Gangguan Tidur pada Lansia
Gangguan Tidur pada Lansia
Mutiara Sri Widyastuti Mutiara Sri Widyastuti
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11610 Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11610
Mutiara.2013fk043@civitas.ukrida.ac.id Mutiara.2013fk043@civitas.ukrida.ac.id Pendahuluan
Pendahuluan
Usia lanjut pada umumnya mengalami berbagai gejala akibat terjadinya penurunan Usia lanjut pada umumnya mengalami berbagai gejala akibat terjadinya penurunan fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini akan memberikan pengaruh fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh
pada seluruh aspek kehidaspek kehidupan, termasuk kupan, termasuk kesehatannya. Perkesehatannya. Perkembangan kehiduembangan kehidupan lansia pan lansia yangyang diharapkan mencakup penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik, diharapkan mencakup penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik, penyesuaian
penyesuaian terhadap terhadap pensiun pensiun dan dan penurunan penurunan penghasilan, penghasilan, penyesuaian penyesuaian terhadap terhadap kematiankematian pasangan
pasangan atau atau kerabat, kerabat, membangun membangun suatu suatu perkumpulan perkumpulan dengan dengan sekelompok sekelompok seusia,seusia, mengambil dan beradaptasi terhadap peran sosial dengan cara yang fleksibel, serta membuat mengambil dan beradaptasi terhadap peran sosial dengan cara yang fleksibel, serta membuat pengaturan hidup at
pengaturan hidup atau kegiatan fisik yanau kegiatan fisik yang menyenangkan.g menyenangkan.
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gelaja tersebut biasanya diikuti mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gelaja tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun.
gangguan fungsional saat bangun. 1.
1. AnamnesisAnamnesis
Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya terutama teman tidurnya; Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya terutama teman tidurnya; meliputi kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok pada waktu tidur, penyaksian henti napas saat meliputi kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok pada waktu tidur, penyaksian henti napas saat tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, perubahan
perubahan sikap sikap saat saat berhubungan berhubungan dengan dengan orang orang lain, lain, kemampuan kemampuan seksual seksual (impotensi),(impotensi), penyakit-penyakit
penyakit-penyakit lain lain yang dyang diderita iderita terutama terutama penyakit penyakit kardiovaskuler, kardiovaskuler, kebiasaan kebiasaan kencing kencing didi malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum baik dengan resep malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum baik dengan resep dokter atau beli sendiri, pemakaian alcohol dan rokok.
Juga ditanyakan apakah penderita juga mempunyai gangguan psikologis dari segi Juga ditanyakan apakah penderita juga mempunyai gangguan psikologis dari segi sosial, apakah dia merupakan seorang pensiunan, dan juga bagaimana hubungannya penderita sosial, apakah dia merupakan seorang pensiunan, dan juga bagaimana hubungannya penderita dengan keluarga yang lain.
dengan keluarga yang lain.
2.
2. PemeriksaanPemeriksaan A.
A. Pemeriksaan FisikPemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik meliputi Pemeriksaan fisik meliputi11::
Karateristik umumKarateristik umum : identifikasi adanya obesitas dan dismorfologi kepala, wajah : identifikasi adanya obesitas dan dismorfologi kepala, wajah
dan gigi. (micrognathia, retrognathia, hypoplasia maksilaris, sumbing pada bibir/ palatum. dan gigi. (micrognathia, retrognathia, hypoplasia maksilaris, sumbing pada bibir/ palatum. Lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibular). Obesitas diidentifikasi dengan mengukur Lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibular). Obesitas diidentifikasi dengan mengukur antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks masa tubuh (body mass index/BMi) BMI<28 sangat berisiko mengalam OSA.
masa tubuh (body mass index/BMi) BMI<28 sangat berisiko mengalam OSA.
Status mentalStatus mental : dilakukan untuk mencari dpresi (dengan skor depresi), kecemasan: dilakukan untuk mencari dpresi (dengan skor depresi), kecemasan
(ansietas) dna penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa). (ansietas) dna penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa).
Tekanan darahTekanan darah : hipertensi muncul pada >60% kasus GTGP. Dianjurkan pada: hipertensi muncul pada >60% kasus GTGP. Dianjurkan pada
pasien hipertensi ag
pasien hipertensi agar diperiksa adanar diperiksa adanya kejadian GTGP.ya kejadian GTGP.
Ukuran leherUkuran leher : lingkar leher dapat untuk memprediksi ukuran membran krikotiroid.: lingkar leher dapat untuk memprediksi ukuran membran krikotiroid.
Pada laki-laki dengan lingkar leher >17 inci, prevalensi OSA 30%. Pada perempuan Pada laki-laki dengan lingkar leher >17 inci, prevalensi OSA 30%. Pada perempuan dengan lingkar leher > 16 inci risiko OSA juga meningkat.
dengan lingkar leher > 16 inci risiko OSA juga meningkat.
Pemeriksaan hidungPemeriksaan hidung : penting untuk mengidentifikaasi adanya kelainan penyebab: penting untuk mengidentifikaasi adanya kelainan penyebab
obstruksi jalan napasa, anatara lain deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau massa obstruksi jalan napasa, anatara lain deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau massa tumor di hidung maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring. tumor di hidung maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring. Pemeriksaan ini biasanya menggunakan nasofaringoskop.
Pemeriksaan ini biasanya menggunakan nasofaringoskop.
faringeal, stenosis, tumor dan jaringan parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat kesulitan intubasi dan luasnyaorofaring perlu dikatakan pemeriksaan dengan skor Mallampati yang menjadi 6 kelas.
Leher : deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus
otot pernapasan terutama selama tidur fase REM.tumor, termasuk limfadenopati yang nyata harus dievaluasi.
Pemeriksaan fisi lain (system organ) : untuk mengidentifikasi adanya penyakit
kardiovaskular dan penyakit paru obstruktif.
Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori : terutama penurunan konsentrasi,
intelektual, dan daya ingat.
B. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium klinik : pemeriksaan yang dibutuhkan berdasarkan indikasi individual
untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas analyzes (BGA) dibutuhkan apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik.1
Pemeriksaan di laboratorium tidur : Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur
dengan alat polisomnogram dapat memberiksan informasi yang akurat mengenai pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA. Pemeriksaan di laboratorium tidur ini juga diperlukan untuk menghitung apneuhipopneu index (AHI), yaitu menghitung jumlah total episode apnea dan hypopnea dibagi lama tidur. Jika AHI >6 kali episode per jam maka diagnosis OSA bisa ditegakkan. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiple step latency test
(MSLT). MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh mengantuk terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas. Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukur
periode laten (waktu/kecepatan) dari saat masih bagun sampai tidur. Uji ini dilakukan berulang kali pada mencatat unculnya REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat uji ini dilakukan, menunjukkan pasien dalam kondisi narcolepsy. Narcolepsy adalah gangguan tidur yang ditandai dengan 6 gejala, yaitu serangan mendadak tidur, kataplesi, paralisis sementara dan halusinasi. MSLT dapat membnatu hypersomnia primer. Pemeriksaann mirip MSLT yang disebut repeated test of sustained wakefulness (RTRSW) juga mengukur periode laten tetapi dengan perintah agar pasien memertahankan agar tetap bangun selama uji dilakukan dan pasien
ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.1
Pemeriksaan pencitraan : pemeriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau
untuk persiapan terapi pembedahan. Permeriksaan ini meliputi : refelsk akustik yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas, somnofluoroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya faring dan penyempitan maksimal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis sefalomeri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial,
CT-scan jalan napas atas diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasofaring/ orofaring posterior, magnetic resonance imaging pemeriksaan yang menghasilkan resolusi bagua dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak di leher.1
3. Diagnosis
A. Diagnosis Kerja (Working Diagnosis)
Gangguan tidur pada malam hari (insomnia)
Secara luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi : kesulitan masuk tidur, kesulitan mempertahankan tidur nyenyak, dan bangun terlalu pagi. Gejala dan tanda yang muncul sering kombinasi ketiganya, munculnya ada yang sementara atau kronik.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostic, yaitu : International Code of Diagnostic (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ICSD).1
Epidemiologi
Insomnia lebih sering diderita wanita daripada pria. Prevalensi insomnia pada populasi umum telah diperkirakan hingga 35%, dengan 10% sampai 15% dianggap dedang sampai parah. Perbedaan dalam prevalensi bervariasi , tergantung pada bagaimana insomnia didefinisikan, tingkat keparahan dan frekuensi keluhan serta usia dan jenis kelamin pasien. Sebuah studi epidemiologi baru-baru ini oleh Roth dan rekan menyoroti perbedaan ini. Bila menggunakkan DSM-4kriteria, prevalensi diperkirakan 22%, dibandingkan dengan perkiraan prevalensi sebesar 3,9% bila menggunakan ICSD-2kriteria. Untuk insomnia kronis, rata-rata tinggi dialami wanita dan meningkat sesuai usia. Spekulasi tentang factor yang berkontribusi terhadap relasi gender mulai muncul (miller 2004). Menariknya studi epidemiologi menunjukkan bahwa, bahkan diantara pasien dengan keluhan kantuk di siang hari , 9%-15% mungkin menderita insomnia(young 2004). Penelitian mulai mengumpulkan beberapa data pada biaya social, dengan perkiran biaya langsung 1390000000 $ per tahun(walsh 2004).2
Etiologi
Model pilaku insomnia diusulkan oleh spielman dan rekannya dengan memberikan kerangka teoritis untuk penyebab insomnia. Model diathesis-stress ini mengusulkan bahwa 3 faktor yang berkontribusi untuk pengembangan dan pemeliharaan insomnia. Pertama, factor predisposisi adalah karakteristik yang meningkatkan resiko untuk mengembangkan insomnia dan mencakup sifat-sifat seperti hyperarousal kronis dan wilayah rawan bencana. Kedua, factor pemicu kejadian atau stress akut yang berinteraksi dengan factor predisposisi menyebabkan gejala insomnia akut. Ketiga, factor yang menjalankan adalah perilaku
penyesuaian yang salah yang di adopsi dalam upaya untuk meredakan gejala insomnia sementara tapi akhirnya berfungsi untuk mempertahankan insomnia. Sebagai contoh, banyak orang yang akan mencoba untuk menebus kehilangan tidur dengan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur. Perilaku ini meningkatkan kesempatan tidur tapi dapat menyebabkan orang menghabiskan sejumlah waktu yang berkepanjangan terjaga selama periode tidur diperpanjang.2
Klasifikasi
Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organic dan organik. Untuk non-organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder akibat penyakit/kondisi abnormal lain. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan social.1
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 6 tipe, yaitu : 1. Gangguan tidur yang berkolerasi dengan gangguan mental lain; 2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum; 3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/ keadaan tertentu; 6. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.1
Gangguan tidur primer pengertiannya mirip dengan insomnia non organic pada ICD 10 yaitu gangguan tidur menetap dan diderita minimal 1 bulan.1
Dalam ICSD klasifikasi ganguan tidur lebih lengkap dan rinci, dibagi dalam 12 subtipe dan lebih dari 60 tipe sindrom insomnia. Untuk mendiagnosisnya sering memerlukan
berbagai pemeriksaan penunjang laboratorium tidur, klinik, dan radiologi seperti CT scan, PET, serta EEG.1
Gangguan tidur karena gangguan irama sirkadian
Irama sirkadian diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperature badan dan pengeluaran hormone-hormon kortisol, hormone pertumbuan, dan melatonin yang dipicu oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderia naumn merasa tidak
membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa.1
Kriteria Diagnostik
Insomnia Primer
A. Dominan keluhan adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur-menyegarkan, setidaknya 1 bulan.
B. Gangguan tidur (atau terkait kelelahan siang hari) menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting.
C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama Narkolepsi,-Breathing Terkait Sleep Disorder, Circadian Rhythm Sleep Disorder, atau Parasomnia.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama gangguan mental lain (misalnya, Mayor Depressive Disorder, Generalized Anxiety Disorder, delirium a).
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi medis umum.
Insomnia merupakan keluhan kesulitan memulai atau mempertahankan tidur atau tidur-menyegarkan (tidak merasa cukup istirahat setelah tidur yang cukup dalam jumlah). Insomnia lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria; lebih umum dengan usia; dan sering dikaitkan dengan gangguan medis dan psikiatris atau penggunaan alkohol, obat-obatan, dan obat-obatan.3
Insomnia sementara jauh lebih umum daripada yang kronis (> 1 bulan) insomnia. Hal ini biasanya hasil dari stres akut. Banyak kasus seperti menyelesaikan tanpa intervensi. Kelainan
PSG telah didokumentasikan dalam berkabung akut. Namun, insomnia persisten harus menaikkan pertimbangan depresi, gangguan penyesuaian, atau gangguan kejiwaan lainnya. Insomnia psychophysiologic adalah "gangguan ketegangan somatized dan belajar asosiasi tidur-mencegah yang mengakibatkan keluhan insomnia" (ICSD-2 1997). Semua pasien dengan insomnia kronis mungkin berkembang tidur-mencegah asosiasi belajar, seperti ditandai overconcern dengan ketidakmampuan untuk tidur. Frustrasi, kemarahan, dan kecemasan yang berhubungan dengan mencoba untuk tidur atau mempertahankan tidur hanya berfungsi untuk membangkitkan mereka lebih lanjut karena mereka berjuang untuk tidur.
Pasien-pasien ini dapat memperoleh asosiasi permusuhan dengan kamar tidur mereka, sering tidur lebih baik di tempat lain seperti di depan televisi, di sebuah hotel, atau di laboratorium tidur. Insomnia psychophysiologic dapat menjadi kronis.3
B. Diagnosis Banding ( Different Diagnosis)
1. Depresi pada lansia
Kecenderungan mengalami depresi meningkat sejalan bertambahnya usia. Kaum lansia merupakan salah satu kelompok orang yang rentan mengalami depresi sepanjang hidupnya. Sekitar 1-5% populasi lansia yang mengalami gangguan medis dan harus mendapatkan perawatan di rawat inap. Kondisi depresi pada pasien lansia banyak dihubungkan dengan kebugaran fisiknya. Orang lansia mengalami kondisi medis umum terkait dengan penyakit degenerative (hipertensi, kencing manis, rematik) lebih rentan mengalami depresi dibandingkan yang tidak. Selain itu sindrom kesepian atau Emptiness Syndrom akibat kehilangan anak atau keluarga yang biasanya mendampingi. Ini biasanya terjadi pada lansia yang ditinggalkan anaknya menikah atau pisah dari rumahnya selama ini. Gangguan depresi pada lansia bisa terjadi dengan berbagai gejala, paling banyak dilaporkan adalah adanya gejala-gejalafisik. Insomnia atau sulit tidur, nyeri otot dan sendi, gangguan cemas dan kurang nafsu makan adalah gejala-gejala depresi yang sering timbul pada lansia. Gejala-gejala fisik ini akan menjadi sulit dibedakan dengan gejala fisik kondisi medis umum karena seringkali mirip dan merupakan bagian yang saling mempengaruhi. Untuk itulah, dokter yang merawat pasien harus memahami betul konsep biopsikososial dan psikosomatik
medis ketika menangani pasien lansia karena gejala-gejala gangguan kejiwaan tersering pada lansia seperti depresi bisa bermanifestasi dalam bentuk keluhan fisik.4
Terdapat beberapa faktro biologis, fisi, psikologis dan social yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada system saraf pusat seperti meningkatnya aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmitter dapat berperan dalam terjadinya depresi pada usia lanjut gejala- gejala depresi terdiri dari : 1
Gejala utama, yakni:
Perasaan depresif
Hilangnya minat dan semangat
Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala lain adalah :
Konsentrasi menurun
Harga diri menurun
Perasaan bersalah
Pesimis terhadap masa depan
Gangguan tidur
Gangguan nafsu makan
Menurunnya libido
2. Demensia
Demensia merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling umum pada orang tua, dan penyakit Alzheimer (AD) adalah jenis yang paling umum dari demensia. Mengingat patofisiologi saraf gangguan demensia (misalnya, degenerasi kolinergik dan disfungsi dalam
AD), tidaklah mengherankan bahwa gangguan tidur adalah fitur umum. Masalah terkait seperti perilaku nokturnal mengganggu adalah endapan umum pelembagaan.
Menyadari kehadiran demensia umumnya tidak sulit; Namun, semua pasien gila harus secara teratur diperiksa untuk gejala sleep / wake. Fragmentasi tidur yang mendalam dan gangguan siklus tidur-bangun telah didokumentasikan oleh aktivitas. PSG dapat menunjukkan latensi tidur berkepanjangan; menurunkan SE; dan penurunan TST, SWS, dan tidur non-REM. Dalam demensia berat (misalnya, AD), EEG mungkin begitu abnormal (misalnya, gelombang lambat saat bangun tidur) bahwa sulit untuk mencetak gol PSG.3
3. Post-Power Syndrom
Post power syndrome ialah reaksi somatic dalam bentuk sekumpulan symptom penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat progresif; dan penyebabnya ialah pensiun atau karena sudah tidak mempunyai jabatan dan
kekuasaan lagi.
Individu yang mengalami post-power syndrome berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja itu merupakan suatu kebutuhan dasa, dan merupakan bagian yang sangat penting dari kehidupan manusia. Pekerjaan dan bekerja itu memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan manusia. Lingkungan kerja itu sebagai sentrum sosial, sedangkan bekerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan kepada individu penghargaan atau respek, status sosial, dan prestise sosial. Bekerja itu selain memberikan ganjaran material dalam bentuk gaji, kekayaan dan bermacam-macam fasilitas material, juga memberikan ganjaran sosial yang nonmaterial, yaitu berupa status sosial dan prestise sosial. Dengan demikian, kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, dan symbol kebesaran merupakan insentif yang kuat untuk mencintai suatu pekerjaan.
Sebaliknya, tidak bekerja-menganggur, pensiun, tidak menjabat lagi-dialami sebgai suatu
shock dan dianggap sebagai kerugian, dan aib yang memberikan rasa malu. “Pengangguran”
tadi menimbulkan perasaan-perasaan minder, perasaan tidak berguna, tidak dikehendaki,
dilupakan, tersisishkan, tanpa tempat berpijak dan seperti “tanpa rumah”. Pada waktu masih
bekerj, dirinya merasa dihormati, disegani, dielu-elukan, disanjung, dibelai-belai dengan
segala kemanisan. Pada masa itu ia merasa “agung”, merasa berharga dan berguna, merasa
dikehendaki dan dibutuhkan; disamping itu, ia masih mendapatkan bermacam-macam fasilitas material. Sekarang ia mengalami kekosongan tanpa arti dan merasa tidak berguna di mana ia sendiri belum siap untuk menghadapi kenyataan seperti itu. Sebenarnya yang menjadi kriterium utama bukanlah kondisi atau situasi pensiun dan menganggur tersebut,
Konsisi mental dan tipe kepribadian individu sangat menentukan mekanisme-reaktif untuk menanggapi masa pensiun dan masa menganggurnya itu. Jika ia merasa tidak mampu atau belum sanggup untuk menerima kondisi baru tersebut, dan merasa sangat kecewa dan pedih,
maka hal itu bisa menimbulkan banyak konflik batin, ketakutan, kecemasan, dan rasa rendah diri. Jika semuanya itu berlangsung berlarut-larut, maka akan mengakibatkan prosesdementia
yang berlangsung cepat, merusak fungsi-fungsi organik, dan mengakibatkan macm-macan gangguan mental lain yang bisa mempercepat kematiannya.5
4. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia
Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut6:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain.6
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.6
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.6
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.6
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi
dan budaya.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup telah meninggal.
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.6
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 6 tipe kepribadian lansia sebagai berikut6:
I. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
II. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.
III. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit
dari kedukaannya.
IV. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
V. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.6
Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.6
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.6
ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.6
5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan
sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.6
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.6
6. Beberapa masalah di bidang psikogeriatris
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami penurunan status kesehatan,misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat,gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran.
Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.Banyak diantara lansia yang hidup sendiri tidak mengalami kesepian,karena aktivitas sosial yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terhadap lansia yang walaupun hidup dilingkungan yang beranggotakan cukup banyak ,
mengalami kesepian. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran enderita, disamping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan dirumah bila bila memang terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.
2. Gangguan cemas
Gangguan cemas dibagi dalam beberapa golongan, yaitu fobia, gangguan panik, gangguan cemas umum, gangguan stres pasca trauma dan gangguan obsesif-kompulsif. Puncak Insidensi antara usi 20-60 tahun dan prevalensi pada lansia lebih kecil dibandingkan pada dewasa muda. Pada usia lanjut seringkali gangguan cemas ini merupakan kelanjutan dari dewasa muda. Awitan yang terjadi pada usia lanjut biasanya berhubungan/sekunder akibat depresi, penyakit medis, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat. Gejala dan pengobatan pada usia lanjut hampir serupa dengan pada usia dewasa muda, oleh karenanya tidak akan disinggung lebih mendalam.7
3. Pengobatan
Pengobatan nonfarmakologis termasuk pendidikan tentang kesehatan tidur (lihat Tabel 27-5, Stimulus-Control Treatment) serta mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan yang salah, misalnya, takut tidak bisa berfungsi sama sekali tanpa 8 jam tidur terganggu.3
Tabel 27-5. Stimulus Control Treatment
Jauhkan waktu tidur dan bangun konstan, bahkan pada akhir pekan.
Jangan gunakan tempat tidur untuk menonton televisi, membaca buku, atau bekerja. Jika tidur tidak dimulai dalam jangka waktu tertentu, mengatakan, 30 menit, meninggalkan tempat tidur dan tidak kembali sampai mengantuk.
Hindari tidur siang.
Berolahraga secara teratur (3-4 kali per minggu), tetapi cobalah untuk menghindari berolahraga di sore hari jika ini cenderung mengganggu tidur.
Menghentikan atau mengurangi alkohol, kafein, rokok, dan zat-zat lain yang dapat mengganggu tidur.
"Angin down" sebelum tidur dengan kegiatan yang tenang atau santai. Menjaga lingkungan tidur yang sejuk, nyaman, dan tenang.
Terapi pembatasan tidur melibatkan secara bertahap meningkatkan konsolidasi tidur (meminimalkan gangguan dari periode tidur malam hari) dengan membatasi waktu pasien menghabiskan waktu di tempat tidur. Banyak pasien insomnia meremehkan waktu tidur yang sebenarnya ("tidur persepsi negara") dan memiliki efisiensi tidur yang buruk (SE). Jika laporan pasien tidur 6 jam per malam, ia diperlukan untuk membatasi waktu di tempat tidur 6 jam atau sedikit lebih. Manuver sederhana ini biasanya menghasilkan kurang tidur ringan,
lebih pendek latensi tidur, dan meningkatkan SE. Sebagai tidur menjadi lebih konsolidasi, pasien diperbolehkan secara bertahap untuk meningkatkan waktu di tempat tidur. Mungkin akan membantu untuk pengacara stres akut dan mematahkan "lingkaran setan" insomnia psikofisiologis.3
Benzodiazepin (BZDs) telah menjadi yang paling banyak diresepkan obat penenang benar-hipnotik, menjadi lebih aman daripada barbiturat. Mereka umumnya mengurangi latensi tidur, terjaga menit setelah onset tidur, SWS, dan REM sambil meningkatkan Tahap 2. Pemilihan BZD tergantung pada onset dan durasi kerja (dalam kaitannya dengan waktu keluhan tidur) dan sifat anxiolytic jika diperlukan. Dengan tidak adanya penyalahgunaan zat sejarah atau penyalahgunaan seiring zat lain, penggunaan jangka pendek BZDs untuk mengobati insomnia biasanya aman dan efektif. Khasiat jangka panjang tidak jelas; toleransi fisiologis dapat terjadi.3
Non-BZD hipnotik termasuk zolpidem, zaleplon, eszopiclone (S-isomer dari zopiclone), dan Ramelteon (lihat Tabel 27-6.) Dibandingkan dengan BZDs, obat ini cenderung memiliki lebih sedikit risiko penyalahgunaan, insomnia, dan gejala penarikan dan umumnya dapat diberikan untuk memulihkan pecandu. Zolpidem dapat diambil dalam dosis yang lebih besar dari yang dijelaskan. Selain Ramelteon, ini adalah agonis reseptor GABA, yang mungkin menjelaskan motorik mereka kurang ditandai dan efek samping kognitif. Onset dan durasi kerja harus dipertimbangkan. Beberapa nonBZDs dapat menyebabkan pagi "mabuk" jika dikonsumsi terlambat di malam hari. Controlled-release zolpidem, kini The US Food and Drug Administration (FDA) disetujui dan telah menunjukkan keberhasilan dalam penggunaan jangka panjang juga.3
Tabel 27-6. Non-BZD Hipnotik
Generic Trade Half-life (h) Onset Dosis, Adult (mg) Mechanism
Zolpidem Ambien 1.5 – 2.4 Fast 5 – 10 GABAA Agonist
Zaleplon Sonata 1 Fast 5 – 10 GABAA Agonist
Eszopiclone Lunesta 5 – 7 Medium 2 – 3 GABAA Agonist
Ramelteon, sebuah melatonin selektif (MEL) agonis (aktif pada MT1 dan MT2 situs), tidak mengikat reseptor GABA, juga tidak memiliki aktivitas dalam sistem reward otak. Hal ini sedang dipasarkan sebagai "kecanduan bukti"; jika klaim ini berdiri ujian waktu, itu akan memberikan pilihan penting bagi banyak pasien dalam pemulihan. Onset yang cepat mekanisme aksi dan melatonergic tampil menjanjikan untuk insomnia awal, terutama dalam konteks fase sirkadian tertunda.
Obat-obat lain yang diresepkan untuk insomnia tanpa adanya komorbiditas psikiatri termasuk trazodone, antidepresan penenang lainnya, dan antipsikotik atipikal yang lebih menenangkan. Over-the-counter pil (OTC) tidur biasanya terdiri dari atau mengandung histamin 1 antagonis (misalnya, diphenhydramine). Keberhasilan mereka meragukan. "Natural" obat termasuk valerian dan MEL, yang terakhir yang telah digunakan selama bertahun-tahun dan mungkin memiliki beberapa khasiat.3
Komplikasi / Efek Samping dari Pengobatan
Kewajiban untuk toleransi, penarikan, dan penyalahgunaan harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan semua BZDs, meskipun banyak pasien dengan gangguan kecemasan dan insomnia membawa mereka jangka panjang tanpa penyalahgunaan, terutama setelah pendidikan pasien yang tepat dan pengawasan. Namun, penarikan dari BZDs dosis tinggi berkepanjangan dapat menyebabkan kejang, psikosis, delirium atau bahkan kematian.
Insomnia juga dapat terjadi bahkan dengan terencana meruncing.3
"Perang melawan narkoba" yang semakin menyebabkan banyak dokter untuk meresepkan obat dengan profil keamanan kurang menguntungkan dari BZDs, (misalnya, risiko priapisme dengan trazodone dan komplikasi metabolik dengan antipsikotik atipikal). Pasien usia lanjut sangat rentan terhadap efek samping antikolinergik antihistamin.3
Banyak orang berpikir "alami" produk yang lebih aman, tidak tahu bahwa FDA mengklasifikasikan mereka sebagai suplemen diet dan tidak mengatur mereka sedekat "diproduksi" farmasi. Masalah serius telah dihasilkan dari pengolahan yang tidak aman (misalnya, L-tryptophan sampingan menyebabkan sindrom eosinofilia-mialgia). Baru-baru ini, analisis tablet MEL dibeli di "reputasi" apotek, supermarket, dan toko makanan kesehatan ditemukan sangat beragam dosis sebenarnya MEL serta pencampuran seperti BZDs. Potensi
interaksi obat yang kurang dikenal untuk produk-produk pengobatan komplementer, khususnya dalam hal tumbuhan yang mengandung beberapa senyawa kimia.
4. Prognosis
Tergantung pada penyebab yang mendasari insomnia serta pencegahan komplikasi sekunder seperti penyalahgunaan zat dalam konteks pengobatan sendiri.3
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Pasien berusia 64 tahun tersebut mengalami insomnia atau gangguan tidur yang bisa disebebkan oleh berbagai faktor. Jadi anamnesis yang tepat akan mempengaruhi ketepatan kita sebagai dokter nantinya dalam memberikan pengobatan yang tepat pada pasien baik secara farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo A W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.3828.
2. Dewanto G. Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC;2009.h.189-190.
3. H. Michael, Ebert, T. Peter, Loosen, Nurcombe Barry, Leckman F. James. Current diagnosis & treatment:Psychiatry. Edisi ke-2. United States:The McGraw-Hill Companies.
4. Dr. Andry Sp.Kj . Kompas health [article online] 9 April 2012 07.01. Diunduh dari : www.kompasHealth.com Sabtu 27 Desember 2014. 10.51.
5. Seminius Yustinus, OFM. Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius; 2006.h.501-2. 6. Shary. Pedoman Kesehatan jiwa [article online] Agustus 2009. Diunduh dari :
www.pedomankesehatanjiwalansia.com 27 Desember 2014. 10.51.