• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER) TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN (STAKEHOLDER)

TERHADAP PENENTUAN PUSAT PEMERINTAHAN

Kemampuan untuk memahami sikap dan perilaku masyarakat, serta nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sangat diperlukan agar pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan friksi- friksi sosial, politik, agama, dan budaya. Jika hal ini tidak dipahami, bukan hanya keharmonisan kehidupan masyarakat yang terganggu, bahkan kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakanpun akan mengalami gangguan, yang mengakibatkan kerugian material, waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar. . Dalam hal ini manusia menjadi focus of analysis, yang melihat manusia sebagai makhluk berbudaya

(human oriented disipline), yang menekankan pada behaviour, perception, dan activities. Penempatan manusia sebagai focus of analysis, salah satunya adalah

melalui pendekatan actor-oriented analysis.

Dalam pendekatan ini, akan di-review dan diinterpretasi pendapat atau persepsi pemangku kepentingan (stakeholder) dari unsur-unsur pengambil kebijakan dan masyarakat terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur . Yang dimaksud dengan pengambil kebijakan, adalah unsur pemerintah daerah dari kalangan eksekutif dan legislatif. Sedangkan yang dimaksudkan masyarakat di sini, adalah masyarakat biasa, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Persepsi tersebut diperoleh melalui melalui wawancara, baik wawancara terstruktur melalui AHP maupun yang tidak terstruktur melalui actor-oriented approach

Persepsi Pengambil Kebijakan

Menurut Rushton, diacu dalam Rahman dan Smith (2000), beberapa kajian yang pernah dilakukan di negara-negara berkembang, keputusan penentuan lokasi suatu aktivitas umumnya dilakukan oleh pemerintah daerah, atau oleh pimpinan daerah, atau kedua-duanya. Sering sekali keputusan dibuat dengan mengabaikan berbagai analisa formal dari alternatif-alternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja hanya berdasarkan pertimbangan politik atau mencari gampang saja, sehingga hasil yang diperoleh jauh sekali dari optimal.

(2)

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Aceh Timur, polemik dalam penentuan pusat pemerintahan, terus berlarut- larut dari sejak pemekaran pada tahun 2001 sampai sekarang. Polemik tersebut setiap hari me nghiasi lembaran mass media lokal, yang memuat berita tentang ketidakmenentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Memprihatinkan memang, nyaris lima tahun, sebuah kabupaten induk yang telah melahirkan satu kota dan satu kabupaten baru belum memiliki pusat pemerintahan.

Merujuk pada pendekatan actor-oriented, dimana setiap orang memiliki pandangan tertentu terhadap suatu permasalahan yang ditemuinya. Sehingga, jika saja dia memiliki kewenangan dalam pengambilan kebijakan terhadap permasalahan tersebut, hampir dapat dipastikan, kebijakan yang diambil cenderung berorientasi atau bertitik-tolak kepada cara pandangnya itu. Peluang inilah yang dapat menghitam-putihkan sebuah keputusan, seringkali bertolak belakang dengan pandangan umum yang rasional yang dipahami banyak orang. Walaupun tidak selalu keputusan yang diambil terkesan merugikan, namun yang menonjol adalah nuansa politis daripada teknis.

Melalui wawancara dengan eksekutif dan legislatif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, diharapkan dapat menggambarkan persepsi mereka terhadap masalah penentuan pusat pemerintahan tersebut.

Eksekutif

Mewakili eksekutif Pemerintah Kabupaten Aceh Timur, yang diwawancarai adalah Ketua Tim Staf Ahli Bupati, Sekretaris Bappeda, Kabag Pemerintahan Gampong dan Mukim, Inspektur Inspektorat, dan Danramil Ranto Peureulak. Dalam pembahasan ini, yang dipaparkan hanya pendapat dari Drs. Nabhani, MM: Ketua Tim Staf Ahli Bupati, karena seluruh pejabat daerah dari eksekutif yang ditemui, merekomendasikan beliau sebagai nara sumber paling berkompeten dalam masalah ini. Setelah melakukan wawancara dengan berbagai responden/informan, akhirnya penulis sependapat bahwa pendapat beliau dapat menggambarkan pendapat eksekutif secara umum. Pendapat dari Nabhani, Staf Ahli Bupati Aceh Timur adalah seperti berikut ini (wawancara tanggal 27 Juni

(3)

Sewaktu saya masih wakil bupati, saya sudah duduk sebagai ketua tim pengarah panitia penentuan ibukota Kabupaten Aceh Timur. Sampai sekarangpun sebagai staf ahli bupati, bersama teman-teman lain kami masih berusaha memberikan konstribusi pemikiran agar masalah ibukota Aceh Timur dapat segera terselesaikan dan tidak berlarut- larut seperti ini.

Lokakarya, penelitian, survei, seminar, atau kajian tentang ibukota Aceh Timur sudah beberapa kali dilakukan. Tinggal keberanian dan kemauan Pemda saja untuk memutuskannya dengan segala konsekuensi yang ada. Selama ini terkesan seperti ada rasa hana mangat hana meuoh, sehingga masalah tersebut dibiarkan tergantung begitu saja tanpa ada solusinya, ditambah lagi adanya intrik-intrik kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan yang membuat masalah semakin mengambang.

Semua memaklumi, bahwa alternatif untuk ibukota Aceh Timur adalah Peureulak, Idi, dan Peudawa. Namun Peudawa tidak usah dibicarakan lagi karena dari segi apapun tidak punya kapasitas untuk jadi ibukota. Ide Peudawa itukan di munculkan oleh Pak Azman waktu beliau jadi bupati.

Berdasarkan hasil survei dan penilaian terhadap kedua lokasi tersebut, jelas Idi lebih tepat dan lebih pantas jadi pilihan sebagai ibukota Aceh Timur. Bahkan dua minggu yang lalu saya dipercayakan sebagai narasumber dalam seminar penentuan ibukota, jelas dan tegas saya sampaikan, bahwa yang paling cocok untuk ibukota Aceh Timur adalah Idi. Namun karena keputusan ini juga merupakan keputusan politik, pasti akan ada konsekuensi politisnya yang tentu akan diblow-up oleh sementara pihak yang punya pendapat berbeda. Konsekuensinya, jika kita memilih Idi, masyarakat Peureulak akan kecewa, demikian juga sebaliknya, dan jika ini terjadi dan pemerintah tidak dapat mengantisipasinya, maka pemerintah dapat mengakomodir aspirasi masyarakat kedua wilayah tersebut dengan alternatif sebagai berikut:

1. Jika Idi diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Peureulak diusulkan menjadi kabupaten baru, misalnya dengan nama Kabupaten Aceh Peureulak.

2. Jika Peureulak diusulkan menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur, maka pada saat yang sama, Idi diusulkan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Idi Raya.

Semua alternatif di atas dimungkinkan menurut PP No. 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Menurut yang saya ketahui dan pahami, yang dimaksud pusat pemerintahan kabupaten adalah wilayah kecamatan dimana pemerintah kabupaten tersebut berkedudukan, sedangkan ibukota kabupaten adalah ibukota dari kecamatan tempat pusat pemerintahan kabupaten tersebut berkedudukan, dan yang dimaksud dengan titik pusat pemerintahan adalah lokasi dimana Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD berlokasi.

Kalau merujuk ke Depdagri, jelas Idi adalah lokasi yang paling tepat. Kepada Bupati Azman berkali-kali kami ingatkan untuk tidak membiarkan masalah ini

(4)

berlarut- larut, tapi malah sebaliknya, beliau waktu itu tetap bertahan dengan pendapatnya sendiri. Walaupun kalau kita coba ikuti pola pikirnya, terkesan juga tidak konsisten dengan pendapatnya tersebut. Kita tidak tahu apa alasan sesungguhnya dari beliau saat itu sehingga menunda penyelesaian masalah ini, akhirnya seperti ini jadinya.

Sekarang sudah berganti bupati, mudah-mudahan dalam masa Bupati Azwar ini, masalah ibukota dapat kita selesaikan dengan “indah”. Janganlah sampai kita ini diserapahi anak cucu gara- gara salah membuat keputusan. Contoh buruk sudah cukup banyak. Seperti Jantho di Aceh Besar, saya rasa Anda sendiripun walaupun diberikan rumah bagus dan isteri cantik bak bidadari belum tentu mau tinggal di Jantho. Terminal Langsa juga begitu, itukan kesalahan menentukan lokasi pada masa Bupati Alauddin. Sekarang hasilnya apa? Terminal tidak berfungsi, malah hutang dengan Depkeu semakin membengkak. Ka lagee ta peutimang gaki euntot. Padahal kalau mau ditempatkan di Simpang Commodore sudah tidak terbayang bagaimana majunya sekarang. Kampus Unsam juga begitu, bagaimana kampus itu bisa berkembang, akses ke sana buruk sekali. Jauh-jauh hari saya sudah ngomong, tetapi tidak ada yang mau “dengar”.

Saya senang Anda mau buat penelitian masalah ini, dan itu juga termasuk tanggung jawab Anda sebagi putra daerah. Mudah- mudahan Pemda mau mempertimbangkan hasil penelitian Anda sebagai masukan dalam membuat keputusan nantinya.

Legislatif

Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dari anggota DPRD cenderung terpecah dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menghendaki Peureulak menjadi ibukota,dimotori oleh Muslim A.Gani, SH sebagai Ketua Komisi A yang membidangi Bidang Pemerintahan. Kedua, kelompok yang menghendaki Idi menjadi ibukota, dimotori oleh Rusli Ranto, SH sebagai Wakil Ketua DPRD. Di bawah ini, dicantumkan pendapat Ketua Komisi A dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur tersebut.

1. Muslim A.Gani, SH: Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Aceh Timur.

(Wawancara tanggal 7 Juli 2006).

Sebenarnya, seminggu yang lalu saya sudah sepakat untuk segera memutuskan masalah ini pada tanggal 6 Juli, dengan apapun resiko akan kita tanggung bersama. Tapi sekarang saya tidak mau lagi, selaku Ketua Komisi A saya sudah memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai waktu yang tidak terbatas. Kemungkinan pembahasan akan kita buka kembali tahun 2007, setelah terpilih bupati baru yang definitif.

(5)

Orang menganggap saya yang menghambat dan mengulur-ulur pembahasan masalah ibukota. Sebenarnya tidak, hanya saya tidak mau Pak Azwar selaku bupati dan Pak Rusli selaku wakil ketua dewan mengintervensi proses ini, dengan menyarankan dan membentuk opini bahwa seolah-olah Idi sangat cocok menjadi ibukota. Padahal belum tentu, kan masih ada Peureulak, Saya bukan orang asli Peureulak, tapi saya rasa Peureulak juga pantas jadi ibukota Aceh Timur.

Kan sayang bupati, kalau bupati sudah mengusulkan Idi sebagai ibukota, lalu kami dewan memutuskan lain, dimana harga diri bupati. Nah di antaranya untuk menyelamatkan nama bupati inilah maka saya memutuskan untuk menunda pembahasan masalah ibukota sampai terpilih bupati baru.

Untuk menghindari konflik baru dalam suasana damai ini, saya telah mengirim surat kepada Ketua Dewan selaku Koordinator Komisi A, agar menunda pembahasan masalah ibukota untuk sementara waktu.

Memang saya berbeda pendapat dengan wakil ketua, dan itu juga dibesar-besarkan oleh orang lain, tapi saya rasa masing- masing dari kami tetap punya kemauan untuk menyelesaikan masalah pentuan ibukota ini.

2. Rusli Ranto, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Aceh Timur. (Wawancara

tanggal 6 Juli 2006).

Saya berharap hadirnya Pak Mirza melakukan penelitian di sini, dapat membawa pencerahan baru bagi teman-teman di dewan. Soalnya Anda bisa lihat sendirikan bagaimana panasnya suasana polemik masalah ibukota yang muncul di koran setiap hari. Malah ada opini, antara saya dengan Muslim Ketua Komisi A sudah tidak harmonis lagi, karena saling tuding-tudingan di koran-koran.

Saya tidak ingin masalah ini jadi begini, dimana harga diri kita di mata masyarakat dan di mata eksekutif, wewenang dan tugas yang diberikan tidak bisa kita selesaikan. Kami sudah beberapa kali survei lapangan masalah ibukota, hasilnya ya Idi. Dalam seminar sebulan yang lalu, juga saya sampaikan ke peserta seminar, saya tetap akan memperjuangkan Idi sebagai ibukota, karena obyektifnya lokasi yang representatif dan strategis di Idi. Tapi, kalau mau mengedepankan emosional, bilang saja dimana saja sesesuka hati kita, walaupun tidak logis, saya kan tidak mau begitu. Apapun yang kita lakukan akan dicatat oleh anak cucu kita sebagai sejarah, masak kita mau tinggalkan sejarah yang jelek hanya karena salah bikin keputusan.

Secara institusi kita kan punya Komisi A, yang membidangi Bidang Pemerintahan, merekalah yang menangani masalah ini, kalau mereka tidak sanggup, terpaksa kita ambil alih dan kita bawa ke paripurna. Teman-teman di Komisi A sebagian besar punya kemauan untuk menuntaskan masalah ini, tapi kendalinya kan ada ada di tangan Muslim selaku Ketua Komisi A. Dia begitu saja membatalkan rapat komisi untuk membicarakan masalah ibukota tanpa kompromi dengan yang lain. Dia memutuskan untuk menunda pembahasan tentang ibukota sampai terpilihnya bupati yang definitif, itukan tidak benar. Padahal Gubernur NAD sudah menyurati bupati untuk segera menetapkan

(6)

ibukota, pindah dari Langsa, dan menyerahkan seluruh aset ke Pemkot Langsa. Bupati juga sudah meminta kita untuk membahas masalah ini.

Saya sepakat, ini tidak hubungannya dengan status bupati sebagai pj atau bukan. Buktinya, sebelumnya selama 5 tahunan kita dipimpin bupati definitif, ternyata juga tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Ini kan soal kemauan saja, kalau kita mau selesaikan, ya selesai, kalau tidak mau, sampai kapanpun tidak akan selesai, siapapun bupatinya. Jangan ambil untung pribadi dalam masalah ini, ketentuan teknis sudah ada, ikuti saja itu, jangan dipolitisir. Dilihat dari sudut apapun Idi layak jadi ibukota, kita tetapkan saja, biar kita segera bisa membangun fasilitas yang kita perlukan. Masak kita mau usulkan yang tidak layak, mana mau pemerintah pusat memproses PP-nya.

Minggu depan Komisi A akan studi banding masalah penentuan ibukota ke Banten, saya juga tidak tau bagaimana urgensinya. Okelah, itu urusan teman-teman di Komisi A, saya tidak ikut. Tetapi sepulang studi banding saya akan tanya, “Sekarang apa lagi?, apa kita sudah bisa duduk untuk membahas masalah ibukota kita sendiri, toh kitakan sudah studi banding, alasannya apa lagi?”

Untuk menuntaskan masalah ini saya akan mengupayakan segera kita lakukan sidang paripurna.

Saya punya harapan dengan penelitian Pak Mirza ini dapat memancing teman-teman di dewan, terutama Komisi A, untuk bergerak kembali menuntaskan pembahasan masalah ibukota, soalnya setahu saya, biasanya pendekatan mahasiswa lebih obyektif daripada yang lain yang penuh dengan intrik-intrik politik.

Persepsi Masyarakat

Pendekatan dengan ikut mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi masyarakat dalam suatu proses pengambilan keputusan, merupakan bagian dari pendekatan perencanaan partisipatif. Masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah komponen yang berada di luar pemerintahan daerah, yaitu masyarakat umum, masyarakat dunia usaha, dan masyarakat akademis. Dalam beberapa hal, untuk masalah yang sama, dapat saja ketiga komponen masyarakat tersebut memiliki orientasi pendapat yang identik satu dengan lainnya. Namun, dalam banyak hal dapat saja berbeda ekstrim, karena kepentingan, cara pandang, dan pemahaman yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi.

(7)

Akademis

Dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, setiap komponen masyarakat memiliki pandangan masing- masing. Pandangan dari kelompok masyarakat akademis diwakili oleh pendapat Bakhtiar Harun Rektor Universitas Samudra Langsa, seperti tercantum di bawah ini (wawancara

tanggal 17 Juli 2006):

Saya terlibat jauh dalam masalah penentuan pusat pemerintahan Aceh Timur sejak tahun 2002. Waktu itu, saya dipercayakan menjadi Ketua Tim Survei Lapangan untuk menilai 3 lokasi calon ibukota, yaitu Peureulak, Peudawa, dan Idi. Hasil survei menunjukkan Idi memperoleh skor paling tinggi. Sehingga kita merekomendasikan ke panitia seminar, Idi adalah lokasi yang strategis dan representatif untuk ibukota Aceh Timur.

Saya tidak habis pikir, belakangan malah muncul ide untuk menjadikan Peudawa sebagai ibukota. Padahal dari hasil survei, Peudawa memiliki skor paling rendah. Kesannya hasil kerja panitia dan hasil lokakarya sia-sia saja, dikesampingkan begitu saja oleh pimpinan daerah waktu itu. Ujungnya, seperti Anda lihat sendiri, sampai sekarang kita belum punya ibukota.

Ini pelajaran pahit buat kita, betapa keragu-raguan seorang pimpinan dan segenap jajarannya dalam membuat keputusan, akan mengorbankan seluruh peluang yang ada. Termasuk peluang untuk membangun wilayah sebagai implikasi dari pemekaran wilayah. Aceh Tamiang yang dilahirkan belakangan, malah lebih baik dari kita yang melahirkan ini.

Menempatkan ibukota di Peudawa sah-sah saja, tapi, kapan kita bisa pindah ke sana, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi? Toh di Peudawa tidak ada apa-apa, katakanlah kita mau membangun, dari mana sumber dananya, apa dengan berhutang? Terminal Langsa saja belum lunas, mau tambah hutang lagi. Kita harus berpikir rasional dan realistis.

Terus terang saya katakan, kalau seandainya ibukota kita di Idi, dan besok saya diperintahkan pindah ke Idi, besok juga saya siap pindah. Mengapa? Karena di Idi sudah ada sarana prasarana dasar yang bisa kita manfaatkan untuk menjalankan roda pemerintahan, terutama sektor pelayanan publik. Kalau di Peudawa apa bisa seperti itu? Para pegawai mau tinggal dimana? Anak-anaknya mau sekolah dimana? Kalau di Idi dari TK sampai Perguruan Tinggi ada, rumah yang dapat disewa pegawai juga ada, sambil menunggu membangun rumah sendiri.

Semuanya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Yang logis sajalah. Ini belum kita lihat kriteria Depdagri, kalau kita lihat kriteria Depdagri, Peudawa itu tidak masuk hitungan. Peureulak juga bagus, tetapi tetap lebih layak dan strategis di Idi.

Inilah jeleknya kalau kita mengedepankan ego primordial dan pendekatan politis daripada pendekatan teknis akademis. Kalau kita ingin ma salah ibukota segera tertuntaskan, mari kita duduk bersama dan kembali ke hasil seminar

(8)

dan lokakarya sebelumnya, atau buat survei ulang yang obyektif. Dan kalau itu kita lakukan, saya yakin Idi akan terpilih.

Sekarang Mirza membuat penelitian masalah ini, ini akan jadi pembanding dari yang sudah kami lakukan dulu, dengan metoda yang lebih sederhana tentunya. Ini akan menjadi suatu kontribusi buat kita semua.

Dunia Usaha

Peran masyarakat dunia usaha atau swasta dengan enterpreuneurship- nya, terhadap kemajua n suatu wilayah tidak diragukan lagi. Dunia usaha menggerakkan roda perekonomian wilayah, membuka lapangan kerja, dan membangun berbagai sarana prasarana wilayah. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak tanpa melibatkan swasta, swasta juga tidak dapat berinvestasi tanpa ada iklim dan ruang yang diberikan oleh pemerintah. Semuanya harus bersinergi dalam prinsip reinventing goverment.

Pandangan dari kalangan dunia usaha diharapkan dapat terwakili dari pendapat Iskandar Aba Aminy, yang disamping sebagai pengurus inti Gapensi dan Kadin Aceh Timur, juga ditunjuk oleh tokoh masyarakat sebagai Ketua Panitia Penempatan Pusat Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dalam susunan panitia bentukan tokoh masyarakat ini, tidak terdapat unsur kepengurusan dari pemerintahan daerah, baik dari legislatif maupun eksekutif. Dalam kepengurusannya ada pengacara, pengusaha hasil bumi, kontraktor, dan tokoh masyarakat. Pendapat dari Iskandar Aba Aminy tersebut sebagai berikut

(wawancara tanggal 15 Juli 2006):

Saya senang kebetulan sekali ada yang mau meneliti masalah ini, mudah-mudahan ada manfaat buat kita semua.

Saya sudah berusaha semaksimal mungkin agar kita segera punya ibukota. Malah sampai ke Bapak Gubernur di Banda Aceh dan Mendagri di Jakarta kita datangi, supaya Aceh Timur punya ibukota. Kami panitia melakukan studi dan survei untuk ini, hasilnya Idi yang layak jadi ibukota. Tetapi Anda kan tau, kalau Bupati Azman tidak mengajukan Idi sebagai ibukota, tapi Peudawa. Imbasan masalah ibukota pula yang belakangan membuat hubungan kami jadi kurang harmonis lagi sampai sekarang, padahal kami sama-sama dari Simpang Ulim, malah orangtua kami kawan kompak.

Kami, teman-teman panitia tidak mengatakan bagaimanapun juga harus Idi, tapi kami katakan, bagaimanapun juga dalam masalah ibukota ini harus obyektif, jangan dipolitisir seperti itu, kasihan kan Aceh Timur kita ini, semakin tertinggal pembangunannya di banding daerah lain di Aceh, padahal dulunya Aceh Timur identik dengan Aceh yang ‘makmur’. Sekarang Anda

(9)

lihat sendiri, kita ini tidak ada apa-apanya, malu rasanya masalah ibukota saja tidak sanggup kita putuskan.

Sekarang kita dapat bupati baru, walaupun cuma penjabat, besar harapan kita bupati baru ini dapat mengakomodir harapan masyarakat semua. Kami semua siap mendukung kebijakan bupati yang mau bertindak obyektif dalam masalah ibukota ini. Kami menyarankan ke bupati, agar dalam penentuan ibukota kembali ke konsep teknis-akademis. Toh hasil lokakarya dan seminar yang melibatkan semua unsur sudah ada, yah kita sepakat saja untuk kembali merujuk ke situ, selesaikan. Jangan berlarut- larut seperti ini, malu kita sama masyarakat, biar segera bisa kita urus masalah lain yang lebih urgen menyangkut kesejahteraan masyarakat. Apalagi kita sudah damai, jangan sampai kehilangan moment seperti ini.

Saat ini saya dan teman-teman, termasuk Pak Nabhani, akan terus berusaha agar masalah ibukota dapat tuntas tahun ini juga, bupati sekarang dan gubernur juga sepakat begitu.

Nanti jika ada perkembangan baru dalam masalah ini, saya akan hubungi Pak Mirza, dan Pak Mirza juga jika ada masukan sampaikan saja ke kami, biar sama-sama kita pikir masalah ini, kalau bukan kita putra Aceh Timur yang bergerak, siapa lagi?

Saya juga merasa prihatin dengan sikap DPR yang sepertinya juga tidak punya kemauan yang sungguh-sungguh untuk membicarakan masalah ibukota, padahal mereka wakil rakyat, tapi kok malah tidak menyadari mana yang prioritas mana yang tidak untuk diselesaikan. Mudah- mudahan bupati kita sekarang dapat mendekati DPR agar sama-sama secepatnya menyelesaikan masalah ibukota ini.

Masyarakat Umum

Masyarakat umum yang dimaksudkan di sini, adalah masyarakat biasa yang tidak terikat dengan suatu profesi, institusi, ataupun kelembagaan formal, baik yang difasilitasi oleh pemerintah maupun swasta. Termasuk di dalamnya yang dimintai pendapatnya, yaitu: M.Naser; tukang bangunan, T.Banta Ridi; pensiunan guru, M.Sadli; nelayan, Zubir; penjual perbekalan nelayan, Asnawi; petani, Ansari; LSM, Bakhtiar; jualan kopi, Tgk. Yahya Hanafi dan Tgk. Nurdin Nur; ulama dayah/pesantren. Responden ada yang beralamat di Peureulak, Langsa, Idi, Simpang Ulim, dan Lhok Nibong.

Pendapat dari kalangan masyarakat umum ini secara keseluruhan tidak begitu berbeda satu dengan lainnya. Ada beberapa yang skeptis atau tidak mau peduli sama sekali, ma u dimana saja terserah pemerintah, mereka merasa tidak punya kepentingan di situ. Namun yang paling mendasar dan menarik dari pendapat masyarakat adalah berhubungan dengan dimana mereka berdomisili.

(10)

Responden yang bertempat tinggal di Peureulak, berpendapat Peureulak lebih pantas jadi Ibukota Aceh Timur daripada Idi, demikian juga sebaliknya dengan yang bertempat tinggal di Idi. Kecuali Tgk. Nurdin Nur, Ketua Rabithah Ulama Dayah Aceh Timur, walaupun tinggal di Peureulak tetapi berpendapat bahwa Idi lebih tepat jadi ibukota daripada Peureulak. Sedangkan responden yang bertempat tinggal di luar Idi dan Peureulak, semuanya berpendapat bahwa Idi yang paling tepat menjadi ibukota Kabupaten Aceh Timur.

Berarti, masyarakat yang bertempat tinggal di kota yang di calonkan untuk menjadi ibukota secara sadar, rasional, dan subyektif, pasti akan memilih kotanya sendiri. Demikian sebaliknya, yang berasal dari luar kota yang dicalonkan, juga secara, rasional, dan subyektif pasti akan memilih kota yang tepat menurut pandangan mereka sendiri. Di sinilah sebenarnya “ruang” bagi pemerintah dan akademis untuk membuat keputusan seobyektif mungkin dengan mendasarkan pertimbangan pada indikator dan parameter yang jelas dan terukur.

Interpretasi Hasil Wawancara

Dari semua respond en atau informan, Nabhani, Ketua Tim Staf Ahli Bupati yang mewakili responden eksekutif adalah yang paling tinggi kompetensinya dalam masalah yang diteliti, karena terlibat jauh dalam tata pemerintahan KabupatenAceh Timur dari pra sampai pasca pemekaran. Bahkan, banyak juga pimpinan daerah di luar Aceh Timur menjadikan responden tersebut sebagai narasumber untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan masalah tata pemerintahan. Pengalaman karir beliau sebagai pamong praja senior cukup mendukung untuk itu. Beliau pernah menjadi Wakil Bupati dan Sekwilda Kabupaten Aceh Timur dan Widyaswara Diklatprov NAD.

Penulis dalam banyak hal sependapat dengan responden, namun penulis sangat tidak sependapat dengan wacana responden untuk memekarkan kembali Aceh Timur sebagai implikasi dari solusi masalah ibukota. Kalau pemekaran terus dilakukan hanya karena alasan yang sepele, seperti masalah ibukota, maka akan terus melahirkan wilayah-wilayah administratif yang semakin lama semakin kecil luasannya. Pengalaman menunjukkan, tidak semua pemekaran wilayah memberikan implikasi positif dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

(11)

pelayanan umum, dan daya saing daerah, tetapi malah membebani keuangan negara dengan penambahan belanja aparatur. Dalam kasus ini pemekaran Kabupaten Aceh Timur termasuk di dalamnya.

Pemekaran wilayah cenderung hanya menguntungkan para rent seekers, baik kalangan birokrat maupun politikus. Jadinya, pemekaran wilayah hanya menjadi “pepesan kosong” belaka. Padahal kalau Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 3 ayat 1 butir b, secara eksplisit disebutkan bahwa unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten adalah bupati dan perangkatnya sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif, mempunyai kewenangan menjalankan otonomi yang seluas- luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.

Dalam masalah pusat pemerintahan, Nabhani dengan jelas mengatakan, sedari awal Idi memang satu-satunya lokasi yang tepat untuk Ibukota Kabupaten Aceh Timur. Apalagi sudah melalui proses kajian, seperti seminar, lokakarya, dan studi lapangan. Mengejutkan sekali, pada kesempatan berikutnya, bupati saat itu bukannya merujuk pada output dari proses sebelumnya, malah mengajukan Peudawa untuk alternatif ibukota. Tentunya bupati juga memiliki alasan sendiri sehingga bertindak seperti itu.

Ada beberapa dugaan mengapa bupati bertindak seperti itu. Pertama, untuk menghindari konflik horizontal yang dapat membuat Aceh Timur terpecah lagi. Kedua, karena tekanan pihak lain, baik eksternal maupun internal, apalagi saat itu Aceh sedang dalam konflik dan diberlakukan status darurat militer. Ketiga, karena menjelang suksesi kepala daerah, bupati berminat untuk ikut Pilkada lagi, sehingga untuk memenangkan Pilkada akan menghindari untuk membuat keputusan yang tidak populis, yang dapat mengecewakan masyarakat wilayah tertentu. Keempat, adanya naluri apportunistic untuk menjadi rent seekers dalam pengadaan lahan untuk daerah perkantoran, yang notabene lahan di Peudawa dapat dibeli dengan murah dan sebagiannya masih milik negara. Namun semua dugaan tersebut belum dibuktikan sama sekali, peneliti belum pernah mewawancarai pimpinan daerah tersebut yang sekarang sudah purna bhakti.

(12)

Jika diperhatikan dengan seksama, di pihak legislatif memang ada perbedaan pendapat dalam masalah lokasi pusat pemerintahan. Ada kecenderungan bagi anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan Peureulak akan memperjuangkan Peureulak, demikian juga yang mewakili Idi. Obyektivitasnya dapat diketahui dari anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan selain Idi dan Peureulak, mereka berpendapat Idi lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan. Mereka mengatakan, konflik ini lebih kepada kepentingan politik dari politikus dan pejabat yang mewakili dan berasal dari Peureulak dan Idi. Namun secara keseluruhan, menurut catatan mereka, jika dilakukan voting suara terbanyak akan jatuh ke Idi. Walaupun voting adalah pilihan terakhir jika kesepakatan musyawarah menuju mufakat mengalami jalan buntu.

Pihak akademis yang terlibat dalam proses identifikasi lokasi pusat pemerintahan telah menyampaikan hasilnya, bahwa Idi adalah lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dalam melakukan kajian, pihak akademis dibantu Bappeda dan konsultan perencana. Rekomendasi dari pihak akademis ternyata tidak diakomodir oleh pimpinan daerah saat itu, walaupun perangkatnya sepakat untuk merujuk pada hasil kajian akademis tadi.

Berangkat dari keprihatinan atas berlarut-larutnya masalah pusat pemerintaha n dan adanya keinginan untuk ikut berkontribusi, beberapa pengusaha dan tokoh masyarakat membentuk Panitia Penetapan Ibukota Kabupaten Aceh Timur di luar kepanitiaan resmi yang dibentuk pemerintah daerah. Dari hasil kajian dan urun rembug, panitia tersebut mengusulkan Idi untuk jadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Dengan akses yang dimiliki, mereka juga mengupayakan percepatan penetapan pusat pemerintahan ini sampai ke Gubernur NAD dan Mendagri. Namun sesuai dengan prinsip otonomi daerah, kewenanga n ini ada di tangan unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yaitu bupati dan DPRD, sehingga upaya panitia ini tidak memberikan hasil seperti yang dikehendaki.

Baik secara pribadi maupun institusi, para pengusaha juga berkepentingan dengan penetapan pusat pemerintahan, baik langsung atau tidak, berimplikasi kepada perekonomian wilayah yang motor penggeraknya ada di tangan

(13)

pengusaha. Secara langsung, akan ada proyek-proyek pembangunan dan peningkatan sarana-prasarana pusat pemerintahan yang baru yang dapat dikerjakan para pengusaha konstruksi. Secara tidak langsung, akan membuka peluang usaha perdagangan, jasa, dan industri kecil- menengah di lokasi baru tersebut. Penduduk setempat dan pendatang yang berjiwa enteurpreneurship akan memanfaatkan peluang usaha baru sebagai keuntungan eksternal munculnya pusat pertumbuhan baru. Seperti dikemukakan sebelumnya, inilah salah satu “ruang” yang harus disediakan oleh pemerintah dalam prinsip reinventing goverment yang dapat meningkatkan perekonomian wilayah melalui kebijakan-kebijakan yang konstruktif.

Pihak masyarakat umum sendiri, tidak jelasnya masalah pusat pemerintahan juga menimbulkan masalah tersendiri, baik menyangkut masalah pelayanan publik yang berada dalam kewenangan pemerintah maupun pelayanan publik yang ditangani oleh swasta. Untuk memperoleh pelayanan yang dikehendaki, masyarakat harus ke Langsa, yang jika ditinjau dari total opportunity cost yang dikeluarkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan jika pelayanan tersebut ada di lokasi yang most acsessible dala m wilayah Kabupaten Aceh Timur sendiri.

Menilik pada hubungan aspek persepsi, baik secara kognitif, afektif, maupun konatif dengan latar belakang responden, diperoleh gambaran seperti ini: (1) Aspek kognitif, menekankan pada pengetahuan dan pandangan yang menimbulkan kepercayaan terhadap proses penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, ditunjukkan dengan pandangan terhadap manfaat ditetapkannya lokasi yang tepat. Aspek kognitif inilah yang mewarnai persepsi dan pendapat dari kalangan akademis dan dunia usaha, karena aspek ini menekankan pada pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Pengetahuan dan persepsi ini akan menghasilkan kepercayaan (belief) terhadap objek tertentu. (2) Aspek afektif, menekankan pada perasaan atau emosi yang menimbulkan rasa kesenangan atau ketertarikan terhadap penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Aspek afektif ini sangat terasa nuansanya pada kelompok masyarakat umum, karena aspek afektif lebih menekankan pada perasaan atau emosi dalam menilai objek tertentu. (3) Aspek konatif, menekankan

(14)

pada keinginan untuk bertindak atau melakukan sesuatu atas suatu respon yang ditunjukkan oleh keinginan untuk berbuat sesuatu atau menyumbangkan sesuatu yang dapat menunjang proses penetapan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur. Aspek konatif ini menonjol pada kalangan eksekutif dan legislatif serta kalangan dunia usaha secara institusional.

Terlepas dari semua aspek persepsi di atas, ada dua hal yang menjadi inti persepsi dari semua kelompok responden/informan. Pertama, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur harus segera menetapkan pusat pemerintahannya. Kedua, lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur yang strategis dan representatif adalah Idi.

Persepsi Terhadap Kriteria Pusat Pemerintahan

Persepsi terhadap kriteria yang menjadi bahan penilaian dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, digali melalui metode AHP. Hasil AHP (seperti pada Gambar 25) menunjukkan bahwa dalam penentuan pusat pemerintahan ada faktor yang harus lebih diperhatikan dibandingkan faktor lainnya.

1. Pada kriteria antara faktor sumberdaya wilayah, sosial fisik wilayah, dan perekonomian wilayah, maka faktor sumberdaya wilayah lebih penting daripada sosial fisik wilayah dan perekonomian wilayah. Pertimbangan berikutnya adalah faktor sosial fisik wilayah dan perekonomian wilayah. 2. Pada sub kriteria faktor sumberdaya wilayah, antara potensi sumberdaya alam, keberadaan kelembagaan formal dan informal, dan ketersediaan sarana prasarana, maka ketersediaan sarana prasarana menjadi faktor yang lebih penting dibandingkan lainnya. Pertimbangan berikutnya, keberadaan kelembagaan formal dan informal dan potensi sumberdaya alam.

3. Pada sub kriteria sosial fisik wilayah, antara faktor kependudukan, kestrategisan lokasi, dan sejarah status administrasi wilayah, maka kestrategisan lokasi harus lebih diperhatikan dibandingkan lainnya. Pertimbangan berikutnya adalah sejarah status administrasi dan kependudukan.

(15)

4. Pada sub kriteria perekonomian wilayah, antara faktor pusat aktivitas pertanian dengan faktor pusat perdagangan, industri, dan jasa, maka faktor kegiatan perekonomian berbasis perdagangan, industri dan jasa lebih dipentingkan dari kegiatan pertanian.

Gambar 25 Hasil AHP ketiga calon lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis.

Keterangan Gambar 25 :

Goal = Pusat Pemerintahan/Ibukota Kabupaten Aceh Timur. SDW = Sumberdaya Wilayah.

SFW = Sosial Fisik Wilayah. EW = Perekonomian Wilayah. SDA = Sumberdaya Alam.

Lembaga = Keberadaan Kelembagaan Formal dan Informal. Sarana = Ketersediaan Sarana dan Prasarana.

Penduduk = Kependudukan. Lokasi = Kestrategisan Lokasi.

Sejarah = Sejarah Status Administrasi Wilayah. Tani = Pusat Kegiatan Pertanian.

Bisnis = Pusat Perdagangan, Industri, dan Jasa. Peureulak = Kecamatan Peureulak.

Idi = Kecamatan Idi Rayeuk Peudawa = Kecamatan Peudawa.

(16)

Berdasarkan kriteria yang dikembangkan dalam AHP untuk menggali persepsi pengambil kebijakan dan masyarakat dalam penentuan pusat pemerintahan, maka Idi adalah lokasi yang paling memenuhi kriteria untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Ikhtisar

Pemerintah daerah memiliki otoritas sebagai penentu kebijakan, begitupun aspirasi dari berbagai komponen masyarakat perlu diakomodir dan disikapi dengan arif. Keberadaan akademisi dengan berbagai kajiannya sangat penting diberdayakan dan dilibatkan dalam rangka membantu penentuan kebijakan pembangunan, khususnya kebijakan spasial (spatial policies). Demikian juga dengan masyarakat serta pelaku dunia usaha yang menjadi mitra pemerintah dalam menggerakkan perekonomian wilayah.

Kerjasama segitiga antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha merupakan kunci bagi transformasi wilayah yang adil dan berkelanjutan. Dasar dari kerjasama ini adalah saling percaya antar pelaku pembangunan, meskipun masing- masing memiliki pandangan dan kepentingan yang beragam bahkan dapat pula berbeda.

Dalam penentuan pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur, dapat diketahui beberapa pandangan atau persepsi dari semua pemangku kepentingan

(stakeholder). Pertama, semua pihak berpendapat bahwa pusat pemerintahan

Kabupaten Aceh Timur harus segera ditetapkan. Kedua, pihak eksekutif, akademis, dan pelaku dunia usaha berpendapat, Idi adalah lokasi yang tepat untuk pusat pemerintahan. Ketiga, anggota legislatif dari wilayah pemilihan Peureulak menghendaki Peureulak menjadi pusat pemerintahan, sedangkan anggota legislatif dari wilayah pemilihan selain Peureulak menghendaki Idi yang menjadi pusat pemerintahan. Kedua, masyarakat yang bertempat tinggal di Peureulak menganggap bahwa Peureulak adalah lokasi yang paling tepat untuk pusat pemerintahan, sedangkan masyarakat lainnya di luar Peureulak menganggap bahwa Idi adalah lokasi yang paling tepat. Hasil analytical hierarchy process (AHP) menunjukkan, Idi adalah lokasi yang paling memenuhi semua kriteria yang ditentukan untuk menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.

Gambar

Gambar 25  Hasil AHP ketiga calon lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Aceh  Timur terhadap seluruh kriteria yang dianalisis

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu alternatif dalam penanganan kondisi hiperglikemia adalah dengan konsumsi sumber makanan mengandung senyawa bioaktif misalnya umbi-umbian.Umbi-umbian lokal

Permasalahan di atas terungkap melalui pra penelitian, berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap teman-teman guru dan siswa kelas V MI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik perairan mangrove Tanjung Api-api untuk Stasiun I (daerah laut) dicirikan oleh suhu, salinitas, DO dan pH yang

Buay

Diakhir games, pemain perlu diberikan ringkasan informasi (providing information) mengenai kemajuan dan proses yang telah dilakukan oleh pemain. Tambahan informasi mengenai

putih yaitu 7 genus jamur pelapuk putih antara lain Auricularia, Pythium, Alternaria, Verticillium, Phytophthora, Ganoderma,

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penerima Bantuan Program Pendidikan

Persepsi pengembangan karier karyawan adalah bagaimana karyawan memberi penilaian individu yang bersifat pribadi dalam melakukan peningkatan kemampuan dan keahlian