• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haerani Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Haerani Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

UnizarLawReview

Volume 4 Issue 1, June 2021

E-ISSN: 2620-3839

Nationally Accredited Journal (Sinta 5), Decree No. 200/M/KPT/2020 Open Access at: hhttp://e-journal.unizar.ac.id/index.php/ulr/index

KEWENANGAN SYAHBANDAR DALAM PEMBEBANAN DAN

PEMBUATAN AKTA HIPOTEK KAPAL LAUT

HARBORMASTER AUTHORITY IN LOADING AND MAKING A

MARINE SHIP MORTGAGE DEED

Haerani

Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Email: haeranizain@yahoo.com

Hafizatul Ulum

Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Email: hafizatululum91@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini hendak mengkaji bagaimanakah tahapan-tahapan dalam pendaftaran kapal dan bagaimana kewenangan Syahbandar dalam pembebanan dan pembuatan akta hipotek kapal laut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Metode pengumpulan bahan hukum menggunakan studi dokumen dengan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan Pertama, tujuan pendaftaran kapal adalah untuk menentukan status hukum kapal; memperoleh surat kebangsaan kapal Indonesia; kapal yang telah didaftarkan mempunyai status benda tidak bergerak; kapal yang didaftarkan dapat dibebani hipotek. Untuk mencapai tujuan tersebut, berdasarkan Pasal 154 Undang-Undang Pelayaran menyebutkan bahwa status hukum kapal ditentukan setelah melalui proses pengukuran kapal, pendaftaran kapal, dan penetapan kebangsaan kapal. Kapal yang telah memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal. Kedua, Kewenangan Syahbandar dalam pembebanan dan pembuatan akta hipotek kapal laut merupakan kewenangan atributif yang diperoleh langsung dari undang-undang, yaitu Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 60 ayat (2) UU Pelayaran, maka Notaris dalam hal ini tidak berwenang membuat akta hipotek kapal laut sebagai akta otentik, yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal. Dalam hal ini berlaku asas dalam perundang-undangan, yaitu Lex

Specialis derogat legi generali.

Kata Kunci: Kewenangan; Syahbandar; Hipotek Kapal Laut

Abstract

The purpose of this research is to examine what are the stages in ship registration and what is the authority of the harbour master in charging and making marine ship mortgage deeds. This research is a normative legal research using the Statue Approach and Conceptual Approach. The method of collecting legal materials used document studies and analyzed descriptively qualitatively. The results showed first, the purpose of ship registration is to determine the legal status of the ship; obtain the Indonesian ship’s nationality certificate; ships that have been

(2)

registered have immovable object status; registered vessels may be mortgaged. To achieve this goal, based on Article 154 of the Shipping Law, it is stated that the legal status of a ship is determined after going through the process of measuring the ship, registering the ship, and determining the nationality of the ship. Ships that have obtained the Indonesian Ship’s National Identity Certificate are obliged to meet the ship’s marine eligibility requirements. Second, the authority of the harbormaster in the imposition and drafting of marine mortgage deeds is attributive authority obtained directly from the law, namely Article 60 paragraph (2) of Law Number 17 of 2008 concerning Shipping. Based on the provisions in Article 60 paragraph (2) of the Shipping Law, the Notary in this case is not authorized to make a marine mortgage deed as an authentic deed, the authorized in this case is the Registrar Officer and the Registrar of the Ship’s Name. In this case the principle applies in the law, namely Lex Specialist derogate legi generali.

Keywords: Authority; Harbour master; Marine Mortgage

A. PendAHUlUAn

Hukum merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Dalam pembukaan UUDN RI Tahun 1945 alinea ke 4 (empat) memuat tujuan nasional dari berdirinya Negara Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Berdasarkan tujuan tersebut, maka tugas pemerintah tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi lebih luas dari itu yaitu menyelenggarakan kepentingan umum. Salah satunya adalah pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat, mengingat perkembangan perekonomian yang pesat saat ini telah menghasilkan beragam jenis barang dan/atau jasa. Kemajuan teknologi dan informasi turut mendukung perluasan ruang, gerak, arus, bidang usaha dan transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah negara. Sehingga masyarakat pada akhirnya dihadapkan pada berbagai pilhan jenis barang dan/atau jasa serta beragam bidang usaha yang ditawarkan secara variatif.1

Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagi Indonesia karena akan menjadi lalu lintas dalam perdagangan dunia. Oleh karena itu, pemerintah dalam upayanya memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam kegiatan pelayaran membuat aturan terkait dengan kegiatan pelayaran yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Buku II Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal,

(3)

dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan ini dapat menjadikan peluang usaha besar bagi para pengusaha pelayaran.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1171 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembebanan kapal laut sebagai jaminan dengan menggunakan lembaga jaminan hipotek kapal laut harus menggunakan akta otentik.

Akta otentik adalah surat tanda bukti yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat yang berkompeten dalam pembuatan akta otentik tersebut sesuai dengan keilmuannya adalah Notaris dan PPAT.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UUJN) menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN.

Namun, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran maka telah ditentukan secara tegas bahwa pejabat yang berwenang untuk melakukan pembebanan, pembuatan akta dan pendaftaran hipotek kapal laut adalah Pejabat Pendaftar Dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan, yang merupakan pejabat yang berada di kantor pelabuhan yang berkenaan. Dalam praktik di lapangan, Pejabat Pendaftar Dan Pencatat Balik Nama Kapal sering disebut juga Syahbandar.

B. RUmUsAn mAsAlAH

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang menjadi fokus perhatian dalam tulisan ini sebagai berikut: 1) Bagaimanakah tahapan-tahapan dalam pendaftaran kapal?; 2) Bagaimanakah kewenangan Syahbandar dalam pembebanan dan pembuatan akta hipotek kapal laut?

C. metode PenelitiAn

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merujuk pada peraturan-peraturan atau bahan-bahan hukum lain yang terkait dengan Kewenangan Syahbandar dalam Pembebanan dan Pembuatan Akta Hipotek Kapal Laut. Pendekatan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach), Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Sumber bahan hukum yang digunakan

2 Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), PT. Raja

(4)

dalam penelitian hukum normatif adalah bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah; 1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini; 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer,3 seperti

buku-buku, karya ilmiah dan jurnal. Bahan pendukung lainnya seperti wawancara dengan narasumber seorang ahli hukum untuk memberikan pendapat hukum tentang suatu fenomena; 3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang merupakan bahan hukum yang bersumber dari Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Teknik pengumpulan bahan hukum yang peneliti gunakan adalah studi dokumen yang merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun sosiologis) karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Untuk itu, dalam penelitian ini penulis mencari dan mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan perundang-undangan, hasil-hasil penelitian hukum, makalah-makalah, maupun majalah atau jurnal hukum. Untuk memperoleh pemahaman atas masalah yang terjadi, digunakan metode penarikan kesimpulan dengan cara deduktif yaitu suatu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus.

d. HAsil dAn PemBAHAsAn

tahapan-tahapan Pendaftaran Kapal

Pengaturan pendaftaran kapal di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu KUHD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya dalam Bagian keenam yang mengatur tentang Status Hukum Kapal mulai dari Pasal 154 sampai dengan Pasal 168. Disamping itu juga diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 154 Undang-Undang Pelayaran menyebutkan bahwa status hukum kapal ditentukan setelah melalui proses pengukuran kapal, pendaftaran kapal, dan penetapan kebangsaan kapal.

a. Pengukuran

Sebelum kapal didaftarkan harus terlebih dahulu dilakukan pengukuran kapal oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Menteri. Sehingga setiap kapal yang digunakan untuk

(5)

berlayar wajib diukur. Hal ini tidak berlaku bagi kapal negara yang digunakan untuk tugas-tugas pemerintahan. Namun atas permintaan pemilik, kapal yang tidak digunakan untuk berlayar dan kapal Negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan dapat diukur4.

Hasil pengukuran kapal disusun dalam daftar ukur kapal, untuk menetapkan ukuran dan tonase kapal. Jika dari perhitungan hasil pengukuran yang disusun dalam daftar ukur kapal diperoleh ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3 yang setara dengan tonase kotor 7 GT 7

(Tujuh Gross Tonnage). Atau lebih terhadap kapal yang diukur diterbitkan Surat Ukur. Surat Ukur tersebut ditebitkan oleh Menteri Perhubungan dan dapat dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk di kantor Administrator Pelabuhan/Kantor Pelabuhan.

Kapal yang telah mendapatkan surat ukur wajib dipasang tanda selar dengan baik dan mudah dibaca5. Adapun yang dimaksud dengan tanda selar adalah rangkaian huruf dan angka

yang menunjukkan ukuran kapal, nomor surat ukur, dan tempat dimana surat ukur itu dibuat. Surat ukur kapal menjadi salah satu persyaratan yang wajib dilengkapi pada saat pemilik kapal mengajukan permohonan pendaftaran hak milik atas kapal6.

b. Pendaftaran Kapal

Pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik atas kapal. Hak milik merupakan bagian dari hukum benda dalam kerangka hukum perdata. Karena itu dasar hukum utama dari pendaftaran kapal adalah Pasal 314 KUHD yang merupakan “lex spesialis” dari KUH Perdata dan Stbl 1933 No. 48 sebagai peraturan pelaksanaannya. Karena pendaftaran kapal merupakan bagian dari status hukum kapal dalam kerangka kelaiklautan kapal, maka Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan juga mengatur tentang pendaftaran kapal, tetapi hanya terbatas kepada persyaratan dan tata cara pendaftaran kapal atau aspek hukum publiknya saja.

Ruang lingkup pendaftaran kapal meliputi pendaftaran hak milik, pembebanan hipotek pencatatan hak kebendaan lainnya atas kapal. Pembebanan hipotek dan hak kebendaan lainnya atas sebuah kapal baru dapat dilakukan bila hak milik atas kapal dimaksud telah didaftarkan7.

Pendaftaran kapal dapat dilakukan pada unit tugas dan fungsinya di bidang pendaftaran dan kebangsaan kapal pada Kantor Pusat Direktor Jendral atau di pelabuhan yang ditetapkan sebagai tempat pendaftaran kapal yang telah ditetapkan dalam peraturan menteri tersebut.

Tujuan dari dilakukan pendaftaran kapal adalah:8

4 Sasono, Herman Budi, Soegiharto, dkk. 2014. Manajemen Kapal Niaga (Teori, Aplikasi dan Peluang-Peluang Bisnis,

Andi, Yogyakarta, hlm. 67.

5 Ibid, hlm.99.

6 Soegeng. Wartini, 2000. Pengukuran Kapal Indonesia (Aspek Hukum), PT.Refika Aditama, Bandung, hlm.77. 7 Anis Idham, 1995, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut, Alumni, Bandung, hlm 179.

(6)

1 Menentukan status hukum dari kapal yang didaftarkan;

2 Menentukan persyaratan guna mendapatkan surat kebangsaan kapal Indonesia;

3 Kapal yang telah didaftarkan mempunyai status benda tidak tetap terdaftar dan diperlukan sebagai hak kebendaan di dalam hal jual beli dan pengalihan hak;

4 Kapal yang didaftarkan dapat dibebani hak hipotik. Dengan kata lain, kapal tersebut dijadikan sebagai jaminan kredit dan atau agunan dari kredit tersebut.

c. Penetapan Kebangsaan kapal

Tentang kapal laut Indonesia, bahwa sebuah kapal laut yang telah didaftarkan dalam register kapal mendapat tanda kebangsaan, suatu bukti, bahwa kapal tersebut adalah kapal berkebangsaan Indonesia.

Kapal laut Indonesia dapat diberikan bukti kebangsaan dalam bentuk:9

a. Surat Laut, yang dapat diberikan kepada kapal laut yang berukuran bruto 500 m3 atau lebih

dan bukanlah kapal nelayan atau kapal pesiar.

b. Pas Kapal, pas kapal dapat diberikan kepada kapal laut untuk mana tidak dapat diberikan surat laut. Pas kapal ada 2 macam:

1) Pas tahunan diberikan kepada kapal laut yang berukuran bruto kurang dari 20 m3 atau

lebih tapi kurang dari 500m3 dan yang bukan kapal nelayan laut atau kapal pesiar.

2) Pas kecil diberikan kepala kapal yang berukuran bruto kurang dari 20 m3, juga diberikan

kepada kapal nelayan laut atau kapal pesiar.

c. Surat Laut Sementara, ini diperlukan buat pembelian kapal laut atau pembuatan kapal sedemikian itu, hal-hal mana itu terjadi di wilayah Republik Indonesia atau di luarnya. Surat laut sementara berlaku hanya paling lama 1 tahun.

d. Surat Izin, untuk suatu perjalanan atau lebih di dalam wilayah Republik Indonesia.

Kapal yang telah memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal baik nasional maupun internasional sesuai ukuran dan daerah pelayaran.

Kewenangan syahbandar dalam Pembebanan dan Pembuatan Akta Hipotek Ka-pal laut

a. Kewenangan syahbandar dalam Pembebanan dan Pembuatan Akta Hipotek Ka-pal laut

(7)

Pengaturan Hipotek kapal laut saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (selanjutnya disebut UU Pelayaran). UU Pelayaran mengatur bahwa pembebanan Hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta Hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk pendaftaran kapal (dalam hal ini Kepala Seksi Pendaftaran dan Balik Nama Kapal, Direktorat Perkapalan dan Pelayaran. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan untuk kapal laut yang terdaftar di Syahbandar setempat/di luar Jakarta). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 60 UU Pelayaran, sebagai berikut:

1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.

2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.

4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan Grosse Akta pengganti berdasarkan

penetapan pengadilan.

Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 60 ayat (2) UU Pelayaran, maka Notaris dalam hal ini tidak berwenang membuat akta hipotek kapal laut sebagai akta otentik, yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal. Dalam hal ini berlaku asas dalam perundang-undangan, yaitu Lex Specialis derogat legi generali bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).

Sesuai dengan pengaturan yang berlaku, maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal ini dapat digolongkan sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, karena Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik yang berupa akta hipotek kapal laut. Pengaturan dalam UU Pelayaran ini berarti pembuat akta otentik hipotek kapal laut telah bergeser ke Pejabat Sektoral yang ditunjuk (dalam hal ini Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal), yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Syahbandar.

Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan

(8)

keamanan pelayaran. Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan kemanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan10.

Dalam menjalankan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran dibentuklah kelembagaan Syahbandar. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, yang di dalamnya mengatur bahwa organisasi kantor kesyahbandaran dan otoritas pelabuhan kelas III, terdiri atas:

a. Sub bagian Tata Usaha;

b. Petugas Status Hukum dan Sertifikasi Kapal;

c. Petugas Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patrol; dan

d. Petugas Lalu Lintas dan Angkutan Laut, dan Usaha Kepelabuhanan.

Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2018 dijelaskan bahwa petugas status hukum dan sertifikasi kapal-lah yang mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pengukuran, pendaftaran, balik nama, hipotek dan surat tanda kebangsaan, penggantian bendera kapal serta pemasangan tanda selar dan melakukan pemeriksaan, penilikan rancang bangun kapal, pengawasan pembangunan, perombakan dan docking kapal, pemeriksaan dan pengujian nautis, teknis, radio, elektronika kapal, penghitungan dan pengujian stabilitas, percobaan berlayar, pengujian peralatan, verifikasi dan penyiapan bahan penerbitan sertifikat keselamatan kapal, sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, pembersihan tangki serta perlindungan ganti rugi pencemaran.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, bahwa kewenangan Syahbandar dalam pembebanan dan pembuatan akta hipotek kapal laut merupakan kewenangan atributif yang diperoleh langsung dari undang-undang. Dalam hal ini kewenangan tersebut diperoleh berdasarkan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek

oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

b. Akta Hipotek sebagai Akta otentik

Mengenai permasalahan kewenangan akta otentik ini, Habib Adjie juga mengemukakan pendapatnya mengenai kewenangan ini, yaitu wewenang (atau yang biasa digunakan istilah

(9)

kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan pada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.11

Dalam hal seperti ini sebenarnya notaris telah dikonstruksikan sebagai pejabat yang berwenang membuat akta otentik sepanjang diperintahkan oleh undang atau undang-undang menentukan lain yang dikehendaki oleh para pihak agar perbuatan hukumnya dituangkan dalam suatu akta notaris12. Meskipun dalam UUJN tegas ditentukan bahwa notaris

berwenang untuk membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, namun walau demikian akta otentik tidak harus selalu dibuat oleh notaris, karena sesungguhnya akta otentik merupakan suatu akta yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh pegawai-pegawai umum yang berkuasa atas itu di tempat mana akta dibuatnya.

Sehingga dapat dipahami bahwa akta hipotek kapal laut yang dibuat oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dapat dikategorikan sebagai akta otentik13, karena sebenarnya

akta itu telah memenuhi persyaratan sebagai akta otentik, yaitu dalam bentuk yang ditentukan oleh UU Pelayaran dan dibuat oleh pejabat atau pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat mana akta dibuatnya (ditentukan oleh UU Pelayaran). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis, dimana UU Pelayaran sifatnya lebih khusus mengatur mengenai pembuatan akta hipotek ini dibandingkan dengan pengaturan yang terdapat di dalam UUJN.

Habib Adjie menyatakan bahwa tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat dihadapan pejabat-pejabat atau pegawai umum yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat, dan akta otentik tidak saja dapat dibuat oleh notaris.14 Dengan ini jelas dimungkinkan bahwa akta

yang dibuat oleh pejabat selain notaris juga merupakan akta otentik.

Lebih lengkapnya mengenai akta otentik ini juga diungkapkan oleh C.A. Kraan, bahwa akta otentik mempunyai ciri sebagai berikut: Suatu tulisan, dibuat dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan alat bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat bersangkutan saja; Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang; Ketentuan perundang-undangan

11 Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia: TafsirTematik terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hlm. 77

12 Satrio, J. 2007, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.90.

13 Putra, Fani Martiawan Kumara, 2012, “Surat Kuasa Memasang Hipotek Dalam Jaminan Hipotek Kapal Laut”, Jurnal

Perspektif , Volume XVII No. 2 Edisi Mei, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

(10)

yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurangnya memuat ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan juga kedudukan atau jabatan pejabat yang membuatnya data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut); Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat juga pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence) serta tidak memihak (onpatijdigheid-impartiality) pada waktu menjalankan jabatannya; Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di bidang hukum privat.15

Berdasar penjabaran di atas, maka jelas bahwa secara hukum, akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal mempunyai kekuatan hukum yang sempurna, dan tentu saja mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna pula.

e. KesimPUlAn

Tujuan dari dilakukan pendaftaran kapal adalah untuk menentukan status hukum dari kapal yang didaftarkan; menentukan persyaratan guna mendapatkan surat kebangsaan kapal Indonesia; kapal yang telah didaftarkan mempunyai status benda tidak bergerak terdaftar dan diperlukan sebagai hak kebendaan di dalam hal jual beli dan pengalihan hak; kapal yang didaftarkan dapat dibebani hak hipotek. Untuk mencapai tujuan pendaftaran tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 154 Undang-Undang Pelayaran menyebutkan bahwa status hukum kapal ditentukan setelah melalui proses pengukuran kapal, pendaftaran kapal, dan penetapan kebangsaan kapal. Dari ketentuan pasal 154 dapat disimpulkan bahwa pengibaran bendera kebangsaan juga menunjukan status hukum kapal. Karena dari bendera tersebut dapat ditelusuri kebangsaan kapal, hukum yang berlaku diatas kapal dan pemilik kapal. Kapal yang telah memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.

Kewenangan Syahbandar dalam pembebanan dan pembuatan akta hipotek kapal laut merupakan kewenangan atributif yang diperoleh langsung dari undang-undang. Dalam hal ini kewenangan tersebut diperoleh berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 60 ayat (2) UU Pelayaran, maka Notaris dalam hal ini tidak berwenang membuat akta hipotek kapal laut sebagai akta otentik, yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal. Dalam hal ini berlaku asas dalam perundang-undangan, yaitu Lex Specialis

derogat legi generali bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan

hukum yang bersifat umum (lex generalis). Maka akta hipotek kapal laut yang dibuat oleh

(11)

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dapat dikategorikan sebagai akta otentik, yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

daftar Pustaka A. Buku

Anis Idham, 1995, Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut, Alumni, Bandung. Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia: TafsirTematik terhadap Undang-Undang

No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung.

Marzuki , Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum, Cet.5, Kencana, Jakarta.

Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,

Bentuk dan Minuta Akta), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sasono, Herman Budi, Soegiharto, dkk. 2014. Manajemen Kapal Niaga (Teori, Aplikasi

dan Peluang-Peluang Bisnis, Andi, Yogyakarta.

Satrio, J. 2007, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung Soegeng. Wartini, 2000. Pengukuran Kapal Indonesia (Aspek Hukum), PT.Refika

Aditama, Bandung.

Soegeng. Wartini, 2018. Pendaftaran Kapal Indonesia, PT. Eresco, Bandung.

Wiwoho Soedjono, 1982, Hukum Perkapalan dan Pengangkatan Laut, PT.Bina Aksara, Jakarta.

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.1, Ed.1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

B. Jurnal

Putra, Fani Martiawan Kumara, 2012, “Surat Kuasa Memasang Hipotek Dalam Jaminan Hipotek Kapal Laut”, Jurnal Perspektif , Volume XVII No. 2 Edisi Mei, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang Undang Hukum Dagang;

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432)

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849)

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491)

(12)

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227)

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 733)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil output SPSS diatas diperoleh t hitung untuk variabel Lingkungan Sosio-Budaya sebesar 3,308 sehingga jika t hitung dibandingkan dengan t tabel sebesar

Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf d meliputi kawasan

Dalam mengatasi kesulitan mengenai keadaan barang berupa busana dan memperoleh barang-barang tersebut, orang mulai berpikir dengan cara apa busana yang dibutuhkan

• Terwujudnya bangunan Jogja Fashion Center di Yogyakarta sebagai wadah untuk menampung aktivitas yang berkaitan dengan fashion, yang feminin dan anggun melalui pengolahan

study. Berdasarkan hasil penulisan menunjukkan bahwa fesyen di Indonesia masih dipengaruhi oleh budaya Eropa dan Asia, saat ini khususnya dari Korea. Industri kreatif bidang fesyen

Proses diagram dimulai pada saat pengguna memilih menu user list lalu pilih add new user, sistem akan langsung memunculkan tampilan pembuatan pembuatan user

Orang Karo zaman sekarang, hanya melihat rumah adat khususnya simbol pengeret-ret sebagai peninggalan budaya yang bisa dimanfaatkan untuk mata pencaharian yang

Dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah korelasi antara variabel kondisi genangan banjir rob yang meliputi ketinggian dan lama genangan dengan variabel kondisi