• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME 24

NOMOR 1

MARET 2016

 Aktivitas Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Sistem Ekskresi dengan Menggunakan Metode Peta Konsep Di SMPN 2 Banda Aceh

Anita Noviyanti (1-7)

 Meningkatkan Hasil Belajar Rangkaian R-L-C melalui Jigsaw Siswa Kelas XII TKJ.2 SMK Negeri 1 Bireuen

Bima Albert (8-17)

 Meningkatkan Hasil Belajar Tekanan Hidrostatis melalui NHT Siswa Kelas X TPTU SMK Negeri 1 Bireuen

Fatimah Abubakar (18-27)

 Perkembangan Budaya Politik Di Indonesia

M. Yusuf (28-34)

 Meningkatkan Hasil Belajar Norma Masyarakat Indonesia melalui STAD Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Jeumpa

Yusrawati (35-44)

 Meningkatkan Ketrampilan Menyusun RPP Berbasis K13 melalui Modeling KKKS Gugus III SD Negeri 28 Peusangan Kabupaten Bireuen

Zainuddin (45-55)

 Antisipasi Lembaga Perbankan Di Kota Banda Aceh dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang Dilakukan oleh Nasabah dan Korporasi

Zulfan Yusuf (56-66)

Kajian Pedagogical Content Knowledge Calon Guru

Rini Sulastri (67-70)

 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IX-2 Semester I Tahun 2013/2014 Materi Sejarah Terjadinya Uang dan Pengertian Uang melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Di SMP Negeri 1 Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya

Usmayani (71-87)

 Peningkatan Hasil Belajar Siswa Materi Teks Teks Iklan dalam Surat Kabar melalui Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Kelas IX-2 Semester I Tahun Ajaran 2014/2015 SMP Babul Istiqamah Susoh

A.Rani (88-105)

 Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Materi Organ Pernafasan melalui Metode Alat Peraga Kelas V Semester I Tahun Pelajaran 2015/2016 pada SD Negeri 12 Blangpidie Kabupaten Aceh Barat Daya

Aidar (106-119)

 Peningkatan Hasil Belajar Siswa Materi Penulisan Laporan Perjalanan dengan Menggunakan Metode Penugasan Di Kelas VIII-1 Semester I Tahun 2014/2015 SMP Negeri Tunas Nusa Kabupaten Aceh Barat Daya

Hasmanidar (120-132)

Diterbit Oleh

FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Jurnal

Pendidikan Serambi Ilmu

Volume 24 Nomor 1 Hal

1-132

Banda Aceh Maret

(2)

ANTISIPASI LEMBAGA PERBANKAN DI KOTA BANDA ACEH DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU) YANG DILAKUKAN

OLEH NASABAH DAN KORPORASI

Oleh

Zulfan Yusuf*

Abstrak

Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009, menegaskan bahwa Bank

umum konvensional/Syari’ah dan/atau BPR/BPRS wajib memiliki Sistem operasional

prosedur (SOP) tantang Anti pencucian uang (APU) dan Pencegahan pendanaan terorisme (PPT) dan selanjutnya menerapkannya dalam operasional bank sehari-hari. Adapun tujuan dari penerapan program APU dan PPT sebagai antisipasi Lembaga perbankan dalam mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh orang perseorangan dan/atau korporasi tertentu untuk tujuan organisasinya yang illegal. Ditinjau dari sisi kepentingan nasabah Program APU dan PPT dinilai bertentangan dengan prinsip perbankan Indonesia, pada program APU dan PPT mewajibkan nasabah memberitahukan asal usul dari dana yang akan disimpan dan tujuan dari penyimpanan tersebut di bank, sementara pada prinsip perbankan Indonesia mewajibkan lembaga perbankan merahasiakan data nasabah, baik untuk kepentingan bank sendiri maupun terhadap kepentingan pihak ketiga lainnya. Dalam operasional bank program APU dan PPT hendaknya dijalankan secara bertahap, hal ini dimaksudkan agar tidak mempengaruhi trend penghimpunan dana masyarakat, selanjutnya bank berkepentingan menyelenggarakan sosialisasi dan training, baik diberikan kepada petugas khusus yang menangani program tersebut maupun kepada masyarakat luas, sehingga mudah dipahami bahwa keberadaan program APU dan PPT semata-mata hanya melindungi dana masyarakat selama diinvestasikan disuatu bank. Disarankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar meningkatkan pengawasan dan pembinaan terhadap Lembaga Perbankan agar bersungguh-sungguh melaksanakan program APU dan PPT, selanjutnya memberikan sanksi hokum yang tegas kepada bank yang tidak menjalankan program APU dan PPT dalam operasional banknya. Terakhir diminta kepada Pemerintah sebelum memberikan sanksi hokum kepada bank berupa pemberhentian pengurus dari kegiatan bank dan/atau mencabut izin operasional suatu bank, agar lebih mengedepankan segi edukasi, dalam artian bahwa bank – bank tersebut diberi kesempatan untuk melakukan introspeksi kelembagaan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Lembaga perbankan tetap dapat dijaga dan dipertahankan dari waktu kewaktu.

Kata Kunci: Bank dan Anti Pencucian Uang PENDAHULUAN

Kejahatan pencucian uang (money laundering) merupakan salah satu jenis kejahatan white collar crime di lapangan ekonomi dan perdagangan. Dalam banyak kasus yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini pelaku kejahatan pencucian uang sebahagian besar dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan public dan/atau dilakukan oleh pengusaha yang dalam aktivitas usahanya mendapat dukungan financial dari pemerintah pusat dan setempat, sehingga tidak berlebihan kalau kejahatan tersebut juga disebut kejahatan khusus (special crime), oleh karenanya dalam

penanganannya harus dilakukan secara khusus pula.

Kejahatan pencucian uang merupakan kejahatan yang sangat berbahaya, sebab kejahatan tersebut secara structural dapat mengancam stabilitas ekonomi dan system moneter Negara, disamping juga sifatnya sangat lincah dan fleksibel, karena dengan mudah dapat melintasi batas-batas Negara, jika ditinjau dari sisi historis pada mulanya kejahatan pencucian uang dilakukan secara tradisional oleh mafia Amerika dengan membeli perusahaan-perusahaan pencucian pakaian dengan cara illegal, namun seiring

(3)

dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang transportasi dan komunikasi secara langsung mempengaruhi modus operandi kejahatan pencucian uang, yaitu yang awalnya dilakukan secara manual dan saat ini dilakukan dengan cara E.-Commerce dan Banking of Technologi System, dimana antara para pihak dalam melakukan transaksi perdagangan tidak saling bertemu secara face to face, namun cukup dengan menggunakan jasa internet dan telekomunikasi, sementara kata sepakat dicapai ketika para pihak menyatakan keinginannya dan berkomitmen untuk mengimplementasikan dalam transaksi perdagangan dan usahanya secara bersama-sama.

Sebagai antisipasi dimanfaatkannya lembaga perbankan sebagai tempat pencucian uang, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 menegaskan bahwa bank umum dan/atau BPR/BPRS wajib memiliki system operasional procedure (SOP) tentang anti pencucian uang (APU) dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT)

Program APU dan PPT secara tidak langsung bertentangan dengan prinsip perbankan Indonesia, yang mana pada program APU dan PPT mengedepankan prinsip transparansi dan keterbukaan, dengan mewajibkan nasabah memberitahukan asal usul dana simpanan dan tujuan menyimpan uang di bank, sementara prinsip perbankan Indonesia mewajibkan lembaga perbankan merahasiakan data keuangan nasabahnya dari kepentingan pihak ketiga dan/atau patut diduga akan diketahui dan dapat disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak berhak untuk kepentingan dirinya dan/atau orang lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka yang menjadi dasar kajian dalam Karya Ilmiah ini adalah, sebagai berikut :

1. Apakah PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 dan PBI No. 10/20/PBI/2010, tanggal 1 Desember 2010 tidak bertentangan dengan prinsip perbankan Indonesia

2. Sejauhmana pengaruh program APU dan PPT terhadap trend penghimpunan dana masyarakat di lembaga perbankan

3. Apa antisipasi Lembaga Perbankan dalam memberantas terjadinya Pencucian Uang di Kota Banda Aceh

PEMBAHASAN

1. Pengertian APU dan PPT

Pengertian program APU dan PPT tidak ditemukan dalam literature manapun, disamping juga belum ada pakar dan pemerhati masalah hukum yang membahas khusus tentang program APU dan PPT, sehingga sulit diberikan definisi berkaitan dengan anti pencucian uang, namun demikian untuk memberikan pemahaman awal tentang program APU dan PPT tersebut, maka berdasarkan penjelasan peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 dan PBI No. 10/20/PBI/2010, tanggal 1 Desember 2010 adalah suatu tindakan pencegahan (preventif) yang dilakukan oleh bank umum konvensional

dan/atau syari’ah dan BPR/BPRS dalam

mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan pencucian uang, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan untuk memperkaya dirinya maupun korporasi tertentu untuk kepentingan organisasinya.

Selanjutnya pengertian pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), adalah Perbuatan menempatkan, mentransfer,

membayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan dan/atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya ataupun patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau manyamarkan asal usul harta kekayaan , sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Kejahatan pencucian uang merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), pertama sekali dikemukakan oleh kriminolog dari Amerika Serikat yang bernama Edwin H. Sutherland, melalui bukunya berjudul White collar crime yang diterbitkan pada tanggal 27 Desember 1939. Berbeda dengan kejahatan konvensional lainnya yang melibatkan pelaku kejahatan jalanan (street crime, blue crime, jeans crime), sebaliknya kejahatan kerah putih dalam prakteknya sebahagian besar dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan tertentu di pemerintahan dan/atau pejabat swasta yang dalam aktivitasnya mendapat fasilitas tertentu dari pemerintah pusat dan pemerintah

(4)

setempat dan dilakukan secara terorganisir (organized crime).

Dalam prakteknya kejahatan pencucian uang menggunakan transaksi secara tunai, namun dewasa ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang transportasi dan informasi, secara langsung berimplikasi terhadap modus operandi kejahatan bank, yang tadinya dilakukan secara manual berubah dapat dilakukan tanpa harus datang ke bank, yaitu dengan cara E-Commerce atau Phone banking, yang dapat diakses secara luas tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.

Berdasarkan penjelasan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa antara program APU dan PPT memiliki kaitan yang sangat erat dengan Kejahatan Pencucian Uang. Kejahatan pencucian uang (money laundering) sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 mengatur tentang kejahatan pencucian uang dalam arti sempit dan luas, dalam arti sempit adalah setiap tindakan yang berusaha menjadikan pendapatan dan/atau kekayaan yang diperoleh secara illegal seolah-olah menjadi kekayaan yang sah, sedangkan kejahatan pencucian uang dalam arti luas adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Perbedaan yang sangat prinsip tersebut dalam hal pertanggungjawaban pidana memberikan keleluasaan kepada aparat penegak hukum dalam menafsirkan sifat dan bentuk kejahatan yang terjadi di lembaga perbankan dan/atau lembaga ekonomi lainnya secara lebih tajam dan obyektif, sehingga dengan cepat dan tepat dapat diformulasikan penanganannya dalam bentuk tindakan nyata.

2. Pengaturan Program APU dan PPT

Program APU dan PPT diatur melalui peraturan Bank Indonesia, antara lain sebagai berikut :

1. PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli

2009, mengatur tentang program APU dan PPT bagi bank umum konvensional

dan/atau syari’ah

2. PBI No. 10/20/PBI/2010, tanggal 1

Desember 2010, mengatur tentang program APU dan PPT bagi BPR/BPRS

Pasal 3 ayat (1) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009, menegaskan bahwa program APU dan PPT merupakan bagian dari

pengelolaan risiko kepatuhan dan operasional bank secara keseluruhan. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (2) menegaskan bahwa penerapan program APU dan PPT sebagaimana maksud dari Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 mencakup, antara lain : 1. Adanya pengawasan aktif dari Dewan Komisaris dan Direksi

2. Kebijakan dan prosedur 3. Pengendalian intern

4. System informasi manajemen 5. SDM dan Pelatihan

Berdasarkan penjelasan dari Pasal 3 ayat (2) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009, dapat dipahami, bahwa :

a. Program APU dan PPT merupakan bahagian dari pengelolaan risiko bank, selain risiko operasional, reputasi, risiko hukum dan risiko pasar

b. Program APU dan PPT bertujuan untuk mengamankan lembaga perbankan dari upaya pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan bank sebagai media untuk pencucian uang

c. Program APU dan PPT bertujuan untuk meningkatkan daya saing lembaga perbankan menjadi industri yang diperhitungkan dalam pembangunan ekonomi Nasional.

3. Manfaat Diterapkannya Program APU dan PPT dalam Operasional Perbankan.

Berbicara tentang manfaat atau kegunaan dari program APU dan PPT ada baiknya terlebih dahulu kita menelaah teori efektivitas yang dikemukakan oleh Soerjono soekanto, yang mengemukakan setidaknya terdapat 5 faktor untuk menilai efektif tidaknya suatu aturan hukum, antara lain :

1. Factor hukumnya sendiri (Undang –

undang)

2. Factor penegak hokum (membentuk dan menjalankan hokum)

3. Factor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hokum

4. Factor masyarakat (lingkungan dimana aturan hokum tersebut berlaku atau diterapkan)

5. Factor budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan karsa yang didasarkan kepada prakarsa manusia dalam pergaulan hidupnya sehari-hari.

Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto,

(5)

maka Romli Atmasasmita mengatakan faktor – faktor yang dapat menghambat efektivitas penegak hokum tidak hanya terletak pada sikap mental dari aparat penegak hokum (Hakim, jaksa, polisi dan pengacara), akan tetapi juga terletak pada factor sosialisasi hukum yang sering dilakukan

Agar terwujudnya suatu penegakan hukum yang responsive dibutuhkan hukum progresif, kata progresif berasal dari bahasa

Inggris, yaitu “ Progressive” yang berarti

maju, kata progresif menurut bahasa Indonesia berarti kearah kemajuan, berhaluan kearah perbaikan. Berdasarkan pengertian tersebut Satjipto Raharjo menawarkan teori progresif, yang mana inti dari hokum progresif terletak pada berfikir dan bertindak, progresif membebaskan dari teks hokum, karena pada akhirnya hokum itu bukan untuk dokumen semata, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

Lebih lanjut Satjipto Raharjo menjelaskan bahwa pemikiran hokum perlu kembali kepada filosofi dasarnya, yaitu hokum untuk manusia, dengan filosofi tersebut maka manusia menjadi penentu dari titik orientasi hokum, hokum bertugas melayani manusia dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia, mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada kesejahteraan manusia, sebab itu hukum

progresif menganut idiologi “ Hukum yang pro keadilan dan pro rakyat”

Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, hukum bukan sebagai institusi yang bersifat muthlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral dan bernurani karena sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi dan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.

Dalam perkembangan hokum setidaknya dapat diidentifikasi beberapa karakter hokum progresif yang diharapkan menjadi tipe hokum yang mampu memberi jalan bagi pembangunan hokum di Indonesia pada masa mendatang, dimana hokum progresif menganut paradigma, yaitu :

1. Hukum diciptakan untuk kesejahteraan manusia

2. Pluralisme hokum

3. Sinergi atas kepentingan pusat dan daerah

4. Koordinasi

5. Harmonisasi hukum

Sementara asas yang menjadi dasar dalam penerapan hukum adalah, sebagai berikut :

1. Asas persatuan 2. Asas kesamaan derajat 3. Asas desentralisasi 4. Asas otonomi 5. Asas fungsional.

Hukum progresif tidak berpikir semata-mata menurut Legal way, tetapi lebih dari itu atau disebut Reasunable way, yaitu apabila terjadi kebuntuan, maka hokum progresif melakukan cara alternative yang kreatif diatas menjalankan Law to the Letter.

Menurut Zudan Arif Fakhrullah, penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh aktivitas kehidupan, hukum dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, menegakkan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan –

kepentingan yang berbeda dalam bingkai akar yang telah disepakati bersama.

Oleh karenanya penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum Legalistic, namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas. Dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia, dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa masalah hukum yang selalu menonjol adalah masalah Law in Action dan bukan pada Law in the Books.

Berdasarkan penjelasan dari teori Efektivitas yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan teori Progresif yang disampaikan oleh Satjipto Raharjo dapat dipahami bahwa ketentuan APU dan PPT merupakan langkah preventif yang wajib dimiliki oleh setiap lembaga perbankan dalam menyikapi kemungkinan dimanfaatkannya lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan non bank lainnya oleh orang perseorangan dan/atau badan sebagai media pencucian uang. Tentunya ketentuan tersebut tidak hanya membantu lembaga perbankan dalam mendeteksi setiap terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang, namun yang lebih penting bermanfaat bagi masyarakat luas dalam menginvestasikan uangnya di Lembaga

(6)

Perbankan yang benar-benar sehat dan taat asas serta komitmen melindungi kepentingan nasabahnya. Karenanya program APU dan PPT pada dasarnya semata-mata bertujuan untuk melindungi dana-dana masyarakat yang diinvestasikan disebuah bank, disamping itu juga sebagai antisipasi lembaga perbankan mendeteksi masuknya dana-dana illegal dari orang perseorangan dan/atau korporasi tertentu, dengan demikian daya saing lembaga perbankan dapat terus ditingkatkan dan menjadi salah satu media berinvestasi yang aman dan menguntungkan.

4. Pengaruh Program APU dan PPT Terhadap Peningkatan Dana Masyarakat.

Banyak factor menyebabkan kurang percayanya nasabah terhadap lembaga perbankan, dalam hal ini Sutan Remy

Sjahdeini menyatakan bahwa “ Hubungan

antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan pinjam – meminjam uang antara debitor dan kreditor yang dilandasi oleh

asas kepercayaan “

Menurut Undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998 menegaskan bahwa hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana bukan sekedar hubungan kontraktual biasa antara debitor dan kreditor yang diliputi oleh asas – asas umum dari hokum perjanjian, tetapi juga hubungan kepercayaan yang diliputi asas kepercayaan.

Secara eksplisit Undang-undang mengakui bahwa hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan, yang membawa konsekwensi bank tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan nasabah penyimpan dana, namun hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan yang membebankan kewajiban-kewajiban kepercayaan (fiduciary obligations) kepada bank terhadap nasabahnya. Oleh karena itu masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia berpendapat bahwa hubungan antara bank dan nasabah adalah juga hubungan yang berlandaskan kepercayaan.

Berkenaan dengan seberapa jauh hubungan antara bank dan nasabah penyimpan, ada baiknya dilihat beberapa prinsip perbankan sebagai landasan fundamental Lembaga Perbankan di Indonesia, sebagai berikut :

a. Asas Kepercayaan (fiduciary principles)

Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya, disini bank menjalankan operasionalnya dengan mengandalkan dana dari masyarakat yang disimpan di bank tersebut atas dasar kepercayaan, sehingga setiap lembaga perbankan wajib menjaga tingkat kesehatannya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya.

Kemauan masyarakat menyimpan uangnya di bank semata-mata dilandasi oleh keyakinan bahwa uangnya akan dapat diperoleh kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan dan disertai dengan imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan terhadap suatu bank telah berkurang, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rush terhadap bank tersebut dan rush dapat menjadi factor awal hancurnya suatu bank.

b. Asas Kerahasiaan (confidential principle)

Asas kerahasiaan adalah suatu asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dalam dunia perbankan wajib dirahasiakan. Kerahasiaan ini adalah untuk kepentingan bank sendiri, bank memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank, masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Apabila bank menjamin bahwa tidak akan ada penyalahgunaan terhadap dana-dananya, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan nasabah penyimpan dana, untuk itu bank senantiasa memegang teguh janji termasuk didalamnya kerahasiaan dana nasabah.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan menjamin kerahasiaan nasabah penyimpan disuatu bank, dalam hal ini semua rahasia keuangan nasabah, namun demikian kerahasiaan nasabah ini dapat dikecualikan dalam hal-hal tertentu, yakni untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, peradilan pidana, korupsi, pencucian uang dan kejahatan khusus lainnya yang dalam prakteknya melibatkan nasabah

(7)

bank, baik sebagai pelaku maupun sebagai pihak yang membantu terjadinya kejahatan. Dengan demikian rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.

Keterikatan suatu bank terhadap ketentuan atau kewajiban merahasiakan keadaan keuangan nasabahnya menunjukkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana dilandasi oleh asas kerahasiaan, oleh karena itu hubungan antara bank dan nasabah penyimpan adalah hubungan kerahasiaan, dalam artian bank ,menjamin bahwa dana dan/atau simpanan nasabah akan dirahasiakan dari pihak-pihak yang tidak berhak dalam kondisi dan situasi apapun.

c. Asas kehati-hatian (prudential principle)

Asas kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menyatakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 menegaskan bahwa bank wajib melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Sementara dalam ayat (3) juga menegaskan bahwa bank dalam menyalurkan pembiayaan dan kegiatan usaha lainnya wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya dikelola oleh bank tersebut.

Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank selalu dalam kondisi sehat, dengan perkataan lain agar selalu dalam keadaan likuid dan solvent, dengan prinsip kehati-hatian diharapkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi, sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank.

Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena dihubungkan dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada masyarakat, namun yang

lebih penting adalah sebagai bagian dari system moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota masyarakat luas, disamping tentunya nasabah penyimpan sendiri. Dengan demikian prinsip kehati-hatian bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik dan benar, dengan tetap mempedomani norma-norma hokum yang berlaku dalam dunia perbankan, tentunya masyarakat senantiasa tetap mempercayai dananya dikelola oleh bank, yang pada gilirannya akan menciptakan system perbankan yang sehat dan efisien, dimana dalam arti sempit dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perkembangan ekonomi nasional.

Dalam penjelasan umum UU No. 10 Tahun 1998 mengamanatkan agar prinsip kehati-hatian tersebut dipegang teguh, selanjutnya ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan, terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana kepada masyarakat, sehingga tidak timbul kredit bermasalah dan/atau macet yang nantinya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan bank sendiri.

Berdasarkan beberapa prinsip perbankan sebagaimana telah dikemukakan di atas bila dikaitkan dengan ketentuan APU dan PPT dalam hal peningkatan dana masyarakat dapat disimpulkan, sebagai berikut :

a. Bahwa program APU dan PPT bertujuan untuk melindungi dana-dana nasabah penyimpan yang dipercayakan pengelolaannya di Lembaga Perbankan, sehingga keamanan dana nasabah tetap terpelihara dengan baik.

b. Meningkatkan daya saing dan ketahanan bank, mengingat persaingan bank semakin kompetitif, dengan demikian kredibilitas lembaga perbankan diharapkan mampu menjadi pioneer diantara kompetitor lainnya.

c. Menjadikan lembaga perbankan sebagai lembaga keuangan yang kokoh, tahan uji, mandiri dan professional, sehingga lembaga perbankan dengan mudah dan leluasa dapat melakukan mobilisasi dana-dana masyarakat, dengan demikian peran bank sebagai penyangga pembiayaan pembangunan bangsa dan Negara dapat terus ditingkatkan.

d. Membentuk lembaga perbankan sebagai lembaga keuangan yang aman dan

(8)

menguntungkan dalam berinvestasi. Aman dalam artian bahwa semua dana yang disimpan bukan berasal dari hasil kejahatan pencucian uang (money laundering), sementara menguntungkan bank akan memberikan bunga dan/atau bagi hasil kepada setiap pemilik dana, sehingga kebijakan tersebut dapat merangsang masyarakat untuk menjadikan lembaga perbankan sebagai tempat berinvestasi yang aman dan menguntungkan.

e. Membentuk lembaga perbankan menjadi lembaga keuangan yang bersih dan steril dari orang-orang yang memiliki latar belakang kriminal, yang dalam mendapatkan keuntungan dengan melakukan spekulasi yang merugikan orang lain dan menjadi ancaman terbesar bagi bangsa dan Negara.

5. Antisipasi Lembaga Perbankan di Kota Banda Aceh Dalam Menekan Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundering)

Sebagaimana telah dijelaskan pada bahagian terdahulu bahwa program APU dan PPT dibentuk untuk mengantisipasi dijadikannya lembaga perbankan sebagai media pencucian uang, baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun korporasi tertentu untuk memperkaya diri dan organisasi terlarang lainnya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 menjelaskan bahwa bank umum konvensional

dan/atau syari’ah wajib menerapkan program

anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme dan dalam pelaksanaan program dimaksud wajib berpedoman kepada ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur tentang APU dan PPT.

Mengingat pentingnya ketentuan tersebut, maka keberadaan peraturan APU dan PPT di Lembaga Perbankan tidak sekedar hanya memenuhi kewajiban semata, namun lebih jauh dapat dijadikan indicator patuh tidaknya bank terhadap peraturan pemerintah secara umum, khususnya menyangkut dengan pengamanan terhadap system Moneter, Keuangan dan Perbankan.

Oleh karenanya bank yang tidak menjalankan program APU dan PPT dinilai tidak taat asas dan memungkinkan dapat

diturunkannya tingkat kesehatan bank tersebut dari sehat menjadi cukup sehat atau dari cukup sehat menjadi kurang sehat, begitu seterusnya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009.

Pelaksanaan program APU dan PPT dalam operasional bank sekurang-kurangnya mencakup 5 (lima) hal, sebagai berikut : 1. Pengawasan aktif Direksi dan Dewan

Komisaris

2. Kebijakan dan prosedur 3. Pengendalian intern

4. System informasi manajemen 5. SDM dan Pelatihan.

Pengenaan sanksi kepada Lembaga Perbankan yang tidak menjalankan program APU dan PPT diatur dalam Pasal 50 ayat (1), (2), (3) dan ayat (4) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 adalah, sebagai berikut : (1) Terlambat menyampaikan laporan

pelaksanaan program APU dan PPT dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagaimana maksud Pasal 46 ayat (1) dikenakan sanksi administrative berupa kewajiban membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

(2) Belum menyampaikan program APU dan PPT atau laporan transaksi yang mencurigakan sebagaimana maksud dari Pasal 50 ayat (1) dalam waktu lebih 1 bulan, sejak batas akhir penyampaian laporan, dikenakan sanksi administrative berupa pembayaran denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) (3) Tidak melaksanakan komitmen, antara lain

:

a. Penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 kali pemeriksaan

b. Telah dituangkan dalam rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana maksud dari Pasal 27 ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi administrative berupa pengenaan denda sebesarRp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) (4) Bank tidak melaksanakan program APU

dan PPT dan Pasal 52 UU No. 10 Tahun 1998, Pasal 58 UU No. 21 Tahun 2008,

tentang Bank Syari’ah, terdiri dari :

a. Teguran tertulis

b. Penurunan tingkat kesehatan bank dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu

(9)

c. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia.

d. Pemberhentian pengurus bank.1 Dari penjelasan Pasal 50 Peraturan Bank Indonesia sebagaimana tersebut di atas dapat dipahami bahwa sebahagian besar sanksi yang dapat dijatuhkan kepada lembaga perbankan hanya berbentuk administrasi, berupa kewajiban membayar denda kepada Negara, dalam artian bank-bank tersebut masih dimungkinkan untuk menjalankan operasional seperti biasanya. Selanjutnya bank umum

konvensional dan/atau syari’ah tidak memiliki

system operasional prosedur (SOP) tentang APU dan PPT dipandang tidak taat asas dan/atau tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas kejahatan pencucian uang, maka terhadap bank-bank tersebut dapat dikenakan sanksi administratif secara berjenjang, yang dimulai dari pemberian surat peringatan secara tertulis dengan pemberian kesempatan terhadap bank-bank tersebut untuk memperbaiki kesalahannya.

Selanjutnya apabila bank umum

konvensional dan/atau syari’ah tidak berupaya

untuk memperbaiki kesalahannya atau tidak mengindahkan seruan dari Bank Indonesia untuk menjalankan program APU dan PPT dalam operasionalnya sehari-hari, maka terhadap bank-bank tersebut dapat ditingkatkan sanksi administratifnya, yaitu berupa pencabutan sebahagian izin operasional bank sampai kepada dimasukkannya karyawan, pengurus dan pemilik bank dalam daftar orang-orang yang dianggap tidak lulus kelayakan dan kepatutan (fit and profert test) yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.

Pengenaan sanksi administratif dengan memasukkan pengurus, staff dan pemilik bank kedalam orang-orang yang tidak lulus kelayakan dan kepatutan dinilai sangat tepat, karena menurut ketentuan Bank Indonesia

1 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

11/28/PBI/2009, Sekretariat Gubernur Bank Indonesia, Jakarta Pusat, 2011.

mereka akan kehilangan kesempatan untuk dapat bekerja dan menempati posisi penting dilembaga perbankan dalam kurun waktu antara 3, 5 bahkan 20 tahun, tergantung seberapa besar tingkat kesalahan yang dilakukan sehingga bank dianggap tidak taat asas.

Adapun tujuan dikenakannya sanksi tersebut agar pengurus, pemegang saham pengendali dan pihak terkait lainnya lebih serius dalam bekerja dan komitmen memegang amanah dan professional dalam mengelola bank, sehingga daya saing bank dapat terus ditingkatkan dari waktu kewaktu. Selanjutnya sanksi administrative terakhir yang dapat dijatuhkan kepada bank umum konvensional

dan/atau syari’ah sebagaimana diatur dalam

Pasal 50 ayat (3) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 adalah dengan memberhentikan pengurus bank dari jabatan aktif, pengurus disini terdiri dari jajaran Direksi dan Dewan Komisaris sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas dan/atau UU No. 10 Tahun 1998, tentang Perbankan sebagai pejabat yang sangat bertanggung jawab terhadap kelangsungan usaha bank.

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut dapat disimpulkan, sebagai berikut :

1. Bank umum konvensional/syari’ah

dan/atau BPR/BPRS wajib memiliki system operasional prosedur (SOP) tentang anti pencucian uang (APU) dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT) dan dijalankan dalam operasional bank sehari-hari sebagai upaya mencegah terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering), baik dilakukan oleh orang perseorangan maupun korporasi tertentu.

2. Pelaksanaan peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 11/28/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 dan/atau PBI No. 12/20/PBI/2010, 1 Desember 2010 dinilai sebagai bahagian dari penerapan Manajemen Risiko bank secara keseluruhan dan sekaligus dijadikan indicator bank taat asas terhadap Peraturan Pemerintah.

3. Terhadap bank yang tidak taat asas sebagaimana maksud dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 dan/atau PBI No. 12/20/PBI/2010, tanggal 1 Desember 2010 dapat dikenakan sanksi hokum

(10)

sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 ketentuan tersebut di atas berupa, antara lain :

a. Teguran tertulis

b. Penurunan tingkat kesehatan c. Pembekuan kegiatan usaha tertentu d. Pencantuman pengurus, pemegang

saham pengendali (PSP) dan Staff bank sebagai orang yang tidak lulus Fit Profert Test, dengan konsekwensi hokum yang bersangkutan tidak dapat melakukan akses dengan Lembaga Perbankan antara 3, 5 dan 20 tahun. e. Pemberhentian pengurus bank.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam beberapa bahagian sebelumnya, maka berikut ini dapat disampaikan kesimpulan dan saran adalah, sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Ketentuan APU dan PPT pada prinsipnya bertentangan dengan Sistem perbankan secara umum, yang mana pada APU dan PPT menuntut adanya keterbukaan dan transparansi terhadap asal usul dana simpanan nasabah, sementara pada prinsip perbankan Indonesia mewajibkan lembaga perbankan menjaga kerahasiaan dana nasabah, namun dalam upaya mencegah dijadikannya lembaga perbankan sebagai media Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun korporasi tertentu, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PBI No. 11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009 dan/atau PBI No. 12/20/PBI/2010, tanggal 1 Desember 2010 semua lembaga perbankan wajib memiliki system operasional procedure (SOP) APU dan PPT dan menjalankannya dalam kegiatan bank sehari-hari.

2. Dalam praktek perbankan ketentuan APU dan PPT dilaksanakan secara bertahap, hal ini dimaksudkan agar tidak mengganggu trend penghimpunan dana masyarakat. Selanjutnya lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam mendeteksi kemungkinan terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senantiasa berkoordinasi dengan pihak PPATK , Kepolisian dan Kejaksaan, sehingga setiap terjadinya Kejahatan White

Collar Crime segera dapat diselesaikan dengan cepat, tepat dan terukur.

3. Lembaga perbankan yang tidak memiliki system operasional procedure APU dan PPT dan/atau memiliki ketentuan APU dan PPT terapi tidak dijalankan dalam operasional bank sehari-hari, maka berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1), (20, (3) dan ayat (4) PBI No.11/28/PBI/2009, tanggal 1 Juli 2009, tanggal 1 Juli 2009 dapat dikenakan sanksi administratif adalah, sebagai berikut : a. Terlambat menyampaikan laporan

pelaksanaan program APU dan PPT dan transaksi keuangan yang mencurigakan sebagaimana maksud Pasal 46 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

b. Belum menyampaikan program APU dan PPT atau laporan transaksi yang mencurigakan sebagaimana maksud dari Pasal 50 ayat (1) dalam waktu lebih 1 bulan, sejak batas akhir penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa pembayaran denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

c. Tidak melaksanakan komitmen, antara lain :

1. Penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu 2 kali pemeriksaan 2. Telah dituangkan dalam rencana

kegiatan pengkinian data sebagaimana maksud dari Pasal 27 ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa pengenaan denda sebesar Rp. 100.000.000,-(seratus juta rupiah)

d. Bank tidak melaksanakan program APU dan PPT dan Pasal 52 UU No. 10 Tahun 1998, Pasal 58 UU No. 21

Tahun 2008, tentang bank syari’ah,

terdiri dari : 1. Teguran tertulis

2. Penurunan tingkat kesehatan bank dan/atau pembekuan kegiatan usaha tertentu

3. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus

(11)

dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau kegiatan dalam catatan administrasi Bank Indonesia/Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia

4. Pemberhentian pengurus bank dari kegiatan operasional bank.

B. Saran

1. Dalam menjalankan ketentuan APU dan PPT lembaga perbankan hendaknya berkoordinasi dengan PPATK, Kepolisian dan Kejaksaan sehingga setiap terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (Money laundering) dan actor intelektualnya dapat segera diungkap dan diusut secara tuntas, cepat dan terukur.

2. Kepada otoritas jasa keuangan (OJK) sebagai pengganti dari Bank Indonesia agar melakukan pengawasan yang lebih ketat dan tidak segan – segan memberikan sanksi yang tegas terhadap lembaga perbankan yang tidak menjalankan ketentuan APU dan PPT dalam kegiatan operasional banknya sehari – hari.

3. Disarankan dalam penjatuhan sanksi kepada lembaga perbankan yang tidak memiliki system operasional prosedur (SOP) tentang APU dan PPT dan/atau memiliki ketentuan APU dan PPT tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya, lebih mengedepankan segi edukasi, dalam artian bank – bank tersebut diberi kesempatan untuk melakukan introspeksi kelembagaan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap dapat dipertahankan dari waktu kewaktu.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 2003. Ensiklopedi Ekonomi Keuangan dan Perdagangan. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Achmad Ali. 2008. Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Irman, TB. 2007. Praktek Pencucian Uang

Dalam Teori dan Fakta. MQS

Publishing & Ayyccs Group, Bandung.

---. 2008. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). MQS Publishing & Ayyccs Group, Bandung.

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum di Indonesia, Http;//Jimly, Multiply. Com/ diakses bulan Februari 2012 Kasmir. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan

Lainnya. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

---. 2008. Manajemen Perbankan, Edisi Revisi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.

Munir Fuady. 2003. Hukum Perbankan Modern. Edisi Pertama. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---. Hukum Perbankan Modern, Edisi kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Moelyatno. 2006. Bagaimana Mengungkap Kejahatan Perbankan di Indonesia. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Ninik, Suparni. 2007. Eksistensi Hukum Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Cetakan kedua. Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Bank Indonesia (PBI), No. 12/20/PBI/2010, Tanggal 1 Desember 2010, tentang Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT), Bagi Bank Perkreditan Rakyat/Bank Pembiayaan

Rakyat Syari’ah.

Peraturan Bank Indonesia (PBI), No. 11/14/PBI/2009, Tanggal 1 Juli 2009, tentang Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.

Rachmadi, Usman. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Romli Atmasasmita. 2003. Pengantar Hukum

Kejahatan Bank. Edisi kedua. Prenada Media, Jakarta.

Satya Arinanta dan Ninuk Triyanti. 2011. Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Simanjuntak, B. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. Tarsito, Bandung.

(12)

Soerjono Soekanto. 1981. Penelitian Ilmu Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.

Soerdjono Dirdjosisworo. 1984. Ruang Lingkup Kriminologi. Remadja Karya, Bandung.

---.1984. Kejahatan Mafia. Armico, Bandung.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Tahun 1998, Nomor 182.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Tahun 2010, Nomor 364. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004, Nomor 7.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Tahun 2007, Nomor 106.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Wakil Bupati Gunungkidul dan Kepala Dinas Pariwisata Gunungkidul, pengembangan Kawasan Wisata Bhinneka ini dikarenakan pada kawasan tersebut terdapat lokasi

&egiatan kelurga berencana diarahkan pada pengembangan keluarga sehat se#ahtera, yaitu dengan makin diterimanya Norma &eluaga &ecil yang ahagia dan

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melihat adanya pengaruh daya tarik iklan promo yang dibuat Elevenia di media online melalui media sosial LINE berupa

Kades Mayungsari Harry Listiadi meminta bantuan kepada pemerintah daerah untuk membantu penanganan akibat longsor di desanya karena jalan yang terancam putus ini

Perasaan cinta kasih yang sama itulah, yang mengarah pada hal-hal yang baik dan buruk, yang mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan memberikan segala

Metode sterilisasi yang digunakan adalah sterilisasi menggunakan tablet formaldehid pada suhu kamar, panas kering dengan tablet formaldehid pada suhu 60°C selama 8 jam,

Menimbang bahwa, disamping apa yang telah disebutkan diatas ternyata pemberitahuan pernyataan banding kepada pihak lawan juga diberitahukan kepada Izwar Idris,

menghasilkan pendapatan yang stabil melalui investasi terutama pada instrumen-instrumen berpendapatan tetap dalam mata uang Rupiah, yang diterbitkan oleh para pihak di