau parenting stress memiliki kekhasan tersendiri (Gunarsa, 2006). Parenting menjadi sebuah pengalaman yang memunculkan stres bagi kebanyakan orang tua, bagaimanapun keadaan lingkungan di sekitarnya. Orang tua yang merasa letih karena menghadapi kebutuhan keluarga yang tidak ada habisnya, terutama yang berkaitan dengan anak, dapat kehilangan antusiasme mereka dalam

parenting. Selain itu, menurut Gunarsa ((2006) dalam junida 2015), orang tua yang

sedang dalam kondisi stres, dalam hal ini stres mengasuh anak maka, intensitasnya dalam menunjukkan emosi cenderung lebih tinggi. Orang tua dengan tingkat parenting

stress yang tinggi cenderung menunjukkan perilaku amarah yang lebih intens daripada

mereka yang memiliki tingkat parenting stress yang rendah. Menurut Abidin (dalam Ahern, 2004) stres pengasuhan atau parenting stress digambarkan sebagai kecemasan dan ketegangan yang melampaui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran orang tua dan interaksi antara orang tua dengan anak. Ketika ibu merasakan stres dalam pengasuhan anaknya, hal tersebut akan berdampak pula pada pengasuhan anak yang tidak optimal, yang akibatnya akan dirasakan oleh anaknya. Ibu diharapkan dapat mengurangi stresnya agar pengasuhan anak dapat dijalankan dengan optimal dan anak akan terperhatikan oleh ibu. Untuk mengurangi beban yang dihadapi oleh ibu, dukungan dari sekitarnya sangatlah penting untuk membantu ibu agar bisa bertahan mengahadapi kesulitannya.

Dengan dukungan dari keluarga maupun teman dapat mempengaruhi berkurangnya stres pengasuhan pada ibu dan mengatasi distress. Menurut penelitian yang dilakukan Ramdhany (2016), salah satu faktor yang berhubungan dengan stres pengasuhan adalah dukungan sosial yang diterima. Menurut Cohen dan Syme (dalam Pratita, 2012), dukungan sosial keluarga merupakan keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain sehingga orang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya. Menurut model buffering

hypothesis dukungan sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari

tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu. Melalui model ini, dukungan sosial bekerja dengan tujuan untuk memperkecil pengaruh dari tekanan-tekanan atau stres yang dialami individu lewat pemberian strategi coping yang tepat yang dapat membantu menurunkan stres. Ketika ibu mengalami stres dalam pengasuhan dan merasa tertekan, dukungan sosial menjadi hal yang melindungi ibu untuk tidak terus

(16)

Hubungan Social Support dengan Parenting Stress pada Ibu...| 155

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

mengalami perasaan tertekan, dimana jika perasaan tertekan tersebut terjadi secara terus menerus akan berubah menjadi depresi, sehingga ibu akan kembali merasa kuat dalam menjalani kegiatannya sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui mengenai hubungan social support dengan Parenting stress ibu yang memiliki anak tunagrahita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data empiris untuk mengetahui sejauh mana keeratan hubungan antara Social support dengan Parenting stress ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C Z Bandung

B. Landasan Teori

Menurut Sarafino (1994) dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diperoleh individu dari orang lain, dimana orang lain disini dapat diartikan sebagai individu perorangan atau kelompok. Dukungan sosial memiliki 4 dimensi, yaitu dukungan emosional (emotional support) adalah suatu bentuk dukungan yang diekspresikan melalui empati, perhatian, kasih sayang dan kepedulian terhadap individu lain. Bentuk dukungan ini dapat menimbulkan rasa nyaman, perasaan dilibatkan dan dicintai pada individu yang bersangkutan. Dukungan ini juga meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan penghargaan (esteem support) adalah suatu bentuk dukungan yang terjadi melaui ekspresi seseorang dengan menunjukan suatu penghargaan positif terhadap individu, dukungan atau persetujuan tentang ide-ide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari individu dengan orang lain yang keadannya lebih baik atau lebih buruk. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompeten dan bermakna. Dukungan instrumental (instrumental support) adalah bentuk dukungan langsung yang di wujudkan dalam bentuk bantuan material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Contoh dukungan ini seperti pinjaman atau sumbangan uang dari orang lain, penyediaan layanan penitipan anak, penjagaan dan pengawasan rumah yang ditinggal pergi pemiliknya dan lain sebagainya yang merupakan bantuan nyata berupa materi atau jasa. Dukungan informasi (information support) adalah suatu dukungan yang diungkapkan dalam bentuk pemberian nasehat/saran, penghargaan, bimbingan/ pemberian umpan balik, mengenai apa yang dilakukan individu, guna untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Parenting stress merupakan kecemasan dan ketegangan berlebihan yang secara

khusus terkait dengan peran orang tua dan interaksi antara orang tua dengan anak (berry & jones 1995). Parenting stress terdiri dari 2 dimensi yaitu dimensi pleasure, yaitu komponen positif dari parenting yang membawa keuntungan secara emosional (cinta, kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan) serta perasaan akan self-enrichment dan pengembangan diri. Dimensi Strain yaitu komponen negatif dari parenting yang melibatkan tuntutan akan berbagai sumber seperti waktu, tenaga, dan uang, serta adanya larangan, perasaan malu, dan kontrol. Pada pengukuran ini peneliti menggunakan parenting stress scale (PSS) dari (Berry & Jones, 1995), yang

dikembangkan oleh Berry dan Jones (1995) sebagai alternatif untuk 101-item

Parenting Stress Index milik Abidin dengan item yang lebih ringkas. PSS terdiri dari

18 item self report dimana setiap item mewakili situasi positif dan negatif orang tua dalam pengasuhan. PSS secara spesifik memfokuskan pada stres yang disebabkan oleh peran sebagai orang tua melalui gambaran hubungan orang tua dengan anak dan perasaan mereka mengenainya, yang dikaitkan dengan adanya komponen pleasure dan

(17)

C. Hasil Penelitian

Tabel 1. hasil korelasi social support dengan parenting stress

Berdasarkan Tabel 1 hasil perhitungan korelasi diketahui bahwa terdapat hubungan negatif antara social support dengan parenting stress ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C Z Bandung, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh ibu, maka semakin rendah juga stres pengasuhan yang dirasakan oleh ibu. Hasil yang didapat menunjukkan skor koefisien korelasi sebesar -0,754, yang menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin sering ibu mendapatkan dukungan sosial, maka semakin rendah intensitas stres pengasuhan yang dialami oleh ibu dengan anak tunagrahita. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Gunarsa (2009 (dalam Junida 2015)) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi Parenting stress adalah dukungan sosial yang dapat mengurangi kemungkinan ibu mengalami parenting

stress.

Tabel 2. Perbandingan Keseluruhan Hasil Uji Korelasi antara Dimensi Social support dengan Parenting Stress

Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dimensi instrumental support merupakan dimensi social support yang memiliki korelasi lebih tinggi yang memiliki nilai koefisien korelasi dengan nilai yang tinggi sebesar -0,770. Hal tersebut menunjukan bahwa semakin tinggi social support dalam dimensi information support, maka semakin rendah stres pengasuhan yang dialaminya. Semakin sering ibu mendapatkan dukungan sosial dalam bentuk informasi maka semakin jarang ibu merasakan stres pengasuhan.

Pada dimensi Esteem support didapatkan koefisien korelasi yang paling rendah dibandingkan dengan dimensi social support lainnya, dengan nilai korelasi sebesar -0,392 yang menunjukan korelasi yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi social

support pada dimensi esteem support tidak selalu diikuti dengan rendahnya parenting stress

yang di rasakan oleh ibu. Begitu pula semakin rendah social support pada dimensi esteem

support tidak selalu diikuti dengan tingginya parenting stress yang di rasakan.

Social support Parenting

stress

Koefisien korelasi -0,754

Dimensi r. Keterangan Kesimpulan

Emotional Support -0,533 Korelasi cukup Terdapat hubungan negatif

Esteem Support -0,392 Korelasi rendah Terdapat hubungan negatif

Instrumental Support -0,621 Korelasi tinggi Terdapat hubungan negatif

(18)

Hubungan Social Support dengan Parenting Stress pada Ibu...| 157

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

Tabel 3. Social support yang didapatkan ibu dengan anak tunagrahita

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 12 ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C Z Bandung, 11 ibu mempersepsikan mendapat social support yang tinggi dengan prersentase 92%. Hal ini menunjukan bahwa ibu merasa diberikan perhatian, mendapatkan rasa nyaman dan merasa dicintai oleh lingkungannya. Sementara satu ibu mempersepsikan mendapat social

support yang rendah dengan persentase 8%. Hal ini menunjukan bahwa ibu merasa tidak

menerima dukungan social yang cukup, ibu merasa tidak mendapatkan perhatian, kenyamanan serta tidak merasakan dicintai oleh lingkungannya.

D. Simpulan

Terdapat hubungan negatif yang erat antara social support dengan parenting stress ibu dengan anak tunagrahita di SLB-C Z Bandung (rs = 0,754), hal tersebut menunjukan

semakin tinggi social support yang didapatkan, maka semakin rendah intensitas parenting

stress yang dialami oleh ibu.

Social support dimensi information support dengan parenting stress memiliki nilai

korelasi yang paling tinggi dengan rs = -0,770, dan social support dimensi esteem support

dengan parenting stress memiliki nilai korelasi yang paling rendah dengan rs = -0,392.

Daftar Pustaka

Ahern, Lisa Senatore (2004). Psychometric properties of The parenting stress index – short form. Department of psychology College of humanities and social sciences. Faculty of North Carolina State University.

Astutik, Sri (2014). Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam http://digilib.uinsby.ac.id/448/ (diunduh 2 april 2016)

Berry, JD, & Jones, W,H, (1995) The Parental Stress Scale : initial psychometric evidence. Journal of Social and Personal Relationships, 12, 463 – 472

Halim, Budiman (2009). Kontribusi Protective Factors Terhadap Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Bandung (Suatu Studi Mengenai Kontribusi Family Protective Factor dan Community Protective Factor Terhadap Resiliensi dan Aspek-aspeknya). Universitas Kristen Maranatha

Junida, Isma (2015) Hubungan health hardiness dengan parenting stress pada warga peserta PKH Kelurahan Karang Besuki Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Lazarus, S. Richard. (1991) Stress and Coping An Anthology (3rd Edition). Columbia University Press:New York

Pratita, Nurina Dewi Hubungan Dukungan Pasangan Dan Health Locus Of Control Dengan Kepatuhan Dalam Menjalani Proses Pengobatan Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.1 No.1 (2012) Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Ramadhany, Sefira Dwi. (2016) Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di slb dharma bhakti dharma pertiwi. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Sarafino, Edward P. (1994) Health psychology : biopsychosocial interaction (2nd edition). Willey & Sons, inc:New york

Social support F %

Tinggi 11 92%

Rendah 1 8%

(19)

Studi Deskriptif Mengenai Juvenile Delinquency pada Siswa Kelas XI

SMA LPPN Bandung

Description Study of Juvenile Delinquency in Class XI SMA LPPN Bandung

1

Anisa Fauziyah, 2Indri Utami S

1,2Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116

email: 1Anisafauziyah7@gmail.com,2Indri.usumaryanti@gmail.com

Abstract. As Humans will develop lifelong where all phases of development in this life will be passed by

each individual. At each phase of the development will pass through various kinds of problems in one of them in the juvenile phase. The development of adolescence takes place between the ages of 12-21 years. Teens also defined as a developmental period of transition between childhood and adulthood, followed by changes in biological, cognitive, and socioemotional (Santrock, 1998). In the transition period is likely to cause a crisis marked by the emerging trend of deviant behavior, in certain circumstances such deviant behavior becomes disruptive behavior (Ekowarni, 1993). Raises the disturbing behavior of juvenile delinquency or also called the Juvenile delinquency. Juvenile delinquency or juvenile delinquency is evil behavior or delinquency of young people who are symptoms of illness (pathological) socially. This study aimed to describe Juvenile delinquency that occurs in class XI SMA LPPN Bandung by using descriptive analysis of 59 students. Measuring instruments used in the form of a questionnaire compiled by the theory Juvenile delinquency of Santrock (2012) which consists of 110 items of questions by combining factors that can favor the occurrence of juvenile delinquency by using a Likert scale to measure two categories: Status offenses and Index offenses. The results of data processing showed 33 students or 56% of the students were on the Status offenses while 26 students or 24% in the Index offenses Factors that supports high in the category of status offenses lies in the influence of peers, self-control danidentitas while the factors that support the category Index offenses are influence of peers, identification and control and followed by parents' parenting. Students follow the behavior displayed by his friends, including involvement in the brawl and miss school are made in the students as a sense of solidarity with a friend. students already know the difference between the behavior of the data received by the environment and attitude that can not be accepted by the environment but failed to develop adequate controls in the use of these differences and some students do not have the shadow about what would be achieved in the short term and long term students still follow the call of his friends.

Keywords: Juvenile delinquency, High School Student

Abstrak. Sebagai Manusia akan mengalami perkembangan yang berlangsung seumur hidup dimana seluruh

fase perkembangan dalam hidup ini akan di lalui oleh masing-masing individu. Pada setiap fase perkembangan akan melewati berbagai macam permasalahan salah satunya pada fase remaja. Perkembangan masa remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun. Remaja juga didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 1998). Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang, pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993). Perilaku menggangu tersebut menimbulkan kenakalan remaja atau di sebut juga dengan Juvenile Delinquency. Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Juvenile Delinquency yang terjadi pada siswa kelas XI SMA LPPN Bandung dengan menggunakan metode analisis deskriptif terhadap 59 siswa. Alat ukur yang di gunakan berupa kuisioner yang disusun berdasarkan teori Juvenile Delinquency dari Santrock (2012) yang terdiri dari 110 item pertanyaan dengan menggabungkan faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya kenakalan remaja dengan menggunakan skala likert untuk mengukur dua kategori yaitu Status Offenses dan Index Offenses. Hasil pengolahan data menunjukan 33 siswa atau 56% siswa berada pada Status Offenses Sementara 26 siswa atau 24% berada pada Index Offenses Faktor tinggi yang mendukung pada kategori Status Offenses terletak pada pengaruh teman sebaya, kontrol diri danidentitas sedangkan faktor yang mendukung pada kategori Index Offenses adalah pengaruh teman sebaya, identitas diri dan kontrol serta di ikuti oleh pola asuh orang tua. Siswa mengikuti perilaku yang di tampilkan oleh teman-temannya termasuk keterlibatan dalam tawuran dan bolos sekolah yang di jadikan siswa sebagai rasa solidaritas terhadap teman. siswa sudah mengetahui perbedaan antara perilaku yang data di terima oleh lingkungan dan sikap yang tidak dapat di terima

(20)

Studi Deskriptif Mengenai Juvenile Delinquency pada Siswa Kelas XI SMA LPPN Bandung| 159

Psikologi, Gelombang 1, Tahun Akademik 2016-2017

oleh lingkungan namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan tersebut dan sebagian siswa belum memilki bayangan mengenai hal apa yang akan di raih dalam jangka waktu pendek maupun panjang siswa masih mengikuti ajakan dari teman-temannya.

Kata Kunci: Juvenile Delinquency , Siswa SMA

A. Pendahuluan

Remaja didefinisikan sebagai suatu periode perkembangan dari transisi antara masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti oleh perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 1998). Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang, pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu (Ekowarni, 1993). Dalam masa transisi, lingkungan akan berperan aktif dalam perkembangan remaja dimana remaja akan berinteraksi baik itu dalam lingkungan keluarga sebagai lingkungan sosial pertama yang akan di temui oleh remaja, sekolah sebagai tempat kedua dalam berinteraksi dan remaja menghabiskan waktunya di luar rumah serta lingkungan sosial lainnya. Interaksi ini di lakukan sebagai bentuk rasa ingin tahu dalam diri remaja dan sebagai upaya dalam mencari identitas diri. Berbagai masalahpun muncul baik itu dalam lingkungan rumah, sekolah ataupun lingkungan sosial lainnya. Kesalahan dalam bertingkah laku yang berkaitan dengan kontrol diri pada remaja dimana remaja gagal dalam mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima. Ketika remaja tidak mampu untuk melaluinya remaja akan menyimpang sehingga menimbulkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku pada suatu lingkungan masyarakat.

Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau

kenakalan anak muda yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Seperti halnya yang terjadi pada SMA LPPN Bandung, berdasarkan guru Bimbingan Konseling (BK) dan beberapa Wali Kelas, Fenomena yang terjadi pada SMA LPPN Bandung khususnya pada siswa kelas XI yakni banyaknya siswa yang melanggar aturan seperti bolos sekolah, merokok di lingkungan sekolah, melanggar tata tertib sekolah seperti : menggunakan pakaian ketat, penggunaan make-up yang berlebihan, rambut dengan panjang yang melebihi telinga pada siswa laki-laki, datang dan meninggalkan sekolah tidak tepat waktu, meninggalkan sekolah ketika jam istirahat berlangsung, minum minuman keras dan berkelahi atau tawuran. Data kenakalan remaja yang didapat dari guru Bimbingan Konseling (BK) menyebutkan dalam rentang waktu 2015 hingga awal 2016, kenakalan remaja yang terjadi di SMA LPPN Bandung kelas XI tercatat 30% siswa yang membolos, 20% siswa yang merokok, 35% siswa berpakaian seragam tidak sesuai aturan, 10% siswa berkelahi dan 10% siswa melakukan pelanggaran lainnya.

Beberapa siswa megatakan bahwa pernah kabur dari rumah dan tinggal

bersama temannya-temannya, mereka memiliki markas tersendiri untuk

menghilangkan penat baik itu kepenatan di sekolah maupun dirumah. Pada masa ini teman sebaya akan di rasakan lebih penting di bandingkan dengan orang tua hal ini di perkuat dengan hal yang di katakana siswa bahwa sisiwa tidak memiliki jalan lain ketika mendapatkan suatu kondisi dimana mereka terdesak dengan keadaan yang membuat mereka tidak nyaman dengan kondisi keluarga di rumah dan permasalahan yang sedang di alami lainnya seperti masalah percintaan atau masalah pribadi lainnya, sehingga remaja merasa bahwa teman-temannya yang dapat mengerti kondisi mereka.

Gambar

Tabel 1. rincian handuk yang gagal produksi selama 2015-2016
Tabel 2. Hasil uji korelasi rank spearman antara Persepsi Gaya Kepemimpinan  Laissez-faire dengan Kepuasan Kerja sebagai berikut:
Tabel 3. Perhitungan tabulasi silang antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Laissez-faire  dengan Kepuasan Kerja karyawan
Tabel 2.  Perbandingan Keseluruhan Hasil Uji Korelasi antara Dimensi Social support  dengan Parenting Stress
+5

Referensi

Dokumen terkait

Namun, metrologi legal hanya merambah dari segi keabsahan dan kebenaran alat-alat ukur, takar dan timbangan yang dipakai para pedagang, tidak merambah pada prilaku dan cara

Salah satu cara yang dapat meningkatkan produksi udang adalah dengan mempercepat tingkat kematangan gonad udang, sehingga dapat meningkatkan produksi benih udang.. Organ

Hasil analisa sidik ragam perhitungan jumlah semut yang dihasilkan dapat diketahui jumlah semut tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pakan instar I Ratu 0,67

Menurut Riffat, baik dalam tradisi Yahudi, Nasrani, dan Islam terdapat tiga asumsi yang menjadi akar kepercayaan masyarakat (khususnya masyarakat patriarki) bahwa

Untuk menciptakan sistem informasi yang bisa mengatur atau memanajemen pemakaman di kota Surabaya dengan diaplikasikan ke suatu sistem komputerisasi online dalam manajemen

Agar penyeleksian selektif dan dapat menghasilkan informasi yang cepat dan tepat sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh tim seleksi maka dibutuhkan

Adalah kegiatan JAMNAS Nasional I Pandu SIT Indonesia yang diikuti oleh Pejabat/Tokoh Nasional seperti pada saat upacara pembukaan dan penutupan, senam pagi, qiamul lail dan

Nilai efisiensi penggunaan radiasi surya yang diturunkan dari berat kering dan radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman, sehingga faktor- faktor yang mempengaruhi