• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN. yang dimiliki siswa setelah ia menerima pangalaman belajarnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN. yang dimiliki siswa setelah ia menerima pangalaman belajarnya."

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS TINDAKAN

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Hasil Belajar

Hasil belajar adalah nilai hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Menurut Sudjana (1995: 22), prestasi belajar atau hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pangalaman belajarnya.

Winkel dalam (Purwanto, 2011: 45) menyatakan bahwa “ hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia beubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Sedangkan Suprijono (2009: 5) menyatakan bahwa “ hasil belajar pada pola perbuatan, nilai – nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apersiasi dan ketrampilan. Gegne dalam (Suprijono, 2009:5) menyatakan bahwa hasil belajar dapat berupa:

1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.

2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambing

Faktor- faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah: a. Dari dalam diri siswa ( internal )

(2)

Adalah kemampuan yang dimilikinya, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.

b. Dari luar siswa ( eksternal )

Salah satunya lingkungan belajar yang mempengaruhi belajar di sekolah adalah kualitas pengajaran yaitu tinggi rendahnya efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Hasil belajar bisa diukur dengan tes belajar yang meliputi pengukuran dari apa yang telah dipelajari siswa yaitu serangkaian kemampuan yang dimiliki sesudah mengikuti suatu program pengajaran. Guna memperoleh gambaran tentang kemampuan belajar siswa, perlu dilakukan pengukuran dan penilaian yang tercakup dalam evaluasi pembelajaran.

2.1.1.1 Macam- Macam Tes Hasil Belajar

Beberapa macam tes hasil belajar menurut Chabib Thoha (1994: 46) antara lain: a. Tes Penempatan

Adalah tes untuk mengukur kemampuan dasar yang dimiliki oleh anak didik, kemampuan tersebut dapat dipakai meramalkan kemampuan peserta didik pada masa mendatang, sehingga kepadanyadapat dibimbing, diarahkan atau ditempatkan pada jurusan yang sesuai dengan kemampuan dasarnya.

b. Tes Pembinaan

Tes ini diselenggarakan pada saat berlangsungnya proses belajar- mengajar, diselenggarakan secara periodik, isinya mencakup semua unit penngajaran yang telah diajarkan.

(3)

Tujuan utamanya untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalan proses balajar- mengajar, dengan demikian dapat dipakai untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

c. Tes Sumatif

Tes ini disebut tes akhir semester yang bertujuan untuk mengukur keberhasilan belajar peserta didik secara menyeluruh, materi yang diujikan seluruh pokok bahasan dan tujuan pengajaran dalam satu program tahunan atau semesteran, masing- masing pokok bahasan terwakili dalam buutir- butir soal yang diujikan.

d. Tes Diagnosis

Tes ini digunakan untuk mengetahui sebab kegagalan peserta didik dalam belajar. Oleh karena itu dalam menyusun butir- butir soal seharusnya menggunakan item yang memiliki tingkat kesukaran rendah.

2.1.2 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

2.1.2.1 Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan, dalam hal ini masa depan kehidupan anak yang ditentukan orang tua. Oleh karenanya, sekolah mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat yang akan datang.

Pembelajaran merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan, yang dilaksanakan dengan menuangkan pengetahuan kepada siswa (Oemar Hamalik, 2008: 25).

Bila pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan progam pengajaran tahunan, semester dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut persiapan perangkat kelengkapannya antara lain berupa alat peraga dan alat-alat evaluasinya (Hisyam Zaini, 2004: 4).

Berdasar beberapa pendapat diatas maka disimpulkan pembelajaran adalah suatu proses dan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar, pembelajaran juga

(4)

merupakan persiapan di masa depan dan sekolah mempersiapkan mereka untuk hidup dalam masyarakat yang akan datang.

IPA atau sains merupakan salah satu cabang ilmu yang fokus pengkajiannya adalah alam dan proses-proses yang ada di dalamnya (Ari, dkk. 2010: 4). Puskur dalam Trianto (2010: 153), mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.

Puskur dalam Trianto (2010: 153), mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada tiga kemampuan dalam IPA yaitu: 1) Kemampuan mengetahui yang diamati; 2) kemampuan memprediksi apa yang belum diamati dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut dari hasil eksperimen dan; 3) dikembangkannya sikap ilmiah.

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan pembelajaran IPA adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori agar siswa mempunyai pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan penyajian gagasan-gagasan.

2.1.2.2 Tujuan Pembelajaran IPA di SD

Pembelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar siswa:

1. Mengembangkan rasa ingin tahu dan suatu sikap positif terhadap sains, teknologi dan masyarakat.

2. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

3. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep sains yang akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Mengembangkan kesadaran tentang peran dan pentingnya sains dalam kehidupan sehari-hari. 5. Mengalihkan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman ke bidang pengajaran lain.

6. Ikut serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

Menghargai berbagai macam bentuk ciptaan Tuhan di alam semesta ini untuk dipelajari (Sri Sulistiyorini, 2007: 40)

(5)

2.1.3 Model Pembelajaran Probelm Based Learning 2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran PBL

Menurut Tan ( 2000 ), Probelm Based Learning ( PBL ) atau Pembelajaran Berbasis Masalah ( PBM ) merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada,

Nurhadi (2004) mendefinisikan “model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan yang penting dari materi pelajara

Menurut Arends (2007), “Pembelajaran Berbasis Masalah adalah suatu model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran peserta didik pada masalah autentik peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi, inkuiri dan memandirikan peserta didik”.

Berdasarkan para ahli, disimpulkan bahwa Prolem Based Laerning adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah nyata sehingga peserta didik dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkan keterampilan berpikir kritis, inkuiri, pemecahan masalah dan mandiri.

Model pembelajaran ini berusaha membantu peserta didik menjadi pelajar mandiri dan otonom. Melalui bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan menggerakkan peserta didik untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata dan belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri.

2.1.3.2 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Learning (PBL)

Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut.

a. Pengajuan pertanyaan atau masalah.

Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsip-prinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau

(6)

masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

c. Penyelidikan autentik.

Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan

d. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya.

PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.

e. Kerjasama.

Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

2.1.3.3 Langkah-langkah PBL

Menurut Fogarty PBL dimulai dengan masalah yang tidak tersruktur dari kekacauan ini siswa menggunakan berbagai kecerdasan melalui diskusi dan penelitian untuk menentukan isu nyata yang ada.

(7)

Model lingkungan belajar konstruktivistik tersebut memberikan landasan yang kuat dalam mendesain pendekatan problem-based learning. Proses pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning dijalankan dengan 8 langkah, yaitu: (1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan fakta-fakta, (4) menyusun dugaan sementara, (5) menyelidiki, (6) menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan, (7) menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan (Fogarty, 1997).

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Menemukan masalah

Peneliti diberikan masalah berstruktur ill-defined yang diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada siswa untuk melakukan penelitian.Siswa menggunakan kecerdasan inter dan intra-personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok terkait dengan permasalahan yang dikaji.

Berdasarkan strukturnya, masalah dalam pembelajaran dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu masalah yang terdefinisikan secara jelas (well-defined) dan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) (Hudoyo, 2002; Jensen, 1993; Qin et al., 1995).

Pengambilan masalah dari konteks nyata sangat bermanfaat bagi siswa dalam mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah. Hasil-hasil penelitian tentang pemecahan masalah yang dipraktikan dalam kelas dengan masalah berstruktur ill-defined memberikan dampak-dampak sebagai berikut. (1) Penemuan masalah dapat meningkatkan kreativitas. (2) Memotivasi pebelajar yang menjadikan belajar terasa menyenangkan. (3) Masalah dengan struktur ill-defined membutuhkan keterampilan yang berbeda dengan masalah yang berbentuk standard-problem. (4) Mendorong peneliti memahami dan memperoleh hubungan-hubungan masalah dengan disiplin ilmu tertentu. (5) Informasi yang masuk ke dalam memori jangka panjang lebih diperkuat dengan menggunakan masalah yang berstruktur ill-defined (Krulik & Rudnick, 1996).

2. Mendefinisikan masalah. mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat beberapa definisi sebagai informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah 6 ini, siswa melibatkan kecerdasan

(8)

intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan masalah.

3. Mengumpulkan fakta-fakta.

Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini, penelti mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang diketahui (know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan permasalahan.

4. Menyusun dugaan sementara.

Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Peneliti juga melibatkan kecerdasan interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-langkah yang logis.

5. Menyelidiki.

Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi

yang diperolehnya berorientasi pada permasalahan.Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta-fakta yang ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan dapat menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of knowing and understanding) dunia mereka.

6. Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan.

Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Peneliti melibatkan kecerdasan verbal-linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.

7. Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif.

Siswa berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk mendiskusikan

(9)

permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah 7 berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik ketimbang dilakukan secara individual.

8. Menguji solusi permasalahan.

Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil pemecahan terbaik. Siswa menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan. Pendekatan problem-based learning yang bertolak dari pembelajaran konstruktivistik memuat urutan prosedural yang non-linear. Pembelajaran cenderung tidak berawal dan berakhir (Willis & Wright, 2000). Pembelajaran berjalan dalam suatu siklus dengan tahapan-tahapan berulang (recursive) (Wilson & Cole, 1996). Pembelajaran dengan pendekatan problem based-learning juga memberikan peluang bagi pebelajar untuk melibatkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimiliki siswa (Fogarty, 1997; Gardner, 1999b). Keterlibatan kecerdasan majemuk dalam pemecahan masalah dengan pendekatan problem based learning dapat menjadi wahana bagi siswa yang memiliki kecerdasan majemuk beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam memecahkan masalah.

Guru membentuk kelompok-kelompok pebelajar yang jumlah anggotanya 4-5 orang (Boud & Felleti, 1997). Masing-masing kelompok mengumpulkan fakta-fakta dari permasalahan, merepresentasi masalah, merumuskan model-model matematis untuk penyelesaiannya, dan melakukan pengujian dengan perhitungan, dan menyajikan hasilnya di depan kelas. Guru berperan sebagai pembimbing dan menstimulasi siswa berpikir untuk memecahkan masalah. Sebagai fasilitator, guru melatih kemampuan siswa berpikir secara metakognisi. Ketika pebelajar menghadapi tantangan permasalahan dan diminta untuk mencari pemecahannya, ia berada dalam situasi kesenjangan antar skema berpikir yang dimilikinya dengan informasi-informasi baru yang dihadapinya. Pada saat ini, siswa membutuhkan bantuan-bantuan untuk mencari pemecahan masalah agar kesenjangan dapat dihilangkan. De Porter et al (2001) menyatakan, dalam situasi ini pebelajar mengambil resiko yang dapat menjadi pembangkit minat belajar. Ketika pebelajar

(10)

dihadapkan dengan permasalahan, mereka keluar dari zona nyaman kemudian bertualang untuk masuk ke dalam situasi baru yang penuh resiko.

Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan masalah secara matematis.

Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning memuat langkah-langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Polya (1981) mengajukan empat tahap strategi pemecahan masalah yaitu: (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4) menguji kembali penyelesaian yang diperoleh. Dwiyogo (2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan jawaban.

Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning. Penilaian pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik merupakan bagian yang utuh dengan pembelajaran itu sendiri. Bertolak dari pandangan ini, maka penilaian pembelajaran pemecahan masalah dengan pendekatan problem-based learning dilaksanakan secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Oleh karenanya, penilaian pembelajaran dilaksanakn secara nyata dan autentik.

2.1.3.4 Kelebihan dan Kelemahan PBL a. Keuggulam PBL

Menurut Sanjaya (2007: 219) memiliki keunggulan yaitu sebagai berikut.

1. Menantang kemampuan peserta didik serta memberi memberi kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi peserta didik.

2. Meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik.

3. Membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.

4. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi secara tepat.

(11)

1. Memerlukan waktu yang panjang dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. 2. Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan bahwa

masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka akan merasa enggan untuk mencoba (Sanjaya, 2007:220).

2.2 Kerangka Berpikir

Dengan melibatkan siswa secara aktif dan sistematis dalam pembelajaran akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, secara rinci kerangka berpikir pembelajaran PBL sebagaimana terlihat dalam gambar bagan berikut.

Gambar 3 Tindakan Kondisi Awal Kondisi Akhir Model Pembelajaran Problem Based Learning

Siklus I

Hasil ulangan dengan rata-rata dibawah 75 %

Pembelajaran interaktif

Metode PBL dapat menigkatkan keterampilan saintifik dan hasil belajar tentang keberagaman makhluk hidup di lingknganku.

Siklus II hasil ulang meningkat rata diatas 75 %

(12)

Kerangka Berpikir

2.3 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan rumusan masalah diduga penggunaan metode PBL dapat meningkatkan hasil belajar IPA bagi siswa Kelas IV SD Negeri Tunggulsari Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015“

Gambar

Gambar 3 Tindakan Kondisi Awal Kondisi Akhir Model Pembelajaran Problem Based Learning

Referensi

Dokumen terkait

Paparan radiasi sinar X menyebabkan penurunan bobot ovarium dan pada dosis 100 mGray mampu menimbulkan kerusakan struktur histologi ovarium tikus putih galur

Menurut alfiana sekarang perempuan bercadar juga memiliki fashion tersendiri dalam berpakaian sudah banyak model yang dipasarkan namun tetap sesuai dengan syariat

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 12 siswi di SMK N 1 Purwosari Gunung Kidul, di dapatkan hasil bahwa 1 siswi kelas XI yang menggunakan pantyliner dan 2 siswi kelas XI

Tentang : PEMBENTUKAN ORGANISASI DINAS-DINAS DAERAH KOTA JAMBI WALIKOTA JAMBI ttd ARIFIEN MANAP KEPALA BIDANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SEKRETARIAT SUBBAGIAN

Sistem informasi konsultasi ini adalah berbasis web, yang memiliki kelebihan bisa diakses kapan saja dan dari mana saja, tanpa terbatas jarak dan waktu, dan

Selama berdiskusi, baik pembawa acara maupun narasumber se- cara visual nonverbal masing-masing berupa- ya menunjukkan eksistensinya di dalam layar untuk menyajikan perbincangan

Pada penelitian lain yang berkaitan dengan optimasi fungsi keanggotaan fuzzy menggunakan algoritma MPSO, pengujian perlu dilakukan dengan melibatkan jumlah particle

Analisis Hubungan Gaya Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Seni Tari.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |