• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Republik"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) bahwa: “Negara Indonesia merupakan negara hukum”. Pemahaman lebih lanjut dari ketentuan tersebut bahwa segala tindak tanduk warga negara maupun pemerintah harus berdasarkan pada ketentuan hukum tertulis yang berlaku. Hukum menjadi sendi utama dalam penyelenggaraan negara sehingga tercipta kepastian hukum. Dalam pemikiran positivisme, kepastian hukum akan menciptakan keadilan serta kesejahteraan. Hal mana kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan bangsa Indoensia sebagaimaana digariskan dalam aliena ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945. Demi mewujudkan keteraturan serta ketertiban di masyarakat, pemerintah menyelenggarakan pemerintahan dengan salah satunya memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.

Salah satu bentuk pelayanan pemerintah ialah memberikan kepastian hukum dalam bentuk akta autentik. Akta autentik dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam menentukan hak dan kewajiban para pihak yang berkepentingan. Demi melaksanakan kewajiban pemerinttah di bidang pelayanan publik pembuatan akta autentik, maka pemerintah menunjuk salah satu profesi sebagai jabatan umum yang memiliki kewenangan untuk

(2)

membuat akta autentik. Hal mana kewennagan pembuatan akta autentik tersebut diberikan kepada profesi notaris.

Istilah Notaris berasal dari perkataan Notarius yakni istilah yang ada pada zaman Romawi, yang diberikan kepada orang- orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Menurut R Soegondo Notodisoerjo menyatakan bahwa nama notaris itu berasal dari perkataan “nota literia”, yaitu tanda (letter merk) atau karakter yang menyatakan suatu perkataan. Pada abad kelima sebutan notaris diberikan kepada penulis (sekretaris) pribadi raja (kaisar), sedangkan pada akhir abad ke-lima sebutan tersebut di berikan kepada pegawai- pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan administrative.1

Pejabat- pejabat yang dinamakan Notariat ini merupakan pejabat- pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik (umum), sedangkan yang melayani publik di namakan “ Tabelliones” mereka ini menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya sesungguhnya fungsi mereka sudah agak mirip dengan notaris pada zaman sekarang tetapi tidak mempunyai sifat “ambtelijk” sifat jabatan negeri sehingga surat-surat yang dibuatnya tidak mempunyai sifat autentik.

Profesi notaris dikenal di Indonesia sejak pemerintahan Hindia Belanda I Tahun 1860. Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan- peraturan yang baru mengenai jabatan notaris di

1

Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia ,PT Raja Grafindi Persada, Jakarta, hlm. 13.

(3)

Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan- peraturan mengenai jabatan notaris yang berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 di tetapkan Reglement op Het Notaris Ambt Nederlands Indie (Stbl.1860:3). Notaris di Indonesia sebelumnya diatur dengan Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt), Stb, 1860 -3. Dalam teks asli disebutkan “ambt “ adalah “jabatan“ dan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 disebut Undang- Undang Jabatan Notaris, sebelum diganti dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 yang berarti mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris.

Notaris adalah satu- satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan di kehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan groose, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga di tugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain .

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan notaris tetap diakui berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan (AP) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945), yaitu segala peraturan perundang- undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum ada didakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini sesuai dengan perkembangan

(4)

jaman setelah Indonesia merdeka lembaga notariat berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum apalagi jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum.

Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) mengatur secara bersama- sama institusi Notaris sebagai Jabatan (Jabatan Notaris) dan Notaris sebagai profesi (Profesi Notaris) atau istilah tersebut dipersamakan (setara) penggunaannya seperti yang ditegaskan pada konsideran menimbang huruf c,

“Bahwa Notaris merupakan Jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.”

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 5 disebutkan sebagai berikut: “organisasi Notaris adalah organisasi profesi notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum”.

Pengertian jabatan dan profesi berbeda. Profesi lahir sebagai hasil interaksi di antara sesama anggota masyarakat yang lahir di kembangkan dan diciptakan oleh masyarakat sendiri, sedangkan jabatan lahir dari ketentuan peraturan perundangan yang di dalamnya terdapat pekerjaan bersifat tetap.

(5)

Kehadiran lembaga Notaris merupakan Beleidsregel dari negara dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini diwujudkan dengan Undang- Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Jabatan notaris sengaja diciptakan negara sebagai implementasi dari negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya dalam pembuatan alat bukti yang otentik yang diakui oleh negara. Notaris adalah pejabat umum yang satu- satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan di kehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan groose, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga di tugaskan atau di kecualikan kepada pejabat atau orang lain .

Ditegaskan dalam Pasal 1868 KUHPer /Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai berikut:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang di tentukan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini atau berdasarkan undang- undang lainnya, sebagaimana yang tercantum di dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Notaris G.S. H. Lumbang Tobing menyatakan, dalam Peraturan

(6)

Jabatan Notaris Bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satu- satunya berwenang untuk membuat akta otentik 2 Notaris ditetapkan sebagai pejabat umum karena wewenangnya atau tugas kewajibannya yang utama, ialah untuk membuat akta- akta otentik. Jadi dengan demikian notaris mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, tanpa mempunyai kedudukan tersebut seorang notaris tidak mempunyai kedudukan untuk membuat akta otentik.

Tugas dan pekerjaan notaris menurut Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) antara lain:

1. Membuat akta- akta autentik

2. Mendaftar dan mensyahkan akta- akta yang di buat di bawah tangan. 3. Memberikan nasehat dan penjelasan mengenai undang- undang kepada

pihak – pihak yang mengadakan perjanjian.

Inti tugas seorang notaris sebagai pejabat umum ialah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan- hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa- jasa notaris. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum, ciri utamanya yaitu pada kedudukannya yang tidak memihak dan mandiri (autonomous), tidak memihak siapapun (impartial), tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak

2

(7)

bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat notaris melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikatagorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 Undang- Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) adalah :

1. Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan penetapan yang di haruskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam alta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang- undang.

2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

d. uraian sebagaimana di tulis dan di gambarkan dalam surat yang bersangkutan;

e. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; f. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

g. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;atau h. membuat akta risalah lelang.

3. Selain kewenangan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang- undangan.

Sebagai bentuk pengawasan atas kewenangan notaris, oleh pembuat Undang-Undang dibentuklah Majelis Pengawaas Daerah (MPD) sbegaaimana tertuang dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Pasal 67 bahwa untuk melakukan pengawasan

(8)

terhadap notaris maka dibentuk Majleis Pengawas oleh Menteri yang membidangi notaris. Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang a quo mengatur mengenai kewenanagn Majelis pengawas sebagai berikut:

“Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Perkembangan selanjutnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 maka frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dihapuskan. Selanjutnya melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, frase serupa kembali dimunculkan namun melalui lembaga yang berbeda yaitu Majelis Kehormatan Notaris. Putusan MK serta Keberlakuan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris membuat kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang sebelumnya dapat memberikan persetujuan atau tidak terhadap penegak hukum yang ingin mengambil memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya menjadi kabur, disertai kehadiran Majelis Kehormatan Notaris maka kewenangan Majelis Pengawas Daerah menjadi tidak jelas.

Konsekuensi dalam aspek normatif dari munculnya lembaga Majelis Kehormatan Notaris dalam Pasal 66 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014

(9)

Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah diterbitknnya paraturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris. Dalam Pasal 1 angka 1 Permenkumham tersebut dijelaskan bahwa “Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”. Secara eksplisit diatur bahwa kewenangan Majelis kehormatan notaris meliputi pembinaan notaris selain kewenangan persetujuan sebagaimana disebut dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014. Dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan yang sama ditentukan bahwa “Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris”. pengertian majelis pengawas notaris tersebut berasal dari Pasal Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 yang menentukan ”Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris”.

(10)

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut diperoleh gambaran bahwa Kewenangan pembinaan terhadap notaris dipegang oleh dua lembaga berbeda secara bersamaan. Terdapat inkonsistensi norma perihal pengaturan pembinaan maupun pengawasan yang akan menimbulkan tarik-menarik kewenangan dalam pelaksanaannya. Beranjak dari latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka timbul permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tulisan yang berjudul “Kewenangan

Majelis Pengawas Daerah (MPD) Dalam melakukan Pembinaan dan Pengawasan Notaris Pasca Terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris (MKN)”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat di uraikan beberapa permasalahan yakni sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi dasar diaturnya Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan terhadap notaris?

2. Bagaimana pengaturan kewenangan Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris di masa yang akan datang?

(11)

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Berkenaan dengan ruang lingkup masalah, Bambang Sunggono menyatakan sebagai berikut :

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi area penelitian. Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.3

Ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada penelitian tentang permasalahan mengenai keberadaan eksistensi kewenangan Majelis Pengawas Daerah (MPD) dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris setelah terbentuknya Majles Kehormatan Notaris (MKN).

Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan dasar diaturnya Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan terhadap notaris. Di samping itu, ruang lingkup penelitian ini juga membahas mengenai pengaturan kewenangan Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris di masa yang akan datang.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum kenotariatan serta hukum perundang-undangan perihal Kewenangan

3

(12)

Majelis Pengawas Daerah (MPD) Dalam Melakukan Pembinaan Dan Pengawasan Notaris Pasca Terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris (MKN)”.

1.4.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam mengenai dasar diaturnya Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan terhadap notaris.

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam mengenai pengaturan kewenangan Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Kehormatan Notaris dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris di masa yang akan datang.

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) serta wawasan berpikir bagi para pembaca khususnya mengenai Kewenangan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Dalam Melakukan Pembinaan Dan Pengawasan Notaris Pasca Terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Di samping itu, hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian

(13)

berikutnya, terutama penelitian dalam bidang hukum legislasi di bidang kenotariatan.

1.5.2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi atau kontribusi bagi lembaga Majelis Pengawas Daerah (MPD) dan Majleis Kehormatan Notaris (MKN) dalam melakukan pembinaan dan pengawaan terhadap notaris, bagi pemerintah dalam membentuk regulasi terkait notaris dan dunia kenotariatan serta bagi masyarakat memperoleh perlindungan hukum serta keadilan dalam hal terjadi masalah terkait akte yang dibuat oleh notaris.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh beberapa penelitian berupa tesis yang juga membahas permasalahan mengenai notaris dan pengawasan terhadap notaris, dimana hal ini bertujuan sebagai pembanding untuk menunjukan orisinalitas penelitian ini. Adapun tesis-tesis yang dimaksud yaitu sebagai berikut :

No Tahun Judul tesis Penulis

1. 2009

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas notaris Dalam Pengawasan Notaris menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Desni Prianty Eff. Manik

2. 2008

Pelaksanaan Pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris di Kota

(14)

3. 2014

Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Majelis Pengawas Daerah Notaris Terhadap Notaris Di Kota Pontianak (Studi terhadap Implementasi Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)

Kristianan Meinatalia Samosir

1. Analisis Kewenangan Majelis Pengawas notaris Dalam Pengawasan Notaris menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris oleh Desni Prianty Eff. Manik (Universitas Sumatera Utara, 2009 ). Dalam tesis ini tersebut di bahas mengenai kewenangan majelis pengawas notaris 4 Menurut Undang- undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 70 untuk MPD, pada Pasal 73 untuk MPW dan pada Pasal 77 untuk MPP. Sedangkan kewenangan Majelis Pengawas Notaris dalam pengawasan Notaris menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 14 untuk MPD, pada Pasal 18 untuk MPW dan pada Pasal 19 untuk MPP. Akibat hukum terhadap putusan Majelis Pengawas Notaris adalah adanya pemberian sanksi terhadap Notaris yaitu sanksi perdata, sanksi administrasi juga dapat dijatuhi sanksi etika dan sanksi pidana.

2. Pelaksanaan Pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris di Kota Salatiga oleh Jeremiah, (Universitas Diponegoro,

4Desni Prianty Eff.Manik 2009 “ Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam

Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris” ,

(15)

2008) dalam tesis ini di bahas mengenai majelis pengawas daerah notaris kota salatiga belum dapat melaksanakan pengawasan sesuai dengan Pasal 71 Undang- undang nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan notaris karena terbatasnya dana, waktu, dan sarana prasarana yang digunakan dalam pengawasan terhadap Para Notaris. Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut yaitu Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Salatiga harus menarik iuran dari Para Notaris yang ada di Kota Salatiga, Para Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Salatiga .pelaksanaan pengawasan oleh majelis pengawas daerah kota Salatiga. Serta kendala- kendala yang di hadapi oleh majelis pengawas daerah kota salatiga.5

3. Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Majelis Pengawas Daerah Notaris Terhadap Notaris Di Kota Pontianak (Studi terhadap Implementasi Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris) oleh Kristianan Meinatalia Samosi, dalam tesis tersebut di bahas mengenai Pelaksanaan kewenangan pengawasan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak sebagaimana diamanahkan Pasal 70 Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris belum sepenuhnya efektif karena dari tujuh kewenangan yang diberikan Pasal 70 Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan selama masa jabatannya Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota

5Jeremiah,2008 ”Pelaksanaan Pengawasan Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah

Notaris di Kota Salatiga”(tesis),Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan

(16)

Pontianak baru melaksanakan satu kewenangan yaitu Pemeriksaan Protokol Notaris.6

Berdasarkan beberapa penlitian terdahulu tersebut di atas jelas bahwa penelitian yang penulis lakukan memiliki perbedaan dari segi judul dan substansi dengan penelitian serupa yang telah dilakukan terdahulu.

1.7. Landasan Teoritis

Guna mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori yang relevan untuk membahas permasalahan yang telah diaungkapkan. Teori berasal dari bahasa yunani yaitu “theori” (pandangan dan tinjauan) yang umum artinya adalah: pandangan yang gunanya untuk mencari keterangan bagi gejala-gejala tertentu, tapi umunya adalah teori dalam pengetahuan yang berupa sistem yang terdiri atas berbagai dalil dan hipotesa-hipotesa yang keadaannya berdasarkan pada suatu asas tertentu.7 Bruggink dalam Salim mengungkapkan bahwa Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang slaing berkaitan dengan konseptual aturan- aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagaian penting dipositifkan.8 Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke berpendapat bahwa teori hukum adalah mencari keterangan untuk hukum dari faktor-faktor non-yuridis yang bekerja dalam masyarakat dan untuk itu

6Kristianameinalita Samosir, “Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Majelis

Pengawas Daerah Notaris Terhadap Notaris Di Kota Pontianak (Studi terhadap Implementasi Pasal 70 Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris) “(tesis).

7

Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke, 2000, Apa Teori Hukum Itu?”, Malang, hlm.i 8

Salim, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.2 (selanjutnya disebut Salim I)

(17)

menggunakan suatu metoda interdisipliner.9 Adapun teori-teori yang yang dipergunakan sebagai pisau analisa dlaam penelitian ini antara lain:

1. Teori Negara hukum

2. Teori Peraturan perundangan-undangan 3. Teori Kewenangan

4. Teori Kebijakan

1. Teori Negara Hukum.

Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyebut dengan istilah rechtstaat, sedangkan A.V Dicey pengikut Anglosaxon menyebut dengan istilah rule of law.10 Unsur dari Rechstaat :

a. Adanya perlindungan hak asasi manusia

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika c. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid van

bestuur)

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan Sedangkan Rule of Law menurut Dicey unsurnya:

a. Supemasi aturan-aturan hukum (supremacy of law) tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif semuanya berdasarkan pada hukum

9

Jan Gijssels dan Mark Van Hoocke,Op.cit,hlm 3 10

Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi cetakan Keempat, PT Gramedia PusatakaUtama, Jakarta hlm.113.

(18)

b. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum the constitution based on individual rights

c. Perlindungan /penjaminan hak akan kebebasan individu didasarkan pada Konstitusi

Negara Indonesia berdsarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam konsep negara hukum asas legalitas merupakan unsur yang utama dalam sebuah negara hukum11. Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Asas legalitas berkaitan dengan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.12 Selanjutnya menurut Sri Soemantri,ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam suatu negara hukum yakni:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundangan –undangan

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi mansia 3. Adanya pembagian kekuasaan negara

4. Adanya pengawasan dari badan –badan Peradilan (rechterilije

control).13

Dikemukan oleh John Locke, bahwa sistem Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi

11

Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayu Meda Publishing , Malang hlm.59.

12

Mustamin DG. Matutu, 2004, Mandat, delegasi, atribusi dan Implementasinya di

Indonesia,UII Press,Yogyakarta,hlm.8

13

Sri Soemantrie, M. 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,hlm.29

(19)

dalam organ- organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan- kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang) 2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang- undang)

3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara- negara lain).

Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara. Teori tersebut di dukung oleh midletheory Kemudian di kembangkan oleh Monstesquieu, yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan negara yang lebih tegas kekuasaan negara haruslah di pisahkan menjadi tiga bagian yaitu :

1. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan membuat peraturan perundang- undangan.

2. Kekuasaaan Eksekutif yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang- undangan

3. Kekuasaan yudikatif yaitu kekuasan untuk mempertahankan peraturan perundang – undangan.

Bahwa salah satu fungsi negara yaitu dapat memberikan pelayanan umum kepada rakyatnya . pemisahan atau pembagian kekuasaan negara seperti tersebut di atas khususnya eksekutif dengan tugas untuk melayani

(20)

kepentingan umum dalam bidang hukum publik. Eksekutif ini biasanya di sebut dengan pemerintah . Dalam hukum administrasi yang mengisi posisi di eksekutif atau pemerintah di sebut Badan atau pejabat tata usaha negara. Tidak semua pelayanan umum tersebut di lakukan oleh eksekutif karena ada batasan – batasan yang boleh di lakukan oleh eksekutif berdasarkan peraturan perundang- undangan yang mengatur jabatan – jabatan eksekutif.

Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yaitu negara memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk keperluan tersebut di berikan kepada pejabat umum yang di jabat oleh notaris. Minuta atas akta tersebut menjadi milik negara yang harus di simpan sampai batas waktu yang tidak di tentukan sebagai bentuk menjalankan kekuasan negara maka yang di terima oleh notaris dalam kedudukan sebagai jabatan (bukan profesi), karena mejalankan seperti itu. Notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum yang berbentuk akta otentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Otensitas akta notaris bukan pada kertasnya akan tetapi akta yang dimaksud di buat di hadapan notaris sebagai pejabat umum dengan segala kewenangannya mempunyai sifat otentik, bukan karena undang- undang menetapkan akan tetapi oleh

(21)

karena akta itu di buat oleh atau di hadapan Pejabat umum seperti yang di maksud dalam pasal 1868 KUH Perdata.

2. Pertanggaan Perundang-Undangan (Stufentheorie)

Teori Perundang Undangan (Gesetzgebungstheorie), yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian (begripsvorming dan begripsverheldering), dan bersifat kognitif (erklarungsorientiert).14 Dalam Pasal 1 ayat 2 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (LN No.82 Tahun 2011- TLN No.5234) selanjutnya disingkat Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas terdapat tiga landasan dalam menyusun undang-undang:

1. Landasan yuridis (juridische gelding); 2. Landasan sosiologis (sociologische gelding); 3. Landasan filosofis.15

14

Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, PT Kanisius, Yogyakarta, hlm.8.

15

Yuliandri, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, dikutip dari Bagir Manan, Dasar-Dasar

Konstitusional Peraturan Perundang Undangan Nasional, Cetakan ke IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 29.

(22)

Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undang-undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk memiliki kaidah yang sah secara hukum (legal validity) dan mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang.

Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa ”The unity of thesenorm is constituted by the fact that the creation of one norm-the lower one-is determined by another-the higher-the creation of which is determined by a still higher norm, and that this regressus is

terminated by a highest,....”16 yang artinya adalah kesatuan norma-norma

ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh norma dasar tertinggi.

Norma dasar (Grundnorm) yang merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya.

16

(23)

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 7 ayat (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan umum Pasal 7 ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Teori perjenjangan menitikberatkan pada penegakan kekuatan hukum yang didasarkan atas derajat atau tingkat keberadaan peraturan perundangan, peraturan yang letaknya di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Kelsen mengelompokan norma hukum terdiri dari :

(24)

1. Norma dasar (fundamental norms) 2. Norma umum (generals norms) 3. Norma Konkrit (concrete norms)

Letak norma dasar adalah pada konstitusi, sedangkan norma umum dikelompokkan pada derajat undang-undang, statute atau legislative acts, sedangkan norma konret terdapat pada putusan Pengadilan (vonis) dan keputusan –keputusan pejabat administrasi negara.17

3. Teori Kewenangan

Dalam Stufenbautheorie dikatakan bahwa “Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.”18

Ajaran stufenbauheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi sebagai ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang lebih tinggi.19 Grundnorm bagi Kelasen menjadi motor penggerak seluruh sistem hukum, menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipathui, dan menjadi dasar pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus

17

Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State , Translate by anders Wedberg,Newyork: Russel & Rusel, dikutip oleh Jimly Assidhiqie, 2010,Perihal Undang-undnag

,Jakarta : Rajawali Press,hlm.72

18

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal. 62. 19

Lili Rasjidi dan Ia Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 61.

(25)

dilaksanakan.20Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini, negara). Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya katakan, grundnorm merupakan syarat transedental-logis bagi berlakuya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hierarkis pada grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis.21 Dengan menggunakan konsep stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), ia mengkonstruksikan pemikran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undagan. Seluruh sistem perundang-undangan mepunyai suatu struktur peramidal (mulai dari abstrak yakni grundnorm sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Jadi menurut Kelsen cara mengenal suatu aturan yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu dan grundnorm menjadi batu uji utama.22

Pada hakekatnya, alat pemerintah pusat ini melaksanakan “Pemerintahan sentral di daerah-daerah dan berwenang mengambil keputusan sendiri sampai tingkat tertentu berdasarkan kewenangannya”23

. Macam-macam kegiatan pemerintahan membawa konsekuensi pada perlunya pengaturan. Atas dasar itu pemerintah mau

20

A. Mukthie Fadjar, 2013, Teori-teori Hukum Kontemporer, Setara, Malang, hal. 12. 21

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Yage, 2010, Teori Hukum strategi

Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 127.

22

Ibid., hal. 127

23

Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, hal.4.

(26)

tidak mau harus mengeluarkan peraturan baik yang sifatnya mengikat secara umum artinya mengikat setiap orang maupun peraturan yang jangkauan berlakunya hanya mengikat individu-individu.24 Dalam negara hukum diperlukan pembagian kekuasaan untuk membagi beban kerja dan tanggung jawab. Montesquieu dalam bukunya yang berjudul De L’esprit Des Lois mengajarkan bahwa kekuasaan harus dibedakan menjadi tiga yakni:

a. Kekuasaan legislatif atau membuat perundang-undangan yang dipegang oleh parlemen.

b. Kekuasaan eksekutif yang menjalankan pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah.

c. Kekuasaan yudisial atau kehakiman, yakni badan yang menjalankan hukum yang telah dibuat oleh parlemen.25

Kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan kewenangan. Kewenangan merupakan bentuk konkret dari sebuah kekuasaan sebagaimana diungkapkan di atas.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain, agar sesuatu

24

Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta, hal. 17.

25

Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I Stelsel Pidana, Tindak Pidana,

Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakukan Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

(27)

dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.26 Black’s Law Dictionary memberikan pengertian kewenangan sebagai “Right to exercise powers; to implement and enforce laws; to exact obedience; to command; to

judge. Control over; jurisdiction. Often synonymous with power”.27

Selanjutnya Philips M.Hadjon menyatakan bahwa wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) komponen yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas.28 Sedangkan Habib Adjie menyatakan, wewenang (kewenangan), merupakan suatu tindakan hukum yang akan diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berhak dalam jabatan yang bersangkutan. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.29

Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :

“Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara

26

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1170

27

Bryan A. Garner, Op.cit., h. 121. 28

Philipus M.Hadjon, dkk. 1998, PengantasrHukum Administrasi Negara Indonesia Cet.I GadjahMada University Press,Yogyakarta hlm. 135

29

Indroharto,1994 Asas-asas Umum Pemerintahan Yang baik, dalam Paulus effendi Lotulung, Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang baik, Citra Adtya Bakti, Bandung,hlm.65.

(28)

atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang

satu kepada yang lain”.30

F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek di kutip dari Ridwan HR menyatakanbahwa “kewenangan itu merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan Hukum administrasi sebab di dalam wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban, bahkan di dalam hukum tata negara wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechskracht) artinya hanya tindakan yang sah (berdasarkan wewenang) yang mendapatkan kekuasaan hukum(rechskracht).”31

Teori kewenangan dipergunakan sebagai pisau analisa dalam penelitian tesis ini dalam menganalisa kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan berdasarkan Undang-undang no. 2 tahun 2014 tentang Perubahan undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; 2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan;

3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;

30

Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hlm. 90

31

Ridwan H.R, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.101.

(29)

4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.32

Melalui teori kewenangan, akan dianalisa sumber kewenangan Majelis Pengawas Daerah serta terbentuknya lembaga dimaksud sebagai wujud tindakan pemerintah dalam mengawasi notaris dalam melaksanakan jabatannya.

4. Teori Kebijakan

Menurut Carl Fredrich, kebijakan adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atua merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu33. Thomas R.Dye mendefinisikan kebijakan sebagai “is whatever government choose to do or not to do”. Secara sederhana pengertian kebijakan dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:34

a. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?) b. Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)

c. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What defference it make?)

Menurut James E. Anderson, policy are those policies developed

by governmental bodies and officials (kebijkasanaan adalah

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan

32

Ibid., hlm.8.

33

Budi Winarno, 2002Teori dan Proses Kebijakan, Media Presindo, Yogyakarta, hlm. 16

34

Esmi Warassih Pujirahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru Utama, hlm. 8.

(30)

pejabat-pejabat pemerintah). Sedangkan David Easton35 memberikan pengertian tentang kebijaksanaan sebagai “the authoritative allocation of values for the whole society” (pengalokasian nilai-nilai secara sah kepada seluruh anggota masyarakat).

Beberapa pendapat para sarjana diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijaksanaan publik adalah:

a. Kebijaksanaan adalah dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan pemerintah.

b. Kebijaksanaan baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai tujuan.

c. Kebijaksanaan ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

Perspektif hukum memandang kebijakan sebagai politik hukum. Padmo Wahyono menyatakan politik hukum itu sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk dan isi dari hukum yang akan dibentuk, diterapkan dan ditegaskan, dan kebijakan yang berkaitan dengan hukum yang diberlakukan masa mendatang. Teuku Mohammad Radhie menyatakan politik hukum sebagai pernyataan kehendak dari penguasa negara dari hukum yang berlaku dan ke arah mana hukum hendak di kembangkan. Soedarto menyatakan politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

35

(31)

masyarakat dan untuk mencapai apa dicita-citakan. C.F.G. Sunaryati Hartono melihat politik hukum sebagai sebuah alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.36 Definisi yang paling komprehensif diberikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, yang dirumuskan sebagai berikut:37

”Politik hukum nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintah negara tertentu. Politik Hukum Nasional bisa meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang, dan menciptakan ketentuan hukum hukum yang baru yang diperlukan untuk tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit.”

Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan politik hukum (rechts politiek) adalah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka pembaharuan hukum meliputi hukum mana yang perlu dibentuk (diperbaharui, diubah atau diganti) dan hukum mana yang perlu dipertahankan agar secara bertahap agar dapat diwujudkan tujuan negara itu. Mahfud MD menerangkan pengertian kebijakan hukum atau politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun

36

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.26

37

(32)

dengan penggantianj hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum atau kebijakan hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.38

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Ronny Hanitijo Soemitro dalam Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad mengemukakan bahwa :

Penelitian hukum dapat dibedakan antara ; penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan, dan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.39

Penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.40 Penelitian hukum normatif antara lain mengkaji adanya kekosongan norma, kekaburan norma dan

38

Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia. Edisi Revisi. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.9.

39

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, hlm. 109.

40

Amiruddin dan H. Zainal Aaikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 118.

(33)

kontradiksi norma.41 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah:42

“… suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….”

Penelitian ini mengkaji mengenai asas dan norma dalam pengaturan tentang pengawasan terhadap notaris berdasarkan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris serta dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Suatu penelitian hukum di dalamnya terdapat beberapa pendekatan yang dipergunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba dicari jawabannya, antara lain pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).43

Pengkajian dalam penulisan penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif menggunakan beberapa pendekatan antara lain:

41

Jimly.com/pemikiran/getbuku/12, Diakses 17 Februari 2016. 42

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, hlm. 35. 43

Peter Mahmud Marzuki, 2000, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group, Jakarta, hlm. 93.

(34)

pendekatan perundang- undangan (statute Approach), pendekatan konsep (conceptual approach) serta pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan perundang- undangan (statute approach) adalah pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi yang akan memberikan gambaran tentang konsistensi dan kesesuaian antara undang- undang dengan undang- undang lainnya atau antara undang- undang dengan undang- undang dasar atau antara regulasi dan undang- undang serta memahami kandungan filosofi yang ada di belakang undang- undang itu sehingga dapat menyimpulkan tentang adanya benturan filosofi antara undang- undang dan permasalahan / isu yang di hadapi. Pendekatan konsep dan perbandingan44 digunakan karena terjadi inkonsistensi norma dalam pengaturan tentang Majelis Kehormatan Notaris (MKN) serta Majelis Pengawas daerah (MPD.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini melalui dua jenis sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.45 Menurut Stephen Elias, bahan hukum primer adalah ”the law found in primary source can take many different forms. The include cases, statues,

44

Mengenai Pendekatan perundang-Undangan, pendekatan konsep dan pendekatan perbandingan baca: I Made Pasek Diantha, 2016, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif:dalam

Justifikasi Teori Hukum,Prenada Media Group, Jakarta,hlm.156

45

(35)

administrative regulations, local ordinances, state and federal

constitutions, and more”46

.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat.47 Bahan hukum primer yang digunakan antara lain :

1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris

3. Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan

5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

7. Undang-Undang No 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

8. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris

9. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 40 Tahun 2015 Tentang Susunan Organisasi, Tata Cara

46

Stephen Elias, 2009, Legal Research How to Find & Understand the Law, Free Legal Update at Nolo.com, USA, hlm.23.

47

Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.113.

(36)

Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Dan Tata Kerja Majelis Pengawas

10. Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-Pw.07.10 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris

11. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap Notaris

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang akan memperkuat penjelasan di dalam suatu penelitian. Bahan hukum sekunder juga merupakan publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.48 Bahan hukum sekunder terdiri dari :

1. Buku-buku hukum yang menjelaskan hal-0hal yang berhubungan dengan kenotariatan;

2. Jurnal-jurnal hukum yang menjelaskan tentang notaris dan/atau pengawasan notaris;

3. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa;

4. Kamus dan ensiklopedi hukum; 5. Internet.

48

(37)

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif adalah dilakukan dengan melalui kegiatan studi pusataka dan studi dokumen. Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-undangan, putusan pengadilan (jurisprudensi), dan buku karya tulis bidang hukum. Ketiga jenis pustaka ini biasanya dikoleksi di perpustakaan umum dan perpustakaan khusus bidang hukum49. Pengumpulan bahan hukum dalam penyusunan tesis ini dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana, perpustakaan Pascasarjana Universitas Udayana serta media cetak dan juga media online (website).

1.8.5. Teknik Analisa Bahan Hukum

Analisis diartikan sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.50 Informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan- banhan hukum sekunder selanjutnya dianalisa melalui langkah- langkah deskripsi, konstruksi, evaluasi, argumentasi interpretasi dan sistematisasi dengan mengumpulkan bahan- bahan hukum, baik yang berupa bahan- bahan hukum primer maupun bahan- bahan hukum sekunder. Selanjutnya diklasifikasi dan

49

Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 121

50

Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian

(38)

di susun secara sistematis, dianalisa secara evaluatif, tahap argumentasi dalam bentuk yang sistematik.

Teknik argumentasi tidak dapat dilepaskan dari teknik evaluasi, oleh karena penilaian harus di dasarkan pada alasan – alasan yang bersifat penalaran hukum. Sedangkan sistematisasi adalah mencari keterkaitan suatu konsep hukum antara peraturan perundang- undangan yang di teliti, yang berkaitan dengan topik bahasan penelitian dengan demikian dapat di peroleh suatu simpulan dan rekomendasi terhadap permasalahan yang ada.

(39)

BAB II

TINJUAN UMUM TENTANG NOTARIS, PEMBINAAN, PENGAWASAN SERTA MAJELIS PENGAWASAN DAERAH (MPD)

2.1. Hakikat Fundamental Notaris

Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.51

Sejarah lahirnya Notaris diawali dengan lahirnya profesi scribae pada zaman Romawi Kuno (abad ke-II dan ke-III sesudah masehi)52 . Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Oost Ind. Compagnie di Indonesia.53 Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De Notarissen in Indonesia, menyebutkan

51

G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 41.

52

Anke Dwi Saputro, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa

Datang, Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm.40.

53

(40)

bahwa Notaris adalah pejabat umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar.54 Sejalan dengan itu, Habib Adjie mengungkapkan bahwa Notaris ialah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.55

Secara etimologi, mempunyai peranan yang sangat penting dalam lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena notaris berkedudukan sebagai pejabat publik, yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.56 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan

54

Ibid,hlm.20

55

Habib Adjie, A, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tapsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hlm. 13.

56

Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaries,

(41)

berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.57 Notaris mempunyai kewenangan (outohority) yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan notaris yang dalam bahasa inggrisnya disebut dengan “the notary of outhority”, sedangkan dalam bahasa belanda disebut dengan “de notaris autoriteit”, yaitu berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada diri seorang notaris.58

Perihal notaris diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) Serta Dirubah Dengan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN). Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, dinyatakan bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

Dalam penjelasan umumnya dinyatakan pula bahwa Akta Otentik yang dimaksud merupakan Akta Otentik sejauh pembuatan Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Notaris adalah pejabat umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang diatur sebagai berikut:

57

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1990, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta, hlm. 618.

58

(42)

“suatu Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya”.

Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 antara lain:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;

d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai

karyawan Notaris dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau

tidak sedang memangku

h. jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan

i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

(43)

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Selanjutnya dalam kapasitasnya jabatan dan profesinya, notaris memiliki kewajiban, antara lain:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya

sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

(44)

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

n. menerima magang calon Notaris.

2.2. Notaris Sebagai Jabatan Negara

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum adalah menjamin adanya suatu kepastian, ketertiban serta perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan didalam

(45)

masyarakat. Notaris merupakan pejabat umum yang diberikan sebagian kewenangan oleh negara dan setiap tindakannya harus berdasarkan oleh hukum.

Jabatan Notaris merupakan jabatan seorang pejabat negara atau pejabat umum, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUJN pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dan negara, khususnya dibidang hukum perdata.59 Hal ini dapat dilihat pada pengertian Notaris yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris adalah seorang pejabat umum. Istilah pejabat umum adalah terjemahan dari openbare ambtenaren yang terdapat pada Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek. Menurut kamus hukum, salah satu arti dari ambtenaren adalah pejabat. Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan masyarakat. Openbare ambtenaren diartikan sebagai pejabat yang diserahkan tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris.

Istilah atau kata pejabat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan60, dengan kata lain “pejabat lebih menunjuk kepada orang yang

59

Yudha Pandu, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Jabatan Notaris dan

PPAT, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hlm.2.

60

Badudu dan Zain, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.543.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian toleransi biji salak terhadap ancaman penurunan kadar air, suhu dan serangan jamur ter- diri dari 3 percobaan adalah sebagai berikut : Penelitian pertama ; Untuk

Pengaruh perlakuan penggunaan urea pada lumpur sawit terhadap rataan persentase penurunan kandungan serat kasar (SK), persentase peningkatan protein kasar (PK),

Dari metode STORET diperoleh hasil sungai cihampelas memenuhi baku mutu air baku kelas 4 dari segmen Cilengkrang sampai Palasari, dan tercemar ringan dari segmen

Training Kewirausahaan Sosial bagi 8 KUB Kader Kesehatan Desa 3 Kali – 3 Bulan 137 Anggota 8 KUB Kader Wringingintung Tulis Wonokerso Beji Simbangjati Kenconorejo

Penggunaan sistem ini dapat mengatur pembukaan awalan katup masuk sesuai dengan kondisi beban engine sehingga dapat memperbesar rendemen volumetris disaat yang

Dengan adanya Technology Acceptance Model (TAM) yang telah dibahas sebelumnya, peneliti menggunakan kelima variabel TAM sebagai penelitian yaitu pengguna web

Hasil penilaian keefektifan dari model memberi rekomendasi untuk dilaksanakan pada sekolah (Eny Winaryati, Setia Iriyanto & Akhmad Faturrohman, 2013b). Melalui

Saran dalam penelitian ini: Bagi pihak manajemen, dari hasil perhitungan rasio profitabilitas ini menunjukan kinerja keuangan Perum Pegadaian terjadi penurunan atau