• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN EMBRIO SOMATIK DARI EKSPLAN DAUN KULIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN EMBRIO SOMATIK DARI EKSPLAN DAUN KULIM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN EMBRIO SOMATIK DARI EKSPLAN

DAUN KULIM (Scorodacarpus borneensis Becc.)

Embryogenic callus and somatic embryo induction from leaf explant of Kulim

(Scorodacarpus borneensis Becc.)

Yelnititis

Kontributor Utama, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : yelnititis@yahoo.com

Tanggal diterima: 29 September 2020, Tanggal direvisi: 29 September 2020, Disetujui terbit: 17 Desember 2020

ABSTRACT

Kulim is one of woody plant that have multifunction as wood source and for spice and medicinal. Generative propagation of this plant have trouble because seed use limited. The use of leaf segment through somatic embryogenesis to solve the problem. The objective of this study is to obtain the best treatment to embryogenic callus induction. The modification of basal medium of Murashige and Skoog was used as growth medium. The experiment was conducted in three stages are callus induction, embryogenic callus and somatic embryo induction. The treatment of 2,4-D (3,0 – 12 mg/l) used for callus induction. For embriogenic callus induction used 2,4-D (3,0 – 12,0 mg/l) combined with NAA 0,5 mg/l. The treatment of thidiazuron (0,1 – 0,7 mg/l) used for somatic embryo induction. The result showed that the treatment of 2,4-D 6,0 mg/l is the best for callus induction with compact of texture, green, dry and non embryogenic. The treatment of combination 2,4-D 12.0 mg/l with NAA 0.5 mg/l is the best for friable callus induction. The treatment of 2,4-D 6.0 mg/l combined with NAA 0,5 mg/l is the best for embryogenic callus induction with very friable of texture, easy to separate, dry, smooth and glossy. Thidiazuron of 0,1 mg/l treatment is the best for somatic embryos induction with the average number of 7,8 somatic embryos.

Keywords: Kulim, rare, thidiazuron

ABSTRAK

Kulim merupakan tanaman berkayu berfungsi sebagai sumber kayu,obat dan bumbu masakan. Penggunaan eksplan potongan daun melalui embriogenesis somatik diharapkan dapat digunakan untuk menyediakan bibit secara vegetatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perlakuan terbaik untuk pembentukan kalus embriogenik yang dapat berkembang membentuk embrio somatik. Modifikasi medium dasar Murashige dan Skoog (MS) digunakan sebagai medium tumbuh. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap kegiatan yaitu tahap induksi kalus, tahap induksi kalus embriogenik, dan embrio somatik. Pada tahap induksi kalus, perlakuan yang diberikan adalah penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 3,0 – 12,0 mg/l. Pada tahap induksi kalus embriogenik diberikan perlakuan 2,4-D (3,0 – 12,0 mg/l) dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/l. Perlakuan yang diberikan untuk induksi embrio somatik thidiazuron 0,1 – 0,7 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 2,4-D 6.0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi kalus dengan tekstur kompak, berwarna hijau, kering dan tidak embriogenik. Perlakuan kombinasi 2,4-D 12.0 mg/l dengan NAA 0,5 mg/l merupakan terbaik untuk induksi kalus friabel. Perlakuan 2,4-D 6,0 mg/l dikombinasikan dengan NAA 0,5 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi kalus embriogenik dengan tekstur sangat friabel, mudah terpisah, kering, permukaan licin, bening, dan mengkilat. Perlakuan thidiazuron 0,1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi embrio somatik dengan jumlah rata-rata sebanyak 7,8 embrio.

(2)

PERTUMBUHAN STEK BATANG GMELINA ARBOREA HASIL KOLEKSI DARI

LIMA POPULASI SEBARAN DI INDONESIA

The growth of stem cuttings of Gmelina arborea taken from five origin populations in

Indonesia

Hamdan Adma Adinugraha¹, Dedi Setiadi¹, Arnoldus Naibini² dan Nyuwito²

¹Kontributor Utama, ¹Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : hamdan_adma@yahoo.co.id

²Institut Pertanian (INTAN)

Jl. Magelang Km 5.6, Kutu Tegal, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 09 September 2020, Tanggal direvisi: 09 September 2020, Disetujui terbit: 21 Desember 2020

ABSTRACT

This study was conducted to determine the effect of plant material origin and size of cuttings on the growth ability of Gmelina. arborea stem cuttings in the nursery. The study was arranged in a randomized factorial pattern design, consisting of two factors, namely the length of the cuttings (L1 = 20 cm and L2 = 30 cm) and the cuttings size factor (small diameter class/D1 = <1.25 cm, medium/D2 = 1.25 – 2.50 cm and large/D3 => 2.50 cm). Each treatment used 5 stem cuttings and repeated in 3 times, which are grouped based on their origin population namely Bantul/P1, Bogor/P2, Lampung/P3, Bondowoso/P4 and Lombok/P5. The observations showed the survival percentage was 83.12% and the rooting percentage was 78.23% which was influenced by the length and diameter of the stem cuttings. The growth of shoots (number, length and diameter) and the number of shoot nodes and leaf were affected by the interaction of origin of the population and the length and diameter of the stem cuttings. Applying stem cutting method is very potential to produce planting stock of Gmelina arbore. Stem cuttings which has a biger size showed better grow of stem cuttings.

Keywords: Gmelina arborea, vegetative propagation, population origin, seedling growth ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asal bahan tanaman dan ukuran stek terhadap kemampuan pertumbuhan stek batang G. arborea di persemaian. Penelitian disusun dengan rancangan acak kelompok pola factorial, yang terdiri atas dua faktor yaitu panjang stek (L1 = 20 cm dan L2 = 30 cm) dan faktor ukuran stek (kelas diameter kecil/D1 = < 1,25 cm, sedang/D2 = 1,25 – 2,50 cm dan besar/D3 = > 2,50 cm). Setiap perlakuan menggunakan 15 stek batang yang dikelompokkan berdasarkan populasi asalnya yaitu Bantul/P1, Bogor/P2, Lampung/P3, Bondowoso/P4 dan Lombok/P5. Hasil pengamatan menunjukkan persentase hidup 83,12% dan persentase berakar 78,23% yang dipengaruhi oleh ukuran panjang dan diameter stek. Pertumbuhan tunas (jumlah, panjang dan diameter) serta jumlah ruas tunas dan daunnya secara umum dipangaruhi oleh interaksi antara asal populasi dan ukuran panjang serta diameter stek yang digunakan. Pembuatan stek batang sangat potensial untuk diterapkan dalam produksi bibit Gmelina arborea di persemaian. Stek yang berdiameter lebih besar dan lebih panjang menghasilkan pertumbuhan stek yang lebih baik.

(3)

OPTIMASI DETEKSI GEN PADA Stelechocarpus burahol (Bl.) Hook.f. & Th.

MENGGUNAKAN DIRECT KIR PCR

Gene detection optimization of Stelechocarpus burahol (Bl.) Hook f. & Th.

using direct PCR kit

Tri Suwarni Wahyudiningsih¹, Dian Sartika2 ¹Kontributor Utama, ¹Universitas Tidar

Jl. Kapten S.Parman 39 Potrobangsan, Magelang Utara, Jawa Tengah, Indonesia

email penulis korespondensi : trisuwarni@untidar.ac.id

2

Universitas Gadjah Mada

Jl. Teknika Selatan, Senolowo, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

Tanggal diterima: 07 Desember 2020, Tanggal direvisi: 10 Desember 2020, Disetujui terbit: 21 Desember 2020

ABSTRACT

DNA isolation and purification in the conventional Polymerase Chain Reaction (PCR) process require reagents that are toxic, more costly and time consuming, and contamination. S. burahol leaves contain phenolics, flavonoids, and terpenoids which can interfere with DNA isolation. The use of direct PCR kits can detect genes without DNA extraction. The objective of study was to determine the method of gene detection of Stelechocarpus burahol using direct PCR kit. In each location, one tree was taken as a source of leaf samples from Garut, Purwodadi Botanical Gardens, Kyai Langgeng Gardens, Yogyakarta Palace, Turi Sleman, Wanagama, Karanganyar, and South Kalimantan, except Bogor Botanical Gardens, two trees were taken. The primers used for the trials were ITS 1F primers and 4R primers. In the sequencing stage, PCR product samples of 40 - 50 μl that showed positive results were detected by electrophoresis. The PCR product was measured at ± 750 bp from ten samples. Direct PCR kits can be used for S. burahol gene detection, time and energy efficient, only requires a small amount of tissue, and reduces contamination due to DNA extraction. Direct PCR kits can be an effective method that can be utilized to detect target genes for large populations.

Keywords: detect target genes, DNA amplification, PCR product, without DNA extraction ABSTRAK

Tahap isolasi dan pemurnian DNA pada proses Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional memerlukan reagen yang mahal, toksik, proses lama, dan risiko kontaminasi tinggi. Daun S. burahol mengandung senyawa fenolik, flavonoid, dan terpenoid yang dapat mengganggu saat isolasi DNA. Penggunaan direct kit PCR dapat mendeteksi gen tanpa ekstraksi DNA. Penelitian ini bertujuan menentukan metode deteksi gen pada Stelechocarpus burahol menggunakan direct kit PCR. Setiap lokasi diambil satu pohon sebagai sumber sampel daun S. burahol. Lokasi tersebut antara lain Garut, Kebun Raya Purwodadi, Taman Kyai Langgeng, Kraton Yogyakarta, Turi Sleman, Wanagama, Karanganyar, dan Kalimantan Selatan, kecuali Kebun Raya Bogor diambil dua pohon sebagai sampel. Primer yang digunakan untuk uji coba adalah primer ITS 1F dan primer 4R. Pada tahap sequencing, sampel produk PCR 40-50 μl yang menunjukan hasil positif dideteksi dengan elektroforesis. Produk DNA S. burahol berukuran ± 750 bp dari sepuluh sampel S. burahol. Direct kit PCR dapat untuk untuk deteksi gen S. burahol, waktu dan tenaga efisien, hanya memerlukan sedikit jaringan, dan mengurangi resiko kontaminasi akibat ekstraksi DNA. Direct kit PCR dapat menjadi metode yang efektif yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi gen target untuk populasi besar.

(4)

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI Austropuccinia psidii PADA MYRTACEAE DI

YOGYAKARTA INDONESIA

Detection and identification of Austropuccinia psidii on Myrtaceae in Yogyakarta Indonesia

Istiana Prihatini¹, ILG. Nutjahjaningsih¹, Farah AulyaFaradilla² dan Suranto²

¹˒²Kontributor Utama, ¹Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : istiana.prihatini@yahoo.co.id

²Universitas Sebelas Maret Surakarta

Jl. Ir. Sutami No.36A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

Tanggal diterima: 16 Desember 2020, Tanggal direvisi: 18 Desember 2020, Disetujui terbit: 24 Desember 2020

ABSTRACT

Austropuccinia psidii is a pathogenic fungus that causes rust in the Myrtaceae plant. The extensive plantation of the host of this fungus has increased the attack of fungal pathogen, therefore, will increase the threat to the presence of Myrtaceae species around the globe including in Indonesia. This present study was aiming to detect and identify the presence of this pathogen by morphological and molecular observation. Morphological observation revealed the presence of A. psidii urediniospores on salam (Syzygium polyanthum) and kayu putih (Melaleuca cajuputi) leaves collected from the arboretum of the Indonesian Center for Forest Biotechnology and Tree Improvement (CFBTI), and the presence of teliospores on young Syzygium leaves. PCR amplification using specific primers of Ppsi1 / Ppsi6 succeeded in detecting the presence of A. psidii fungi Melaleuca and Syzygium showed by DNA amplicon length around 500bp. Efforts to obtain ITS DNA sequences to compare the molecular characteristics of fungi from two different hosts have been carried out, however, the sequencing electropherogram was unreadable, so the comparison can not be performed. This study reported that A. psidii is currently present in Myrtaceae species in Yogyakarta, therefore precaution efforts should be conducted to avoid economic and ecological impact from this pathogen.

Keywords: PCR, molecular markers, species-specific markers, rust fungi ABSTRAK

Austropuccinia psidii merupakan salah satu jamur patogen penyebab karat pada tanaman Myrtaceae. Meningkatnya kegiatan penanaman jenis pohon yang merupakan inang jamur ini telah meningkatkan serangan jamur patogen yang berdampak pada peningkatan ancaman terhadap keberadaan jenis Myrtaceae di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi keberadaan patogen tersebut melalui pengamatan morfologi dan molekuler. Pengamatan morfologi menunjukkan adanya urediniospora jamur A. psidii pada daun salam (Syzygium polyanthum) dan daun kayu putih (Melaleuca cajuputi) yang diambil dari arboretum Balai Besar Pengembangan Tanaman dan Bioteknologi Hutan Indonesia (BBPPBPTH), dan adanya teliospora pada daun salam yang masih muda. Amplifikasi PCR menggunakan penanda DNA spesifik untuk jenis A. psidii yaitu Ppsi1/Ppsi6 telah berhasil mendeteksi keberadaan jamur A. psidii pada kedua jenis tanaman tersebut ditandai dengan adanya amplikon DNA berukuran sekitar 500bp. Upaya memperoleh sekuens DNA ITS untuk membandingkan sifat molekuler fungi dari dua inang yang berbeda telah dilakukan, namun elektropherogram sekuens tersebut tidak terbaca sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan. Studi ini melaporkan bahwa serangan jamur A. psidii saat ini terdapat pada dua jenis Myrtaceae di Yogyakarta, oleh karena itu upaya pencegahan perlu dilakukan untuk menghindari dampak ekonomis dan ekologis dari keberadaan patogen tersebut.

(5)

PERIODE PEMBUNGAAN DAN PEMBUAHAN NYAMPLUNG (Calophyllum

inophyllum) PADA TEGAKAN BENIH PROVENAN DI WONOGIRI

Flowering and fruiting period of nyamplung (Calophyllum inophyllum) at provenance seed

stand in Wonogiri

Eritrina Windyarini¹, Tri Maria Hasnah¹, Hamdan Adma Adinugraha¹ dan Budi Leksono¹ ¹Kontributor Utama, ¹Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : e_windyarini@yahoo.com

Tanggal diterima: 07 Desember 2020, Tanggal direvisi: 07 Desember 2020, Disetujui terbit: 24 Desember 2020

ABSTRACT

Nyamplung (Calophyllum inophyllum) is a potential type of non-timber forest product (NTFP) with high oil yield which is useful as an alternative renewable energy sources and herbal medicine-cosmetics. Result of population selection level in Java Island have been used to build Provenan Seed Stand (PSS) nyamplung in KHDTK Wonogiri (Central Java) as an improved seed source with high oil yield and fruit productivity. Seed become nyamplung part that is used as oil raw material which is strongly influenced by flowering and fruiting period. Information on flowering fruiting ability and period is needed to support the availability of raw materials in a sustainable supply for the nyamplung oil industry. Seed become nyamplung part that is used as oil raw material which is strongly influenced by flowering and fruiting period. Information on flowering fruiting ability and period is needed to support the availability of raw materials in a sustainable supply for the nyamplung oil industry. Observation of flowering and fruiting period focused on 465 individual trees in nyamplung PSS at KHDTK Wonogiri through monthly monitoring by calculated flowering fruiting individual tree during 5 years (2014-2018). The results showed that the flowering period of nyamplung in TBP Wonogiri varied during 2014-2018. Flowering and fruiting occurs almost throughout the year. However, the peak of flowering and fruiting occurs mostly in March-August (end of the rainy season to the middle of dry season). In general, the trend of flowering and fertilization increased in 2014-2016, then decreased in 2017-2018, which is thought to be influenced by the higher canopy density. The environmental factor that most influences flowering is number of rainy days, while fertilization of TBP was strongly influenced by temperature. The management of TBP require future action such: second thinning, top pruning, application of fertilizers and hormones to stimulate flowering, and further detailed observations of flowering fruiting stage and its interaction with microclimate.

Keywords: PSS nyamplung, flowering, fruiting, variation ABSTRAK

Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) potensial dengan rendemen minyak tinggi yang bermanfaat sebagai alternatif sumber energi baru terbarukan maupun obat dan kosmetik herbal. Hasil seleksi pada tingkat populasi di pulau Jawa telah digunakan untuk membangun Tegakan Benih Provenan (TBP) nyamplung di KHDTK Wonogiri (Jawa Tengah) sebagai sumber benih unggul yang akan menghasilkan nyamplung dengan rendemen minyak dan produktivitas buah yang tinggi. Bagian tanaman nyamplung yang menjadi bahan baku utama minyak adalah biji yang sangat dipengaruhi oleh pembungaan dan pembuahan. Informasi kemampuan dan periode pembungaan dan pembuahan nyamplung sangat diperlukan untuk mendukung ketersediaan bahan baku secara berkelanjutan bagi industri minyak nyamplung. Pengamatan periode pembungaan pembuahan nyamplung difokuskan terhadap 465 individu pohon pada TBP di KHDTK Wonogiri dengan mengamati individu berbunga dan berbuah pada setiap bulan selama 5 tahun (2014-2018). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa periode pembungaan pembuahan nyamplung pada 2014-2018 di TBP Wonogiri bervariasi. Pembungaan dan pembuahan hampir terjadi sepanjang tahun. Namun demikian puncak pembungaan dan pembuahan lebih banyak terjadi di bulan Maret- Agustus (akhir musim penghujan hingga pertengahan musim kemarau). Secara umum trend pembungaan pembuahan meningkat pada 2014-2016, kemudian menurun pada 2017-2018 yang diduga dipengaruhi oleh semakin tingginya kerapatan tajuk. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi pembungaan adalah hari hujan, sedangkan pembuahan dipengaruhi kuat oleh suhu. Upaya yang diperlukan dalam pengelolaan TBP di masa datang antara lain : penjarangan kedua, top pruning , pemberian pupuk dan hormon perangsang pembungaan pembuahan, serta pengamatan lanjutan dan detail terhadap proses dan tahapan pembungaan pembuahan dan interaksinya dengan iklim mikro TBP

(6)
(7)

KERAGAMAN GENETIK AQUILARIA MALACCENSIS DARI BANGKA BARAT

DAN IMPLIKASINYA UNTUK PENGELOLAAN TEGAKAN BENIH

Genetic diversity of Aquilaria malaccensis from Western Bangka and its implication for

manage seed stands

I.L.G. Nurtjahjaningsih¹,AYPBC. Widyatmoko¹, Liliek Haryjanto¹, Yuliah¹ dan Yayan Hadiyan¹ ¹Kontributor Utama, ¹Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : iluh_nc@yahoo.com

Tanggal diterima: 07 Desember 2020, Tanggal direvisi: 07 Desember 2020, Disetujui terbit: 24 Desember 2020

ABSTRACT

Aquilaria malaccensis (agarwood) is a native species to Indonesia, it produces fragrance. Aim in this study was to assess genetic diversity and structure of A. malaccensis in order to manage seed stand to produce high quality and quantity seeds/seedlings. Leaf samples for DNA template were collected from 3 populations at western Bangka i.e. Air Gantang, Pelangas, and Simpang Gong. Amplifications of 14 RAPD markers were confirmed; 42 DNA samples of A. malaccensis were analysed using RAPD markers. Parameters of genetic diversity within population i.e. private alleles (PA) and expected heterozygosity (HE) were calculated using

GeneAlex software. Genetic structure among populations were determined as genetic distance (Da), Analysis Molecular of Variance (AMOVA), a neighbor-joining tree, were calculated using GeneAlex and PopTrew software. Eleven out of 14 RAPD markers were produced 104 stable and polymorphic alleles; PA were found at

Air Gantang and Pelangas, 1 and 2 alleles, respectively. The HE ranged between 0.133 (Simpang Gong) and

0.328 (Pelangas). The Da was moderate (0.099). AMOVA showed significant genetic diversity among populations (14%). A neighbor-joining tree showed the populations divided into two clusters with high boostrap value, and concordance with their geographical positions. Restricted gene flow might cause a high genetic relationship among populations. Low HE in Simpang Gong caused this population was priored to being

conserved; Air Gantang and Pelangas should be designed as different conservation units due to the population contained different private alleles.

Keywords: expected heterozygosity, genetic relationship, private allele, RAPD markers ABSTRAK

Aquilaria malaccensis (gaharu) merupakan jenis asli Indonesia, jenis ini menghasilkan wewangian. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman dan struktur genetik A. malaccensis dalam rangka pengelolaan tegakan benih agar menghasilkan benih/bibit yang berkualitas dan berkuantitas. Sampel daun untuk sampel DNA berasal dari 3 populasi di Bangka Barat yaitu Air Gantang, Pelangas, dan Simpang Gong. Amplifikasi 14 penanda RAPD dikonfirmasi, dan 42 sampel DNA A. malaccensis dianalisis menggunakan penanda RAPD. Parameter keragaman genetik di dalam populasi parameter yaitu alel privat (PA) dan heterozigositas harapan (HE) dihitung

menggunakan perangkat lunak GeneAlex. Parameter struktur genetik yaitu jarak genetik (Da), analisis varian molekul (AMOVA), dan analisis pohon populasi dihitung menggunakan software GeneAlex dan PopTrew. Sebelas dari 14 penanda RAPD menghasilkan 104 alel yang stabil dan polimorfik; PA ditemukan di Air Gantang

dan Pelangas, masing-masing 1 dan 2 alel. HE berkisar antara 0,133 (Simpang Gong) dan 0,328 (Pelangas). Da

bernilai sedang (0,099). AMOVA menunjukkan keragaman genetik yang signifikan antar populasi (14%). Analisis pohon populasi menunjukkan bahwa 3 populasi tersebut terbagi menjadi dua kelompok dengan nilai boostrap tinggi, sesuai dengan posisi geografisnya. Aliran gen yang terbatas dapat menyebabkan hubungan genetik yang tinggi antar populasi. Rendahnya HE di Simpang Gong menyebabkan populasi ini sangat

diutamakan untuk dilestarikan; Air Gantang dan Pelangas harus dirancang sebagai unit konservasi yang berbeda karena mengandung masing-masing memiliki alel privat yang berbeda.

(8)

1

PERTUMBUHAN AWAL KAYU MERAH (Pterocarpus indicus Willd) PADA PLOT

KONSERVASI EX-SITU DI GUNUNGKIDUL UMUR 2 TAHUN

Early growth of kayu merah (Pterocarpus indicus Willd) in ex-situ conservation plot in

Gunungkidul at two years-old

Yuliah¹, Ari Fiani¹, dan Tri Pamungkas Yudohartono¹

¹Kontributor Utama, ¹Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, Indonesia

email penulis korespondensi : yulipermadi@yahoo.co.id

Tanggal diterima: 14 Desember 2020, Tanggal direvisi: 14 Desember 2020, Disetujui terbit: 29 Desember 2020

ABSTRACT

Ex-situ conservation plot of kayu merah (Pterocarpus indicus Willd) has been established in Gunungkidul in 2016. The purpose of this study was to observe the early growth of kayu merah in the plot at 2 years old. The plot was laid-out in randomized complete block design consisting of 68 families, 4 tree-plot and 5 blocks with spacing of 3 m × 3 m. Genetic materials of kayu merah were collected from 3 populations namely Timor, Flores and Seram. Measurement was conducted in survival rate, tree diameter, tree height and number of branches. The result showed that the average survival rate of family was high (≥80%). Based on the populations, the survival rate of Timor, Flores and Seram were around 95%, 96% and 96.5% respectively. The average height, diameter and number of branches were 275 cm, 2.79 cm and 1.66, respectively. There were significant differences for height, diameter and number of branches among the tested families. In general, family ranking varied among the measured traits. Correlation between the traits varied among the populations. The Seram population showed the top family ranking for all the traits. It indicated that characterization in ex-situ conservation plot using genetic materials collected from the three populations was important for further conservation program of kayu merah.

Keywords: Pterocarpus indicus Willd, family, conservation, natural distribution, genetic material ABSTRAK

Plot konservasi ex-situ kayu merah (Pterocarpus indicus Willd) telah dibangun di Gunungkidul pada tahun 2016. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pertumbuhan awal kayu merah pada plot tersebut pada umur 2 tahun. Plot dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok terdiri dari 68 famili, 4 tree plot dan 5 blok dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Materi genetik kayu merah dikoleksi dari 3 populasi yaitu Timor, Flores dan Seram. Pengukuran dilakukan terhadap persen hidup, tinggi, diameter dan jumlah cabang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata persen hidup tanaman per famili tinggi (≥ 80%). Berdasarkan populasi, persen hidup Timor, Flores dan Seram masing-masing adalah 95%; 96% dan 96,5%, Rata-rata tinggi, diameter dan jumlah cabang masing-masing adalah 275cm, 2,79cm dan 1,66. Perbedaan nyata dijumpai antar famili untuk sifat tinggi, diameter, dan jumlah cabang. Secara umum, ranking famili bervariasi diantara sifat yang diukur. Korelasi antar sifat bervariasi antar populasi. Populasi Seram menunjukkan rangking famili teratas untuk semua sifat. Hal ini mengindikasikan bahwa karakterisasi pada plot konservasi ex situ menggunakan materi genetik yang dikoleksi dari tiga populasi tersebut penting untuk program konservasi kayu merah selanjutnya.

(9)

PENGEMBANGAN METODE PENANDA ISOZYME PADA TREMBESI

Development of raintree’s isozyme marker methods

Titis Hutama Syah¹, dan Arbain²

¹Kontributor Utama, ¹˒²Sekolah Tinggi Pertanian Kutai Timur

Jl. Soekarno-Hatta, Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan Timur, Indonesia

email penulis korespondensi : titis@stiperkutim.ac.id

Tanggal diterima: 03 Oktober 2020, Tanggal direvisi: 03 Oktober 2020, Disetujui terbit: 25 Desember 2020

ABSTRACT

Fifty samples of raintree from Sangatta, the capital city of Kutai Timur Regency, East Kalimantan were analyzed using isozyme markers to determine the characteristics of the banding pattern. The use of isozymes was intended as a biochemical marker for genetic diversity analysis. This study aimed to determine the enzyme system that could be used to determine genetic diversity of raintree. The enzyme systems used were diaphorase, esterase, and peroxidase. Polymorphism assessments were carried out on the parameters of expected heterozygosity (H), polymorphism information content (PIC), effective multiplex ratio (E), marker index (MI), discriminanting power (D), and Resolving (R). Among the three enzyme systems used, diaphorase showed consistent performance against each of the parameters assessed, with a value of H = 0.475; PIC = 0.362; E = 6.1; MI = 2,2; D = 0.63: and R = 4.44. However, esterase had the highest multiplex effective ratio (E = 6.16). Therefore, diaphorase is the best isozyme marker that can be used to analyze the genetic diversity of raintree. Keywords: biochemical marker analysis; genetic diversity; isozyme performance; less concern raintree,

polymorphism profile

ABSTRAK

Sebanyak lima puluh sampel pohon trembesi dari Sangatta, Ibukota Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur dianalisa menggunakan penanda isozym untuk mengetahui karakteristik pola pitanya. Penggunaan isozym dimaksudkan sebagai penanda biokimia untuk analisis keragaman genetik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem enzim yang dapat digunakan untuk mengetahui keragaman genetik trembesi. Sistem enzim yang digunakan adalah diaphorase, esterase, dan peroxidase. Penilaian-penilaian polimorfisme dilakukan terhadap parameter heterosigositas harapan (H), informasi konten polimorfik (PIC), rasio efektif multiplek (E), indeks penanda (MI), daya diskriminan (D), dan daya bagi (R). Diantara ketiga sistem enzim yang digunakan, diaphorase menunjukkan performa yang konsisten terhadap setiap parameter yang dinilai, dengan nilai H= 0,475; PIC= 0,362; E= 6,1; MI= 2,2; D=0,63: dan R= 4,44. Meskipun demikian, esterase memiliki nilai rasio efektif multiplek tertinggi (E= 6,16). Oleh karena itu, diaphorase merupakan penanda isozym terbaik yang dapat digunakan untuk menganalisa keragaman genetik trembesi.

Kata kunci: analisis penanda biokimia, keragaman genetik, kinerja isozim, profil polimorfism, trembesi yang terabaikan

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui konsentrasi 2,4-D yang paling baik untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik dan inisiasi embrio somatik anggrek bulan?. Mengetahui morfologi kalus

Pada tahap induksi kalus embriogenik dilakukan isolasi eksplan dan penanaman eksplan pada medium tumbuh yang mengandung auksin dengan konsentrasi tinggi atau yang

Hasil induksi kalus embriogenik dan inisiasi embrio somatik anggrek bulan yaitu warna kalus hijau kekuningan, remah, dan tampak mengkilat sedangkan embrio somatik

Sepuluh penanda RAPD digunakan untuk menganalisa keragaman genetik dari 44 individu yang berasal dari dua populasi alam yaitu Gunung Tujuh dan Gunung

Gambar 4., menunjukkan bahwa kalus yang terbentuk dari beberapa perlakuan dengan beberapa taraf konsentrasi 2,4-D dan TDZ menggambarkan kalus tersebut memiliki

senyawa-senyawa tertentu dalam media. Pembentukan tunas dan akar ditentukan oleh konsentrasi auksin dan sitokinin yang digunakan. Dominasi auksin yang lebih tinggi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji beberapa komposisi media dan sumber eksplan yang tepat untuk induksi kalus, perkecambahan, dan pertum- buhan tunas

Hal ini terjadi karena masih kurangnya keragaman genetik yang ditimbulkan dan mutasi in vitro, sehingga dalam penelitian ini, selain mutasi in vitro juga