ABSTRAK
Stres merupakan masalah psikologi yang sering dialami lansia. Stres berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas sehari-hari, status sosial ekonomi rendah, isolasi sosial, serta penurunan kondisi mental. Penanganan non farmakologi yang bisa diberikan untuk manajemen stres pada lansia adalah brain gym. Brain gym merupakan senam yang menggerakan ekstremitas atas kanan dan kiri serta melibatkan kemampuan berpikir dan mengingat. Kolaborasi brain gym dengan gamelan Bali akan mengarahkan fokus dan konsentrasi lansia ke arah emosi yang menyenangkan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh brain gym kolaborasi gamelan Bali terhadap stres pada lansia. Rancangan yang digunakan one group pre-test and post-test design terhadap 30 sampel lansia yang dipilih menggunakan teknik sampel jenuh. Pengumpulan data dilakukan dengan penilaian terhadap stres sampel menggunakan kuesioner DASS 21. Pengukuran skor stres sebelum dan setelah intervensi menunjukan adanya penurunan stres dengan rata-rata sebesar dua. Hasil uji statistik Wilcoxon Rank Test didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti ada pengaruh signifikan brain gym kolaborasi gamelan Bali terhadap stres lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara Brain gym kolaborasi gamelan Bali dapat diterapkan sebagai kegiatan rutin lansia yang dilaksanakan dua kali seminggu dan disarankan kepada perawat untuk memberikan edukasi kepada lansia terkait prosedur pelaksanaannya sehingga diharapkan lansia dapat mengontrol stres melalui latihan secara mandiri di rumah.
Kata kunci: Brain gym, gamelan Bali, lansia, stres Referensi (130: 1988-2016)
ABSTRACT
Stress is a psychological problem which mostly experienced by the elderly. Stress is associated with changes in activities of daily life, low socioeconomic status, social isolation, and decrease in mental condition. Non-pharmacological treatment which can be given to manage stress in the elderly is the brain gym. Brain gym is an exercise program with movement the upper extremity of right and left and involving the capability to think and remembering. Brain gym collaboration with Balinese traditional music will lead the focus and concentration of elderly toward pleasing emotion. This study aims to know the influence of brain gym collaboration with Balinese traditional music toward stress among the elderly. The design uses one group pre-test and post-test design performed by 30 samples chosen by saturated sample. Data collection carried out by evaluating of stress using DASS 21 questionnaires. The measurement of stress scores before and after the intervention shows a decrease in stress by an average of two. Wilcoxon rank test results obtained p value=0,000 (p<0,05) which means there is the influence of brain gym collaboration with Balinese traditional music on stress among the elderly in Banjar Pucak Sari North Denpasar. The implementation of brain gym collaboration with Balinese traditional music can be conducted twice a week as an elderly routine activity and it is recommended to nurses to educate patients about the procedure, therefore the elderly can be expected to manage stress through exercise independently at home.
Keywords: Balinese traditional music, brain gym, elderly, stress Reference (130:1988-2016)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv KATA PENGANTAR ... v ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia ... 11
2.2 Stres Lansia ... 18
2.3 Brain Gym ... 30
2.4 Gamelan Bali ... 37
2.4 Hubungan Brain Gym Kolaborasi Gamelan Bali Terhadap Stres ... 40
BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 46
3.3 Hipotesis ... 51
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 52
4.2 Kerangka Kerja ... 53
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ... 54
4.4 Populasi, Teknik Sampling Penelitian dan Sampel ... 54
4.5 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 56
4.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 62
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 66
5.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 73
5.3 Keterbatasan Penelitian ... 88 BAB 6 PENUTUP 6.1 Simpulan ... 89 6.2 Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk lanjut usia (lansia) dipredikasi akan terus meningkat di masa mendatang terutama di Negara berkembang (Kemenkes RI, 2013). Undang Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan mengatakan bahwa lansia adalah individu yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, et al., 2008). Berdasarkan Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2016, jumlah penduduk lansia dunia diperkirakan mencapai 900 juta atau setara dengan 12% dari seluruh jumlah penduduk dunia. Jumlah tersebut diperkirakan mengalami peningkatan hingga tahun 2050 menjadi dua miliar atau setara dengan 22%. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan peningkatan jumlah penduduk lansia tercepat di Asia Tenggara (Komnas Lansia, 2010; Dewi, 2014; Kemenkes RI, 2015). Tercatat pada tahun 2013 jumlah lansia di Indonesia sebesar 7% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan terjadi pada tahun 2014 mencapai 8,03% atau 20,24 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 27 juta jiwa pada tahun 2025 (Badan Pusat Statistika, 2015; Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2015).
Bali merupakan salah satu provinsi dengan proporsi lansia yang tinggi sebesar 10,08% dari keseluruhan jumlah penduduk. Persebaran lansia terbanyak terdapat di Kabupaten Buleleng, Karangasem, Denpasar dan Gianyar (BPS Bali, 2015; Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2016) Denpasar Utara merupakan wilayah dengan jumlah persebaran penduduk lansia yang besar yaitu 4057 jiwa. Lansia laki-laki berjumlah 1988 jiwa dan lansia perempuan berjumlah 2069 jiwa. Desa Dangin Puri Kauh merupakan wilayah kerja Puskesmas 1 Denpasar Utara dengan jumlah lansia terbanyak yaitu 624 orang atau sebesar 16,6% (BPS Bali, 2012).
Peningkatan jumlah lansia diikuti pula dengan meningkatnya masalah kesehatan dan menurunkan kesejahteraan lansia (Bherer, Erikson, & Liu-Ambroson, 2013). Hal tersebut, berkaitan dengan proses menua yang ditandai adanya perubahan berupa fisik, mental, psikososial yang bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental (Tamher & Noorkasiani, 2009; Miller, 2012). Proses menua bersifat alamiah sebagai suatu proses perkembangan yang wajar serta menuntut lansia untuk dapat melakukan penyesuaian diri. Lansia biasanya menghadapi penyesuaian terhadap perubahan fisik, perubahan dalam keluarga dan kemungkinan kematian dari pasangan atau teman hidup (Potter & Perry, 2005). Ketidaksiapan dalam upaya penyesuaian dapat menempatkan lansia pada posisi serba salah yang akhirnya menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi (Wahyuni, 2013).
Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial bersifat internal yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik, lingkungan, atau situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Sriati, 2007). Stres tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari akibat dari tuntutan dan beban kehidupan. Hal tersebut juga dialami oleh lansia (Dalami, 2010). Stres yang terjadi pada lansia berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas sehari-hari, status sosial ekonomi rendah, isolasi sosial, serta penurunan kondisi mental (Nugroho, 2008; Indriana, et al., 2010). Pertama kemunduran fisik yang dialami lansia akan berdampak pada perubahan aktivitas sehari-hari. Lansia mengalami penurunan dalam aktivitas fisik dan diganti dengan aktivitas baru yang tidak tergantung menggunakan energi fisik. Kedua semakin tua individu, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang dan mengakibatkan integritas dengan lingkungan juga sangat sedikit. Hal tersebut akan berdampak pada hilangnya peran-peran sosial dan partisipasi sosial yang menurun, sehingga lansia sering mengalami kesepian serta kecenderungan menarik diri. Ketiga, post power syndrome hal ini banyak dialami lansia yang baru saja mengalami pensiun sehingga lansia merasa kehilangan kekuatan, penghasilan dan kebahagiaanya (Hidayati, 2009). Berbagai kehilangan dan perubahan dalam kehidupan menyebabkan terjadinya gangguan psikologi pada lansia termasuk stres (Devi, Sawitri, Nurhesti, 2013).
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus dengan mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik menimbulkan gejala berupa meningkatkan kecepatan denyut jantung dan tekanan darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi oleh hipotalamus dengan mensekresikan Corticotropin Releasing Factor (CRF), suatu zat yang bekerja pada kelanjar hipofisis. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan horman Adreno Corticotropic Hormone (ACTH), yang dibawa melalui aliran darah ke konteks adrenal. Hormon ACTH menstimulasi pelepasan hormon glukokortikoid saat tubuh mengalami stres (Guyton & Hall, 2007). Glukokortikoid utama pada manusia adalah kortisol yang disekresikan secara langsung ke dalam sistem sirkulasi perifer (Sunarno, Manalu, Kusumorini, & Agungpriyono, 2010). Lansia ditemukan mempunyai konsentrasi kortisol basal yang tinggi akibat perubahan struktur dan pengurangan volume otak (Teixeira, Gobbi, Pereira, Vital, Hernandes, Shigematshu & Gobbi, 2013) serta pengurangan pada volume hipokampus (Lindwall, et al., 2012). Menurut Erickson et al. (2010) rendahnya kadar Brain-Derived Neurotropic Factor (BDNF) serum pada lansia berkaitan erat dengan penyusutan volume hipokampus. Volume hipokampus yang rendah menyebabkan peningkatan kadar Interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alfa (TNF-Alpha) yang dihubungkan dengan peningkatan kadar kortisol pada lansia (Sudheimer, et al., 2014). Kortisol yang berlebih serta stres yang berkepajangan akan menekan sistem kekebalan tubuh (Suryani, Eko & Asmar, 2005).
Penelitian yang dilakukan Indriana, Kristiana, Sonda, dan Intanirian (2010) menunjukan sebanyak 81,25% lansia di Kota Semarang mengalami tingkat stres berat. Tingkat stres yang berat juga dinyatakan lebih berisiko dialami oleh masyarakat di perkotaan dibandingkan di pedesaan (Peer, Beekman, & Dekker, 2010). Temuan Yang, Rockett, Lv, dan Cottrell (2012) menunjukan 36,8% penduduk perkotaan di Cina mengalami tingkat stres berat. Hal tersebut dikaitkan dengan peningkatan aktivitas di amygdala atau pusat rasa takut di otak selama stres dan peningkatan aktivitas Perigunual Anterior Cingulated Cortex (PACC) pada masyarakat perkotaan. PACC merupakan bagian otak yang mengatur tingkat stres (Lederbogen, et al., 2011). Penelitian Babazadeh et al. (2016) di Kota Khoy,
Iran pada tahun 2014 sampai 2015 pada 390 lansia menunjukan hasil yang sama bahwa lansia di perkotaan kebanyakan memiliki tingkat stres yang berat. Data stres pada lansia di Bali tidak tercatat dalam laporan kesehatan dinas kesehatan kabupaten ataupun provinsi namun berdasarkan data Suryani Institute (2011) (dalam Suardana, 2011) menemukan angka kejadian bunuh diri pada lansia mencapai 22,5% yang diakibatkan oleh gejala stres dengan berbagai faktor yang mempengaruhi.
Berdasarkan penelitian Alizadeh, Hoseini, Shojaezadeh, Rahimi, Arshinji, dan Rohani (2012) laki-laki dinyatakan memiliki gejala stres lebih rendah dari wanita. Laki-laki ditemukan memiliki dukungan sosial yang lebih besar, memiliki hubungan yang relatif lebih intim dan jaringan sosial yang lebih besar daripada wanita (Babazadeh, et al., 2016). Semakin bertambahnya umur, maka individu akan mudah mengalami stress karena beban dalam hidup yang lebih berat serta fungsi fisiologis yang semakin mengalami kemunduran (Nasution, 2011). Kemunduran fungsi yang dialami menyebabkan lansia mengalami berbagai gangguan kesehatan yang memicu stres pada lansia (Ghafari, Sharifirad, Zanjani, & Hassanzadeh, 2012). Lansia dengan pendidikan tinggi dinyatakan akan lebih mudah menemukan informasi tentang pengendalian stres sehingga cenderung memiliki stres yang lebih rendah dibandingkan lansia dengan pendidikan rendah (Ghafari, Sharifirad, Zanjani, & Hassanzadeh, 2012). Stres berat menyebabkan berbagai dampak bagi kehidupan lansia (Ayu, 2010).
Dampak stres memengaruhi kondisi fisik dan psikologis lansia (Sukadiyanto, 2010). Lansia dengan stres kronis memiliki peningkatan risiko 59% terkena stroke dan transient ischaemic attack (American Heart Association, 2014). Berdasarkan Rahmayani, Wijaksono, dan Putri (2016) tingkat stres sedang hingga berat dapat menurunkan kualitas tidur. Secara lebih lanjut, stres yang berkepanjangan dapat berkontribusi terhadap munculnya gangguan psikologis berat seperti depresi, gangguan tidur, gangguan kecemasan dan berbagai macam gangguan lainya (Bishop, 2008). Selain itu, stres juga menyebabkan penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan
bunuh diri (Sriati, 2007). Diperkirakan 24% kejadian bunuh diri pada lansia akibat dari gejala stres (Babazadah, et al., 2016).
Berbagai dampak buruk yang ditimbulkan oleh stres yang berkepanjangan memerlukan adanya suatu pengelolaan stres yang baik dengan terapi farmakologi ataupun nonfarmakologi (Isnaeni, 2010). Terapi farmakologi dalam penanganan stres meliputi penggunaan obat cemas (axiolytic) dan anti depresi (anti depressant), yang dalam penerapannya menyebabkan ketergantungan yang cukup besar dan dapat menimbulkan beberapa efek samping. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa gangguan pada beberapa sistem dalam tubuh (Prabayati, 2014). Penelitian Westbury dan Peterson (2013) menunjukan penggunaan obat penenang dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko stroke, risiko jatuh dan demensia pada lansia. Efek samping yang ditimbulkan akibat terapi farmakologi tersebut mendasari adanya berbagai penelitian mengenai manajemen stres melalui terapi non farmakologi. Terapi non farmakologi yang dilakukan dapat meliputi pendekatan perilaku, pendekatan kognitif, serta relaksasi (Devi, Sawitri, & Nurhesti, 2013).
Brain gym merupakan salah satu bentuk terapi non farmakologi yang berfungsi meningkatkan kemampuan kognitif. Namun dalam perkembanganya braim gym dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegunaan, di Eropa dan Amerika brain gym sedang digemari karena dirasakan membantu dalam melepaskan stres dan menjernihkan pikiran (Gunadi, 2009). Gerakan-gerakan dalam brain gym meliputi gerakan menyebrangi garis tengah (the midline movements), gerakan meregangkan otot (legthening activities), dan gerakan meningkatkan energi dan sikap penguatan (energy exercises and deepening attidudes) (Dennison & Dennison, 2010). Penelitian Safitri, Agustin dan Kusuma (2014) terkait persepsi lansia dalam melakukan brain gym ditemukan gerakan brain gym dirasakan cukup sulit dilakukan lansia karena hambatan berupa sakit pada area kaki yang terjadi akibat penurunan kemampuan muskuloskeletal. Gerakan brain gym juga dinyatakan memerlukan rentan gerak yang luas (Mazzeo & Tanaka, 2001). Kelemahan jenis gerakan tersebut menjadi salah satu faktor pengembangan gerakan yang lebih sederhana dalam cognitive training (Mediadri, 2016).
Pengembangan dari gerakan ini sejenis dengan pernyataan Dennison dan Dennison (2010) yang menjelaskan bahwa hand motion dapat menjadi pengembangan brain gym yang berpengaruh terhadap koordinasi.
Gerakan yang lebih sederhana menekankan pada gerakan jari (finger movement) dan gerakan kedua ekstremitas atas secara berlawanan serta memberikan pengaruh terhadap otak kiri dan kanan, sesuai dengan prinsip aktivasi dimensi lateral yang di kembangkan oleh Dennison dan Dennison (Fitri, 2010; Mediatri, 2016). Melalui gerakan yang lebih sederhana dan menyenangkan maka akan merelaksasi otak (menghilangkan pikiran negatif, iri dan dengki), menstimulus koordinasi kedua belah otak (memperbaiki pernafasan, stamina, melepaskan ketegangan, dan mengurangi kelelahan) dan membantu melepaskan hambatan fokus dari otak (memperbaiki kurang perhatian dan kurang konsentarsi) kontrol (Prasetya, Hamid, & Herni, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Sari, Utami dan Suarnata (2015) menunjukan bahwa brain gym secara signifikan dapat menurunkan tingkat stres pada lansia. Hal tersebut didukung oleh penelitian Latifa (2016) yang menunjukan pengaruh signifikan brain gym terhadap tingkat stres pada lansia. Penelitian lain oleh Fotuhi et al. (2016) terkait pengaruh latihan otak pada 127 lansia di Maryland (USA) yang menunjukan latihan otak dapat meningkatkan fungsi kognitif dan volume hipokampus melalui hasil perbandingan MRI pretest dan posttest. Dengan peningkatan volume hipokampus maka diharapkan terjadi penurunan dari hormon kortisol pada lansia yang tidak akan memperburuk stres. Menurut Berk (2008) brain gym yang dilakukan secara teratur dapat menekan kerja tiga hormon stres diantaranya kortisol, epinefrin dan dopac (katabolit utama dopamin). Selain itu, gerakan brain gym dalam keadaan stres dapat mengurangi pelepasan adrenalin dan memberikan keadaan rileks (Ide, 2008).
Penelitian Panglipurethias (2015) terkait efek brain gym yang secara signifikan dapat menurunkan depresi pada 16 lansia di Bantul. Penelitian lain oleh Sulianti (2015) terkait efek brain gym pada 44 lansia menunjukan pengaruh signifikan brain gym terhadap penurunan tingkat cemas. Kecemasan dan depresi merupakan akibat dari paparan stres jangka panjang dan melebihi kemampuan (coping
ability) individu untuk mengatasi stres tersebut (Gammon & Morgan, 2005). Menurut Berk (2008) gerakan brain gym juga mampu meningkatkan hormon serotonin, endorfin dan melatonin. Ketiga hormon ini dapat memberikan perasaan tenang, nyaman, dan rileks sehingga tingkat stres dapat diturunkan.
Salah satu aktivitas yang juga diketahui dapat merangsang peningkatan serotonin melalui perubahan gelombang otak menjadi gelombang alfa sehingga dapat menurunkan stres adalah aktivitas musikal (Setiadi, 2014). Serotonin adalah suatu neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap perubahan mood. Serotonin dalam tubuh kemudian diubah menjadi hormon melatonin yang memiliki efek regulasi terhadap relaksasi tubuh dan pada akhirnya dapat menurun stres melalui respon perubahan mood (Guyton & Hall, 2007). Penelitian oleh Putra (2013) menunjukan hasil terapi musik tradisional memiiliki pengaruh lebih signifikan terhadap tingkat kecemasan pada lansia dibandingkan terapi musik klasik. Hal tersebut berkaitan dengan kehidupan lansia yang dekat dengan budaya dan pelestarian tradisi sehingga lansia lebih familiar dengan musik tradisional (Suharti, Partini, & Suwarjo, 2015).
Salah satu musik tradisional Indonesia khususnya di Bali adalah gamelan Bali. Gamelan Bali merupakan jenis musik pentatonic atau terdiri dari lima nada. Karakteristik gamelan Bali kebanyakan memiliki ketukan berkecepatan tinggi dengan delapan getaran per detik, akan tetapi gamelan Bali tempo lambat dapat dimainkan pada laras enam ketukan per detik (Herbst, 2014). Gamelan Bali merupakan musik yang sering dimainkan dalam kegiatan masyarakat selama bertahun-tahun. Gamelan berperan sebagai sarana hiburan ataupun sarana untuk mengiringi suatu upacara adat dan upacara agama sehingga familiar didengarkan oleh masyarakat Bali (Suaindra, 2012). Menurut Sung, Chang, Lee, dan Lee (2006) musik yang familiar didengarkan menunjukan pengaruh signifikan terhadap tingkat kegelisahan pada lansia di Taiwan.
Kombinasi terapi nonfarmakologi (latihan fisik) dan terapi musik dinyatakan memberikan pengaruh yang lebih signifikan terhadap penurunan tingkat cemas dan depresi pada lansia (Verrusio, Andreozzi, Marigliano, Renzi, Gianturco, Pecci, Ettorre, Cacciafesta, & Gueli, 2014). Hal tersebut menjadi alasan penulis
tertarik meneliti terkait kombinasi brain gym dan terapi musik terhadap tingkat stres pada lansia. Gamelan Bali merupakan jenis musik yang familiar dan disukai untuk didengarkan oleh lansia di Bali. Musik yang familiar dan disukai akan mampu mengarahkan fokus dan konsentrasi lansia ke arah emosi yang menyenangkan (Koch, Kain, Ayoub, & Rosenbaum, 1998). Brain gym kolaborasi gamelan Bali merupakan suatu kebaharuan yang belum pernah diteliti sebelumnya. Perpaduan brain gym dengan gamelan Bali diharapkan memberikan pengaruh terhadap stres pada lansia melalui mekanisme pemberian terapi musik yang menginduksi respon relaksasi, meningkatkan serotonin yang diharapkan terjadi perubahan mood positif dan menimbulkan emosi menyenangkan sehingga lansia menjadi fokus dalam melakukan gerakan (Guyton & Hall, 2007). Perpaduan dengan brain gym memberikan manfaat pada peningkatan volume hipokampus sehingga menurunkan kadar hormon kortisol, terjadi peningkatan hormon serotonin yang juga saling bersinergi dengan pemberian terapi musik serta memengaruhi penurunan dari hormon stres (Fotuhi, et al., 2016).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 5 Maret 2016 di Banjar Pucak Sari, Desa Dangin Puri Kauh, Denpasar Utara terhadap 30 lansia dengan menggunakan kuisioner DASS 21 (Depression Anxiety Stres Scale) diperoleh masalah psikologis lansia yang termasuk dalam kategori stres yaitu 13 orang mengalami stres berat (43,3%), 10 orang mengalami stres sedang (33,3%), dan 7 orang mengalami stres ringan (23,4%). Lansia yang tinggal bersama anak dan menantu menyatakan merasa tidak nyaman karena menantunya sering membuat masalah dan mulai sering melupakan banyak hal. Hal tersebut membuat lansia merasa sering banyak pikiran dan terkadang marah, keadaan yang dirasakan lansia tersebut merupakan gejala awal timbulnya stres (Yoseps, 2009). Bentuk kolaborasi brain gym dan musik gamelan Bali belum pernah dilakukan khususunya dalam upaya mengurangi stres. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait “Pengaruh Brain Gym kolaborasi Gamelan Bali Terhadap Stres Pada Lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara”
Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah “Adakah pengaruh brain gym kolaborasi gamelan Bali terhadap stres pada lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh brain gym kolaborasi gamelan Bali terhadap stres pada lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara.
1.3.2 Tujuan Khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini memiliki beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini, di antaranya:
a. Mengidentifikasi karakteristik sampel penelitian yang meliputi usia, jenis kelamin, dan pendidikan lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara.
b. Mengidentifikasi stres sebelum pemberian brain gym kolaborasi gamelan Bali pada lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara.
c. Mengidentifikasi stres setelah pemberian brain gym kolaborasi gamelan Bali pada lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara.
d. Menganalisis pengaruh brain gym kolaborasi gamelan Bali terhadap stres pada lansia di Banjar Pucak Sari Denpasar Utara.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis a. Bagi Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti dalam bidang ilmu keperawatan gerontik khususnya dalam manajemen stres pada lansia dengan menggunakan brain gym kolaborasi gamelan Bali.
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan meneliti lebih lanjut terkait brain gym kolaborasi gamelan Bali yang dapat digunakan sebagai metode dalam manajemen stres lansia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan di lapangan antara lain: a. Bagi Lansia
Memberikan tambahan metode brain gym kolaborasi gamelan Bali untuk manajemen stres pada lansia sehingga kualitas hidup lansia dapat meningkat. b. Bagi Pimpinan Perkumpulan Lansia
Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat program kegiatan yang dapat diberikan kepada masyarakat khususnya lansia dalam manajemen stres.