• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata kunci: lansia; pengasuh; stres ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata kunci: lansia; pengasuh; stres ABSTRACT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN DENGAN STRES PADA PENGASUH

LANJUT USIA (LANSIA) DI BEBERAPA PANTI JOMPO

DI PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN 2012

Nastasia, Tri Yunis Miko Wahyono

Program Studi S1 Reguler Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

ABSTRAK

Stres sudah menjadi masalah kesehatan secara global karena dampaknya terhadap kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran stres pengasuh di beberapa panti jompo di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan karakteristik pengasuh, status psikologis pengasuh, karakteristik lansia dan panti jompo serta faktor yang berhubungan dengan stres pada pengasuh. Desain penelitian yang digunakan adalah potong lintang dari bulan Desember 2012 – Januari 2013. Penelitian menggunakan total sampling berjumlah 57 orang. Penelitian menunjukkan prevalensi stres sebesar 77,2%. Kebanyakan pengasuh berumur ≥ 34 tahun (50,9%), laki-laki (59,6%), tinggal di Jakarta (68,4%), menempati rumah sendiri (36,8%), tamat SMA (64,9%), sudah menikah (75,4%), memiliki anak ≥ 2 (54,4%), berpendapatan tinggi (50,9%) dan berpengeluaran tinggi (50,9%), melakukan strategi koping adaptive (94,7%) dan merasa puas (78,9%). Pengasuh yang mengasuh ≥ 20 lansia ada 56,1%, yang mengasuh selama ≥ 4 jam per hari sebanyak 52,6%. Kebanyakan pengasuh tidak memiliki jadwal kerja malam yang rutin (68,4%) dan tidak pernah mengikuti pelatihan khusus mengasuh lansia (50,9%). Pengasuh yang mengasuh ≥ 20 lansia ada 56,1%, rata-rata jumlah lansia demensia yang diasuh adalah 11 lansia, lansia demensia yang paling banyak diasuh adalah lansia demensia berumur > 70 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Faktor yang berhubungan dengan stress pengasuh adalah kepuasan bekerja (nilai p = 0,05).

Kata kunci: lansia; pengasuh; stres

ABSTRACT

Stress has become a global health problem because of its impact on health. This research is to describe stress of caregivers in nursing homes in Province of DKI Jakarta based on the characteristics of caregiver, psychological status of caregiver, characteristics of the elderly and nursing home and factors related to stress of caregiver. The research design was cross sectional from December 2012 – January 2013 with total sampling amounted to 57 people. The prevalence of stress is 77,2%. Most caregiver ≥ 34 years (50.9%), male (59.6%), living in Jakarta (68,4%) and in their own home (23%), finished high school (64,9%), married (75.4%), having child ≥ 2 (54.4%), high income and expenses (50.9%), do adaptive coping (94,7%) and feel satisfied (78,9%). Caregiver who caring ≥ 20 elderly was 56.1%, ≥ 4 hours per day was 52.6%. Most caregiver also does not have regular night work (68, 4%), never follow

(2)

a special training in caring for elderly (50.9%). Caregiver who caring ≥ 20 elderly was 56.1%, average number of elderly dementia that is taken care of is 11 elderly, with age > 70 years and women are the most. Factors related to stress of caregivers is the satisfaction of working (p = 0.05).

Keyword: caregiver; elderly; stress

PENDAHULUAN

Stres merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan. Stres dapat dirasakan oleh siapa saja, salah satunya adalah pengasuh. Lansia adalah salah satu orang yang diasuh oleh pengasuh. Dengan semakin bertambahnya jumlah lansia, mengasuh lansia menjadi hal yang harus diperhatikan. Stres yang dialami pengasuh dapat menimbulkan dampak pada kesehatan mereka. Menurut Journal of the American Medical Association dalam American

Psychological Association (2012), pengasuh yang mengalami tekanan yang tinggi berisiko

mengalami kematian dini (premature mortality), penyakit jantung koroner dan stroke. Peneliti belum menemukan penelitian tentang stres pada pengasuh lansia di Indonesia. Berdasarkan Riskesdas Indonesia Tahun 2007, prevalensi gangguan mental emosional di Provinsi DKI Jakarta adalah 14,1% yang melebihi angka prevalensi nasional (11,6%). Beberapa panti jompo milik Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta dipilih sebagai tempat penelitian karena panti-panti ini merupakan panti sosial khusus lanjut usia (lansia). Lansia merupakan manusia lanjut usia yang memerlukan bantuan/pelayanan khusus karena proses penuaan yang dialaminya. Besarnya dampak stres terhadap pengasuh lansia tidak dapat abaikan. Oleh karena itu maka akan dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan stres pada pengasuh lansia di beberapa panti jompo di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Desember 2012.

TINJAUAN TEORITIS

Stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (National Safety Council, 2004). Efek stres antara lain keletihan, menutup diri, depresi, harga diri rendah, sakit kepala, bahkan kanker. Stres pada pengasuh dapat disebabkan oleh perilaku dan sikap dari yang diasuh, komponen fisik dan emosional dalam mengasuh, menyesuaikan dengan pekerjaan dan mengasuh, masalah keuangan yang diasuh, penyesuaian dari mengasuh dengan keluarga. Faktor-faktor yang berhubungan dengan stres pada

(3)

pengasuh antara lain umur baik pengasuh maupun yang diasuh, pendapatan, jenis kelamin baik pengasuh maupun yang diasuh, tingkat pendidikan baik dari pengasuh maupun yang diasuh. (Okoye dan Asa, 2011).

METODE PENELITIAN

Desain studi yang digunakan adalah potong lintang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner untuk melihat gambaran dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stres pada pengasuh lansia di beberapa panti jompo di provinsi DKI Jakarta tahun 2012. Populasi studinya adalah pengasuh lansia di beberapa panti jompo di Provinsi DKI Jakarta yang menjadi tempat penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah semua pengasuh lansia yang ada di empat panti jompo tempat penelitian dilaksanakan. Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah pengasuh yang tidak bersedia menjadi responden ketika penelitian dilakukan dan responden yang tidak sedang bertugas langsung menangani lansia seminggu terakhir. Pengukuran tingkat stres ini menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oleh Hsu et al (2005) tentang stres pada pengasuh di panti jompo. Skor keseluruhan akan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu stres dan tidak stres. Untuk mengukur strategi koping, digunakan instrumen Brief Cope yang telah dikembangkan oleh Carver (2007). Skor keseluruhan akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu adaptive dan maladaptive. Untuk mengukur kepuasan bekerja, digunakan instrumen Job Satisfaction Survey (JSS) yang telah dikembangkan oleh Spector (1999) untuk mengukur kepuasan bekerja. Skor keseluruhan akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu puas dan tidak puas.

HASIL PENELITIAN

Umur

Rata-rata umur pengasuh lansia adalah 34,5 tahun (32,2 – 36,8) dengan standar deviasi 8,8. Pengasuh yang paling muda adalah pengasuh yang berumur 21 tahun, sedangkan pengasuh yang paling tua berumur 52 tahun.

(4)

Umur pengasuh lansia dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan cut off point median, yaitu < 34 tahun dan ≥ 34 tahun. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa distribusi umur pengasuh hampir merata. Pengasuh yang berumur < 34 tahun ada sebesar 49,1% dan yang berumur ≥ 34 tahun sebesar 50,9%.

(5)

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa distribusi jenis kelamin pengasuh hampir seimbang. Persentase pengasuh laki-laki sebesar 59,6%, sedangkan pengasuh perempuan sebesar 40,4%. Kebanyakan pengasuh bertempat tinggal di wilayah Jakarta. Persentase pengasuh yang tinggal di wilayah Jakarta dan di luar wilayah Jakarta masing-masing sebanyak 68,4% dan 31,6%. Jumlah pengasuh yang tinggal di wilayah Jakarta dua kali lebih banyak dibandingkan yang tinggal di luar wilayah Jakarta.

Pada Tabel 3 di atas terlihat bahwa paling banyak pengasuh menempati rumah sendiri, yaitu sebesar 36,8%. Hanya sedikit pengasuh yang mengontrak (15,8%), sedangkan pengasuh yang menumpang di rumah keluarga atau saudara dan status rumah lainnya (misalnya tinggal di rumah dinas panti jompo) hamper sama, yaitu masing-masing sebanyak 24,6% dan 22,8%. Persentase pendidikan pengasuh yang paling besar adalah tamat pendidikan SMA, yaitu sebesar 64,9%. Pengasuh yang tamat SD hanya sedikit yaitu sebanyak 3,5%, sedangkan pengasuh yang tamat perguruan tinggi dan yang tamat SMP masing-masing sebanyak 22,8% dan 8,8%. Kebanyakan pengasuh sudah menikah, yaitu sebanyak 75,4%, sedangkan pengasuh yang belum menikah ada sebanyak 24,6%. Jumlah pengasuh yang sudah menikah tiga kali lebih banyak dibandingkan yang belum menikah.

Jumlah Anak

Rata-rata jumlah anak pengasuh lansia adalah sekitar 2 anak (1,2 – 1,9) dengan standar deviasi 1,3. Jumlah anak pengasuh yang paling sedikit adalah 0 dan yang paling banyak adalah 5 anak.

Jumlah anak pengasuh dikelompokkan menjadi dua kelompok median, yaitu < 2 dan ≥ 2. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa paling banyak pengasuh lansia memiliki anak ≥ 2, yaitu sebesar 54,4%.

(6)

Pendapatan dan Pengeluaran

Rata-rata pendapatan per bulan pengasuh lansia adalah Rp3.276316,00 dan rata-rata pengeluaran per bulan adalah Rp2.433.333,00. Pendapatan minimal pengasuh sebesar Rp1.000.000,00 dan pengeluaran minimal adalah Rp700.000,00. Pendapatan paling besar pengasuh adalah Rp14.500.000,00 dan pengeluaran paling besar Rp6.000.000,00.

Pendapatan dan pengeluaran dikelompokkan menjadi dua berdasarkanmkelompok median, yaitu rendah (< median) dan tinggi (≥ median). Distribusi frekuensi pendapatan pengasuh per bulan hampir merata antara pendapatan tinggi (50,9%) dan pendapatan rendah (49,1%). Hal yang sama juga terjadi pada pengeluaran pengasuh per bulan.

Strategi Koping dan Kepuasan Bekerja

Strategi koping yang dilakukan oleh pengasuh dibagi menjadi adaptive dan maladaptive. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar pengasuh melakukan strategi koping

(7)

adaptive (94,7%) dan hanya sedikit responden yang melakukan strategi koping maladaptive (5,3%).

Kepuasan bekerja yang dirasakan pengasuh dibagi menjadi puas dan tidak puas. Pada Tabel 8 di atas terlihat bahwa kebanyakan responden puas akan pekerjaannya sebagai pengasuh lansia di panti jompo. Persentase pengasuh yang puas yaitu 78,9%, sedangkan yang tidak puas ada sebanyak 21,1%.

Jumlah Lansia yang Diasuh dan Durasi Mengasuh,

Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah lansia yang diasuh pengasuh secara langsung adalah 22 lansia, dengan jumlah minimum lansia yang diasuh adalah 2 lansia dan maksimum adalah 90 lansia. Pada Tabel 9 di atas terlihat bahwa pengasuh mengasuh lansia secara langsung rata-rata 4,4 jam per hari, dengan nilai minimum 0,25 jam per hari dan nilai maksimum 12 jam per hari.

Jumlah lansia yang diasuh dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan median, yaitu < 20 dan ≥ 20 lansia. Persentase pengasuh yang mengasuh ≥ 20 lansia secara langsung adalah 56,1%. Nilai tersebut lebih tinggi dari persentase pengasuh yang mengasuh < 20 lansia (43,9%). Durasi mengasuh lansia dibagi menjadi dua, yaitu < 4 jam dan ≥ 4 jam. Pengelompokan ini berdasarkan nilai median durasi mengasuh. Persentase pengasuh yang

(8)

mengasuh lansia secara langsung selama ≥ 4 jam per hari ada sebanyak 52,6%, sedangkan yang < 4 jam ada sebanyak 47,4%.

Jumlah, Umur dan Jenis Kelamin Lansia Demensia yang Diasuh

Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah lansia demensia yang diasuh responden secara langsung adalah 11 lansia, dengan jumlah minimum lansia demensia yang diasuh adalah 0 dan maksimum adalah 65 lansia demensia. Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa tidak ada lansia demensia berumur 50 – 60 tahun yang diasuh responden. Lansia demensia yang paling banyak diasuh responden adalah lansia berumur > 70 tahun, yaitu rata-rata sebanyak 6 lansia.

Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin lansia demensia yang diasuh responden paling banyak perempuan dengan rata-rata 8 lansia demensia perempuan yang diasuh setiap responden.

(9)

Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa persentase pengasuh yang tidak memiliki jadwal kerja malam rutin (68,4%) lebih besar daripada yang memiliki jadwal kerja malam rutin (31,6%). Jumlah pengasuh yang tidak memiliki jadwal kerja malam rutin dua kali jumlah pengasuh yang memilikinya. Persentase pengasuh yang pernah mengikuti pelatihan khusus mengasuh lansia dan yang tidak pernah mengikutinya hampir sama, masing-masing sebesar 49,1% dan 50,9%.

Tingkat Stres

Berdasarkan tabel di atas, distribusi pengasuh berdasarkan tingkat stress hampir merata dan tingkat stres yang paling banyak dialami oleh pengasuh lansia adalah stres ringan dan stres sedang, yaitu sebanyak 26,3%. Stres berat dan tidak stres masing-masing sebesar 24,6% dan 22,8%.

(10)
(11)
(12)

Uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan stres pada pengasuh lansia dip anti jompo adalah kepuasan bekerja (nilai p = 0,050).

PEMBAHASAN

Umur dan Stres

Secara statistik, variabel umur dan kejadian stres tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Lutzy dan Knight (1994) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara umur pengasuh dan stres yang mereka alami. Menurut Okoye dan Asa (2011), stres cenderung dialami oleh pengasuh berumur lebih muda. Umur mempengaruhi paparan stresor (penyebab stres) yang dihadapi seseorang (Almeida dan Horn, 2004 dalam Diehl dan Hay, 2010).

Jenis Kelamin dan Stres

Kejadian stress yang dialami pengasuh laki-laki dan pengasuh perempuan hampir sama. Hasil ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lutzy dan Knight (1994) yang menemukan bahwa ada perbedaan stres yang dialami oleh masing-masing pengasuh dengan jenis kelamin yang berbeda. Laki-laki lebih mengabaikan stres yang dialami sehingga saat pengukuran stres, hasilnya menjadi tidak terdeteksi atau lebih rendah daripada perempuan. Selain itu, perempuan juga cenderung lebih banyak mengalami stres sosial daripada laki-laki (Gundy, 2002).

Tempat Tinggal dan Stres

Hasil analisis bivariat pada penelitian ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara tempat tinggal pengasuh lansia dengan stres yang dialaminya. Hasil yang sama juga

(13)

terjadi pada penelitian yang dilakukan Dawood (2007) yang memperkirakan bahwa tinggal di perkotaan akan cenderung menyebabkan lebih banyak stres daripada di pedesaan.

Status Tempat Tinggal dan Stres

Berdasarkan penelitian ini, status tempat tinggal pengasuh tidak berhubungan dengan stres yang dialaminya. Menurut Rohe, Zandt dan McCarthy (2011), mereka yang tinggal di rumah sendiri lebih sedikit mengalami stres daripada yang tinggal di rumah kontrakan. Mereka yang tinggal bukan di rumah sendiri akan lebih merasakan beban karena harus membayar biaya kontrakan.

Tingkat Pendidikan dan Stres

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan pengasuh lansia dengan stres yang dialaminya. Hasil ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Okoye dan Asa (2011) yang menemukan bahwa pendidikan berhubungan dengan stres pada pengasuh, yaitu pengasuh dengan pendidikan yang rendah cenderung mengalami stres.

Status Perkawinan dan Stres

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan responden yang bekerja sebagai pengasuh lansia dengan stres yang dialaminya. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Purwindasari (n.d.) yang menemukan bahwa status perkawinan berhubungan bermakna dengan stres pekerja. Namun, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jackson (2004). Penelitian yang dilakukan Jackson menemukan hubungan yang tidak bermakna antara status perkawinan dengan stres pekerjaan.

Jumlah Anak dan Stres

Hasil penelitian ini memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan stres yang dialami pengasuh lansia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jackson (2004). Penelitian tersebut menemukan hubungan yang tidak signifikan antara jumlah anak dengan stres pekerjaan. Responden pada penelitian ini yang bekerja sebagai pengasuh lansia, selain harus merawat dan memperhatikan lansia, dia juga harus merawat dan memperhatikan anaknya, inilah yang mungkin dapat menimbulkan stres yang dirasakan pengasuh lansia di panti jompo. Penelitian lain yang dilakukan oleh Vokic dan Bogdanic (2007) mendukung pernyataan tersebut. Mereka menemukan adanya hubungan

(14)

yang bermakna antara jumlah anak dan stres pekerjaan. Jumlah anak tiga atau lebih memiliki stres yang lebih tinggi dibandingkan jumlah anak yang lebih sedikit.

Pendapatan dan Stres

Hasil penelitian ini memperlihatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan per bulan pengasuh dengan stres yang dialaminya. Penelitian yang dilakukan Okoye dan Asa (2011) menemukan bahwa pendapatan yang rendah berhubungan bermakna dengan stres yang dialami pengasuh. Pengasuh dengan pendapatan tinggi cenderung lebih stres daripada yang berpendapatan rendah. Pendapat ini juga didukung oleh Dawood (2007) yang juga menemukan hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan stres pada pengasuh.

Pengeluaran dan Stres

Hasil analisis bivariat memperlihatkan hubungan yang tidak bermakna antara pengeluaran per bulan dengan stres pengasuh. Status ekonomi yang diukur dengan pengeluaran diperkirakan mempengaruhi stres ataupun gangguan mental yang dialami seseorang. Mereka yang status ekonominya rendah cenderung mengalami gangguan mental seperti kecemasan dan depresi. Penelitian ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara pengeluaran dan stres. Perlu diingat bahwa pengeluaran bukan satu-satunya pengukuran status ekonomi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan hipotesis nol gagal ditolak. Artinya, tidak ada hubungan antara pengeluaran pengasuh dengan stres yang dihadapinya.

Strategi Koping dan Stres

Setiap orang melakukan berbagai strategi koping dalam mengatasi tantangan dalam kehidupannya, dalam hal ini adaptive maupun maladaptive. Namun, mereka yang menggunakan lebih sedikit strategi koping adaptive dan lebih banyak maladaptive akan lebih banyak mengalami tingkat stres yang lebih tinggi (Wulf, 2008).

Kepuasan Bekerja dan Stres

Hasil penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara kepuasan bekerja sebagai pengasuh dengan stres yang dialaminya. Hasil ini sama dengan hasil yang ditemukan oleh Stamps dan Piedmonte (1986) dalam Ahsan et al (2009). Mereka menemukan bahwa kepuasan bekerja berhubungan bermakna dengan stres dalam pekerjaan. Fletcher dan Payne (1980) dalam Ahsan et al (2009) menemukan bahwa kurangnya kepuasan dalam pekerjaan menjadi sumber stres, sedangkan tingginya kepuasan bekerja dapat meringankan dampak stres.

(15)

Jumlah Lansia Diasuh dan Stres

Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah lansia yang diasuh pengasuh secara langsung dengan stres yang dialami pengasuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hsu et al (2005) yang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara jumlah lansia yang diasuh dengan stres bekerja pada pengasuh di panti jompo. Walaupun tidak signifikan, pada penelitian Hsu et al, pengasuh yang menangani lebih banyak lansia cenderung lebih banyak yang mengalami stres daripada pengasuh yang menangani lebih sedikit lansia. Semakin banyaknya lansia yang diasuh, beban tugas yang dirasakan akan semakin berat.

Durasi Mengasuh dan Stres

Mengasuh lansia dalam waktu yang lama dapat menyebabkan stres kronis, terutama lansia dengan keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, diperkirakan jumlah jam mengasuh lansia berhubungan dengan stres. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bainbridge, Cregan dan Kulik (2006) yang menemukan bahwa semakin banyak jam per minggu yang dihabiskan pengasuh dalam mengasuh, semakin tinggi stres yang dialaminya. Gaugler et al (2003) juga menemukan bahwa pengurangan durasi atau jam mengasuh menyebabkan berkurangnya beban atau stres pada pengasuh. Namun, hasil penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara durasi mengasuh dengan stres pada pengasuh. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bruce et al (2005) yang tidak menemukan hubungan antara durasi mengasuh dengan stres pada pengasuh. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan mengasuh yang dilakukan oleh pengasuh mungkin tidak terlalu berat sebab kebanyakan lansia yang diasuh tidak terlalu tergantung pada pengasuhnya untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Jumlah, Umur dan Jenis Kelamin Lansia Demensia yang Diasuh dan Stres

Menurut Donkin (2009), demensia merupakan faktor yang mempengaruhi stres pengasuh. Oleh karena itu, dengan bertambahnya jumlah lansia demensia yang diasuh, diperkirakan stres yang muncul akan bertambah karena beban mengasuh yang juga ikut bertambah. Hasil penelitian ini yang tidak menemukan adanya hubungan antara jumlah lansia demensia dengan stres pengasuh mungkin disebabkan oleh demensia yang dialami lansia tidak terlalu parah. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah lansia demensia berumur muda dengan stres yang dialami pengasuh. Hal yang sama juga terjadi

(16)

pada jumlah lansia berumur lebih tua, yaitu tidak ada hubungan antara jumlah lansia demensia berumur tua yang diasuh oleh pengasuh dengan stres. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah lansia laki-laki demensia yang diasuh dengan stres yang dialami pengasuh. Hubungan yang tidak bermakna juga terjadi pada jumlah lansia perempuan demensia yang diasuh terhadap stres pengasuh. Uji statistik yang tidak bermakna disebabkan oleh sampel yang tidak mencukupi.

Jadwal Kerja Malam dan Stres

Bekerja pada malam hari dapat menyebabkan stres, apalagi jika dilakukan secara rutin. Waktu yang seharusnya dipakai untuk beristirahat dipakai untuk bekerja pada malam hari. Hsu et al (2005) menemukan bahwa jadwal kerja malam yang rutin berhubungan dengan stres kerja yang dialami oleh pengasuh pada panti jompo. Penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna dari variabel tersebut. Ini mungkin disebabkan oleh jadwal kerja malam yang dilakukan tidaklah begitu intensif dilakukan, seperti piket malam yang hanya mengontrol atau mengawasi lansia.

Pelatihan Khusus Mengasuh Lansia dan Stres

Pelatihan yang pernah diperoleh seseorang dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menghadapi pekerjaannya. Jika seseorang tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam menghadapi tantangan dalam pekerjaannya, maka ia dapat mengalami stres (Hsu et al, 2005). Selain itu, pelatihan juga meningkatkan kepercayaan diri seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Hasil analisis bivariat penelitian ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara variabel pelatihan khusus mengasuh lansia terhadap stres. Pertentangan hasil ini disebabkan oleh jumlah sampel yang tidak mencukupi.

KESIMPULAN

1. Prevalensi stres pada pengasuh lansia di beberapa panti jompo di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012 ditemukan sebesar 77,2%.

2. Distribusi pengasuh berdasarkan karakteristik pengasuh menunjukkan bahwa kebanyakan pengasuh berumur ≥ 34 tahun (50,9%), berjenis kelamin laki-laki (59,6%), tinggal di wilayah Jakarta (68,4%), menempati rumah sendiri (36,8%), tamat SMA (64,9%), sudah menikah (75,4%), memiliki anak ≥ 2 (54,4%), berpendapatan tinggi (50,9%) dan berpengeluaran tinggi (50,9%).

(17)

3. Distribusi pengasuh berdasarkan status psikologi menunjukkan bahwa sebagian besar pengasuh melakukan strategi koping adaptive (94,7%) dan merasa puas akan pekerjaannya (78,9%).

4. Distribusi pengasuh berdasarkan karakteristik lansia menunjukkan pengasuh yang mengasuh ≥ 20 lansia secara langsung ada 56,1%, yang mengasuh selama ≥ 4 jam per hari sebanyak 52,6%, rata-rata jumlah lansia demensia yang diasuh adalah 11 lansia, lansia demensia yang paling banyak diasuh pengasuh adalah lansia demensia berumur > 70 tahun, yaitu rata-rata sebanyak 6 lansia, jenis kelamin lansia demensia yang diasuh paling banyak adalah perempuan, yaitu rata-rata sebanyak 8 lansia.

5. Distribusi pengasuh berdasarkan karakteristik panti jompo menunjukkan lebih dari setengah pengasuh tidak memiliki jadwal kerja malam rutin (68,4%) dan tidak pernah mengikuti pelatihan khusus mengasuh lansia (50,9%).

6. Tidak ditemukannya hubungan antara karakteristik pengasuh (umur, jenis kelamin, tempat tinggal, status tempat tinggal, tingkat pendidikan, status perkawinan, jumlah anak, pendapatan, pengeluaran) dengan kejadian stres pada pengasuh lansia.

7. Dari status psikologi pengasuh lansia, hanya variabel kepuasan bekerja yang berhubungan dengan kejadian stres pada pengasuh lansia (nilai p ≤ 0,05).

8. Tidak ditemukannya hubungan antara karakteristik lansia (jumlah lansia, durasi mengasuh, jumlah lansia demensia, umur lansia demensia, jenis kelamin lansia demensia) dengan kejadian stres pada pengasuh lansia.

9. Tidak ditemukannya hubungan antara karakteristik panti jompo (kerja malam, pelatihan khusus mengasuh lansia) dengan kejadian stres pada pengasuh lansia.

SARAN

1. Memberikan penyuluhan tentang manajemen stres maupun mekanisme koping pada pengasuh lansia.

2. Meningkatkan komunikasi yang baik dalam panti jompo, baik antara pengasuh maupun dengan pengawasnya.

3. Sifat kerja mengasuh lansia yang terus-menerus atau kontinyu sebaiknya dimodifikasi untuk menghindari stres dengan sistem rotasi kerja yang disesuaikan dengan kondisi atau waktu.

(18)

4. Hubungan baik antara sesama rekan kerja lebih ditingkatkan lagi.

5. Panti jompo melakukan pelatihan bagi pengasuh dengan memperhatikan durasi mengasuh, jumlah lansia demensia yang diasuh, jenis kelamin lansia demensia yang diasuh, tingkat pendidikan pengasuh, umur pengasuh, status tempat tinggal pengasuh, status perkawinan dan jumlah anak yang dimiliki pengasuh.

DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, Nilufar et al. (2009). A Study of Job Stress on Job Satisfaction among University Staff in Malaysia: Empirical Study. European Journal of Social Sciences – Volume 8, Number 1.

American Psychological Association. (2012). Stress in America. Diunduh dari http://www.apa.org/news/press/releases/stress/2011/final-2011.pdf (3 November 2012). Donkin, Marika. (2009). Family caregivers of people with dementia. Diunduh dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3181916/ (28 Oktober 2012)

Gaugler, J.E. et al. (2003). Adult Day Service Use And Reductions In Caregiving Hours: Effects On Stress And Psychological Well-Being For Dementia Caregivers. Internatioanl Journal Geriatric Psychiatry. 18(1):55-62. (5 Desember 2012)

Gundy, K.V. (2002). Gender, The Assertion Of Autonomy, And The Stress Process In Young Adulthood. Social Psychology Quarterly; 65, 4

Hsu et al., 2007. Work Stress Among Nursing Home Care Attendants in Taiwan: A Questionnaire Survey. International journal of Nursing Studies 44 (2007) 736-746. (17 November 2012)

Jackson, A.D. (2004). A Survey of the Occupational Stress, Psychological Strain, and Coping Resources of Licensed Professional Counselors in Virginia: A Replication Study. Virginia Polytechnic Institute and State University. Disertasi.

National Safety Council. (2004). Manajemen Stres. Penerjemah: Palupi Widyastuti, editor: Devi Yulianti. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rohe, W.M., S.V. Zandt dan George McCarthy. (2001). The Social Benefits and Costs of Homeownership: A Critical Assessment of the Research. Joint Center for Housing Studies Harvard University.

(19)

Spector, P.E. (1999). Instructions for Scoring the Job Satisfaction Survey, JSS. Diakses dari http://shell.cas.usf.edu/~pspector/scales/jssscore.html (21 November 2012)

Vokić, N.P dan Ana Bogdanić. (2007). Individual Differences And Occupational Stress Perceived: A Croatian Survey. Zagreb International Review of Economics & Business, Vol. 11, No. 1, pp. 61-79, 2008. (4 Desember 2012)

Wulf, Julie. (2008). Relationship Among Stress, Coping, Health, And GPA In Clinical Psychology Doctoral Students. Proquest Dissertations and Theses.

Gambar

Tabel  3  di  atas  menunjukkan  bahwa  distribusi  jenis  kelamin  pengasuh hampir  seimbang
Tabel  8  di  atas menunjukkan  bahwa  sebagian  besar  pengasuh  melakukan  strategi  koping
Tabel  9  di  atas menunjukkan  bahwa  rata-rata  jumlah  lansia  yang  diasuh pengasuh secara   langsung  adalah  22    lansia,  dengan    jumlah  minimum    lansia  yang  diasuh  adalah  2  lansia  dan  maksimum adalah 90 lansia
Tabel  11  di  atas  menunjukkan  bahwa    jenis  kelamin    lansia  demensia  yang  diasuh    responden   paling  banyak  perempuan  dengan  rata-rata  8  lansia  demensia perempuan yang diasuh setiap  responden
+2

Referensi

Dokumen terkait

digunakan untuk aplikasi sel bahan bakar adalah membran dengan konduktivitas tinggi, permeabilitas terhadap metanol rendah, mampu beroperasi pada suhu tinggi,

Begitu pula dengan penerimaan bantuan keuangan Partai Politik melalui APBD di Kabupaten Kendal yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 06 Tahun 2010

,NDQ JXUDPL Oshpronemus gouramy, Lac PHUXSDNDQ LNDQ DVOL ,QGRQHVLD GDQ EHUDVDO GDUL SHUDLUDQ GDHUDK -DZD %DUDW .HJLDWDQ SHPEHQLKDQ LNDQ JXUDPL XQWXN EHU SURGXNVL PHQJJXQDNDQ

9 Pada awal dibukanya pesantren ini, hanya memiliki kurang lebih 35 santri seperti yang dijelaskan oleh Bapak Didik Nurhadi (39 tahun) selaku staf YPM dan angkatan pertama

Sungai Salor merupakan sungai buatan (irigrasi primer) yang digunakan untuk mengaliri sawah di lahan 1.000 ha. Sungai Salor tergolong dalam saluran sekunder yang sumber

Sebagai elektrolit, membran fuel cell menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi anoda menuju katoda, sehingga reaksi pada katoda yang

Source: World Bank, Indonesia Economic Quarterly, March 2017, p... Ten out of twelve service sectors have excess demand, the other two have

Yang terpenting, meskipun dibingkai sebagai bentuk promosi pemanfaatan kembali abu batu bara, tidak satupun [ketentuan] di dalam peraturan yang benar-benar membuat