• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR

EKSPERIMEN UNTUK ALIRAN EVAPORASI DUA FASA

PADA KANAL MINI HORIZONTAL DENGAN REFRIGERAN

R-22

SKRIPSI

SAMBAS PRASETYA

0806368856

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

DEPOK

(2)

ANALISIS KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR

EKSPERIMEN UNTUK ALIRAN EVAPORASI DUA FASA

PADA KANAL MINI HORIZONTAL DENGAN REFRIGERAN

R-22

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

SAMBAS PRASETYA 0806368856

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

DEPOK

(3)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Sambas Prasetya

NPM : 0806368856

Tanda Tangan :

(4)

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Sambas Prasetya

NPM : 0806368856

Program Studi : Teknik Mesin

Judul Skripsi : Analisis Koefisien Perpindahan Kalor Eksperimen Untuk Aliran Evaporasi Dua Fasa Pada Kanal Mini Horizontal Dengan Refrigran R -22

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Agus Pamitran, ST.,MSc. ( )

Penguji : Dr. Ir. Engkos A. Kosasih, MT ( )

Penguji : Dr.-Ing. Ir. Nasrudin MEng ( )

Penguji : Ardiyansyah ST., MEng ( )

Ditetapkan di : Universitas Indonesia, Depok Tanggal : 1 Juli 2011

(5)

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Mesin pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1) Dr. Agus S. Pamitran ST. M -Eng. Selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan fiki ran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

2) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dan dukungan yang tak terhingga.

3) Rekan-rekan seperjuangan satu bimbingan skripsi Fiska Suhenda dan Yudha Syafei Agustian yang telah sama -sama bekerjasama dan memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

4) Rekan-rekan sesama penelitian laboratorium teknik pendingin lainnya atas bantuan dan kerjasamanya selama pengerjaan skripsi ini.

5) Dan seluruh pihak yang terkait sehingga membantu kelancaran dalam penyelesaian skripsi dalam pengambilan data dan hal yang lainnya. Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, 1 Juli 2011

(6)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sambas Prasetya

NPM : 0806368856

Program Studi : Teknik Mesin Departemen : Teknik Mesin

Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan , menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif ( Non-Exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

ANALISIS KOEFISIEN PERPINDAHAN KALOR EKSPERIMEN UNTUK ALIRAN EVAPORASI DUA FASA PADA KANAL MINI HORIZONTAL

DENGAN REFRIGERAN R -22

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Ind onesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data ( database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 1 Juli 2011

Yang menyatakan

(7)

Nama : Sambas Prasetya Program studi : Teknik mesin

Judul : Analisa Koefisien Perpindahan Kalor Eksperimen Untuk Aliran Evaporasi Dua Fasa Pada Kanal Mini Horizontal Dengan Refrigeran R22

Skripsi ini membahas mengenai koefisien perpindahan kalor aliran evaporasi dua fasa refrigrant R-22 pada kanal mini horizontal. Dimana flux kalor yang diberikan pada test section besarnya dapat divariasikan mulai dari 5 kW/m2s/d 15 kW/m2. Untuk bagian test section terbuat dari pipa stainless steel dengan diameter dalam 3 mm, diameter luar 5 mm dan panjang 1000 mm yang diberikan flux kalor yang seragam disepanjang pipa tersebut dengan mengalirkan arus listirk dan memberikan insulasi pada bagian luar test section untuk meminimalisasi kalor yang terbuang kelingkungan. Begitu pula dengan t emperatur saturasi divariasikan -5°C,0°C,5°C dan 10°C. Untuk memperoleh besarnya nilai koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa dilakukan dengan melakukan percobaan dan membandingkan hasilnya dengan menggunakan simulasi perh itungan dengan program MATLAB, dimana nantinya diperoleh nilai koefisien perpindahan kalor hasil pengukuran, perhitungan dengan menggunakan korelasi Chen. Pada aliran dua fasa, kualitas massa uap memiliki pengaruh yang tidak signifikan pada koefisien perpindahan kalor pada daerah kualitas rendah akan tetapi memiliki pengaruh yang signifikan pada daerah kualitas yang tinggi. Kenaikan koefisien perpindahan kalor dipengaruhi oleh heat flux yang diberikan. Dimana semakin besar heat flux yang diberikan maka koef isien perpindahan kalornya akan semakin besar pula.

Kata kunci:

(8)

Name : Sambas Prasetya Study program : Mechanical Engineering

Title : Analysis of Experimental Two-Phase Flow Boiling Heat

Transfer Coefficient in Horizontal Minichannel with Refrigerant R-22

This minithesis discuss about heat transfer coefficient of evaporation two phase flow in horizontal minichannel with refrigerant R -22. Heat flux given to the test section can be varied from 5 kW/m2up to 15 kW/m2. The test section was made of stainless steel tuve with inner diameter of 3 mm, outer diameter of 5 mm and length 1000 mm which was heated uniformly along the tuve by applying an electric current and outside of the test section was insulated well to prevent heat loss to surrounding environment. And also with saturation temperature from 0°C,5°C dan 10°C. To obtain two phase flow heat transfer coefficients were used simulation of calculation using MATLAB, which later, the value of heat transfer coefficient obtained were measurent and calculation were used Chen correlation. In Two-phase flow, mass vapour quality had insignificant effect in the lower quality región, but had significant effect in the higher quality región to heat transfer coefficient.. Increasing of heat transfer coefficient ere effected by addition of heat flux given in certain value. Higher heat flux given will result in higher value of heat transfer coefficient. .

Keywords:

(9)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.3 Ruang Lingkup Penulisan ... 2

1.4 Sistematika Penulisan ... 2

BAB 2. DASAR TEORI ... 4

2.1 Perpindahan Kalor ... 4

2.1.1 Konduksi ... 4

2.1.2 Konveksi ... 8

2.1.2.1 Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi ... 11

2.1.2.2 Konveksi Paksa Aliran Dalam Pipa ... 13

2.2 Perpindahan Kalor Pada Kondisi Pendidihan ( Boiling Heat Transfer) ... 15

2.2.1 Pool Boiling ... 17

2.2.1.1 Natural Convection boiling ... 18

2.2.1.2 Nucleat Boiling ... 19

2.2.1.3 Transition Boliling ... 22

2.2.1.4 Film Booling ... 23

(10)

3.2 Skematik alat uji ... 45

3.2.1 Prinsip Kerja Alat Uji ... 46

3.3 Kondisi Pengujian ... 47

3.4 Komponen Alat Uji dan Dasar Pemilihan ... 49

3.4.1 Pipa Tembaga ... 49

3.4.2 Refrigeran R-22 ... 49

3.4.3 Heater Tabung Refrigeran ... 50

3.4.4 Condensing Unit 3 PK ... 51 3.4.5 Heat Exchanger ... 51 3.4.6 Needle Valve ... 52 3.4.7 Sight Glass ... 52 3.4.8 Pressure Gauge ... 53 3.4.9 Test Section ... 53 3.4.10 Thermocouple ... 54 3.4.11 Heater Pipa ... 55 3.4.12 Check Valve ... 56 3.4.13 Reciever Tank ... 56 3.4.14 Coolbox ... 57 3.4.15 Timbangan Digital ... 58 3.4.16 Condensing Unit 1 PK ... 58

3.4.17 Data Aquitition (DAQ) ... 58

3.4.18 Computer Unit ... 59

3.5 Tes Kebocoran ... 60

3.6 Vacuum System ... 61

BAB 4. HASIL DAN ANALISA DATA ... 62

4.1 Perhitungan Koefisien Perpindahan Kalor ... 62

4.2 Perhitungan Koefisien Perpindahan Kalor Aliran Dua Fasa R -22 Dengan Menggunakan Korelasi Chen ... 65

4.2.1. Menentukan Panjang Subcooled ... 66

4.2.2. Menentukan Tekanan Saturas i Pada Tiap Lokasi Pengujian ... 66

4.2.3. Menentukan Kualitas Massa U ap Pada Tiap Lokasi Pengujian ... 66

4.2.4. Menentukan Besarnya Bilangan Reynolds Fasa Liquid Dan Gas .... 66

4.2.5. Menentukan Besarnya Faktor Gesekan ... 67

4.2.6. Menentukan Besarnya Par ameter Martinelli (X) ... 67

4.2.7. Menentukan Besarnya Faktor Pengali Gesekan Aliran Dua Fasa ( )... 682 4.2.8. Menentukan besarnya faktor pengali konveksi aliran dua fasa (F) ... 69

4.2.9. Menentukan Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi Fasa Liquid... 69

(11)

Boiling ... 70

4.2.12. Menentukan Besarnya Koefisien Perpindahan Kalor Aliran Dua Fasa R-22 Pada Tiap Titik Pengujian ... 70

4.3 Simulasi perhitungan dengan menggunakan MATLAB ... 71

4.4 Perhitungan Deviasi Standar Dan Mean Deviasi... 74

4.4.1 Perhitungan Mean Dan Average Deviasi Koefisien Perpindahan Kalor Dua Fasa ... 74

4.5 Analisa Data ... 77

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

5.1 Kesimpulan ... 84

5.2 Saran ... 85

DAFTAR REFERENSI ... 86

(12)

Gambar 2.1 Aliran kalor secara konduksi ... 5

Gambar 2.2 Konduksi pada silinder berongga ... 7

Gambar 2.3 Perkembangan Boundary Layer pada perpindahan kalor konveksi ... 9

Gambar 2.4 Aliran dalam pipa dengan fluks kalor permukaan konstan ... 13

Gambar 2.5 Proses didih ... 16

Gambar 2.6 Evaporasi ... 16

Gambar 2.7 Pool Boiling (a) Flow Boiling (b)... 17

Gambar 2.8 Subcooled Boiling (a) Saturated Boiling (b) ... 17

Gambar 2.9 Kurva Pendidihan Air Pada Tekanan 1 Atm ... 18

Gambar 2.10 Rezim Natural Convection Boiling ... 19

Gambar 2.11 Rezim Nucleat Boiling ... 19

Gambar 2.12 Pembentukan Gelembung Pertama Pada Titik Onset Of Boiling ... 20

Gambar 2.13 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Rendah... 20

Gambar 2.14 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Tinggi ... 21

Gambar 2.15 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Maksimum (Kritikal) ... 21

Gambar 2.16 Rezim Transition Boiling ... 22

Gambar 2.17 Rezim Film Boiling ... 23

Gambar 2.18 Proses Burnout Pada Elemen Pemanas ... 24

Gambar 2.19 Pola Aliran Dua Fasa Yang Terjadi Pada Pipa Horizontal ... 26

Gambar 2.20 Pola Aliran Dua Fasa Pada Pipa Horizontal ;(a) Pendidihan;(b )Kondensasi dengan flux massa tinggi ;(c) Kondensasi Dengan flux massa rendah ... 28

Gambar 2.21 Peta Pola Aliran Dua Fasa Pada Aliran Horizontal ... 30

Gambar 2.22 Fraksi Gas Dan Liquid Pada Aliran Dua Fasa ... 30

Gambar 2.23 P-h Diagram Untuk Bahan Murni ... 31

Gambar 2.24 Pendidihan Fluida Yang Mengalir Di Dalam Pipa Yang Dipanaskan ... 34

Gambar 2.25 Grafik Faktor Bilangan Reynold ,F ... 38

Gambar 2.26 Profil Temperatur pada Pool Boiling dan Convective Boiling pada superheat yang sama ... 43

Gambar 2.27 Faktor penekanan (suppression factor),S... 43

Gambar 3.1 Diagram Alir penelitian ... 44

Gambar 3.2 Skematik alat uji ... 45

Gambar 3.3 Pemberian flux kalor yang seragam di sepanjang test section ... 48

Gambar 3.4 Pengukuran temperatur permukaan disepanjang test section ... 48

Gambar 3.5 Pipa Tembaga ... 49

Gambar 3.6 Refrigeran R-22 ... 50

Gambar 3.7 Heater tabung refrigerant ... 50

Gambar 3.8 Condensing unit 3 PK... 51

Gambar 3.9 Heat exchanger... 51

Gambar 3.10 Needle valve ... 52

Gambar 3.11 Sight glass... 53

(13)

Gambar 3.17 Variable transformer ... 56

Gambar 3.18 Check valve... 56

Gambar 3.19 Reciever tank ... 57

Gambar 3.20 Cool box ... 57

Gambar 3.21 Timbangan digital ... 58

Gambar 3.22 Condensing unit 1 PK... 58

Gambar 3.23 Data aquitition ... 59

Gambar 3.24 Komputer ... 59

Gambar 3.25 Software LabVIEW 8.5 ... 60

Gambar 3.26 Vacuum system ... 61

Gambar 4.1 Penampang Test Section ... 62

Gambar 4.2 Screenshot perhitungan koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa R-22 kondisi 3 menggunakan program MATLAB ... 71

Gambar 4.3 Hasil perhitungan pada workspace MATLAB dengan data pada kondisi 3 ... 72

Gambar 4.4 Grafik hTPpengukuran dan perhitungan dengan kualitas massa uap (x) pada heat flux 5 kW/m2dan mass flux 52,4 kg/m2s... 77

Gambar 4.5 Grafik hTPpengukuran dan perhitungan dengan kualitas massa uap (x) pada heat flux 10 kW/m2dan mass flux 289 kg/m2s... 78

Gambar 4.6 Grafik hTPpengukuran dan perhitungan dengan kualitas massa uap (x) pada heat flux 15 kW/m2dan mass flux 162 kg/m2s... 78

Gambar 4.7 Deviasi hTPhasil perhitungan korelasi Chen terhadap kualitas massa uap (x) pada heat flux 5 kW/m2... 79

Gambar 4.8 Deviasi hTPhasil perhitungan korelasi Chen terhadap kualitas massa uap (x) pada heat flux 10 kW/m2... 79

Gambar 4.9 Deviasi hTPhasil perhitungan korelasi Chen terhadap kualitas massa uap (x) pada heat flux 15 kW/m2... 80

Gambar 4.10 Pengaruh heat flux terhadap koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa hasil pengukuran ... 81

Gambar 4.11 Pengaruh heat flux terhadap koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa hasil korelasi Chen ... 82

Gambar 4.12 Deviasi koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa hasil korelasi Chen dengan pengukuran ... 83

(14)

Tabel 2.1 Nilai Konduktivitas termal ... 6

Tabel 2.2 Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi Untuk Beberapa Jenis Fluida... 10

Tabel 2.3 Parameter Chisolm Pada Beberapa kondisi Aliran Fasa Liquid Dan Gas... 39

Tabel 4.1 Data Input Kondisi 1 ... 63

Tabel 4.2 Data Input Kondisi 2 ... 63

Tabel 4.3 Data input kondisi 3 ... 64

Tabel 4.4 Parameter Chisolm Pada Beberapa Kombinasi Aliran Lainnya ... 69

Tabel 4.5 Koefisien perpindahan kalor dua fasa R -22 pada kondisi 1 ... 73

Tabel 4.6 Koefisien perpindahan kal or dua fasa R-22 pada kondisi 2 ... 73

Tabel 4.7 Koefisien perpindahan kalor dua fasa R -22 pada kondisi 3 ... 74

Tabel 4.8 Deviasi koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa R -22 pada kondisi 1 ... 75

Tabel 4.9 Deviasi koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa R -22 pada kondisi 2 ... 76

Tabel 4.10 Deviasi koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa R -22 pada kondisi 3 ... 76

(15)

1.1 Latar Belakang

HCFC (Hydro-Chloro-Fluoro-Carbon) atau biasa disebut R-22 merupakan refrigeran yang memegang peranan penting dalam sistem refrigerasi . Hal ini dikarenakan R-22 memiliki properti fisika dan termal yang baik sebagai refrigeran, stabil, tidak mudah terbakar, tidak beracun dan kompatibel terhadap sebagian besar bahan komponen dalam sistem refrigerasi. Akan tetapi setelah masyarakat mengetahui hipotesa bahwa R-22 termasuk Ozone Depleting Substance (ODS), yaitu zat yang dapat menyebabkan kerusakan ozon . Dimana ikatan C-Cl pada R-22 akan terputus menghasilkan radikal -radikal bebas klorin. Radikal-radikal inilah yang merusak ozon . Oleh karena itu dalam pemilihan refrigeran alternatif ramah lingkungan pengganti R-22 seperti R-134, propane, CO2harus memperhatikan properti dari R-22.

Selain itu kesadaran baru tentang manfaat dari proses intensifikasi telah mendorong permintaan akan ukuran desain alat – alat proses industri yang lebih kecil. Begitu pula pada komponen - komponen seperti evaporator, kondenser pada sistem refrigerasi dan air conditioning. Komponen tersebut memerlukan desain yang lebih kecil, salah satu nya adalah pipa kanal mini yang telah banyak digunakan dalam proses industri. Namun , perpindahan kalor pada aliran dua fasa pada pipa kanal mini tidak dapat begitu saja langsung di prediksi dari pipa konvensional dengan menggunakan prosedur – prosedur yang sudah ada

sebelumnya (Choi et al, 2007). Choi (2007) juga mengungkapkan bahwa data yang tersedia untuk pe rpindahan kalor pada pipa kanal mini sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan pengujian langsung pada pipa kanal mini untuk memperoleh data – data yang lebih akurat.

Dalam studi ini akan dilakukan perhitungan dengan beberapa metode yang di gunakan untuk mempredikisi koefisien perpindahan kalor pada refrigeran R-22 pada pipa kanal mini. Sehingga diharapkan dapat dijadikan dasar pembanding dalam pemilihan refrigerant alternatif.

(16)

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dan manfaat dari pengujian ini adalah :

1. Mencari deviasi antara nilai koefisien perpindahan kalor eksperimen terhadap penggunaan korelasi Chen dan perhitungan menggunakan MATLAB.

2. Mengetahui pengaruh mass flux dan heat flux pada koefisien perpindahan kalor

1.3 Ruang Lingkup Penulisan

Pembatasan masalah dalam penulisan ini adalah : 1. Perpindahan panas pada pipa kanal mini horisontal. 2. Aliran dua fase dalam pipa horisontal .

3. Perangkat lunak yang di gunakan adalah MATLAB .

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematikan penulisan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Berisikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan diadakannya penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB 2. DASAR TEORI

Bab tinjauan pustaka, berisikan teori – teori, literatur dan informasi yang digunakan dalam mendukung penelitian ini.

BAB 3. PERANGKAT DAN ASPEK PENGUJIAN

Bab ini berisikan perangkat -perangkat yang di gunakan dalam penelitian dan aspek – aspek yang menunjang dalam pengujian.

BAB 4. HASIL DAN ANALISA

Bab ini berisi tentang hasil yang diperoleh dari proses pengujian dan verifikasi dari hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi dalam pengujian.

(17)

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan berisi kesimpu lan yang diambil dari analisa Tugas akhir dan saran – saran untuk tahap pengembangan selanj utnya yang mungkin dilakukan.

(18)

2.1 Perpindahan Kalor

Perpindahan kalor (heat transfer) ialah ilmu untuk meramalkan perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan suhu diantara benda atau material. Dimana energi yg dipindah itu dinamakan kalor atau kalor (heat). Kalor telah diketahui dapat berpindah dari tempat dengan temperatur lebih tinggi ke tempat dengan temperatur lebih rendah. Terdapat beberapa macam proses atau mekanisme dari perpindahan kalor yang terjadi yaitu diantaranya konduksi dan konveksi.

2.1.1 Konduksi

Konduksi dapat didefinisikan sebgai proses perpindahan kalor atau panas dari satu daerah yang bertemperatur lebih tinggi ke daerah yang bertemperatur lebih rendah didalam satu medium (padat, cair, atau gas) atau antara medium yang berlainan yang berkontak fisik secara langsung. Pada aliran kalor secara konduksi, energi dipindihakan dengan hubungan molekul secara langsung tanpa perpindahan yang berarti pada molekul-molekul tersebut. Molekul-molekul yang berada pada daerah yang bertemperatur tinggi akan memindahkan bagian dari energi yang dimilikinya pada molekul-molekul yang berada pada daerah yang bertemperatur lebih rendah. Perpindahan energi tersebut dapat berlangsung dengan tumbukan elastis (elastic impact), misalnya dalam fluida, atau dengan difusi dengan elektron-elektron yang bergerak lebih cepat, dari daerah yang bertemperatur yang lebih tinggi ke daerah yang bertemperatur yang lebih rendah, misalnya pada logam-logam.

Perpindahan kalor konduksi pada akhirnya akan menuju kesetimbangan temperatur. Hubungan dasar perpindahan kalor secara konduksi diusulkan oleh seorang ilmuwan fisika yang bernama Joseph Fourier (Holman, 2002). Hubungan ini menyatakan bahwa laju aliran kalor dengan cara konduksi dalam suatu material, merupakan hasil perkalian dari tiga buah besaran :

(19)

1. k = Konduktivitas termal bahan

2. A = Luas penampang yang dialiri kalor secara konduksi yang diukur tegak lurus dengan arah aliran.

3.

=

Gradien temperature pada arah x

Menurut Dewitt dan Incropera, (2002), secara sistematis persamaan konduksi dalam arah satu dimensi dengan kondisi steady state dapat ditulis :

. . (2.1)

Untuk satuan persamaan (2.1) maka, dinyatakan dalam watt, luas A dalam m2dan gradient suhu dalamoC. Konduktivitas termal K adalah sifat material yang menunjukan jumlah kalor yang dapat mengalir melalui satu satuan K dinyatakan dalam W/m .oK.

Gambar 2.1. Aliran kalor secara konduksi (Frank P. Incropera and David P. Dewitt, 2002)

Persamaan (2.1) dapat ditulis sebagai : .

(20)

. (2.3) Dimana :

, . (2.4)

, Tahanan termal konduksi (Thermal resistance for conduction)

Sedangkan untuk nilai konduktivias termal nilainya berbeda-beda tergantung dari material benda tersebut, berikut ini konduktivitas beberapa bahan/ material yang dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai Konduktivitas termal

Material Thermal conductivity

(W/m.K) Cooper (Pure) 399 Gold (Pure) 317 Aluminium (Pure) 237 Iron (Pure) 80.2 Carbon steel (1%) 43 Stainless steel (18/8) 15.1 Glass 0.81 Plastics 0.2 – 0.3

Wood (shredded/ cemented) 0.087

Cork 0.039

Water (liquid) 0.6

Ethylene glycol (liquid) 0.26

Hydrogen (gas) 0.18

Benzene (liquid) 0.159

Air 0.026

(Kharagpur 2008)

Apabila sistem bekerja pada sistem kordinat silinder seperti pada gambar 2.2, dengan jari-jari dalam (r1), jari-jari luar (r2) dan panjang (L) dialiri kalor

(21)

sebesar q. Temperatur permukaan dalam (T1)dan temperatur permukaan luar (T2), konduktivitas termal silinder (k). Aliran kalor hanya berlangsung ke arah radial (arah r) saja. Luas bidang aliran kalor dalam system silinder ini adalah laju perpindahan kalor konduksi dapat dinyatakan sebagai berikut (Dewitt dan Incropera, 2002) :

2 (2.5)

Gambar 2.2 Konduksi pada silinder berongga (Frank P. Incropera and David P. Dewitt, 2002)

Sehingga hukum Fourier konduksi kalor untuk silinder berongga menjadi :

2 (2.6)

Kondisi batas (Boundary Condition, BC) :

(i) r = r1 T = T1

(ii) r = r2 T = T2

Dengan kondisi batas di atas, persamaan aliran kalor untuk koordinat silinder adalah :

1

2

(22)

2.1.2 Konveksi

Perpindahan kalor konveksi merupakan kombinasi dari perpindahan kalor konduksi (Heat conduction), penyimpanan energi (Energy storage) dan percampuran gerakan (Mixing motion).

Perpindahan kalor konveksi merupakan mekanisme perpindahan energi antara medium yang satu (misalnya, padat) dengan medium yang lain (misalnya, cair atau gas). Berikut ini dua langkah perpindahan energi secara konveksi pada aliran fluida dalam pipa dimana temperatur permukaan pipa lebih tinggi daripada temperatur fluida. Pertama, energi kalor mengalir secara konduksi dari permukaan ke partikel-partikel fluida yang berbatasan dengan permukaan pipa. Perpindahan kalor secara konduksi ini terjadi pada daerah dekat permukaan dimana kecepatan fluida sangat rendah yaitu pada batas lapisan antara permukaan dengan fluida dimana kecepatan aliran fluida sama dengan nol. Energi kalor yang dipindahkan tersebut akan menaikan temperatur dan energi dalam partikel-partikel fluida. Kedua, partikel-partikel fluida tersebut akan bergerak ke daerah yang bertemperatur lebih rendah dalam fluida tersebut. Pergerakan fluida tersebut disebabkan karena perbedaan massa jenis sebagai akibat kenaikan temperatur (Dewitt dan Incroperra, 2002).

Pada partikel yang mempunyai energi dalam lebih tinggi daripada partikel-partikel fluida yang lain akan terjadi percampuran dan perpindahan energi. Percampuran dan perpindahan energi yang dimaksud adalah percampuran dan perpindahan energi antara partikel yang mempunyai energi dalam yang lebih tinggi kepada partikel-partikel fluida yang lain.

(23)

Gambar 2.3. Perkembangan Boundary Layer pada perpindahan kalor konveksi (Frank P. Incropera and David P. Dewitt, 2002)

Pada umumnya, energi yang dipindahkan berupa kalor sensibel atau energi dalam (Internal energy), energi fluida (energy of the fluid). Walaupun demikian pada proses perpindahan kalor konveksi ada tambahan yaitu, perubahan kalor laten. Perubahan kalor laten ini biasanya dihubungkan dengan perubahan fase antara cair dan uap dari suatu fluida. Perubahan fase dalam hal ini adalah pendidihan (boiling) dan kondensasi (condensation).

Menurut cara beregeraknya aliran fluida maka perpindahan kalor konveksi diklasifikasikan menjadi 2 cara :

a. Konveksi bebas (Free / natural convection) b. Konveksi paksa (Forced convection)

Bila pencampurannya semata-mata akibat dari perbedaan massa jenis fluida yang disebakan oleh gradien temperatur, maka proses ini disebut konveksi bebas atau free / natural convection sedangkan bila pergerakan percampuran disebabkan oleh suatu alat dari luar seperti pompa atau kipas, maka prosesnya disebut konveksi paksa atau forced convection.

Menurut Dewitt dan Incropera, (2002), persamaan dasar laju perpindahan kalor secara konveksi antara suatu permukaan dengan fluida disekelilingnya dinyatakan dengan hukum pendinginan Newton (Newton’s law of cooling) sebagai berikut :

Jika T s>T∞:

(24)

Dimana : q

Konv = Laju perpindahan kalor konveksi (Watt)

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2.K) A = Luas permukaan perpindahan kalor (m2)

T

s = Temperatur permukaan (K) T = Temperatur fluida (K)

Pada perpindahan kalor yang terjadi secara konveksi temperatur fluida yang berdekatan dengan permukaan benda padat akan sama. Sedangkan koefisien laju perpindahan kalor konveksi bukanlah merupakan sifat atau karakteristik dari fluida. Koefisien laju perpindahan kalor konveksi merupakan parameter yang ditentukan dengan percobaan yang besar nilainya tergantung dari semua variabel yang mempengaruhi proses konveksi seperti geometri permukaan, gerakan alami dari fluida, karakteristik dari fluida, dan kecepatan fluida. Berikut ini diberikan beberapa nilai dari koefisien perpindahan kalor konveksi untuk beberapa jenis fluida pada tabel di bawah ini

Tabel 2. 2 Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi Untuk Beberapa Jenis Fluida

(Kharagpur 2008)

Dilihat dari satuannya, koefisien perpindahan kalor konveksi dapat didefinisikan sebagai besarnya laju perpindahan kalor yang terjadi antara permukaan zat padat dengan fluida per satuan luas permukaan per satuan perbedaan tempertur. Penentuan besarnya koefisien perpindahan kalor konveksi dapat dihitung dengan menggunakan beberapa persamaan dimana setiap

Type of fluid and flow Convective heat transfer coefficient (W/m2K)

Air, free convection 6-30

Water, free convection 20-100

Air or superheated steam, forced convection 30-300

Oil, forced convection 60-1800

Water, forced convection 300-18000

Synthetic refrigrants, boiling 500-3000

Water, boiling 3000-60000

Synthetic refrigrants, condensing 1500-5000

(25)

persamaan tersebut hanya cocok digunakan untuk kondisi tertentu, seperti aliran terbuka pada plat datar atau aliran di dalam pipa.

2.1.2.1 Koefisien Perpindahan Kalor Konveksi

Pada hukum Newton pendinginan, koefisien h adalah koefisien perpindahan kalor konveksi dimana merupakan konstanta proporsionalitas pada persamaan pada hukum Newton pendinginan. Pada persamaan 2.5 yang mungkin serupa dengan Hukum Fourier tentang konduksi kalor. Namun, koefisien “h” merupakan koefisien yang sama sekali berbeda dengan konduktivitas termal “k” yang muncul sebagai konstanta proporsionalitas dalam hukum Fourier. Secara khusus, h bukanlah merupakan properties dari material. Melainkan nilai koefisien h bergantung pada geometri, properties fluida, gerak, dan dalam beberapa kasus perbedaan suhu, ∆T=(Ts --T∞), dimana

h = f (geometri, gerakan fluida, sifat fluida, ∆T)

Dalam menentukan nilai dari koefisien perpindahan kalor konveksi perlu diperhatikan beberapa parameter tak berdimensi (dimensionless parameter) dimana:

- Sejumlah besar parameter dibutuhkan untuk menjelaskan perpindahan kalor. - Parameter tersebut dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu

nilai kecil parameter tak berdimensi.

Dalam hal ini, memberikan persamaan umum menjadi lebih sederhana dimana koefisien perpindahan kalor dapat dihitung. Adapun parameter tak berdimensi seperti bilangan Reynolds, bilangan Nusselt, dan bilangan Prandtl biasa digunakan dalam menentukan nilai dari koefisien perpindahan kalor.

a) Bilangan Reynolds

Bilangan Reynolds merupakan rasio inersia dan viskositas dalam aliran. Bilangan Reynolds digunakan untuk menentukan aliran fluida apakah laminar, turbulen, dan transisi. Untuk menentukan nilai dari Reynolds number (Re) untuk aliran dalam pipa digunakan :

(2.9) Dimana :

(26)

Re : Bilangan Reynolds

G : kecepatan aliran massa (kg/m2s)

D : diameter pipa (m)

µ : viskositas dinamik fluida (Ns/m2)

b) Bilangan Nusselt

Bilangan Nusselt (Nu) yang dapat didefinisikan sebagai rasio perpindahan kalor konveksi fluuida dengan perpindahan kalor konduksi fluida dalam kondisi yang sama. Sehingga bilangan Nusselt :

∆ (2.10)

Bilangan Nusselt untuk alran dalam pipa dapat di tuliskan :

(2.11) Dimana :

Nu : Bilangan Nusselt

h : Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2.K)

L : panjang (m)

D : diameter pipa (m)

kf : konduktifitas kalor fluida (W/m.K)

Dengan bilangan Nusselt, koefisien perpindahan kalor dengan mudah dapat dihitung.

c) Bilangan Prandtl

Bilangan Prandtl merupakan rasio kinematik viskositas (v) fluida dengan difusivitas kalor (α), dimana bilangan Prandtl merupakan properties thermodinamika dari fluida.

(2.12) Dimana :

Pr : Bilangan Prandtl

ν : viskositas kinematik fluida (m2/s)

(27)

cp : kalor spesifik (J/kg⋅ °K)

μ : viskositas dinamik fluida (N⋅ s/m2) kf : konduktifitas kalor fluida (W/m.K)

2.1.2.2 Konveksi Paksa Aliran dalam Pipa

Perpindahan kalor aliran dalam pipa menjadi subyek penting akibat aplikasinya di bidang industri. Sehingga, banyak korelasi-korelasi yang digunakan untuk menghitung koefisien perpindahan kalor untuk aliran dalam pipa. Korelasi diberikan untuk masing-masing bergantung pada rezim aliran; turbulen, transisi, dan laminar.

Situasi fisik yang diuraikan oleh korelasi digambarkan dalam Gambar 2.4 fluida memasuki pipa pada temperatur (Ti) dan keluar pada pada temperature (Te). Dimana fluks kalor permukaan pipa ( ) adalah konstan. Berdasar rezim alirannya ada beberapa korelasi yang digunakan untuk menetukan nilai koefisien perpindahan kalor konveksi.

Gambar 2.4 Aliran dalam pipa dengan fluks kalor permukaan konstan (Cengel, Y. A., 2003)

Adapun korelasi – korelasi adalah sebagai berikut :  Aliran laminar (Re<2300)

Untuk rezim aliran ini menurut Incropera dan De Witt, 2002 dimana aliran fluida adalah laminar sehingga efek dari kekasaran permukaan dan factor gesekan dapat diabaikan. Bilangan Nusselt pada rezim ini adalah :

4.36 (2.13)

Dari persamaan 2.11 dan persamaan 2.13 didapat untuk persamaan koefisien perpindahan konveksi (hf) :

(28)

4.36 (2.14)  Aliran transisi (2300 < Re < 104)

Untuk rezim aliran ini korelasi yang sering digunakan untuk menentukan nilai koefisien perpindahan konveksi adalah korelasi Gnielinski (1976) dimana range bilangan Prandtl adalah 0.5 ≤ Pr ≤ 2000. Bilangan Nusselt pada rezim ini dimana faktor gesekan fluida (ff) adalah :

. ⁄ / . (2.15)

Untuk nilai dari factor gesek dimana factor gesek pada likuid (ff ) dan factor

gesek pada gas ( fg). Dimana nilai dari factor gesek dilihat berdasarkan

bilangan Reynolds dari fluida. Dimana

Re < 2300 f =16 / Re (2.16)

Re > 3000 f =0.079 Re-0.25 (2.17)

Dari persamaan 2.11 dan persamaan 2.15 didapat untuk persamaan koefisien perpindahan konveksi (hf) :

. ⁄ / . (2.18)

 Aliran turbulen (104< Re < 5 x106)

Untuk rezim aliran ini korelasi yang sering digunakan untuk menentukan nilai koefisien perpindahan konveksi adalah korelasi Petukhov dan Popov (1963) dimana range bilangan Prandtl adalah 0.5 ≤ Pr ≤ 2000. Bilangan Nusselt pada rezim ini dimana adalah :

. . ⁄ / . (2.19)

Dari persamaan 2.11 dan persamaan 2.16 didapat untuk persamaan koefisien perpindahan konveksi (hf) :

(29)

 Aliran turbulen (Re > 5 x106)

Untuk aliran turbulen dengan nilai bilangan Reynolds yang tinggi digunakan persamaan Dittus Bolter dimana range bilangan Prandtl adalah 0.7 ≤ Pr ≤ 160. Bilangan Nusselt pada rezim ini dimana adalah :

0.023 . (2.21)

Dimana untuk nilai n = 0.4 adalah untuk proses pemanasan (heating) dan untuk nilai n=0.3 adalah untuk proses pendingan (cooling). Dari persamaan 2.11 dan persamaan 2.18 didapat untuk persamaan koefisien perpindahan konveksi (hf) :

0.023 . . (2.22)

2.2 Perpindahan Kalor Pada Kondisi Pendidihan (Boiling Heat Transfer)

Banyak dari aplikasi-aplikasi teknik berhubungan dengan perpindahan kalor kondensasi dan evaporasi. Dalam sistem pendingin, refrigeran menyerap kalor pada proses didih (boiling) di evaporator, dan melepas kalor pada proses kondensasi di condenser. Dan juga uap pada pembangkit (power plant), kalor ditransfer ke uap di boiler dimana air menguap, dan sisa kalor dibuang dari uap di dalam condenser, dimana uap terkondensasi.

Proses didih adalah perubahan fasa dari cair menjadi gas sama halnya proses evaporasi, akan tetapi memiliki perbedaan yg sangat signifikan. Dimana proses evaporasi terjadi pada interface cair-gas saat tekanan gas (vapor pressure) lebih kecil dari tekanan saturasi (saturation pressure) cairan pada temperature tertentu. Sedangkan proses didih terjadi pada interface padat-cair dimana cairan disentuhkan atau kontak langsung dengan permukaan zat padat (solid) yang dijaga temperaturnya, dimana temperature permukaan lebih tinggi dari temperatur saturasi cairan. Seperti pada Gambar 2.5 pada proses evaporasi tidak terjadi gelembung (bubble) sedangkan pada proses pendidihan terjadi gelembung.

(30)

Gambar 2.5 Proses didih (Cengel, Y. A., 2003)

Sebagai contoh air danau dengan temperatur 20°C akan berevaporasi di udara yang memiliki temperatur 20°C dengan kelembaban udara 60 %, dikarenakan tekanan saturasi air danau pada temperatur 20°C sebesar 2.3 kPa dan tekanan uap udara pada temperatur 20°C dengan kelembaban udara 60 % sebesar 1.4 kPa seperti yang diilustrasikan oleh gambar di bawah ini.

Gambar 2.6 Evaporasi (Yunus A. Cenge 2003)

Pendidihan dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu pool boiling dan flow

boiling. Pendidiahan dikatakan sebagai pool boiling jika fluida liquidnya tidak

mengalir atau dalam keadaan diam,sedangkan dikatakan flow boiling jika fluida liquidnya mengalir pada proses pendidihan seperti yang diilustrasikan oleh gambar berikut :

(31)

Gambar 2.7 Pool Boiling (a) Flow Boiling (b)

(Yunus A. Cenge 2003)

Lebih lanjut pendidihan pool boiling dan flow boiling diklasifikasikan lagi menjadi subcooled boiling dan saturated boiling. Dikatakan subcooled boiling jika bulk temperatur dari fluida liquid masih berada di bawah temperatur saturasinya dan dikatakan saturated boiling jika bulk temperature dari fluida liquid berada pada temperature saturasinya seperti yang diilustrasikan oleh gambar di bawah ini :

Gambar 2.8 Subcooled Boiling (a) Saturated Boiling (b)

(Yunus A. Cenge 2003) 2.2.1 Pool Boiling

Seperti yang telah diketahui sebelumnya yaitu pendidihan dikatakan pool

boiling jika fluida liquid pada proses pendidihan dalam keadaan diam (stationary)

atau tanpa adanya aliran. Pada kondisi pool boiling pergerakan fluida dikarenakan oleh arus dari konveksi alami dan pergerakan gelembung dipengaruhi oleh gaya

(32)

memanaskan air di panci di atas kompor. Ternyata pada pendidihan terdapat beberapa rezim hal tersebut diperkenalkan Oleh Nukiyama pada tahun 1934. Pada percobaanya Nukiyama menggunakan pemanas elektirk dengan kawat nikrom dan platina yang dicelupkan kedalam air.

Nukiyama menyadari bahwa bentuk dari pendidihan yang terjadi berbeda-beda, yang tergantung pada besarnya nilai excess temperature (∆Te) dimana besarnya adalah temperatur permukaan solid yang dipanaskan (Ts) dikurangi dengan termperatur saturasi air (Tsat) atau ∆Te = Ts-Tsat . Kemudian nukiyama membagi rezim dari pendidihan tersebut kedalam 4 rezim yang berbeda, yaitu

natural convection boiling, nucleat boiling,transition boiling dan film boiling.

Rezim-rezim pendidihan tersebut diilustrasikan pada kurva pendidihan seperti yang terlihat pada gambar kurva berikut ini :

Gambar 2.9 Kurva Pendidihan Air Pada Tekanan 1 Atm

(Yunus A. Cenge 2003)

2.2.1.1 Natural Convection boiling (Sampai Dengan Titik A Pada Kurva) Natural convection boiling atau free convection boiling terjadi ketika ∆Te

(33)

di atas sedikit dari temperatur saturasi liquid untuk mendukung pembentukan gelembung.pada kondisi ini pergerakan fluida dipengaruhi oleh arus natural konveksi dan perpindahan kalor yang terjadi ialah secara konveksi dari permukaan yang dipanaskan ke fluida liquid yang bergerak naik turun. Di bawah ini ialah ilustrasi dari rezim natural convection boiling :

Gambar 2.10 Rezim Natural Convection Boiling

(Yunus A. Cenge 2003 , John G. Collier 1994)

2.2.1.2 Nucleat Boiling (Antara Titik B dan C)

Kondisi ini terjadi ketika temperature excess pada range 5 ºC ≤ ∆Te ≤ 30 ºC.seperti yang diilustrasikan oleh gambar dibawah ini :

Gambar 2.11 Rezim Nucleat Boiling

(Yunus A. Cenge 2003)

Pada titik onset of boiling / ONB (pada titik A di kurva) gelembung pertama kali mulai terbentuk pada tempat-tempat tertentu pada permukaan yang dipanaskan seperti yang diilustrasikan oleh gambar dibawah ini :

(34)

Gambar 2.12 Pembentukan Gelembung Pertama Pada Titik Onset Of Boiling (John G. Collier 1994)

Pada rezim nucleat boiling ini dapat dibagi menjadi dua daerah yang berbeda, yaitu daerah A – B dengan flux kalor rendah, dimana pada daerah ini terbentuk gelembung yang disebut dengan isolated bubble pada berbagai daerah inti (nucleation) tertentu pada permukaan yang dipanaskan, akan tetapi gelembung ini bergerak tidak sampai ke permukaan karena akan dihilangkan pada liquid segera setelah terpisah dari permukaan. Hal ini dikarenakan gelembung terkondensasi oleh liquid yang berada disekitarnya dikarenakan temperatur liquid disekitar gelembung lebih rendah dari pada temperatur gelembung tersebut. Berikut ini adalah ilustrasi gambar pada rezim nucleat boiling pada flux kalor rendah.

Gambar 2.13 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Rendah

(John G. Collier 1994)

Sedangkan ruang kosong yang ditinggalkan oleh gelembung yang bergerak keatas nantinya akan diisi oleh liquid,proses ini akan terus berulang. Pada daerah ini sebagian besar pertukaran kalor terjadi secara konveksi langsung yaitu dari permukaan yang dipanaskan ke liquid yang bergerak pada permukaan, bukan melalui vapour bubble yang bergerak naik keatas dari permukaan.

(35)

Pada daerah B – C dengan flux kalor tinggi, dimana temperatur permukaan yang dipanaskan akan mengalami kenaikan lebih lanjut, dan gelembung terbentuk dengan laju yang besar pada banyak daerah inti (nucleation), dan membentuk kolom uap yang kontinyu pada liquid. Dimana gelembung tersebut nantinya bergerak keatas menuju permukaan dan pecah, yang kemudian akan mengeluarkan uap yang ada didalamnya. Berikut ini adalah ilustrasi gambar pada rezim nucleat boiling dengan flux kalor tinggi.

Gambar 2.14 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Tinggi (John G. Collier 1994)

Pada nilai ∆Te yang besar, laju evaporasi yang terjadi pada permukaan yang dipanakan menjadi tinggi, sehingga menyebabkan sebagian besar permukaan yang dipanaskan akan diselimuti oleh gelembung. Hal ini membuat liquid sulit untuk mencapai dan membasahi permukaan yang dipanaskan. Akibatnya, flux kalor akan mengalami kenaikan dengan laju yang rendah yang diikuti dengan kenaikan ∆Te,dan flux kalor akan mencapai maximum pada titik C. Dimana pada titik ini flux kalor disebut dengan flux kalor kritikal, dimana untuk air flux kalor kritikalnya melebihi 1 MW / m2. Berikut di bawah ini adalah ilustrasi gambar dari rezim nucleat boiling dengan flux kalor kritikal atau maksimum.

Gambar 2.15 Nucleat Boiling Dengan Flux Kalor Maksimum (Kritikal) (Yunus A. Cenge 2003 , John G. Collier 1994)

(36)

Pada rezim ini untuk menghitung besarnya koefisien perpindahan kalor yang terjadi, oleh cooper (1984) diberikan persamaan sebagai berikut :

0.55 0.5 0.67 12 . 0 ln 4343 . 0 55P P M q hNCBrr   (2.23) Dimana : Pr = crit sat P P

(penurunan tekanan dengan range 0.001 s/d 0.9) M = Berat molekul (kg/kmol)

q = heat flux (w/m2)

2.2.1.3 Transition Boiling (antara titik C dan D)

Kondisi ini terjadi pada range 30 ºC ≤ ∆Te ≤ 120 ºC, yang biasa disebut juga dengan film boiling yang tidak stabil atau partial film boiling. Ketika temperatur permukaan yang dipanaskan dan ∆Te dinaikan melebihi titik C maka

heat flux akan mengalami penurunan, seperti yang dapat dilihat pada kurva

pemanasan. Hal ini terjadi karena sebagaian besar fraksi permukaan heater diselimuti oleh lapisan gelembung (vapour film), yang berperan sebagai insulasi dengan konduktivitas termal yang lebih rendah dibandingkan liquid. Pada rezim transisi ini baik nucleat maupun film boiling terjadi secara parsial (sebagian). Dimana nantinya nucleat boiling pada titik C akan digantikan seluruhnya dengan

film boiling pada titik D. Berikut di bawah ini adalah ilustrasi gambar dari rezim transition boiling.

Gambar 2.16 Rezim Transition Boiling

(37)

2.2.1.4 Film Boiling (Melewati titik D pada kurva)

Kondisi ini terjadi ketika 120 ºC ≤ ∆Te. Pada kondisi ini permukaan

heater seluruhnya diselimuti oleh film vapor yang stabil dan kontinyu. Seperti

terlihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.17 Rezim Film Boiling

(Yunus A. Cenge 2003 , John G. Collier 1994)

Pada point D inilah nilai minimum flux kalor dicapai, yang dikenal dengan titik Leidenfrost. Pada rezim ini perpindahan kalor yang terjadi dari permukaan yang dipanaskan ke liquid yaitu secara konduksi dan radiasi melalui lapisan gelembung uap (film vapour).

Jenis proses boiling tidak akan selalu sama mengikuti kurva boiling setelah melewati point C pada kurva. Nukiyama menyadarinya, ketika dia menggunakan kawat nikrom pada percobaannya yang pertama sebagai elemen pemanas ternyata mengalami burnout ketika dia memberikan daya yang besarnya sedikit diatas kritikal flux kalornya. Fenomena burnout tersebut dapat terjadi karena pada point C ini fluida sudah tidak dapat menyerap energi lagi ketika ∆Te dinaikan. Oleh karena itu energi tersebut diserap oleh heater sehingga mengakibatkan terjadinya kenaikan temperatur pada heater (Ts). Hal ini akan terus beranjut sampai pada akhirnya terjadi loncatan temperature yang mencapai titik leleh material heater tersebut yang nantinya akan terjadi burnout. Perhatikan kurva dibawah ini.

(38)

Gambar 2.18 Proses Burnout Pada Elemen Pemanas

(Yunus A. Cengel 2003)

Oleh sebab itu point C pada kurva pemanasan sering disebut dengan burnout

point, sedangkan flux kalornya ialah burnout heat flux. 2.3 Aliran Dua Fasa (Two Phase Flow)

Aliran dua fasa yaitu aliran fluida dimana terdiri dari fasa liquid dan fasa gas yang biasanya terjadi pada proses pendidihan atau kondensasi. Untuk mempelajari dan menganalisa aliran dua fasa dilakukan beberapa macam asumsi yang umumnya digunakan diantaranya ;

a) Model aliran homogen (homogeneous flow model)

Pada metode analisa ini mengasumsikan, bahwa aliran dua fasa sebagai aliran satu fasa.

b) Model aliran terpisah (the separated flow model)

Pada pendekatan ini, aliran dua fasa dianggap sebagai aliran yang terpisah yaitu aliran dengan fasa liquid dan fasa gas dimana masing-masing fasa memiliki persamaannya masing-masing.

c) Model pola aliran (flow pattern model)

Pada pendekatan ini aliran dua fasa dinggap tersusun oleh satu dari tiga atau empat geometri yang telah ditentukan. Geometeri tersebut berdasarkan pada variasi konfigurasi dari pola aliran yang ditemukan

(39)

ketika fasa gas dan fasa liquid secara bersamaan mengalir pada suatu kanal.

Pada aliran dua fasa, konfigurasi yang dibentuk oleh fasa gas dan fasa liquid mempunyai bentuk-bentuk tertentu, konfigurasi - konfigurasi yang disusun oleh fasa gas dan fasa liquid disebut dengan pola aliran (flow

pattern).

Berbagai macam teknik dan cara telah dilakukan untuk mempelajari pola aliran dua fasa pada kanal / pipa yang dipanaskan maupun tidak dipanaskan, seperti yang dilakukan oleh Hewitt (1978), dengan menggunakan kanal transparan dan juga oleh Derbyshire (1964) dan Hewit (1978) dengan menggunakan

X-radiography. Kemudian, oleh Alves (1954) diperkenalkan pola aliran dua fasa

yang terjadi pada kanal horizontal seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.19, yaitu antara lain :

a) Bubbly flow

Pada pola aliran ini,fasa gas atau uap tersebar sebagai gelembung diskrit (terputus-putus) pada fasa liquid dengan ukuran kecil dimana gelembung uap tersebut bergerak menuju ke setengah bagian atas pipa.

b) Plug flow

Pada pola aliran ini gelembung gas atau uap besarnya kurang lebih mendekati besarnya diameter pipa. Ujung dari gelembungnya mempunyai karakteristik bentuk seperti tutup yang berbentuk bola dan gas didalam gelembung dipisahkan dari dinding pipa dengan adanya penurunan lapisan liquid secara perlahan-lahan

c) Strarified flow

Pola aliran ini terjadi ketika kecepatan fasa liquid dan gas rendah sekali.

d) Wavy flow

Pola aliran ini terjadi ketika kecepatan uap naik, dimana nantinya permukaan pemisah (interface) akan terganggu oleh gelombang yang bergerak pada arah alirannya.

(40)

e) Slug flow

Pola aliran ini terjadi ketika adanya kenaikan lebih lanjut kecepatan uap yang menyebabkan gelombang pada permukaan pemisah (interface) akan terbawa dalam bentuk busa yang disebarkan disepanjang kanal dengan kecepatan tinggi.

f) Annular flow

Pola aliran ini terjadi ketika kecepatan uap tinggi yang akan menyebabkan pembentukan inti gas dengan lapisan liquid disekeliling selimut pipa. Lapisan liquid tersebut mungkin tidak kontinyu disekeliling pipa tapi pada akhirnya akan kontinyu mengelilingi pipa dimana lapisan liquid pada bagian bawah pipa akan lebih tebal.

Gambar 2.19 Pola Aliran Dua Fasa Yang Terjadi Pada Pipa Horizontal (John G. Collier 1994)

(41)

Klasifikasi ukuran diameter pipa kanal yang digunakan dibagi menjadi 3, yaitu:

a) Pipa kanal mikro. Pipa dengan diameter kanal 10 µm ≤ ID ≤ 200 µm. b) Pipa kanal mini. Pipa dengan diameter kanal 200 µm < ID ≤ 3 mm. c) Pipa kanal konvensional. Pipa dengan diameter kanal ID > 3 mm.

Pada pipa kanal mini dengan ukuran diameter yang kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

a) Rasio kontak antara permukaan fluida dengan volume fluida yang lebih besar dibanding dengan pipa kanal konvensional.

b) Pembuatan alat penukar kalor yang lebih kompak karena ukuran pipa yang kecil.

Pola aliran yang terbentuk pada kanal horizontal selama pembentukan uap dipengaruhi oleh sifa baik secara termodinamik maupun hidrodinamik. Pola aliran dua fasa pada proses pendidihan dan kondensasi dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 2.20 di bawah ini :

(42)

Gambar 2.20 Pola Aliran Dua Fasa Pada Pipa Horizontal ;(a) Pendidihan;(b) Kondensasi dengan flux massa tinggi ;(c) Kondensasi Dengan flux massa rendah

(John G. Collier 1994)

Dimana pada gambar 2.20 (a) merupakan pola aliran dua fasa yang terjadi pada saat proses pendidihan dengan kecepatan aliran yang rendah ( < 1 m/s). Dimana perpindahan kalor yang terjadi pada proses ini menjadi salah satu hal penting karena jika dilihat pada pola aliran slug dan wavy pada bagian dinding atas pipa terkadang kering dan terkadang basah, hal tersebut yang nantinya akan mempengaruhi perpindahan kalor yang terjadi. Sedangkan pada pola aliran anular bagian atas pipanya dalam keadaan kering.

(43)

Sedangkan pada Gambar 2.20 (b) dan (c) merupakan pola liran 2 fasa yang terjadi pada proses kondensasi baik dengan flux massa yang tinggi maupun flux massa yang rendah (schlunder ; 1983)

Pada proses kondensasi, kareana adanya lapisan kondensasi disekeliling permukaan pipa pada bagaian inlet (masuk) maka akan membentuk pola aliran anular dengan beberapa kumpulan titik-titk air pada inti uap berkecepatan tinggi. Ketika proses kondensasi terus berlangsung akan mengakibatkan turunnya kecepatan uap dan akan mengurangi pengaruh tegangan geser uap terhadap kondensat dan menyebabkan pengaruh gaya gravitasi terhadap aliran tersebut menjadi tinggi. Pada proses kondensasi dengan flux massa yang tinggi pola aliran

slug dan bubble akan terbentuk, sedangkan pada flux massa yang rendah maka

akan terbentuk pola aliran wavy dan stratified.

Peta pola aliran dua fasa pada aliran horizontal yang digunakan secara luas yaitu peta pola aliran yang diberikan oleh Baker (1954) seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.21, dimana faktor baker λ dan ψ dapat dihitung dengan menggunakan persamaan di bawah ini.

2 1                    w f A g (2.24) 3 1 2                              f w w f w (2.25)

Dimana : μf = viskositas dinamik liquid ( N s/m2)

μw= viskositas air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 °C ( N s/m2)

ρf = massa jenis fasa liquid (kg/m3)

ρg = massa jenis fasa gas (kg/m3)

ρw= massa jenis air pada tekanan 1 atm dan temperatur 20 °C (kg/m3)

ρA= massa jenis udara pada tekanan 1 atm, temperatur 20 °C (kg/m3)

σw= tegangan permukaan air pada tekanan 1 atm, temperatur 20 °C (N/m)

(44)

Gambar 2.21 Peta Pola Aliran Dua Fasa Pada Aliran Horizontal (Baker 1954)

(John G. Collier 1994)

Dimana Gg serta Gf berturut turut adalah flux massa gas dan flux massa liquid, seperti yang terlihat pada Gambar 2.21

Pada aliran dua fasa, terdapat daerah dari kanal/pipa yang ditempati oleh fase gas dimana perbandingan dari luas daerah yang ditempati oleh fase gas pada pipa tersebut dengan luas penampang kanal total dikenal sebagai fraksi gas/ void

fraction (area-average gas fraction) seperti yang diilustrasikan pada Gambar

2.22, yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.26 (Hewit 1978) :

Gambar 2.22 Fraksi Gas Dan Liquid Pada Aliran Dua Fasa

Fraksi gas (α)

(45)

A Ag ,

A Af   1 (2.26)

Dimana ; α = fraksi gas / void fraction

Ag= luas penampang yang ditempati oleh fasa gas (m2) Af = luas penampang yang ditempati oleh fasa liquid (m2) A = luas penampang total (m2)

Persamaan lain yang berkaitan dengan aliran dua fasa juga diperkenalakan oleh Delhaye et al, dimana laju aliran massa aliran dua fasa (W) merupakan penjumlahan dari laju aliran massa pada masing-masing fasa baik liquid (Wf) dan gas (Wg) begitu juga dengan laju aliran volumetrik (Q) yang merupakan penjumlahan dari laju aliran volumetrik pada fasa liquid (Qf) dan fasa gas (Qg). Pada aliran dua fasa terdiri dari aliran fasa liquid dan fasa gas dan untuk mengetahui kualitas massa uap pada aliran dua fasa tersebut dapat menggunakan persamaan 2.28 atau 2.29, dimana posisi kualitas massa uap dapat dilihat pada P-h diagram (diagram tekanan dengan entalpi) seperti di bawah ini :

Gambar 2.23 P-h Diagram Untuk Bahan Murni

(46)

f g g W W W x   ,

f g f W W W x    1 (2.27) fg f i i i x  (2.28)

Dimana : x = Kualitas massa uap

Wg= laju aliran massa fasa uap (kg/s) Wf = laju aliran massa fasa liquid (kg/s) if = entalpi pada saturasi liquid (J/kg) ig = entalpi pada saturasi uap (J/kg) i = entalpi fluida (J/kg)

ifg = Kalor laten penguapan (J/kg)

Untuk laju aliran massa fluida yang mengalir per satuan luas penampang pada suatu pipa/kanal disebut dengan mass velocity (mass flux) dengan persamaan sebagai berikut ; u u A W G   (2.29)

Dimana : G = flux massa (kg/m2.s)

W = laju aliran massa fluida (kg/s) A = luas penampang kanal/pipa (m2) u = Kecepatan aliran (m/s)

ρ = massa jenis fluida ( kg/m3)

= spesifik volume (m3/kg)

Untuk mencari laju aliran massa pada masing-masing fasa, baik liquid maupun gas pada aliran dua fasa dapat menggunakan persamaan di bawah ini

GAx

Wg  , WfGA

1x

(2.30)

Dimana : x = Kualitas massa uap

Wg= laju aliran massa fasa uap (kg/s) Wf= laju aliran massa fasa liquid (kg/s) A = luas penampang kanal/pipa (m2)

(47)

Sedangkan untuk mencari besarnya kecepatan aliran pada masing-masing fasa, dapat menggunakan persamaan 2.31, 2.32 atau 2.33.

g g g g A W u  , f f f f A W u  (2.31)

Dimana : ug = Kecepatan aliran fasa gas ( m/s) uf = Kecepatan aliran fasa liquid (m/s)

ρg = massa jenis gas ( kg/m3)

ρf = massa jenis liquid (kg/m3)

Ag= luas penampang yang ditempati oleh fasa gas (m2) Af = luas penampang yang ditempati oleh fasa liquid (m2)

Karena

W

Q , maka persamaan 2.32 dapat ditulis sebagai berikut

g g g A Q u  , f f f A Q u  (2.32)

Dimana : α = fraksi gas / void fraction

Qg = laju aliran volumetric pada fasa gas (m3/s) Qf = laju aliran volumetric pada fasa liquid (m3/s)

DimanaWgGAx dan WfGA

1x

, maka persamaan 2.32 menjadi

g g Gx u  ) 1 ( ) 1 (    f f x G u (2.33)

Sedangkan untuk menghitung kualitas volumetrik dapat diguanakan persamaan sebagai berikut Dimana β ialah Kualitas volumetrik.

f B B Q Q Q   ,

f B f Q Q Q    1 (2.34)

Aliran dua fasa sering terjadi pada saat proses pendidihan dan kondensasi, dimana pada kedua proses tersebut biasanya menggunakan temperatur saturasi sebagai temperatur acuan. Material yang memiliki temperatur di atas temperatur saturasinya disebut dengan kondisi superheated (panas lanjut) dimana selisih

(48)

temperaturnya dengan temperatur saturasinya diberi simbol ΔTsat yang dapat dihitung dengan persamaan 2.35. Sedangkan material yang memiliki temperatur di bawah termperatur saturasinya disebut dengan kondisi subcooled yang diberi simbolΔTsubyang dapat dihitung dengan persamaan 2.36.

SAT SAT T T T   (2.35) SUB SAT T T T   (2.36)

Pada kasus fluida yang melewati suatu kanal atau pipa yang dipanaskan dengan memberikan flux kalor pada pipa tersebut seperti yang diilustrasikan oleh gambar di bawah ini

Gambar 2.24 Pendidihan Fluida Yang Mengalir Di Dalam Pipa Yang Dipanaskan

Maka perlu juga mempertimbangkan pada titik mana fluida tersebut mulai dalam keadaan saturasi. Oleh karena itu perlu diperhitungkan untuk panjang

subcooled-nya. Untuk mengetahui pada jarak berapa fluida tersebut dalam

keadaan saturasi dapat dinggunakan persamaan berikut :

Q W

i i L i i i L zsc f f in f f in , ,     (2.37)

Dimana : if = Entalpi saturasi liquid (J/kg)

if,in = Entalpi liquid pada temperatur inlet (J/kg)

∆i = kenaikan entalpi fluida melewati pipa yang dipanaskan ( J/kg)

L = Panjang kanal/ pipa (m) Zsc = Panjang subcooled (m)

Q = Daya yang diberikan pada pipa (W) Flux kalor (q) W

L if,in

(49)

W = Laju aliran massa fluida (kg/s)

Sedangkan untuk menghitung besarnya kualitas massa uap yang keluar dari dari pipa tersebut dapat digunakan persamaan sebagai berikut

fg f in f out i i i i x    ,  (2.38)

Untuk mengetahui kualitas uap pada tiap titik di sepanjang pipa dapat digunakan interpolasi yaitu dengan persamaan

         sc sc out z z L z z x x (2.39)

Dimana : xout= Kualitas massa uap pada sisi keluaran Z = Jarak titik dari sisi masuk ujung pipa (m)

xz = Kualitas uap pada titik yang berjarak z dari sisi masuk ujung pipa ifg = kalor laten penguapan (J/kg)

zsc = Panjang subcooled (m) L = Panjang Pipa (m)

Dan untuk koefisien perpindahan kalor lokal di tiap titik pada pipa yang dipanaskan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut

Twi Tsat

q h

 (2.40)

Dimana : h = koefisien perpindahan kalor (W/m2K) q = flux kalor (W/m2)

Twi= Temperatur dinding dalam pipa (K) Tsat= Temperatur saturasi fluida (K)

Pada aliran yang dipanaskan (flow boiling), perpindahan kalor yang terjadi utamanya dipengaruhi oleh dua mekanisme yaitu nucleate boiling (pendidihan inti) dan force convective evaporation (penguapan konveksi paksa). Pada daerah konveksi paksa aliran dua fasa, Martinelli memberikan suatu persamaan yang

(50)

digunakan untuk menghitung besarnya koefisien perpindahan kalor yaitu dengan persamaan sebagai berikut

       tt fo TP X fn h h 1 (2.41)

Dimana : hTP = Koefisien perpindahan kalor konveksi dua fasa (W/m2.K)

fo

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi satu fasa (liquid) (W/m2.K) Kemudian oleh Chen (1963) diperkenalkan korelasi / suatu persamaan yang dapat digunakan pada daerah saturated nucleat boiling (pendidihan inti saturasi) dan daerah two phase forced convection (konveksi paksa dua fasa) dengan persamaan sebagai berikut

h

 

S

 

h

 

F

hTPNCBf (2.42)

Dimana : hTP = Koefisien perpindahan kalor konveksi dua fasa (W/m2.K)

NCB

h = Koefisien perpindahan kalor nucleat boiling (W/m2.K)

f

h = Koefisien perpindahan kalor konveksi fasa liquid (W/m2.K)

Sedangkan besarnya hf (komponen konveksi) pada persamaan chen didapat dari persamaan Dittus-Boelter dengan persamaan sebagai berikut

D k hf f f f 4 . 0 8 . 0 Pr Re 023 . 0  (2.43)

Dimana bilangan Reynolds fasa liquid dapat dihitung dengan persamaan berikut :

f f x GD ) 1 ( Re   , (2.44)

Dimana besarnya bilangan Prandtl fasa liquid diperoleh dari persamaan di bawah ini : f p f f k C f   Pr (2.45)

(51)

Dimana : Ref = Bilangan Reynolds fasa liquid

f

Pr = Bilangan Prandtl fasa liquid

f

k = Konduktivitas termal fluida fasa liquid (W/m) D = Diameter dalam pipa/kanal (m)

f

= viskositas dinamik fasa liquid (Pa.s)

Chen juga memperkenalkan faktor pengali (F) /faktor pengali bilangan Reynolds yang dipertimbangkan mempengaruhi kenaikan tubulensi konveksi karena adanya fasa uap. Faktor pengali F diberikan dengan persamaan sebagai berikut :

8 . 0 8 . 0 1 Re Re Re                  D x G F TP f f TP (2.46)

Dimana : ReTP = Bilangan Reynolds dua fasa

F = faktor pengali konveksi aliran dua fasa

Chen juga memperkenalkan bahwa faktor pengali F merupakan fungsi dari martinelli parameter dimana F = fn(Xtt). Dimana Xtt adalah parameter martinelli

pada kondisi aliran turbulen-turbulen pada fasa liquid dan fasa gas. 1 . 0 5 . 0 9 . 0 tt 1 X                          g f f g x x (2.47)

Chen membuat suatu plot yang menyatakan hubungan antara faktor bilangan Reynolds (F) dengan parameter martinelli dimana kondisi aliran fasa liquid dan fasa gasnya ialah turbulen-turbulen seperti yang diperlihatkan pada grafik di bawah ini.

(52)

Gambar 2.25 Grafik Faktor Bilangan Reynold ,F (Chen 1963)

(John G. Collier 1994)

Akan tetapi fungsi ini masih harus dievaluasi lagi secara fisik karena kondisi aliran yang terjadi tidak hanya turbulen saja akan tetapi ada kondisi aliran laminar dan transisi. Dengan mempertimbangkan kondisi aliran yang terjadi (laminar, transisi dan turbulen), kemudian chen memberikan persamaan dimana faktor F sebagai fungsi dari faktor pengali friksi aliran dua fasa dengan dasar gradien tekanan pada fasa liquid

 

2f yaitu dengan persamaan sebagai berikut :

 

2 0.444 f

F (2.48)

Selanjutnya Zhang et al (2004) memberikan hubungan antara faktor F dengan pengali friksi aliran dua fasa yang berdasarkan pada gradien tekanan yang terjadi pada fasa liquid (2f), dengan Ffn

 

2f , dimana faktor pengali friksi aliran dua fasa yang didasarkan pada gradien tekanan pada aliran fasa liquid (f2

(53)

f g f f g f f f tp f F dz dp F dz dp F dz dp F dz dp F dz dp C F dz dp F dz dp F dz dp F dz dp                                                                   5 . 0 2 f g f g f F dz dp F dz dp F dz dp F dz dp C                                        5 . 0 2 1 2 2 1 1 X X C f    , (2.49)

Sedangkan faktor pengali friksi aliran dua fasa yang didasarkan pada gradien tekanan pada aliran fasa gas ( ) besarnya dapat dihitung dengang2

menggunakan persamaan berikut ini ; 2

2

1 CX CX

g   

(2.50)

Dimana besarnya parameter chisolm (C) ditentukan oleh kondisi aliran yang terjadi pada fasa liquid dan fasa gas,berikut di bawah ini adalah tabel untuk beberapa nilai parameter chisolm pada beberapa kondisi aliran fasa liquid dan fasa gas.

Tabel 2.3 Parameter Chisolm Pada Beberapa kondisi Aliran Fasa Liquid Dan Gas

Kondisi aliran simbol parameter

chisolm (C) Fasa liquid Fasa gas

Turbulen Turbulen tt 20

Laminar Turbulen vt 12

Turbulen Laminar tv 10

Laminar Laminar vv 5

(54)

Sedangkan X ialah parameter martinelli dengan persamaan dasar sebagai berikut

                                                       g f g f g g f f g f v v x x f f D v x G f D v x G f dz dp dz dp X 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 1 2 1 1                         f g g f x x f f X (2.51)

Faktor friksi (gesek) ff dan fg besarnya tergantung dari bilangan Reynolds-nya dimana besar dari bilangan Reynolds untuk masing- masing fasa dapat dihitung dengan persamaan berikut ini;

Bilangan Reynolds untuk fasa gas :

g g GDx  Re (2.52)

Dan untuk menghitung Bilangan Reynolds fasa liquid menggunakan persamaan 2.53. Sedangkan untuk menghitung besarnya nilai gesekan/frikisi (f) menggunakan persamaan di bawah ini dimana persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai friksi tergantung dari besarnya bilangan Reynolds ;

Re < 2300 f =16 / Re (2.53)

Re > 3000 f =0.079 Re-0.25 (2.54)

2300 ≥ Re ≥ 3000, nilai f didapatkan dengan interpolasi dengan persamaan

0.0037

0.0069 700 2300 Re         f (2.55)

maka untuk kondisi aliran turbulen-turbulen persamaan martinellinya seperti yang dapat dilihat pada persamaan 2.47 dengan penjabaran sebagai berikut

2 1 2 1 1                         g f g f x x f f X

Gambar

Tabel 2.1 Nilai Konduktivitas termal
Gambar 2.9 Kurva Pendidihan Air Pada Tekanan 1 Atm
Gambar 2.19 Pola Aliran Dua Fasa Yang Terjadi Pada Pipa Horizontal (John G. Collier 1994)
Gambar 2.20 Pola Aliran Dua Fasa Pada Pipa Horizontal ;(a) Pendidihan;(b) Kondensasi dengan flux massa tinggi ;(c) Kondensasi Dengan flux massa rendah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat (a) bagi peneliti sesudahnya, untuk dapat dijadikan referensi dalam penyusunan skripsi, khususnya yang berkaitan dengan jiwa dan

Pemberian diet dengan penambahan ikan teri (Engraulis encrasicolus) dapat dilakukan studi lanjutan pada hewan uji dengan model gangguan kognitif seperti model gangguan

Adalah produk Asuransi Tambahan untuk Asuransi Jiwa Unit Link berbasis Syariah yang utamanya menyediakan santunan harian atas perawatan yang dilalui Peserta untuk

Tantangan pengembangan sumber daya manusia yang paling penting dalam pariwisata pedesaan tampaknya membekali masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran

Berikut ini adalah kamus data yang di ambil dari data flow diagram Sistem Informasi Penjualan Konveksi Bandung Jaya Laksana yang diusulkan :.. Atribut : nama_produk,

Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli bahwa pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang dalam proses pembelajaran dan pelatihan berpusatkan pada peserta

Sehingga perlu dilakukan perbaikan akan proses produksinya, agar perusahaan mendapatkan keuntungan pendapatan yang sesuai dengan usaha yang dilakukan, serta mempertahankan

Mata Kuliah Mayor: Ekonomi Mikro-Manajerial, Komunikasi Agribisnis, Teknologi Produksi Tanaman, Manajemen Agribisnis, Manajemen Sumberdaya Lahan dan Air, Teknologi