• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan yang Mendapatkan Brain Gym di PSTW Puspakarma Mataram.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan yang Mendapatkan Brain Gym di PSTW Puspakarma Mataram."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

PERBEDAAN FUNGSI KOGNITIF ANTARA LANSIA

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG MENDAPATKAN BRAIN GYM DI PSTW PUSPAKARMA MATARAM

OLEH:

D. KUSUMA NINGRAT NIM. 1302115019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(2)

ii

PERBEDAAN FUNGSI KOGNITIF ANTARA LANSIA

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN YANG MENDAPATKAN BRAIN GYM DI PSTW PUSPA KARMA MATARAM

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

D. KUSUMA NINGRAT NIM. 1302115019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Perbedaan Fungsi

Kognitif antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan yang Mendapatkan Brain Gym di PSTW

Puspa Karma Mataram.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. PutuAstawa, Sp.OT(K), M.Kes.,

selakuDekanFakultasKedokteranUniversitasUdayana yang

telahmemberikansayakesempatanmenuntutilmu di PSIK

FakultasKedokteranUniversitasUdayana Denpasar.

2. Prof. dr. KetutTirtayasa,MS.,AIF, sebagaiKetua Program

StudiIlmuKeperawatanFakultasKedokteranUniversitasUdayanayang

memberikanpengarahandalam proses pendidikan.

3. Ns. Pt. AyuSaniUtami, S.Kep, M.Kep., Sp. Kep.Kom., sebagaipembimbingutama yang

telahmemberikanbantuandanbimbingansehinggadapatmenyelesaikanskripsiinitepatwaktu.

4. Ns. KadekEkaSwedarma, S. Kep., sebagaipembimbingpendamping yang

telahmemberikanbantuandanbimbingansehinggadapatmenyelesaikanskripsiinitepatwaktu.

5. Drs. AhimIskandarselakuKepala PSTW Puspa Karma Mataram yang

telahmemberikankesempatanuntukmelakukanpenelitianpadainstansi yang dipimpin.

(7)

vii

Penulis membuka diri untuk menerima komentar dan saran yang sifatnya membangun,

agar dapat menjadi bahan acuan kedepannya sehingga penulis dapat membuat hasil karya

yang lebih baik.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Denpasar, Februari, 2015

(8)

viii ABSTRAK

Ningrat, D. Kusuma. 2015. Perbedaan Fungsi Kognitif Antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan yang Mendapatkan Brain Gym di PSTW Puspakarma Mataram. Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

Pembimbing (1) Ns. Pt. Ayu Sani Utami, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep.Kom.; (2) Ns.

Kadek Eka Swedarma, S.Kep.,M. Kes.

Masa tua adalah masa ketika semua aspek seperti fisik, psikis, dan mental mengalami

perubahan, salah satunya adalah penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif antara

laki-laki dan perempuan tidak sama, yang disebabkan oleh adanya perbedaan proses menua

yang lebih kompleks pada perempuan. Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah

tersebut adalah dengan melakukan brain gym. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan fungsi kognitif antara lansia laki-laki dan perempuan yang mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma Mataram dengan one group pre-post test design. Sampel terdiri dari 13 lansia laki-laki dan 13 lansia perempuan dengan teknik purposive sampling. Data dianalisis menggunakan Independent T-test dengan α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan fungsi kognitif yang signifikan antara lansia laki-laki dan perempuan yang

mendapatkan brain gymdengan nilai p = 0,042. Penerapan brain gym secara teratur, terstruktur, dan berkelanjutan dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia.

(9)

ix ABSTRACT

Ningrat, D. Kusuma. 2015. ElderlyCognitive

FunctionDifferencesBetweenMenandWomenGettingBrainGyminPSTW Puspakarma Mataram. Final Assigment, Nursing Science Program Facility of Medicine, Udayana University, Advisor (1) Ns. Pt. Ayu Sani Utami, S. Kep., M. Kep., Sp. Kep.Kom.; (2) Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M. Kes.

Old age is a time when all aspects such as physical, psychological, and mental changes, one of which is the decline in cognitive function. The decline in cognitive function between men and women are not the same, which is caused by the differences in the aging process is more complex in women. Efforts have been made to overcome this problem is by doing Brain Gym. The purposeof researchtodeterminethe differencesin cognitive functionamongelderlymen andwomenwhogetBrain GyminPSTWPuspakarmaMataramwithone group pre-post test design. The sample consistedof13elderlymen

and13elderlywomenwithpurposive sampling technique. Datawere

analyzedusingIndependentT-test withα=0.05. The results showedthatthere weresignificantdifferences incognitive functionamongelderlymen andwomenwhogetBrain Gymwith p value =0.042. Brain Gymexercisesregularly, structured, and sustainablecanimprovecognitive functionin the elderly.

(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang ... 1

1.2 Rumusanmasalah ... 7

1.3 TujuanPenelitian ... 7

1.4 ManfaatPenelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia ... 9

2.1.1 PengertiandanBatasanUmurLansia ... 9

2.1.2 Perubahan yang terjadipadaLansia ... 10

2.2 Kognitif ... 14

2.2.1 PengertianKognitif ... 14

2.2.2 StrukturdanFungsiOtak ... 15

2.2.3 FungsiKognitif ... 17

2.2.4 Faktor-Faktor yang MempengaruhiFungsiKognitif ... 22

2.2.5 GangguanFungsiKognitif ... 24

2.2.6 MasalahAkibatGangguanFungsiKognitif ... 25

2.2.7 PengukuranFungsiKognitif ... 26

2.2.8 PenatalaksanaanGangguanFungsiKognitif ... 27

2.3 Brain Gym ... 29

2.3.1 PengertianBrain Gym ... 29

2.3.2 MekanismeBrain Gym ... 30

2.3.3 ProsedurLatihanBrain Gym ... 34

2.3.4 HubunganBrain Gym danFungsiKognitif ... 44

BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 KerangkaKonsep ... 47

3.2 VariabelPenelitiandanDefinisiOperasional ... 48

(11)

xi

3.2.2 DefinisiOperasional ... 49

3.3 Hipotesis ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 JenisPenelitian... 50

4.2 KerangkaPenelitian ... 51

4.3 TempatdanWaktuPenelitian ... 52

4.3.1 KarakteristikTempatPenelitian ... 52

4.3.2 WaktuPenelitian ... 52

4.4 Populasi, Teknik Sampling Penelitian, danSampel ... 52

4.4.1 PopulasiPenelitian ... 52

4.4.2 Teknik Sampling ... 53

4.4.3 Sampel ... 54

4.5 Jenisdan Cara Pengumpulan Data ... 55

4.5.1 Jenis Data yang Dikumpulkan ... 55

4.5.2 Cara Pengumpulan Data ... 55

4.5.3 InstrumenPengumpul Data ... 58

4.5.4 EtikaPenelitian ... 59

4.6 PengolahandanAnalisa Data ... 61

4.6.1 TeknikPengolahan Data ... 61

4.6.2 TeknikAnalisis Data ... 62

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 HasilPenelitian ... 64

5.1.1 KondisiLokasiPenelitian ... 64

5.1.2 HasilAnalisa Data ... 64

5.2 PembahasanHasilPenelitian ... 69

5.2.1 KarakteristikLansiaLaki-LakidanPerempuan di PSTW PuspakarmaMataram ... 69

5.2.2 FungsiKognitifLansiaLaki-LakidanPerempuanSebelum MendapatkanBrain Gym ... 72

5.2.3 FungsiKognitifLansiaLaki-LakidanPerempuanSetelah MendapatkanBrain Gym ... 74

5.2.4 AnalisisPerbedaanFungsiKognitifantaraLansiaLaki-Laki danPerempuansetelahMendapatkanBrain Gym ... 76

5.3 KeterbatasanPenelitian ... 79

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 80

6.2 Saran ... 81

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional ... 49

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia

di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015... 65

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis

Kelamin di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015 ... 65

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Lansia Laki-Laki dan Perempuan Berdasarkan Usia di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015 ... 65

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015... 66

Tabel 5.5 Distribusi Nilai Fungsi Kognitif Lansia Laki-Laki dan Perempuan Sebelum Mendapatkan Brain Gym di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015 ... 66

Tabel 5.6 Distribusi Nilai Fungsi Kognitif Lansia Laki-Laki dan Perempuan Setelah Mendapatkan Brain Gym di PSTW Puspakarma Mataram Tahun 2015 ... 67

Tabel 5.7 Hasil Output Uji Normalitas dengan Menggunakan Program

Statistika Komputer ... 68

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Gerakan 8 Tidur ... 37

Gambar 2.2 Gerakan Putaran Leher ... 38

Gambar 2.3 Gerakan Burung Hantu ... 39

Gambar 2.4 Gerakan Mengaktifkan Tangan ... 40

Gambar 2.5 Gerakan Sakelar Otak ... 42

Gambar 2.6 Gerakan Tombol Bumi... 43

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 47

Gambar 4.1 Desain Penelitian One Group Pre-Post Test Design ... 50

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian

Lampiran 2 Dana Penelitian

Lampiran 3 Lembar Permohonan menjadi Responden

Lampiran 4 Lembar Persetujuan menjadi responden

Lampiran 5 Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina)

Lampiran 6 SOP Brain Gym

Lampiran 7 Tabel Karakteristik Data Demografi terhadap Fungsi Kognitif

Lampiran 8 Tabel Analisa Pre-PosttestBrain Gym pada lansia Laki-Laki dan Perempuan

Lampiran 9 Tabel Uji Normalitas Data

Lampiran 10 Tabel Uji Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan

Lampiran 11 Master Tabel

Lampiran 12 Surat Ijin Penelitian dari BLHP Provinsi Nusa Tenggara Barat

Lampiran 13 Surat Ijin Penelitian dari PSTW Puspakarma Mataram

Lampiran 14 Surat Keterangan Penelitian dari PSTW Puspakarma Mataram

Lampiran 15 Formulir Bimbingan Proposal

Lampiran 16 Formulir Bimbingan Skripsi

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

AD : Attention disorder

BDNF : Brain Derived Neurotrophic Factor

BLHP : Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian

BPS : Badan Pusat Statistik

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Edu-K : Educational Kinesiology

HDL : High Density Lipoprotein

IL-6 : Interleukin-6

IPM : Indeks Pengembangan Manusia

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

KNEPK : Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan

MoCA : Montreal Cognitive Assessment

MoCA-Ina : Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia

Lansia : Lanjut usia

MCI : Mild Cognitive Impairment

MMSE : Mini Mental State Examination

NTB : Nusa Tenggara Barat

PSTW : Panti Sosial Tresna Werdha

SD : Sekolah Dasar

UHH : Umur Harapan Hidup

(16)
(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap individu yang memiliki umur panjang akan menjadi tua. Menjadi tua atau

menua adalah proses normal yang terjadi secara alamiah sepanjang masa

kehidupan yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan tingkah laku sesuai

tahap perkembangan kronologis tertentu. Proses menua dipengaruhi oleh

fenomena yang kompleks dan multidimensial dimana tingkat kecepatannya

berbeda pada setiap individu. Individu yang memasuki usia tua disebut lanjut usia

(lansia). Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan lansia

apabila sudah berumur 60 tahun atau lebih dan hal yang sama juga disebutkan

dalam UU No. 13 Tahun 1998 (Nugroho, 2014; Stanley & Beare, 2012;

Kemenkes RI, 2013).

Populasi lansia dalam perkembangannya terus mengalami peningkatan. Menurut

WHO (2014), proporsi penduduk lansia (>60 tahun) dunia akan berlipat ganda

dari sekitar 11% pada tahun 2000 menjadi 22% pada tahun 2050 dengan jumlah

mutlak lansia diperkirakan meningkat 605 juta menjadi 2 milyar. Di Indonesia

pada tahun 2010 jumlah lansia tercatat 18,1 juta jiwa, tahun 2013 tercatat 26,4 juta

jiwa, dan diperkirakan akan mencapai 36 juta pada tahun 2020 (Depkes RI, 2014;

Kemenkes RI, 2013). Kondisi yang sama juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB) yang wilayahnya terdiri atas Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.

Berdasarkan data BPS (2013), populasi lansia di Provinsi NTB tahun 2011 adalah

(18)

2

155.500 jiwa, tahun 2012 sebanyak 159.400 jiwa, tahun 2013 sebanyak 164.000

jiwa, dan jumlahnya diperkirakan akan meningkat hampir dua kali lipat pada

tahun 2030, yaitu 288.900 jiwa.

Populasi lansia selain dapat ditemukan di komunitas, sebagian juga ada yang

tinggal di lembaga sosial seperti Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). PSTW

adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan

bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara baik dan terawat dalam

kehidupan masyarakat baik yang berada di dalam panti maupun yang berada di

luar panti.

Wreksoatmodjo (2013), dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat

perbedaan karakteristik antara lansia yang tinggal di panti sosial dengan lansia

yang tinggal di keluarga, terutama dalam hal ikatan sosial dan fungsi kognitifnya.

Ikatan sosial para lansia yang tinggal di panti cenderung lebih buruk, baik dalam

hal jaringan sosial dan aktivitas sosialnya dibandingkan dengan lansia yang

tinggal dengan keluarganya, serta fungsi kognitif, para lansia penghuni panti

rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan lansia yang tinggal di keluarga. Pada

penelitian berikutnya, ditemukan bahwa lansia dengan ikatan sosial yang buruk

memiliki risiko 2,093 kali lebih besar untuk mendapatkan fungsi kognitif buruk

dibandingkan lansia dengan ikatan sosial yang baik (Wreksoatmodjo, 2014).

PSTW yang dimiliki Provinsi NTB adalah PSTW Puspakarma Mataram yang

(19)

3

yang ada di Pulau Lombok. Jumlah lansia yang tinggal di PSTW Puspakarma

Mataram pada tahun 2014 sampai dengan 2015 sebanyak 71 orang.

Usia yang semakin bertambah dapat menyebabkan kemunduran beberapa fungsi

tubuh, salah satunya adalah fungsi kognitif. Menurut Nasreddine, et al (2005) dan

Mongisidi (2013), menyebutkan bahwa usia merupakan salah satu faktor yang

dapat menyebabkan perubahan atau kemunduran pada fungsi otak, dimana

ditemukan bahwa lansia dengan katgori usia old age rata-rata memiliki presentasi

fungsi kognitif tidak normal. Selain usia, faktor lainnya yang berpengaruh adalah

jenis kelamin dan pendidikan.

Masalah kesehatan terkait bertambahnya usia dikenal dengan penyakit

degeneratif. Akibat proses degeneratif, banyak hal yang mengalami kemunduran,

beberapa diantaranya adalah otak, sistem muskuloskeletal, dan sistem reproduksi.

Otak erat kaitannya dengan fungsi kognitif, yaitu pada bagian korteks yang

merupakan kubah intelegensia, yang merupakan tempat berlangsungnya proses

kognitif. Proses degenerasi yang terjadi pada otak mengakibatkan otak menjadi

atropi sehingga beratnya menurun 10-20%, hubungan persarafan menurun, saraf

panca indra mengecil. Kemunduran pada sistem muskuloskeletal menyebabkan

penurunan massa otot, penurunan kekuatan dan stabilitas tulang, kekakuan

jaringan penghubung dan sendi. Sedangkan pada sistem reproduksi, lebih

mencolok pada wanita, dimana terjadi atrofi pada uterus, ovari menciut, dan

(20)

4

Kemunduran pada sistem muskuloskeletal secara tidak langsung dapat

memberikan pengaruh pada penurunan fungsi kognitif. Santoso dan Rohmah

(2011) melaporkan bahwa semakin tua usia seseorang maka masalah pada

gangguan gerak akan meningkat, dimana gangguan gerak memiliki pengaruh

sebesar 68,5% terhadap penurunan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif

pada perempuan lebih kompleks dibandingkan laki-laki karena perempuan harus

melewati masa menopause terlebih dahulu. Ketika masa menopause, produksi

hormon estrogen menurun secara drastis. Czlonkowska, Ciesielska, and Joniec

(2003), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa estrogen memiliki fungsi

neuroprotektif yang berkaitan dengan perannya sebagai antioksidan yang mampu

mengubah produksi radikal bebas, sehingga risiko terjadinya proses

neurodegeratif pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Hasil yang berbeda didapatkan oleh Mongisidi (2013), dimana laki-laki lebih

banyak memiliki persentasi kognitif tidak normal dibandingkan perempuan. Oleh

karena itu, penurunan fungsi kognitif berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Fungsi kognitif selain dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin juga dipengaruhi

oleh pendidikan. Individu yang mengenyam pendidikan lebih dari sembilan tahun

memiliki fungsi kognitif tergolong normal dibandingkan individu yang

pendidikannya kurang dari sembilan tahun (Mongisidi, 2013).

Masalah proses degeneratif yang berkaitan dengan fungsi kognitif, antara lain

seperti demensia, Alzheimer, dan Parkinson. Kondisi ini dapat mempengaruhi

(21)

5

fungsi kerja sehari-hari sehingga individu menjadi lebih tergantung pada orang

lain. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penurunan fungsi kognitif

adalah dengan memberikan stimulasi pada otak, hal ini didasarkan atas

kemampuan plastisitas yang dimiliki otak (Nugroho, 2014; Sulianti, 2010).

Plastisitas otak adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk

adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang

menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap kebutuhan

fungsional dan plastisitas otak ini dapat dipertahankan dengan mengolahragakan

otak, berupa latihan atau permainan yang prosedurnya membutuhkan konsentrasi,

orientasi, memori visual, dan lain sebagainya. Salah satunya adalah dengan

melakukan brain gym. Brain gym adalah latihan gerak yang dapat memberikan

stimulasi pada area tertentu di dalam otak yang terdiri dari gerakan-gerakan

sederhana sehingga dapat mengaktifkan kembali fungsi seluruh otak (Diponegoro,

2012; Muhammad, 2013).

Verany, Santoso, dan Fanada (2013) melaporkan bahwa senam otak dapat

meningkatkan daya ingat individu. Hasil serupa dilaporkan oleh Festi (2010),

Nugroho (2009), dan Lisnaini (2012) bahwa fungsi kognitif seperti rentang

perhatian, daya ingat, orientasi, dan fungsi lainnya dapat meningkat dengan

memberikan stimulus pada otak melalui latihan gerak. Dari fakta di atas, semakin

relevan jika brain gym dapat digunakan sebagai terapi modalitas untuk

mempertahankan dan meningkatkan fungsi kognitif. Namun penelitian-penelitian

(22)

6

sampel antara laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Sehingga belum

diketahui apakah ada perbedaan terhadap perubahan fungsi kognitif antara lansia

laki-laki dan perempuan setelah diberikan brain gym.

Alat ukur fungsi kognitif yang digunakan adalah Montreal Cognitive Assessment

Versi Indonesia (MoCA-Ina), dimana alat ukur ini diketahui lebih sensitif

mengukur penurunan fungsi kognitif dibandingkan Mini Mental State

Examination (MMSE). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada

bulan November 2014 di PSTW Puspakarma Mataram terhadap 5 orang lansia

laki-laki dan 5 orang lansia perempuan, hasil total skor MoCA-Ina yang

didapatkan <26, yang berarti fungsi kognitif tidak normal dan dari hasil rata-rata

total ditemukan bahwa skor MoCA-Ina pada lansia perempuan lebih rendah yaitu

17,6 sedangkan pada lansia laki-laki yaitu 19,4. Berdasarkan hasil wawancara

dengan beberapa perawat di PSTW Puspakarma Mataram, tidak ada terapi atau

latihan khusus yang diberikan kepada lansia untuk mengatasi masalah penurunan

fungsi kognitif. Latihan yang diberikan rutin adalah senam lansia yang berfungsi

meningkatkan kemampuan motorik dan dilakukan setiap hari Sabtu.

Berdasarkan fenomena dan pemikiran diatas serta penelitian dengan metode

seperti ini belum pernah dilakukan sehingga peneliti tertarik untuk meneliti dan

mengkaji lebih dalam mengenai manfaat brain gym melalui penelitian yang

berjudul Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Laki-Laki dan Perempuan yang

(23)

7

1.2 Rumusan Masalah

Adakah perbedaan fungsi kognitif antara lansia laki-laki dan perempuan yang

mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma Mataram?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan fungsi kognitif antara lansia laki-laki dan

perempuan setelah mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma

Mataram.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik lansia berdasarkan data demografi (usia,

jenis kelamin, pendidikan).

2. Mengidentifikasi fungsi kognitif lansia laki-laki dan perempuan sebelum

mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma Mataram.

3. Mengidentifikasi fungsi kognitif lansia laki-laki dan perempuan setelah

mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma Mataram.

4. Menganalisis perbedaan fungsi kognitif antara lansia laki-laki dan

perempuan setelah mendapatkan brain gym di PSTW Puspakarma

Mataram.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Insitusi

Brain Gym diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan kegiatan dan

(24)

8

Puspakarma Mataram sehingga para lansia selain mendapatkan kebugaran

dari senam yang sudah ada, juga dapat mempertahankan dan

meningkatkan fungsi kognitif agar tetap optimal. Dengan fungsi kognitif

yang optimal diharapkan lansia dapat memiliki kualitas hidup yang lebih

baik.

2. Manfaat bagi Perawat

Peran perawat dituntut untuk dapat berperan aktif dalam banyak aspek di

dalam dunia kesehatan. Penelitian ini dapat menjadi pemicubagi perawat

untuk lebih terangsang melakukan penelitian maupun mengaplikasikan

serta mengembangkan penelitian yang sudah ada dengan ciri sederhana

tapi mudah dilakukan. Sehingga perawat memiliki semakin banyak

intenvensi mandiri.

3. Manfaat bagi Lansia dan Keluarganya

Brain Gym merupakan senam atau latihan otak yang sederhana, murah,

tidak memerlukan peralatan khusus tetapi memberikan manfaat yang

besar. Sehingga pasien dan keluarganya tidak akan mengalami kesulitan

melakukan latihan saat di wisma atau di rumah karena tidak memerlukan

instruktur. Dengan melakukan latihan yang rutin, fungsi kognitif akan

tetap terjaga fungsinya, sehingga stigma yang ada pada lansia seperti

demensia, Alzeimer dan gangguan kognitif lainnya tidak menakutkan

(25)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian dan Batasan Umur Lansia

Lanjut usia atau lansia merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia.

Hal ini pasti dialami bagi individu yang memiliki umur panjang. Lansia

bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan tahap lanjut dari suatu

proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan untuk

beradaptasi terhadap stimulus internal maupun internal yang dipengaruhi

perubahan struktur dan fungsi anatomi tubuh. Untuk dapat mengatakan

seseorang telah lansia, para ahli membedakannya menjadi usia kronologis

dan usia biologis. Usia kronologis adalah usia yang dihitung dengan

kalender, sedangkan usia biologis adalah usia yang dilihat dari kondisi

jaringan tubuh seseorang yang sangat tergantung dari faktor nutrisi maupun

lingkungan sehingga usia biologis dapat dipengaruhi (Lestiani, 2014;

Nugroho, 2014).

Pengertian lansia dibagi menjadi beberapa batasan-batasan berdasarkan

usia. Menurut WHO, lansia dibagi tiga, yaitu lanjut usia (elderly) 60-74

tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di

atas 90 tahun. Menurut Prof. DR. Koessoemanto, lansia (usia lebih dari

65/70 tahun) dibagi lagi menjadi tiga, yaitu usia 70-75 tahun (young old),

usia 75-80 tahun (old), dan usia lebih dari 80 tahun (very old). Menurut

(26)

10

Hulock (1979), lansia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu early old age

(usia 60-69 tahun) dan advanced old age (usia >70 tahun). Menurut

Burnside (1979), membagi lansia menjadi empat tahapan, antara lain young

old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia

80-89 tahun), dan very old-old (usia >90 tahun). Di Indonesia, berdasarkan UU

No.13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Usia Lanjut, seseorang

dikatakan lansia apabila telah berusia 60 tahun atau lebih, karena pada

umumnya digunakan sebagai usia maksimal kerja dan mulai tampaknya

ciri-ciri ketuaan (Nugroho, 2014; Noorkasiani, 2009).

2.1.2 Perubahan yang Terjadi pada Lansia

Proses menua menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik dan

psikososial pada lansia.

1. Perubahan Fisik

Perubahan fisik yang terjadi antara lain penurunan sistem

muskuloskeletal, sistem persarafan, gangguan pendengaran dan

penglihatan, sistem reproduksi. Penurunan kemampuan pada sistem

muskuloskeletal akibat digunakan secara terus-menerus menyebabkan sel

tubuh lelah terpakai dan regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, seperti penurunan aliran darah ke otot,

atropi dan penurunan massa otot, gangguan sendi, tulang kehilangan

densitasnya, penurunan kekuatan dan stabilitas tulang, kekakuan jaringan

penghubung yang menyebabkan hambatan dalam aktivitas seperti

(27)

11

dan ‘genetic clock’. Oleh karena itu, semakin tua usia seseorang maka

semakin besar juga potensi gangguan gerak yang dialami. Penurunan

pada sistem persarafan dapat terjadi seiring bertambahnya usia, hal ini

dikaitkan dengan teori ‘genetic clock’, dimana pada waktu tertentu

dalam kehidupan, otak secara perlahan dan pasti mengalami atrofi

sehingga beratnya menurun 10-20% (Nugroho, 2014). Penurunan ini juga

dikatikan dengan teori radikal bebas, dimana radikal bebas dapat memicu

terjadinya inflamasi kronik. Menurut Marshland, et al (2006), inflamasi

kronik berhubungan dengan buruknya fungsi kognitif, dimana inflamasi

kronik merangsang dilepaskannya sitokin pro-inflamasi oleh otak seperti

interleukin-6 (IL-6) yang bertanggung jawab atas kerusakan sel korteks

otak yang merupakan area kognitif.

Penurunan lainnya yang sangat jelas terlihat pada sistem reproduksi

terutama pada perempuan. Ketika sudah mengalami masa menopause,

secara perlahan dan pasti organ-organ reproduksi akan mengalami

penurunan baik secara struktur dan fungsinya. Ovari akan menciut dan

ukurannya mengecil, atrofi pada uterus, dan penurunan produksi hormon

estrogen. Pada laki-laki tidak terjadi perubahan yang drastis pada sistem

reproduksinya (Nugroho, 2014; Santoso & Rohmah 2011).

2. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial dapat terjadi akibat adanya penyakit kronis,

(28)

12

sehingga intensitas hubungan lansia dengan lingkungan sosialnya

berkurang karena lansia lebih banyak berada di rumah. Bahkan dapat

timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosialnya ini

(Nugroho, 2014).

3. Penurunan Fungsi Kognitif

Perubahan tidak hanya terjadi pada fisik dan psikososial, tetapi juga pada

kognitif , karena fungsi kognitif dipengaruhi oleh adanya perubahan pada

struktur dan fungsi organ otak, penurunan fungsi sistem muskuloskeletal,

dan sistem reproduksi. Atropi yang terjadi pada otak akibat penuaan

menyebabkan penurunan hubungan antarsaraf, mengecilnya saraf panca

indra sehingga waktu respon dan waktu bereaksi melambat, defisit

memori, gangguan pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perabaan.

Menurunya daya pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap

nada tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada

orang di atas umur 65 tahun (Nugroho, 2014). Selain itu radikal bebas

dapat memicu terjadinya inflamasi kronik yang menyebabkan

meningkatnya kadar IL-6 yang merupakan sitokin proinflamasi dan

adanya peningkatan IL-6 dapat digunakan menjadi sebagai biomarker

untuk risiko penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut (Frydecka, et al,

2004 dan Marshland, et al, 2006).

Fungsi kognitif juga berkaitan dengan aktivitas fisik, dimana aktivitas

(29)

13

gerakan fisik yang dilakukan memberikan rangsangan kepada otak,

dengan menurunnya aktivitas maka rangsangan kepada otak juga

berkurang. Karena otak memiliki sifat plastisitas dimana bila terus

diberikan rangsangan, fungsinya akan tetap terjaga dan sebaliknya bila

rangsangan tersebut kurang atau tidak ada, proses plastisitas tidak terjadi

dan otak akan mengalami penurunan struktur dan fungsinya (Nugroho,

2014). Santoso dan Rohmah (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gangguan gerak dan

fungsi kognitif, dimana pengaruhnya sebesar 68,5%.

Perubahan lainnya yang dapat mempengaruhi fungsi kognitif adalah

penurunan pada sistem reproduksi. Menurut Nugroho (2014) dan Schiff

and Walsh (1995) dalam Santoso dan Rohmah (2011), hal ini terjadi pada

lansia perempuan yang mengalami menopause dimana terjadi penurunan

struktur dan fungsi organ reproduksi, ovari menciut, atrofi pada uterus,

dan penurunan produksi hormon estrogen, dimana hal ini berdampak

negatif bagi tubuh perempuan, antara lain peningkatan aterosklerosis,

kadar kolesterol total, trigliserida, dan lain sebagainya. Diketahui bahwa

penurunan estrogen erat kaitannya dengan penurunan fungsi kognitif.

Menurut Czlonkowska, Ciesielska, and Joniec (2003), estrogen memiliki

fungsi neuroprotektif yang perannya sebagai antioksidan yang mampu

mengubah produksi radikal bebas. Pada perkembangan otak, kontrol

diferensiasi dan plastisitas populasi saraf yang berbeda dipengaruhi oleh

(30)

14

hipotalamus, hipokampus, otak tengah, dan korteks yang dapat

mempengaruhi seuasana hati, status mental dan belajar serta ingatan.

Oleh karena itu. Lansia perempuan lebih rentan menderita penyakit

neurodegeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif.

Sedangkan pada pria tidak terjadi perubahan yang begitu nampak karena

tidak terjadi penurunan produksi hormon seks secara drastis selama

proses penuaan.

2.2 Kognitif

2.2.1 Pengertian Kognitif

Kognitif adalah kegiatan-kegiatan mental yang dibutuhkan dalam

memperoleh, menyimpan, mendapat kembali, dan menggunakan

pengetahuan suatu hal. Kognitif meliputi proses-proses mental, seperti

mempersepsikan, belajar, mengingat, menggunakan bahasa, dan berpikir.

Dalam kognisi, kita mempelajari sesuatu dan menempatkan sesuatu tersebut

dalam ingatan kita, mengkomunikasikannya lewat bahasa menggunakan

simbol-simbol mental, dan secara cerdas memecahkan masalah

menggunakan informasi yang telah dipelajari dan disimpan. Oleh karena itu

kemampuan fungsi mengingat pada seseorang akan mempengaruhi

kemampuan berpikir sehingga respon kognitif yang ditimbulkan akan

berbeda. Proses mengingat terjadi dengan menggabungkan antara informasi

yang diterima melalui panca indra dengan informasi yang telah disimpan

(31)

15

seseorang disebut sebagai kecerdasan atau intelegensi (Semium, 2010;

Kompasiana, 2014).

Proses kognitif adalah proses tentang bagaimana cara memperoleh

pengetahuan di dalam kehidupan yang melibatkan fungsi panca indra,

kesadaran, dan perasaan yang berupa pengalaman (Kushartanti, Yuwono,

dan Lauder, 2005). Kemampuan kognitif adalah kemampuan untuk

memikirkan sesuatu, berkhayal, bercita-cita, atau melihat jauh ke depan,

menetapkan tujuan-tujuan, dan membuat rencana kegiatan guna mencapai

hal tersebut (Waruwu, 2014).

2.2.2 Struktur dan Fungsi Otak

Otak manusia dbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu otak besar (serebrum),

batang otak (brain stem), dan otak kecil (serebelum). Lapisan yang

menyelimuti otak besar adalah korteks serebri yang juga sering disebut

sebagai ‘thinking cup’ karena di bagian inilah kemampuan intelektual

disimpan (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005).

Korteks serebral dibagi menjadi dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan

hemisfer kanan, dimana fungsi kedua hemisfer ini berbeda bahkan

bertentangan dalam proses kognitif. Hemisfer kanan mengontrol

pemrosesan informasi spasial dan visual seperti melihat, memperkirakan,

atau memahami ruang atau benda secara tiga dimensi. Dengan demikian,

kegiatan seperti menuruni tangga atau mengambil barang di depan kita

(32)

16

kegiatan berbahasa, berpikir secara sistematis, logika. Bila terjadi gangguan

pada bagian ini, maka yang terganggu adalah fungsi berbicara, bahasa, dan

matematika (Kushartanti, Yuwono, dan Lauder, 2005).

Daerah di otak dibagi menjadi beberapa bagian (lobus) yang memiliki

fungsi spesifik. Fungsi pancaindra seperti pusat penglihatan terletak di area

17 lobus oksipitalis, pusat pendengaran di area 41 lobus temporalis, pusat

sensorik di area 3,4,5 lobus parietalis (postsentral), pusat penghidu terletak

di daerah yang berdekatan dengan girus parahipotalamus lobus temporalis,

dan pusat motorik terletak di area 4,6,8 lobus frontalis (presentral).

Masing-masing pusat pancaindra memiliki area asosiasi untuk memahami stimulus

sensorik yang masuk. Kemampuan otak (kognitif) akan meningkat secara

optimal apabila terdapat integrasi yang baik antara area sensoris dan asosiasi

(Syaifuddin, 2012; Ganong, 2012).

Lobus frontalis, parietalis, dan temporalis merupakan tiga daerah asosiasi

yang penting, serta bertanggung jawab atas kemampuan kognitif. Perhatian

atau konsentrasi berada di lobus frontalis terutama otak bagian sisi kanan,

pusat visuospasial (persepsi dan orientasi) di lobus parietalis (bagian atas

otak) terutama bagian otak sisi kanan, pusat daya ingat di lobus temporalis,

untuk daya ingat visual di belahan otak sisi kanan, pusat bahasa di lobus

frontalis dan temporalis terutama bagian otak sisi kiri. Lobus frontalis

merupakan lobus terbesar dan paling akhir berkembang, dan merupakan

(33)

17

disekitarnya memiliki peran yang penting, termasuk kemampuan memori

kerja (working memory) dan kemampuan seseorang dalam executive

function (pengorganisasian, perencanaan, dan pelaksanaan) (Kushartanti,

Yuwono, dan Lauder, 2005; Ganong, 2012)

2.2.3 Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif adalah suatu kegiatan mental yang dimiliki manusia yang

diantaranya adalah perhatian, persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan

memori. Fungsi kognitif yang merupakan salah satu fungsi otak, memiliki

area sebesar 75% di otak, terutama di bagian korteks otak (Saladin, 2007).

Berdasarkan alat ukur MoCA-Ina, data demografi yang harus ada adalah

usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Ketiga data ini sangat penting karena

sangat berpengaruh terhadap fungsi kognitif individu (Nasreddine et al,

2005). Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh

Mongisidi (2013), dimana individu yang masuk dalam kategori old age

(75-90 tahun) memiliki rata-rata persentasi kognitif tidak normal, sehingga

disimpulkan semakun tua usia seseorang, maka fungsi kognitif individu

cenderung menurun. Hasil berikutnya pada data jenis kelamin, ditemukan

bahwa laki-laki lebih banyak memiliki presentasi yang tidak normal, tetapi

menurut hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa

hasil skor penilaian fungsi kognitif perempuan rata-rata lebih rendah

dibandingkan laki-laki. Dilihat dari latar belakang pendidikan, ditemukan

bahwa individu yang mengenyam pendidikan lebih dari sembilan tahun

(34)

18

dibandingkan individu yang pendidikannya kurang dari sembilan tahun.

Sehingga data demografi usia, jenis kelamin, dan pendidikan lebih utama

dapat mempengaruhi fungsi kognitif individu.

Issealbacher, et al, (2006), menyebutkan ada lima komponen kognitif yang

mudah untuk dilihat, antara lain :

1. Kesadaran adalah keadaan sadar akan diri sendiri dan lingkungan yang

mempunyai beberapa sisi, dimana arti kesadaran merupakan gabungan

kognitif dan fungsi mental afektif dan hanya dapat dinilai dengan

penarikan kesimpulan melalui hasi suatu pemeriksaan khusus. Bangun

berhubungan erat dengan gambaran kewaspadaan, yaitu kesiapan

individu memberikan respons terhadap suatu stimulus yang diterimanya.

Perhatian meliputi kapasitas untuk memperhatikan secara selektif

terhadap stimulus yang relevan dan untuk memanipulasi ide yang

abstrak. Kesadaran juga meliputi konsep insight dan pengenalan diri.

2. Persepsi mengenai kesadaran, seleksi, dan identifikasi stimulus dari

lingkungan. Dalam keadaan normal, persepsi dipengarui oleh beberapa

faktor, baik fisiologik dan psikologik, misalnya penglihatan yang buruk

atau tuli dapat mengganggu persepsi orang tua terhadap suatu hal.

3. Ingatan dibedakan berdasarkan lamanya mengingat. Sistem ingatan

segera memegang informasi yang dengan kesadaran selama beberapa

detik dan dapat diperiksa dengan reproduksi barisan angka yang pada

(35)

19

angka, yang hanya tertahan beberapa detik atau menit. Ingatan terakhir,

mengingat informasi yang ada dalam beberapa menit, jam, atau hari.

Sedangkan ingatan jauh adalah kemampuan mengingat kejadian atau

informasi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Mengingat informasi

setelah terlambat beberapa menit memerlukan proses konsolidasi atau

belajar yang diperantarai oleh sistem ingatan sekunder atau jangka

panjang dengan kapasitas dan ketahanan yang hampir tanpa batas.

4. Suasana hati dan kepribadian. Suasana hati menunjukkan keadaan emosi

yang paling sering, sedangkan afek adalah pengalaman emosional yang

dicetuskan oleh stimulus khusus. Suasana hati dapat memberikan

pengaruh secara nyata pada seluruh aspek kognitif, terutama pada

rangkaian suasana hati yang ekstrim. Hipomania mungkin disertai

dengan ilusi, pikiran yang melompat-lompat, dan keluaran motorik dan

verbal yang ekstrim. Kondisi sebaliknya ditunjukkan ketika depresi,

dimana terjadi perlambatan pikiran, bicara, dan aktivitas. Kecemasan

yang ektrim juga dapat mempengaruhi koherensi pikiran dan

pembicaraan.

5. Pemecahan masalah. Pikiran sulit untuk dapat dimengerti dan ditangkap,

tetapi dapat dinilai melalui proses penalaran, logik dan kemampuan

(36)

20

Pemeriksaan yang teliti dari fungsi kognitif adalah komponen penting dari

pemeriksaan neurologik, yang mencakup antara lain (Issealbacher, et al,

2006) :

1. Orientasi

Orientasi terhadap orang, tempat, dan waktu (termasuk tanggal, jam,

hari, bulan, dan tahun). Pada gangguan ingatan berat, biasanya

kesalahan dalam penyebutan tanggal.

2. Kesadaran

Individu sadar yang normal masuk dalam pembicaraan atau beberapa

aktivitas lain yang berbeda, sedangkan individu dengan gangguan

kesadaran tetap tenang atau masuk dalam aktivitas yang berulang-ulang

dan kurang bertujuan.

3. Abnormalitas persepsi

Sebaiknya dicari dengan pertanyaan spesifik mengenai persepsi

lingkungan, kejadian yang sedang terjadi atau yang dirasakan.

4. Bahasa

Afasia mengakibatkan pembicaraan menjadi tidak lancar. Pemeriksan

yang dilakukan berguna untuk mengetahui adanya afasia nominal

dengan meminta individu untuk menyebutkan objek yang umum dan

tidak umum dan pemberian perintah yang kompleks untuk menilai

derajat ringan disfasia reseptif. Agraphia dicari dengan meminta

(37)

21

sebaiknya dinilai dengan menggunakan teks standar atau artikel surat

kabar dan meminta penjelasan dari artinya.

5. Fungsi visuospasial

Tes yang paling berguna untuk memeriksa fungsi visuospasial adalah

dengan menirukan gambar. Adanya apraksia konstuksional atau agnosia

visuospasial dapat menyebabkan kesulitan dalam menggambar garis

yang diperlukan untuk orientasi ruang atau posisi yang tepat.

6. Ingatan

Ingatan segera dan perhatian diperiksa dengan meminta individu

mengulang deret angka yang ditunjukkan dalam interval setengah detik.

Ingatan terakhir dapat dinilai dengan meminta individu mempelajari

tiga nama objek umum, mengingat kembali dites setelah dua sampai

lima menit. ingatan jauh-jangka panjang dapat dites dengan

menanyakan hal yang berkaitan dengan pengetahuan umum seperti

tanggal yang penting tentang kejadian masa lalu, nama-nama orang

politikus yang penting, dan sebagainya.

7. Suasana hati dan kepribadian

Penilaian terhadap kepribadian, suasana hati, afek, dan insight

sebaiknya dilakukan selama anamnesis dan pemeriksaan. Penampilan

individu, isi pembicaraan, dan kecepatan gerakan memberikan petunjuk

tentang suasana hari. Afek diisyaratkan oleh bahasa, ekspresi wajah,

(38)

22

8. Pikiran dan pemecahan masalah

Inkoherensi penalaran dan pikiran logis dapat dideteksi selama

anamnesis melalui tes keterampian bahasa dna matematika. Gangguan

pikiran yang lebih rumit kadang dapat nampak dengan meminta

individu untuk menjelaskan arti peribahasa.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif 1. Status kesehatan

Faktor status kesehatan yang paling penting adalah adanya hipertensi.

Peningkatan tekanan darah kronis telah terbukti meningkatkan efek

penuaan struktur otak, termasuk reduksi pada substasi kelabu dan putih

di lobus prefrontal, atrofi hipokampus (Raz and Rodrigue, 2006).

Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung koroner, dan

penyakit vaskular lainnya berhubungan dengan fungsi kognitif yang

buruk (Britton and Marmot, 2003 dalam Myers, 2008).

2. Usia

Usia yang semakin tua menyebabkan perubahan pada struktur otak,

diantaranya otak menjadi atrofi dan beratnya menurun 10-20%,

perubahan biokimiawi pada susunan saraf pusat, sehingga terjadi

gangguan pada hubungan sinapsis dan daya hantar impuls antar sel saraf

(Nugroho, 2014). Mongisidi (2013) mengemukakan bahwa individu

dengan kategori usia old age (lebih dari 60 tahun) rata-rata memiliki

(39)

23

3. Jenis Kelamin

Perempuan tampaknya lebih berisiko megnalami penurunan kognitif

dibandingkan laki-laki ketika memasuki usia lanjut. hal tersebut

disebabkan karena perbedaan anatomis maupun fisiologis, dimana

secara fisik laki-laki memiilki struktur tubuh yang lebih besardaripada

perempuan (Kartinah, Komariyah, & Giriwijoyo, 2006). Secara

fisiologis, volume darah yang dimiliki laki-laki kurang lebih satu liter

lebih banyak daripada perempuan, dan laki-laki memiliki volume

paru-paru 10% lebih besar dibandingkan perempuan (Nopembri, 2010).

Perbedaan fisiologis lainnya adalah adanya penurunan level seks

endogen dalam perubahan fungsi kognitif pada perempuan menopause.

Reseptor estrogen telah ditemukan berperan dalam fungsi belajar dan

memori, seperti hipokampus. Pada perkembangan otak, estrogen

mengontrol diferensiasi dan plastisitas populasi saraf yang berbeda.

Estrogen juga diketahui memiliki fungsi neuroprotektif dan membatasi

kerusakan akibat stress oksidatif (Yaffe, et al, 2001 dalam Myers, 2008;

Czlonkowska, Ciesielska, and Joniec (2003). Pada pemeriksaan fungsi

kognitif, sebagian besar (65%) lansia perempuan mengalami penurunan

fungsi kognitif (Fadhia, Ulfiana, & Ismono, 20012).

4. Status pendidikan

Fungsi kognitif pada kelompok dengan status pendidikan rendah

cenderung memiliki fungsi kognitif lebih buruk dibandingkan kelompok

(40)

24

bahwa latar belakang pendidikan secara signifikan berpengaruh terhadap

fungsi kognitif, dimana sampel yang memiliki latar belakang pendidikan

lebih dari sembilan tahun atau lebih dari pendidikan dasar (SMA,

diploma ataupun sarjana) memiliki hasil fungsi kognitif tergolong

normal. Hal tersebut dipertegas oleh penelitian yang dilakukan oleh Ardi

(2011), bahwa ada pengaruh yang bermakna antara tinggi rendahnya

jenjang pendidikan dengan ketidakmampuan kognitif, dimana setelah

dilakukan analisis Post Hoc terhadap perbedaan fungsi kognitif antar

jenjang pendidikan dasar, menengah, atas, dan tinggi, didapatkan hasil

kemampuan kognitif sampel yang memiliki jenjang pendidikan SD

berbeda dengan sampel yang memiliki jenjang pendidikan SMP (p =

0,012), SD dengan SMA (p = 0,005), dan SD dengan PT (p = 0,0005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif yang diidentifikasi pada

penelitian adalah usia, jenis kelamin dan status pendidikan, yang

disesuaikan dengan lembar kuesioner MoCA-Ina.

2.2.5 Gangguan Fungsi Kognitif

Gangguan fungsi kognitif dibagi menjadi beberapa kategori. Menurut

Kurlowiez (1999) dalam Rohana (2011), kategori gangguan fungsi kognitif

dibedakan berdasarkan tingkat keparahan, yaitu: tidak ada gangguan fungsi

kognitif, gangguan kognitif ringan, dan gangguan kognitif berat. Menurut

Global Deterioration Scale, gangguan fungsi kognitif dibagi menjadi tujuh,

(41)

25

penurunan kognitif ringan, penurunan kognitif sedang, penurunan kognitif

sedang sampai berat, penurunan kognitif berat, dan penurunan kognitif

sangat berat. Kategori penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal

Cognitive Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina) yang memiliki rentang

nilai 0-30, menjadi dua, yaitu fungsi kognitif normal (total nilai ≥26) dan

fungsi kognitif tidak normal (total nilai <26). MoCA memiliki tingkat

sensitivitas sebesar 90% untuk mendeteksi adanya gangguan kognitif

sedang dan memiliki sensitivitas sebesar 100% untuk mendeteksi adanya

attention disorder (AD) (Nasreddine, et al, 2005).

2.2.6 Masalah Akibat Gangguan Fungsi Kognitif

Penurunan fungsi kognitif pada lansia merupakan salah satu penyebab

meningkatnya ketergantungan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Gangguan fungsi kognitif merupakan respon maladaptif yang ditandai oleh

terganggunya daya ingat, disorientasi, inkoheren, dan sukar berpikir logis.

Gangguan kognitif erat kaitannya dengan gangguan atau kerusakan pada

daerah korteks. Masalah akibat gangguan kognitif antara lain: penurunan

kemampuan konsentrasi (misalnya pertanyaan harus diulang); proses pikir

yang tidak tertata (misalnya tidak relevan atau inkoheren); menurunnya

tingkat kesadaran; gangguan persepsi (ilusi, halusinasi); gangguan tidur,

tidur berjalan dan insomnia atau ngantuk pada siang hari; meningkat atau

menurunnya aktivitas psikomotor; disorienasi tempat, waktu, orang;

gangguan daya ingat, tidak dapat mengingat hal baru misalnya nama

(42)

26

Lauder, 2005; Issealbacher, et al, 2006; Ganong, 2012).

2.2.7 Pengukuran Fungsi Kognitif

Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif,

antara lain Mini Mental State Examination (MMSE) dan Montreal Cognitive

Assessment Versi Indonesia (MoCA-Ina). Pada penelitian ini, alat ukur yang

digunakan adalah MoCA-Ina yang bertujuan mengukur berbagai fungsi

kognitif, seperti: ruang dan bentuk, daya ingat, atensi, kemampuan

berbahasa, abstraksi, dan sebagainya. Tes MoCA versi Indonesia telah

divalidasi oleh Husein, Lumempouw, Ramli, dan Herqutanto (Departemen

Neurologi, Universitas Indonesia) dan menunjukkan skor validitas yang

tinggi yaitu >80 (EL Rhino Global Reseacrh and Development, 2012). Hal

yang sama ditemukan oleh Panentu (2013), yang mengatakan MoCA-Ina

valid dan reliabel untuk pemeriksaan kognitif pada pasien pasca stroke fase

pemulihan. MoCA adalah alat skrining baru yang dirancang untuk

mengatasi keterbatasan MMSE yang kurang sensitif mendeteksi Mild

Cognitive Impairment (MCI). Menurut laporan Nasreddine, et al, (2005),

dengan batas skor 26, MMSE memiliki tingkat sensitivitas sebesar 18%

untuk mendeteksi MCI, sedangkan MoCA sebesar 90% dari subyek MCI.

Pada grup attention disorder (AD), MMSE memiliki tingkat sensitivitas

(43)

27

2.2.8 Penatalaksanaan Gangguan Fungsi Kognitif

Penuaan dan penyakit degeneratif pada dasarnya tidak dapat dihentikan

karena merupakan proses alamiah dari siklus kehidupan manusia. Namun

berbagai studi berbasis ilmiah telah menunjukkan berbagai fakta bahwa ada

banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses penuaan

yang terjadi pada otak. Fakta-fakta tersebut dijadikan landasan untuk

membuat program kegiatan lansia di komunitas, sehingga kegiatan lansia

yang dilakukan rutin tersebut dapat bermanfaat untuk menstimulasi otak dan

memperlambat kemunduran fungsi otak (Kemenkes, 2013).

Kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak dibagi menjadi tiga

kegiatan utama, seperti aktivitas fisik, stimulasi mental, dan aktivitas sosial.

1. Aktivitas fisik

Melakukan aktivitas fisik dapat memberikan stimulasi pada otak, dan

dengan melakukan olahraga secara teratur dapat meningkatkan protein di

otak yang disebut Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Protein

BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat,

sehingga bila kadar BDNF rendah dapat menyebabkan penyakit

kepikunan. Fakta inilah yang yang menjelaskan bahwa lansia yang

melakukan banyak aktivitas fisik yang menyenangkan memiliki fungsi

kognitif yang lebih baik dibandingkan lansia yang cenderung diam dan

(44)

28

Santoso dan Rohmah (2011) melaporkan bahwa gangguan gerak secara

bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Salah satu kegiatan

yang dapat memberikan stimulasi otak adalah dengan melakukan brain

gym atau senam otak. Brain gym adalah suatu latihan gerak yang

digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar, serta

penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari.

2. Stimulasi mental

Memberikan stimulasi mental secara terus-menerus dengan berbagai

aktivitas otak dapat memperbaiki dan menjaga hubungan antar sel-sel

otak, sehingga terdapat cadangan fungsi kognitif untuk lansia. Aktivitas

yang dapat menstimulasi mental seperti permainan puzzle, membuat

kerajinan tangan, mengisi teka teki silang, diskusi, dan bernyanyi

(Kemenkes, 2013).

3. Aktivitas sosial

Lansia yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan interaksi

dengan orang lain, diketahui memiliki fungsi kognitif yang lebih baik

dibandingkan lansia yang tidak aktif dalam aktivitas sosial. Hal ini sesuai

dengan teori aktivitas, dimana melalui berbagai aktivitas dalam kegiatan

sosial dapat membantu menstimulasi fungsi kognitif. Dengan melakukan

aktivitas sosial maka akan timbul adanya keterikatan sosial. Keterikatan

(45)

29

serta partisipasi aktif dalam kegiatan sosial) dapat mencegah penurunan

fungsi kognitif pada lansia (Kemenkes, 2013).

Seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunya aktivitas.

Penurunan aktivitas akan mengakibatkan kelemahan serta atropi pada otot

sehingga dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan serta

menyelesaikan suatu masalah. Santoso dan Rohmah (2011) melaporkan

tidak ada hubungan antara usia dan fungsi kognitif yang signifikan, tetapi

terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan gangguan gerak, dimana

gangguan gerak secara bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang.

Jadi jelas bahwa, untuk mempertahankan fungsi kognitif tetap optimal dan

mengatasi gangguan fungsi kognitif dapat dilakukan melakukan latihan

gerak. Ada berberapa latihan gerak yang diteliti pengaruhnya terhadap

fungsi kognitif, seperti senam vitalisasi otak, senam lansia, dan brain gym

atau senam otak. Brain gym adalah senam otak yang digunakan untuk

memudahkan dan membantu kegiatan belajar dan penyesuaian dengan

tuntutan sehari-hari (Muhammad, 2013).

2.3 Brain Gym

2.3.1 Pengertian Brain Gym

Senam otak atau Brain Gym adalah latihan gerak yang digunakan untuk

memudahkan dan membantu kegiatan belajar dan penyesuaian dengan

tuntutan sehari-hari (Muhammad, 2013). Brain gym adalah latihan gerak

(46)

30

digunakan oleh siswa di Pendidikan Kinesiology (Edu-K) untuk

meningkatkan kemampuan belajar dengan menggunakan seluruh fungsi otak

melalui pembaruan pola gerakan tertentu yang membuka bagian-bagian otak

yang sebelumnya tertutup atau terhambat. Hasil kegiatan tersebut membuat

proses belajar menjadi lebih mudah tetapi lebih efektif untuk meningkatkan

kemampuan akademik (Dennison, 2004).

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa brain gym

atau senam otak adalah serangkaian gerakan latihan sederhana dan

menyenangkan yang dapat memudahkan dan membantu kegiatan belajar

dengan menggunakan seluruh fungsi otak melalui pembaruan pola gerakan

tertentu yang membuka bagian-bagian otak yang sebelumnya tertutup atau

terhambat.

Penelitian yang dilakukan Verany, dkk, (2013) terkait brain gym pada

lansia, diketahui bahwa senam otak atau brain gym dapat meningkatkan

daya ingat. Hasil serupa juga didapatkan oleh Festi (2010), Nugroho (2009)

dan Lisnaini (2012), dimana dengan melakukan latihan gerak yang dapat

memberikan stimulus pada otak dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti

rentang perhatian, daya ingat, orientasi, dan fungsi kognitif lainnya pada

lansia.

2.3.2 Mekanisme Brain Gym

Mekanisme kerja senam otak berdasarkan tiga dimensi otak, yaitu dimensi

(47)

31

dimensi memiliki tugas yang berbeda, sehingga gerakannya bervariasi untuk

tiap dimensi (Dennison, 2008; Muhammad, 2013).

1. Dimensi Lateralis

Dimensi lateralis tubuh manusia dibagi dalam sisi kiri dan kanan. Sifat

lateralis memungkinkan dominansi salah satu sisi otak, misalnya

menulis dengan tangan kanan atau kiri. Integrasi kedua sisi tubuh dapat

dilatih sehingga dapat menyeberang garis tengah tubuh untuk bekerja di

bidang tengah. Apabila kemampuan ini dapat dikuasai, kemampuan

belajar akan maksimal, seseorang akan mampu memproses kode linier,

simbol tertulis dengan dua belahan otak dari kedua jurusan.

Latihan untuk menyeberang garis tengah menyangkut sikap positif,

seperti mendengar, melihat, dan bergerak. Otak bagian kiri aktif apabila

tubuh sisi kanan digerakkan, dan sebaliknya. Bila kerjasama otak kanan

dan kiri kurang baik, maka seseorang akan mengalami kesulitan untuk

membedakan antara kanan dan kiri, pergerakan kaku, tulisan tangan

yang jelek, atau cenderung menulis huruf terbalik, sulit membaca dan

menulis, kesulitan mengikuti pergerakan sesuatu dengan mata, serta

sulit menggerakkan mata tanpa mengikutinya dengan kepala, tangan

miring ke dalam ketika menulis, cenderung melihat ke bawah sambil

berpikir, keliru dengan huruf (misalnya d dan b, p dan q), maupun

menyebut kata sambil menulis. Beberapa gerakan dalam senam otak

(48)

32

2. Dimensi Pemfokusan

Dimensi pemfokusan adalah kemampuan menyeberangi garis tengah

partisipasi yang memisahkan bagian belakang dan depan tubuh atau

bagian belakang (occipital) dan depan otak (frontal lobe). Garis tengah

partisipasi adalah garis bayangan vertikal di tengah tubuh (dilihat dari

samping) yang tergantung pada partisipasi batin pada suatu kegiatan

apakah seseorang berada di depan atau belakang garis tersebut.

Adanya gangguan pada dimensi ini menyebabkan seseorang kesulitan

mengekspresikan diri, kurang fokus. Hubungannya dengan otak,

informasi akan diterima oleh otak bagian belakang yang merekam

semua pengalaman, lalu informasi diproses dan diteruskan ke otak

bagian depan untuk mengekspresikan sesuai keinginan atau tuntutan.

Bila seseorang gugup, takut, tidak percaya diri, stress saat belajar, maka

secara refleks energi ditarik ke otak bagian belakang sehingga otak

bagian depan kekurangan energi. Akibatnya, jawaban yang tadinya

sudah siap, tiba-tiba lupa atau tidak dapat dijawab sempurna.

Ada beberapa ciri khas bila otak bagian depan dan belakang kurang

bekerja sama, antara lain otot tengkuk dan bahu yang tegang, kurang

semangat untuk belajar, serta memiliki reaksi yang lambat. Hambatan

pada otak bagian depan dapat berupa sikap pasif, melamun, bingung

bila stress, hipoaktif, perhatian yang kurang, namum perasaan dan

(49)

33

bagian belakang berupa sikap hiperaktif, memiliki rentang konsentrasi

dan analisis yang terlalu pendek, terinci, dan kurang fleksibel.

Terkadang menjadi agresif, kurang rileks untuk memikirkan sesuatu

yang lebih luas. Gerakan senam otak pada dimensi ini adalah burung

hantu.

3. Dimensi Pemusatan

Dimensi pemusatan adalah kemampuan untuk menyebrangi garis pisah

antara bagian atas dan bawah tubuh, yaitu bagian tengah sistem limbik

(midbrain) yang berhubungan dengan emosional dan otak besar

(cerebrum) untuk berpikir yang abstrak. Mempelajari sesuatu,

seseorang harus benar-benar dapat menghubungkannya dengan

perasaan dan memberikan suatu arti. Gangguan pada dimensi

pemusatan ditandai dengan adanya ketakutan yang tak beralasan,

cenderung bereaksi berjuang atau melarikan diri dan ketidakmampuan

untuk merasakan maupun menyatakan emosi. Dalam kondisi stres,

tegangan listrik di otak besar akan berkurang sehingga fungsinya

terganggu.

Tubuh manusia adalah satu sistem listrik yang sangat kompleks.

Dengan gerakan untuk meningkatkan energi dan minum air, aliran

energi elektromagnetik manjadi lancar sehingga komunikasi

(50)

34

Ciri khas bila bagian otak atas terhambat, antara lain bicara dan

tindakan pelan, kurang fleksibel, kurang konsentrasi, penakut, kurang

percaya diri, ragu-ragu, memiliki hambatan dalam hubungan sosial.

Bila bagian bawah yang terhambat, maka akan menyebabkan tidak

mampu mempertahankan keseimbangan, penilaian yang negatif, bicara

dan tindakan yang terlalu cepat. Beberapa gerakan senam otak untuk

dimensi pemusatan, antara lain tombol bumi, tombol keseimbangan,

tombol angkasa, pasang telinga, titik positif, dan lain sebagainya.

2.3.3 Prosedur Latihan Brain Gym

Elizabeth dan Kim (2013), mengatakan bahwa untuk lanjut usia, durasi

aerobik yang dapat dilakukan adalah 3-5 kali seminggu selama 10-30 menit.

Menurut Festi (2010), brain gym baik dilakukan setiap hari untuk

mendapatkan hasil yang optimal. Senam atau latihan gerak baik dilakukan

pada pagi hari karena olahraga di pagi hari akan membantu menjaga ritme

istirahat di malam hari, membuat pikiran lebih tajam, meningkatkan kualitas

tidur, meningkatkan mood, membakar kalori dan meningkatkan nafsu

makan (Huteri, 2013). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Verany,

dkk, (2012), brain gym dilakukan dengan frekuensi empat kali seminggu

selama dua minggu dan ternyata memberikan hasil yang signifikan terhadap

peningkatan fungsi kognitif. Pada penelitian ini, brain gym akan dilakukan

dengan durasi latihan 30 menit, frekuensi empat kali seminggu selama dua

(51)

35

Perhatian khusus yang perlu diperhatikan bagi lansia yang ingin melakukan

senam (Elizabeth dan Kim, 2013) :

1. Jika lansia menderita hipertensi dan tidak terkontrol, maka sebaiknya

untuk konsultasi dengan dokter di pelayanan kesehatan untuk

mendapatkan terapi. Batas tekanan darah yang direkomendasikan untuk

dapat melakukan latihan fisik adalah ≤220 mmHg sistolik, ≤105

mmHg diatolik. Oleh karena itu, akan dilakukan pemeriksaan tekanan

darah baik sebelum maupun sesudah dilakukan Brain Gym.

2. Lansia yang mendapat terapi Beta Blokers dan diuretik, fungsi

termoregulasi dapat terganggu dan menyebabkan hipoglikemi. Dalam

kondisi ini, informasikan kepada lansia tentang tanda dan gejala

intoleransi jantung dan hipoglikemi. Jika ada tanda gejala tersebut,

anjurkan lansia untuk tidak melakukan latihan fisik.

3. Bila terdapat perubahan napas pendek, pusing, tidak nyaman pada dada,

palpitasi (dada berdebar) ketika melakukan lathan fisik (senam) agar

segera menghentikan aktivitas dan segera mencari pelayanan kesehatan.

Lansia juga dapat berisitrahat sejenak di kursi yang telah disiapkan di

pinggir lapangan.

Berikut adalah urutan gerakan pemanasan sebelum melakukan brain gym

(Muhammad, 2013):

1. Minum air putih secukupnya 10 menit sebelum latihan dimulai.

2. Lakukan pernapasan perut sebanyak 4-8 kali. Pernapasan perut

(52)

36

bernapas seperti biasa, yaitu perut yang mengambang dan mengempis

tanpa menggunakan pergerakan otot dada.

3. Melihat ke kanan dan ke kiri selama 4-8 kali dengan melakukan

pernapasan perut.

4. Santai selama 4-8 kali pernapasan perut.

5. Rentangkan kedua tangan seluas dan senyaman mungkin. Bayangkan

otak tangan kanan adalah otak kanan dan tangan kiri adalah otak kiri,

kemudian satukan kedua tangan sambil membayangkan bahwa otak

kanan dan kiri menjadi satu. Gerakan ini dilakukan 4-8 kali.

6. Sentuh titik-titik di bagian kepala bagian kiri dan kanan (selain wajah

dan leher) selama 4-8 kali pernapasan perut.

Pedoman gerakan brain gym menurut Muhammad (2013), ada 24 gerakan

dan pada penelitian ini digunakan enam gerakan, antara lain:

1. Gerakan Delapan Tidur

Menggambar angka delapan dalam posisi tidur dengan titik tengah yang

jelas, memisahkan wilayah lingkaran kanan dan kiri, serta dihubungkan

dengan garis. Gambar delapan tidur dapat dilakukan di udara atau di

atas permukaan seperti pasir, kertas atau papan tulis. Gerakan dilakukan

sebanyak 8 hitungan kali untuk setiap tangan secara bergantian,

sehingga totalnya menjadi 2x8 hitungan. Manfaat gerakan ini adalah

untuk mengaktifkan kedua belahan otak pada saat yang sama,

(53)
[image:53.595.193.431.112.429.2]

37

Gambar 2.1 Gerakan 8 Tidur

2. Gerakan Putaran Leher

Gerakan ini dilakukan dengan memutar leher dari posisi depan sampai

setengah lingkaran ke kiri dan kanan saja, tidak dianjurkan memutar

kepala sampai ke belakang. Kemudian menundukkan kepala dan

ayunkan seperti bandul ke kanan dan ke kiri dengan posisi tubuh tetap

tegak, lakukan gerakan sebanyak 2x8 hitungan.

Maafaat dari gerakan ini adalah relaksasi sistem saraf pusat, pemusatan

perhatian seperti menatap orang untuk berkomunikasi lebih fokus,

(54)

38

sehabis belajar. Gerakan ini dapat dilakukan sebelum membaca atau

menulis karena dapat memacu kemampuan penglihatan dengan kedua

mata (binocular) dan pendengaran dengan kedua telinga (binaural)

secara bersamaan.

Gambar 2.2. Putaran Kepala

3. Gerakan Burung Hantu

Gerakan burung hantu bertujuan untuk melatih dan meningkatkan

keterampilan penglihatan, pendengaran, dan putaran kepala. Manfaat

melakukan gerakan burung hantu adalah dapat merileksasi daerah

tengkuk dan bahu, meningkatkan koordinasi mata terutama saat

[image:54.595.202.443.222.541.2]
(55)

39

meningkatkan peredaran darah ke otak, kemampuan fokus, perhatian,

dan ingatan.

Cara melakukan gerakan ini, yaitu berdirilah dengan kedua kaki

direntangkan selebar bahu. Letakkan telapak tangan kiri pada bahu

kanan, sementara tangan kanan dibiarkan bebas. Sambil menengok atau

menggerakan kepala secara perlahan ke kiri dan kanan dengan tinggi

posisi dagu tetap, telapak tangan kiri meremas-remas atau memijat bahu

dan melakukan pernapasan perut. Kemudian gerakan diulangi pada

bahu lainny

Gambar

Gambar 2.1    Gerakan 8 Tidur ............................................................................
Gambar 2.1 Gerakan 8 Tidur
Gambar 2.2. Putaran Kepala
Gambar 2.3. Gerakan Burung Hantu
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tabel IV.8 Besar Suhu Lampu 15 Watt Terhadap Perubahan Kedudukan Sensor Suhu Robot B ...81.. Tabel IV.9 Pengiriman Data dari Robot A ke Robot B

Dengan pengembangan sistem ini maka diharapkan sistem dapat menyediakan informasi mengenai perbandingan pembelian dan penjualan, pasar tertinggi, penerbit terlaris dan jenis

Perancangan dan pembuatan mesin CNC router kayu dikerjakan dengan melakukan pengamatan secara langsung pada mesin CNC router lainnya untuk melihat mekanisme dan

Secara ekonomi masyarakat memandang kebutuhan pangan dengan alasan asalkan dapat terpenuhi tanpa melihat dampak jangka panjang ke depannya, makanan yang masyarakat awam tidak

Berdasarkan tabulasi silang yang dilakukan antara kegiatan administrasi dan rekam medis dengan lama waktu tunggu pasien, diperoleh data bahwa jumlah responden yang

Gambar 4.37 Model data konseptual lokal yang menampilkan semua atribut 138 Gambar 4.38 Relationship *:* Barang DireturDalam ReturPenjualan 140 Gambar 4.39 Relationship *:*

Matlamat program Saijana Pendidikan Teknik dan Vokasional (PTV) di Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) adalah untuk melahirkan tenaga pengajar profesional dalam bidang

Bersesuaian dengan ojektif kajian, iaitu untuk mengenal pasti tahap penguasaan para pelajar dalam memahami dan menguasai frasa al-idhāfah ataupun frasa aneksi ini,