• Tidak ada hasil yang ditemukan

Critical Review : Menjajaki perubahan tata guna lahan dan peran produksi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia BIBIOGRAPHY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Critical Review : Menjajaki perubahan tata guna lahan dan peran produksi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia BIBIOGRAPHY"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Critical Review :

Menjajaki perubahan tata guna lahan dan peran produksi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia

BIBIOGRAPHY

Jurnal yang diambil untuk tugas ini bersumber dari jurnal Land Use Policy

28 (2011) 193–206. Jurnal ini menyediakan informasi tentang kebijakan

penggunaan lahan serta implikasinya. Jurnal yang dikritisi berjudul Exploring land use changes and the role of palm oil production in Indonesia and Malaysia ditulis oleh Birka Wicke, Richard Sikkema, Veronika Dornburg, dan André Faaij, dipublikasikan pada tahun 2011.

I. PENGANTAR

Perdebatan saat ini tentang ketidakberlanjutan produksi minyak sawit di Asia Tenggara sebagian besar telah didorong oleh perubahan penggunaan lahan (LUC) yang terjadi dengan mengkonversi hutan alam, lahan gambut, lahan pertanian, atau tipe lahan lain untuk perkebunan kelapa sawit. LUC ini, pada gilirannya, memiliki implikasi terhadap lingkungan dan sosial seperti hilangnya keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca (GRK) dari perubahan stok karbon dalam biomassa dan tanah, kebakaran hutan dan yang terkait dengan penyakit pernapasan, kepemilikan lahan dan konflik hak asasi manusia.

Tulisan ini mencoba melihat masa lalu perubahan penggunaan lahan (LUC) dan penyebabnya di Indonesia dan Malaysia, serta mengkritisi pemaparan dari jurnal yang dipilih. Selanjutnya ingin dilihat secara fokus kasus perubahan penggunaan lahan (LUC) yang terjadi di Indonesia. Juga bagaimana strategi pemerintah untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan dan sosial.

II. RINGKASAN JURNAL

2.1. Pendahuluan Jurnal

Masalah pokok yang diangkat dalam jurnal ini adalah tentang perubahan penggunaan lahan (LUC). Penelitian ini disusun dan menganalisis data perubahan penggunaan lahan (LUC) tingkat nasional dan menjelajahi penyebabnya,

(2)

2 khususnya ekspansi produksi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia selama masa 30 tahun .

Peningkatan besar produksi minyak sawit selama 30 tahun terakhir menjelaskan, mengapa LUC telah menjadi perhatian bagi keberlanjutan produksi minyak sawit khususnya ekspansi produksi kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia. Luas lahan global kelapa sawit meningkat dari 3.5 juta ha pada tahun 1975 menjadi 13.1 juta ha pada tahun 2005. Sebagian besar dari Kenaikan ini ditemukan di Malaysia (meningkat 0,4-3,6 juta ha) dan di Indonesia (meningkat 0,1-3,9 juta ha) ( FAOSTAT , 2008a ) .

Termasuk kelapa sawit yang belum menghasilkan ( 0.4 juta ha di Malaysia (MPOB , 2008) dan 1.6 juta ha di Indonesia ( KMSI , 2005) pada tahun 2005) , Total perluasan lahan untuk produksi kelapa sawit hampir 9 juta ha mengambil tempat di Malaysia dan Indonesia antara tahun 1975 dan 2005 .

Tujuan penelitian pada jurnal ini adalah :

1. Mengumpulkan dan menganalisis data tingkat nasional tentang perubahan penggunaan lahan (LUC) dan penyebabnya di Indonesia dan Malaysia selama 30 tahun terakhir.

2. Menjajaki peran minyak sawit telah dimainkan di masa lalu LUC dan diproyeksikan pertumbuhan produksi minyak sawit hingga tahun 2020 dan menyarankan strategi untuk meminimalkan efek negatif .

2.2. Metodologi Penelitian : 2.2.1. Sumber Data

Gambaran dari LUC antara tahun 1975 dan 2005 dilakukan dengan pengumpulan data dari berbagai kategori penggunaan lahan dari lembaga statistik nasional dan internasional, pemerintah dan laporan LSM, serta literatur akademik.

Sumber data yang berbeda-beda dari berbagai kategori lahan disajikan dan dibandingkan satu sama lainnya. Kategori-kategori tersebut diantaranya hutan, hutan tanaman, semak dan savanna, lahan pertanian, lahan kritis dan lahan lainnya.

Untuk Indonesia, berbagai sumber tutupan hutan diberbagai tahun (FWI / GFW, 2002; Stibig dan Malingreau, 2003; FAO, 2006a; Earthtrends, 2007;

(3)

3 Kementerian Kehutanan Indonesia, 2008). Data dari FWI / GFW (2002) digunakan dalam analisis karena data ini menyajikan gambaran paling komprehensif perubahan tutupan hutan di Indonesia dari waktu ke waktu (1950, 1985 dan 1997). Data yang sedikit berbeda, tapi masih sebanding dengan, FAO (2006a). kesenjangan dapat dijelaskan oleh set data yang berbeda yang digunakan untuk ekstrapolasi untuk tahun yang hilang. Dalam rangka untuk memiliki perkiraan yang lebih baru dari tutupan hutan, hasil analisis citra satelit dari tahun 2003 oleh Departemen Kehutanan Indonesia (2008) juga digunakan. interpolasi dan ekstrapolasi kemudian dibuat untuk semua tahun-tahun lain dengan menentukan rata-rata perubahan persentase tahunan antara yang berbeda tahun sesuai data yang tersedia.

Data tutupan hutan untuk Malaysia (Ma dan Broadhead, 2002; Stibig dan Malingreau, 2003; Kiam, 2005; FAO, 2006a; Earthtrends, 2007; Perencanaan Satuan Ekonomi, 2008). Unit Perencanaan Ekonomi (2008) menyajikan data untuk kawasan hutan Malaysia 1947-2004. Sumber ini menyediakan kumpulan data di kawasan hutan dan karena itu digunakan dalam ikhtisar LUC di Malaysia. Meskipun tidak ada definisi yang diberikan untuk kawasan hutan, diasumsikan untuk mewakili tutupan hutan karena tidak cocok data lahan hutan oleh sumber lain (Kiam, 2005) sementara kawasan hutan pada tahun 2000 mirip dengan hasil untuk tutupan hutan dari penginderaan jauh dengan Stibig dan Malingreau (2003) untuk tahun yang sama. Salah satu kelemahan dari kumpulan data ini adalah bahwa data yang hilang untuk Sarawak Tahun 1947 sampai tahun 1986. Karena tidak ada informasi lain yang bisa ditemukan. Diasumsikan bahwa tutupan hutan di Sarawak menurun pada tingkat yang sama seperti Semenanjung Malaysia dan Sabah antara tahun 1975 dan 1987.

Pengumpulan data untuk penelitian menunjukkan bahwa kualitas dan kuantitas data LUC pada skala nasional dari waktu ke waktu masih rendah. Meskipun dengan keterbatasan ini , gambaran masa lalu menunjukkan LUC bahwa perubahan besar dalam penggunaan lahan telah terjadi di Indonesia dan Malaysia .

(4)

4 Tabel 1. Data penggunaan lahan di Indonesia digunakan dalam penelitian

ini, berdasarkan data dari literatur (italics) dan interpolasi/ ekstrapolasi hasil (bold).

Tabel 2. Data penggunaan lahan di Indonesia digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan data dari literatur (italics) dan interpolasi/ ekstrapolasi hasil (bold).

(5)

5 2.2.2. Penyebab dan Pendorong LUC

Faktor yang mempengaruhi LUC secara umum di Indonesia dan Malaysia dapat dibagi menjadi penyebab langsung dan faktor pendorong yang mendasarinya. Gambaran mengenai penyebab dan pendorong dari LUC diperoleh dari laporan pemerintah dan LSM serta literatur akademik.

2.2.3. Proyeksi perubahan tata guna lahan di masa depan

Proyeksi masa depan dari LUC yang untuk tahun 2020, didasarkan pada dua komponen, yaitu ekspansi produksi kelapa sawit di masa depan dan penggunaan lahan referensi. Produksi minyak sawit di masa depan diproyeksikan pada dasar empat kumpulan data yang berbeda untuk masing-masing negara dalam rangka menentukan berbagai kemungkinan ekspansi lahan masa depan untuk industri minyak kelapa sawit.

2.3. Hasil Penelitian

Gambaran LUC selama 30 tahun terakhir di Indonesia dan Malaysia menunjukkan perubahan besar dalam penggunaan lahan di kedua Negara (Gambar 1) . Perubahan terbesar di Indonesia (Gambar 1 , kiri ) di lahan hutan mengalami penurunan dari tahun 1975 ke 130 juta ha menjadi 91 juta ha pada tahun 2005, sementara lahan pertanian meningkat dari 38 juta ha di1975 menjadi 48 juta ha pada tahun 2005. Sekitar setengah dari ini ekspansi ini disebabkan ekspansi produksi kelapa sawit, yaitu dari 0.1 juta pada tahun 1975 ( 0.6 juta ha pada tahun 1985) menjadi ke 5.5 juta ha pada tahun 2005, dan lebih jauh menjadi 7 juta ha diperkirakan pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2007). Sisi lain dari ekspansi itu disebabkan dengan peningkatan lahan pertanian, sebagian besar untuk perluasan padi. Pada tingkat nasional, peningkatan besar dalam produksi minyak sawit lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan tutupan hutan sejak tahun 1975 (29 juta ha jika deforestasi karena ekspansi kelapa sawit telah dimulai pada pertengahan tahun 1980-an ) dan ini menunjukkan ada penyebab penting lainnya dari hilangnya tutupan hutan dan LUC pada umumnya.

(6)

6 Di Malaysia , LUC juga besar, tetapi berbeda dari yang di Indonesia (Gambar 1 , kanan) . Sementara deforestasi cepat sampai awal tahun 1980-an, namun rata-rata melambat sejak saat itu. Tingkat kehilangan tutupan hutan mengalami fluktuasi. Meskipun tutupan hutan masih lebih besar dari 50 %, dari 18 juta ha hutan ditutupi tanah pada tahun 2005 , diperkirakan bahwa hanya 3.8 juta ha adalah hutan primer (FAO, 2006a) . Perubahan terbesar dalam penggunaan lahan terlihat dalam budidaya minyak sawit meningkat dari 0.6 juta ha pada tahun 1975 menjadi 4 juta ha pada tahun 2005.

Pada saat yang sama, daerah tanaman permanen lainnya, terutama tanaman ekspor karet alam dan kelapa, menurun secara signifikan( FAOSTAT , 2008a). Pada skala nasional, peningkatan penggunaan lahan oleh budidaya kelapa sawit tidak dapat langsung dihubungkan dengan penurunan penggunaan lahan oleh tanaman permanen lain karena data yang tersedia tidak spasial dan temporal cukup eksplisit. Namun demikian , studi kasus dan anekdotInformasi mengkonfirmasi bahwa ekspansi kelapa sawit di Malaysia memilikisering diganti tanaman permanen lainnya ( McMorrow dan talip, 2001 ;Ming dan Chandramohan , 2002; Abdullah dan Nakagoshi , 2007). Selain itu , hutan bekas tebangan sering disebut sebagai jenis tanah yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit di Malaysia . Hutan bekas tebangan transisi pertama dari hutan ke kategori lahan lainnya – ketika penutupan tajuk dan tinggi pohon sisa menjadi terlalu rendah untukdianggap hutan - dan kemudian ke kategori kelapa sawit . Dengan demikian,pemanfaatan hutan bekas tebangan untuk produksi minyak sawit dapat menjelaskan mengapakategori lahan lainnya menurun dari waktu ke waktu .

(7)

7 Gambar 1. LUC di Indonesia (kiri) dan Malaysia (kanan) antara Tahun

1975 dan 2005 Keterangan Gambar :

a) Ketika menafsirkan angka ini , harus diingat bahwa tutupan hutan saja tidak bisa menggambarkan kondisi hutan karena perbedaan yang besar di antara hutan, terutama berkenaan dengan tutupan tajuk dan tinggi pohon. Sementara perbedaan-perbedaan ini dapat dialami , mereka sering karena penebangan atau eksploitasi oleh manusia lainnya. Dari 90 juta ha tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 , hanya sekitar 49 juta ha dianggap hutan primer ,yang sejauh absolut dan relatif telah menurun ( FAO , 2006a ). Untuk Malaysia , tutupan hutan primer sebesar 3.8 juta ha pada tahun 2005 dan tetap konstan sejak tahun 1990 ( FAO , 2006a ) .

b) Karena ekstrapolasi dan tumpang tindih beberapa kategori ( terutama lahan terdegradasi ) , jumlah semua kategori tanah di Indonesia dalam tahun 1975-1979 lebih besar dari total luas lahan di Indonesia . Sebagai luasnya lahan kritis yang paling pasti , tanah berlebih dikurangi dari lahan yang terdegradasi .

(8)

8 2.3. Kesimpulan Jurnal

Di Indonesia, LUC dapat terutama ditandai oleh hilangnya tutupan hutan sekitar 40 juta ha, penurunan 30 % pada lahan hutan. Deforestasi di Malaysia lebih kecil baik secara absolut maupun secara relatif, dengan hilangnya tutupan hutan hampir 5 juta ha (20 % pengurangan lahan hutan). Perubahan besar lainnya di Malaysia adalah terjadi pada lahan permanen pertanian yang telah menurun dengan cepat sejak awal 1990-an, dan budidaya kelapa sawit mengalami peningkatan tajam.

Proyeksi permintaan tambahan lahan untuk kelapa sawit produksi pada tahun 2020 berkisar dari 1 sampai 28 juta ha di Indonesia. Permintaan dapat dipenuhi untuk sebagian besar lahan terdegradasi jika diasumsikan tidak ada deforestasi lebih lanjut. Di Malaysia , proyeksi ekspansi berkisar dari 0,06 sampai 5 juta ha, tetapi proyeksi ekspansi kelapa sawit layak bila hanya lahan kritis dapat yang digunakan.

Peran produksi minyak kelapa sawit di masa depan tergantung pada ukuran ekspansi, LUC serta faktor-faktor manajemen pertanian seperti penerapan praktek pengelolaan terbaik, sebelumnya penanaman kembali dengan tanaman menghasilkan lebih tinggi , dan pendirian perkebunan baru di lahan kritis.

Saat ini lahan kritis perlu diselidiki untuk mengurangi kemungkinan LUC tidak langsung , konflik penguasaan tanah, atau dampak sosial lainnya. Selain meminimalkan LUC langsung dan tidak langsung dengan sektor minyak kelapa sawit, langkah-langkah yang mengurangi deforestasi dipicu oleh penyebab lain juga harus dilaksanakan. Elemen kunci untuk melakukannya adalah perencanaan yang lebih baik dan tata kelola penggunaan lahan, yang memerlukan lebih tepat demarkasi lahan hutan dan perlindungan lahan yang masih memiliki tutupan hutan, meningkatkan pemantauan penggunaan lahan, dan perlu penelitian lebih lanjut untuk mengungkap kompleksitas dan dinamika penyebab dan pendorong dari LUC .

(9)

9 III. KRITIKAL JURNAL

Kelebihan dari jurnal ini, penulis jurnal cukup banyak memunculkan konklusi bersumber dari hasil penelitian atau kajian terdahulu. Dimana kajian tersebut bisa memberikan gambaran terjadinya proses perubahan penggunaan lahan (LUC), serta pemanfaatan data tutupan lahan selama 30 tahun di Indonesia dan Malaysia, dari berbagai sumber sehingga keakuratan data dalam proses LUC dapat terlihat dengan jelas.

Dari segi metodologi penelitian, jurnal ini hanya melihat dari sisi perubahan penggunaan lahan (LUC) yang terjadi di Indonesia maupun di Malaysia. Sedangkan faktor penyebab dan pendorong terjadinya LUC kurang dieksplor lebih lanjut. Karena kompleksitas dan dinamika terjadinya LUC dapat lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut. Meskipun salah satu tujuan dari penelitian dalam jurnal ini adalah untuk mengetahui faktor penyebabnya. Sehingga manfaat dari penelitian ini kurang dapat manfaat yang lebih. Karena hanya menyajikan informasi proses perubahan tutupan lahan selama 30 tahun di Indonesia dan Malaysia.

IV. IMPLEMENTASI PENERAPAN KEBIJAKAN KONVERSI HUTAN UNTUK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Dalam buku Agenda 21 Indonesia, faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, yaitu:

(a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata;

(b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan; (c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara

tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumber daya alam;

(d) program transmigrasi;

(e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah;

(10)

10 (g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan;

(h) introduksi spesies eksotik (UNDP & KMNLH, 1997).

Tabel 3. Tingkat Kerusakan Hutan di Indonesia

Tahun Luas Hutan Sumber Data Luas dan Laju Kerusakan Hutan 1950 152 juta ha GOI/IIED 33 juta ha atau 942.857 ha per tahun (1950-1985) 1985 119 juta ha RePPProt 1950 152 juta ha GOI/IIED

60 juta ha atau 1,4 juta ha per tahun (1950-1993)

1993 92 juta ha Walhi

1984 143 juta ha GOI-TGHK

51 juta ha atau 5,7 juta ha per tahun (1984-1993)

1993 92 juta ha Walhi

1984 143 juta ha GOI-TGHK

22 juta ha atau 1,7 juta ha per tahun (1984-1997) 1997 120,6 juta ha Kartodihardjo &

Supriono

Investasi di sektor perkebunan besar kelapa sawit yang meningkat pesat pada tahun 1980-an dan 1990-an membutuhkan penyediaan lahan yang meningkat. Penyediaan lahan untuk perkebunan besar tersebut, dilakukan dengan melakukan konversi hutan. Akibat permintaan pelepasan kawasan hutan yang meningkat tersebut, rata-rata setiap tahun kawasan hutan yang dikonversi seluas 922.824,956 ha.

4.1. Praktek Penyimpangan dalam Penerapan Kebijakan

Tekanan pada hutan semakin tinggi yang diakibatkan perilaku pengusaha yang menelantarkan lahan perkebunan. Meskipun telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan para pengusaha tidak memanfaatkan lahan tersebut, dan bahkan banyak diantaranya belum memiliki HGU.

(11)

11 Praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan ditunjang dengan ketidaktegasan kebijakan dalam mengatur luas maksimum penguasaan lahan. Kebijakan yang mengatur luas maksimum pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan dikeluarkan pada tahun 1998 melalui SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998. Selanjutnya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Permentan No 98/Permentan/OT.140/9/2013 yang menetapkan batas maksimal ke area permukaan sebelas komoditas.

Tabel 4. Pembatasan Permukaan maksimum menurut Permentan No 98/Permentan/OT.140/9/2013

Komoditi Permukaan Maksimum

Kelapa Sawit 100.000 ha Karet 20.000 ha Kopi 10.000 ha Coklat 10.000 ha Jambu Mete 10.000 ha Lada 1.000 ha Cengkeh 1.000 ha Kapas 20.000 ha Teh 20.000 ha Tebu 150.000 ha Kelapa 40.000 ha

Tujuan pembatasan penguasaan luas maksimum tersebut adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat, meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam memanfaatkan SDA dan mewujudkan asas keadilan dan asas pembangunan berkelanjutan.

Terbitnya SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998 sebenarnya juga terlambat mengingat penguasaan lahan perkebunan oleh sekelompok kecil pengusaha telah terjadi.

(12)

12 Tabel 5. Luas Lahan Perkebunan Besar

Dengan tidak ada komitmen serius dari pengusaha seperti :

- Perilaku pengusaha yang tidak mengurus permohonan HGU - Banyak pengusaha menelantarkan lahan yang telah

mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan.

Dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasasi langsung oleh negara guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. HGU diberikan untuk paling lama 25 tahun, sedangkan untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun (pasal 28-29).

4.2. Ketimpangan kepentingan dalam penerapan kebijakan

Kondisi ini memperlihatkan ada ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yang ada dalam rumusan kebijakan dengan faktor-faktor dalam penerapan kebijakan tersebut.

Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan mengganggu lingkungan hidup dan kelestarian hutan (SK Mentan No. 764/Kpts/Um/10/1980), memperhatikan usaha konservasi tanah dan air (SKB Mentan dan Menhut No. 550/246/Kpts/4/1984, 082/Kpts-II/1984, memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup (SK Menhut No. 145/Kpts-II/1986).

(13)

13 1. Kepentingan Pemerintah atas Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan untuk

Pengembangan Perkebunan Besar

2. Dominasi Kepentingan Pengusaha atas Penerapan Kebijakan Pelepasan Kawasan Hutan

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto, Arief. 2011. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Institut Pertanian Bogor.

Abdullah, S.A., Nakagoshi, N., 2007. Forest fragmentation and its correlation to human land use change in the state of Selangor, peninsular Malaysia. Forest Ecology and Management 241, 39–48.

Casson, A., 2000. The Hesitant Boom: Indonesia’s Palm Oil Sub sector in an Era of Economic Crisis and Political Change. Occasional Paper No. 29. Centre for International

Forest Research (CIFOR), Bogor, Indonesia, Retrieved 14.06.2007 from http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf files/OccPapers/OP-029.pdf. Colchester, M., Jiwan, N., Andiko, Sirait, M., Firdaus, A.Y., Surambo, A., Pane,

H., 2006. Promised Land. Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples. Forest Peoples Programme, Perkumpulan Sawit Watch, Huma and the World Agroforestry Centre, Moretonin- Marsh, UK, 197 pp. Retrieved 11.03.2008 from http://www.forestpeoples.org/documents/prv sector/oil palm/promised land eng.pdf.

Colchester, M., Pang, W.A., Chuo, W.M., Jalong, T., 2007. Land is Life: Land Rights and Oil Palm Development in Sarawak. Perkumpulan Sawit Watch and Forests Peoples Programme, Bogor, Indonesia, 112 pp. Retrieved 11.03.2008 from http://www.forestpeoples.org/documents/asia pacific/sarawak land is life nov07eng.pdf.

Corley, R.H.V., 2009. How much palm oil do we need? Environmental Science & Policy 12 (2), 134–139. Corley, R.H.V., Tinker, R.B.H., 2003. The Oil Palm. Blackwell Publisher, Oxford, 592 pp.

Dauvergne, P., 1993. The Politics of Deforestation on Indonesia. Pacific Affairs 66 (4), 497–518.

Dros, J.M., 2003. Accommodating Growth: Two Scenarios for Oil Palm Production

(14)

14 Indonesian Ministry of Agriculture, 2007. Agricultural Statistics Database. Center for Agricultural Data and Information, Ministry of Agriculture. Government of Indonesia, Retrieved 12.12.2007 from http://database.deptan.go.id/ bdspweb/bdsp2007/newlok-e.asp.

Indonesian Ministry of Forestry, 2008. Publikasi Kehutanan. Statistik Kehutanan 2001–2006 (Forestry Publications. Forestry Statistics 2001–2006). Government of Indonesia, Retrieved 20.10.2008 from http://www.dephut.go.id/.Utomo, Tri Widodo.2012. Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia Pada Tahun 2020 : Permasalahan dan Tantangan

Vogel, J. Stephen. 1994. Struktural Changes In Agricultural: Production Linkages and Agricultural Demand – LED Industrialization. Oxford Economics Paper 46(1994):136-156

Gambar

Tabel 2. Data penggunaan lahan di Indonesia digunakan dalam penelitian     ini, berdasarkan data dari literatur (italics) dan interpolasi/
Tabel 3.  Tingkat Kerusakan Hutan di Indonesia
Tabel 4. Pembatasan Permukaan maksimum menurut Permentan No   98/Permentan/OT.140/9/2013

Referensi

Dokumen terkait

Dampak lingkungan suatu kegiatan itu mempunyai intensitas yang bervariasi mulai dari yang sangat ringan sampai yang sangat berat. Karena itu penentuan pentingnya dampak lingkungan

Inggris yang komunikatif. Kemudian pada tahun 2012 ia mendapat beasiswa ke Australia untuk melanjutkan S2 selama 2 tahun. Yang kemudian pada tahun 2014 ia kembali ke

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

misI D I M E N S I P E M B A N G U N A N DIMENSI PEMERATAAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DIMENSI PEMBANGUNAN MANUSIA DIMENSI PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN KUALITAS INFRASTRUKTUR

Secara garis besar terdapat persamaan tentang Harun dalam Al-Qur’an dan Perjanjian Lama, yaitu membantu saudaranya Nabi Musa dalam menyampaikan perintah Allah

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) pada Jurusan Ilmu Administrasi Program Studi Ilmu Administrasi Bisnis di

Indonesia yang memiliki kapasitas produksi kelapa sawit sebesar 38,5 juta ton menjadikannya penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.. Malaysia menduduki peringkat ke dua

Kemasan ini menjadi referensi karna komponen yang berada dalam box mirip dengan komponen- komponen yang akan dibuat pada papan permainan “Sibaaqun”, yaitu terdapat