• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan membahas tentang implementasi sebuah konvensi internasional dengan mengambil studi analisis efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk dikaji mengingat tidak ada satu negara pun di belahan dunia ini di mana kaum perempuannya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) untuk beberapa derajat. Karenanya, signifikansi dari mendiskusikan hak-hak kaum perempuan (women’s right) disebabkan perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami berbagai jenis pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kebebasan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu keharusan dan kepentingan dalam proses demokrasi yang berusaha diwujudkan terus menerus. Demokrasi tanpa keterlibatan perempuan didalamnya, tentu bukanlah demokrasi yang sejati.1 Bagaimana hal tersebut dapat diupayakan, tentu dengan adanya jaminan bahwa perempuan dapat menikmati hak-haknya secara bebas tanpa kungkungan diskriminasi.

Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling kita seperti : kemiskinan,

1

(2)

menguatanya fundamentalisme maupun konservatisme agama dan budaya, serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik.

Untuk mengatasi permasalahan diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan internasional tersebut, terdapat satu konvensi HAM, yaitu 1979 Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Menurut Goran Melander,2 CEDAW telah distrukturkan dalam suatu cara yang cukup tradisional mengenai konvensi HAM, yang dimulai dengan enumerasi (penyebutan satu demi satu) hak-hak perempuan dan selanjutnya diiringi oleh ketetapan-ketetapan yang berkesinambungan dengan implementasi konvensi tersebut.

Sebagaimana umumnya berbagai convention HAM lainnya, CEDAW memandatkan pembentukan sebuah komite, yaitu komite CEDAW yang terdiri dari 23 ahli yang diajukan dan dipilih oleh negara yang telah menerima CEDAW setiap empat tahun. Sangat sering diujarkan bahwa komite seharusnya berkonsentrasi pada negara-negara yang sangat kental dengan pelanggaran HAM perempuan, namun hal tersebut tidak boleh dilaksanakan untuk alasan yang sangat pragmatis. Konvensi sesungguhnya hanya memungkinkan untuk menerima laporan negara (country report) dari negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW.

Kenyataannya, berbagai struktur dan institusi hukum HAM perempuan internasional yang tersedia teramat rapuh dalam hal implementasi kewajiban dan prosedurnya dibandingkan dengan instrumen HAM lainnya secara umum. Dalam hal, misalnya, praktik kebanyakan negara dalam melakukan reservasi pada ketetapan-ketetapan

2

Goran Melander and Gudmundur A, The Raoul Wallenberg Compilation of Human Rights Instruments, London : The Hague. hlm. 18.

(3)

yang mendasar dalam CEDAW, yang tampaknya ditolerir, merupakan bentuk kegagalan negara secara umum dalam memenuhi tanggung jawab mereka di bawah instrumen internasional tersebut.

Diskriminasi melanggar HAM, demikian pula diskriminasi terhadap perempuan melanggar hak azasi manusia perempuan, sehingga pemberdayaan perempuan diperlukan agar perempuan-perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar. Realitas ini mendorong Komisi Status Perempuan PBB menyerahkan draft pertamanya tentang deklarasi anti diskriminasi terhadap perempuan. Tahun 1979 PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.7 Tahun 1974. Dengan demikian, Indonesia mempunyai konsekuensi mengakui dalam hukum dan dalam kehidupan sehari-hari prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Artinya, meskipun secara de jure Indonesia telah mencapai berbagai kemajuan, namun secara de facto pemerintah tetap masih harus membereskan banyak pekerjaan rumah dalam mengimplementasikan CEDAW secara utuh. Indonesia telah mengupayakan berbagai hal untuk memproteksi HAM perempuan dengan mengaplikasikan CEDAW. Namun, konsistensi pemerintah Indonesia untuk menjamin hak-hak perempuan masih perlu dibuktikan lebih jauh. Sebagaimana mengutip Rebecca J Cook “Hanya negara dan agen-agenya yang dapat melakukan pelanggaran HAM. Para aktor non-state secara umum tidak

(4)

bertanggung jawab di bawah hukum HAM internasional, namun negaralah yang acap kali harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM di negaranya.” 3

Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia meratifikasi Konvensi ini. Namun, dalam implementasinya Indonesia justru masih belum sepenuh hati. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa gambaran, diantaranya : ketidaktegasan pemerintah dalam mencantumkan prinsip non diskriminasi dalam setiap kebijakan dan peraturan perundangan yang adanya, banyaknya praktik budaya yang diskriminatif dan dilanggenggkan melalui berbagai undang-undang , menguatnya fundamentalisme dan konservatisme agama, serta banyaknya praktek-praktek pembedaan, pembatasan, dan pengucilan perempuan untuk dapat menikmati hak-haknya, merupakan persoalan serius terkait dengan diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu, terdapat beberapa hal penting lain yang harus kita perhatikan yakni isi konvensi CEDAW yang masih multi tafsir. Artinya terdapat beberapa pasal dalam konvensi ini yang rancu jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya seperti permasalahan perkawinan, tentu hal ini sulit untuk disamaratakan dengan ketentuan konvensi dikarenakan Indonesia dipengaruhi syariah Islam untuk mengurusi masalah perkawinan.

Merujuk pada deskripsi diatas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan tujuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mengukur sejauh mana efektifitas konvensi perempuan internasional ini dapat diterapkan, mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki kebhinekaan budaya dan kental adat ke-timurannya.

3

Rebecca J.Cook (ed). (1994), Human Rights of Woman, National and International Perspective, Philadelphia : University of Pennsylvania Press. hlm. 634.

(5)

I.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia?

I.3. Batasan Masalah

Sebuah penelitian membutuhkan ruang pembatasan masalah agar tidak melebar dan meluas, sehingga kiranya dapat mendapat hasil yang memuaskan sesuai dengan maksud tujuan penelitian, maka penelitian ini mempunyai batasan masalah :

1. Penelitian ini dilakukan menggunakan penelitian kepustakaan (Library

Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku,

literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.

2. Penelitian dengan judul Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia merujuk pada pelaksanaan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women PBB (CEDAW) Tahun 1979.

(6)

I.4. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah bahan kajian ilmiah maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah efektifitas implementasi Konvensi CEDAW terhadap upaya penghapusan diskriminasi perempuan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efektifitas implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia.

I.5. Signifikansi Penelitian

1. Bagi Penulis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan pengalaman berharga dalam kapasitas kemampuan, dan kontribusi penulis untuk melihat bagaimana efektifitas implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia.

2. Bagi Objek Yang Diteliti

Secara praktis diharapkan dapat menjelaskan bagaimana Efektifitas Implementasi Konvensi CEDAW PBB Tahun 1979 Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Perempuan Di Indonesia dan menjadi sumbangan bagi institusi/lembaga, yaitu : Partai Politik, LSM dan LBH atau institusi yang berkaitan lainnya.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Secara akademis penelitian ini adalah suplemen baru dalam pengembangan studi bagaimana relevansi teori-teori politik apakah masih sesuai dengan kondisi di lapangan (the real politics) khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik yang tertarik dengan masalah tersebut.

(7)

I.6. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis. Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berfikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

I.6.1. Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional utama, sehingga dengan demikian Hukum Internasional sama sekali tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara.4 Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) diartikan sebagai “semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.” Sedangkan definisi Perjanjian Internasional menurut Undang-Undang No. 24/2000 yaitu “Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Berdasarkan pengertian dalam Konvensi Wina diatas, maka unsur-unsur perjanjian internasional adalah :

4

Dalam Seminar Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri. Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar, 5 – 7 September 2005. hlm.1.

(8)

a. Suatu persetujuan internasional;

b. Dibuat oleh negara negara dalam bentuk tertulis; c. Didasarkan pada hukum internasional;

d. Dibuat dalam instrumen tunggal, dua atau lebih; e. Memiliki nama apapun.

I.6.1.1. Bentuk-Bentuk Perjanjian Internasional

a. Traktat (Treaty)

Traktat adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang mengadakan hubungan antar mereka. Traktat merupakan perjanjian internasional yang kekuatan mengikatnya sangat ketat. Sebab sesuai ketentuan traktat, negara yang telah terikat tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajibannya tanpa persetujuan pihak-pihak lain yang tergabung dalam perjanjian itu. Dengan demikian maka traktat adalah bentuk perjanjian internasional yang paling formal.

b. Konvensi (Convention)

Konvensi lazim digunakan bagi persetujuan formal yang bersifat multilateral. Suatu konvensi tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Pokok-pokok persoalan yang diatur tidak menghendaki pemecahan yang menyeluruh terhadap suatu bidang. Sama seperti traktat, konvensi pun harus dilegalisir oleh wakil-wakil berkuasa penuh (plenipotentiaries).

c. Protokol (Protocol)

Protokol adalah persetujuan yang sifatnya tidak se-resmi traktat atau konvensi, dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara. Pada hakikatnya protokol dapat

(9)

berupa suplemen dari konvensi. Dalam hal ini protokol hanya mengatur masalah-masalah tambahan, seperti penafsiran klausul tertentu.

d. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau administratif. Persetujuan lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi.

e. Perikatan (Arrangement)

Arrangement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat teknis atau

administratif.

f. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi merupakan perjanjian internasional yang ada kalanya berbentuk traktat, dokumen tidak resmi, dan perjanjian tidak resmi. Deklarasi akan menjadi traktat jika ia merupakan lampiran atau dilampirkan pada traktat atau konvensi. Sedangkan, jika mengatur hal-hal yang kurang urgen, deklarasi itu akan menjadi persetujuan tidak resmi.

g. Piagam (Statue)

Statue atau piagam merupakan himpunan peraturan yang ditetapkan oleh

persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional.

(10)

h. Proses Verbal (Procces Verbal)

Proses verbal adalah catatan atau ringkasan atau kesimpulan konferensi diplomatik, atau dapat pula merupakan catatan suatu pemufakatan. Proses verbal lazimnya tidak diratifikasi.

i. Pakta (Pact)

Penggunaan istilah pakta sesungguhnya merupakan persamaan dari traktat dalam arti sempit dan jika dilihat dari keharusan ratifikasinya pakta sama dengan traktat. j. Modus Vivendi

Perjanjian internasional seperti ini merupakan dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara. Hal itu berlangsung sampai berhasil diwujudkan suatu perjanjian yang lebih permanen, rinci dan sistematis.

k. Pertukaran Nota (Exchange of Notes)

Pertukaran nota merupakan metode tidak resmi. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.

l. Ketentuan Penutup (Final Act Arrangement)

Proses suatu konferensi yang akan membuat suatu konvensi lazimnya dicatat dalam suatu dokumen yang disebut “Ketentuan Penutup”. Ketentuan penutup meringkaskan hasil hasil konferensi, menyebutkan negara-negara peserta, utusan-utusan dari negara yang ikut berunding serta masalah-masalah yang disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup juga memuat penafsiran ketentuan yang telah disetujui oleh konferensi. Ketentuan penutup tidak memerlukan ratifikasi.

(11)

m. Charter

Charter adalah istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian

badan yang melakukan fungsi adaministratif. PBB membuat anggaran dasarnya dalam bentuk charter.

n. Ketentuan Umum (General Act)

Ketentuan umum adalah traktat yang dapat bersifat resmi dan juga dapat bersifat tidak resmi. Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1928 menggunakan ketentuan umum mengenai arbitrase untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional.

I.6.1.2. Kemampuan Membuat Perjanjian Internasional

Setiap negara memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian internasional. Seseorang dianggap mewakili sesuatu negara untuk maksud menyetujui atau mengesahkan teks suatu perjanjian atau untuk maksud menyatakan persetujuan negara itu diikat oleh suatu perjanjian bilamana:

1. Ia memperlihatkan full powers yang sewajarnya; atau

2. Terlihat dari praktik negara-negara itu atau dari keadaan-keadaan lainnya, bahwa maksud mereka adalah menganggap bahwa orang tertentu mewakili negaranya untu maksud-maksud tersebut.

Sementara itu “Treaty Making Powers” sendiri berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional berada ditangan “the big three”, yaitu :

1. Kepala Negara (Head of State), untuk maksud melakukan semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian;

(12)

2. Kepala Pemerintahan (Head of Government), untuk maksud menyetujui teks perjanjian antara negara pengirim dan negara di mana mereka diakreditasikan;

3. Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs), untuk maksud menyetujui teks perjanjian di dalam konferensi, organisasi dan organnya.

Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka tidak dapat menandatangani suatu perjanjian internasional.

I.6.1.3. Berlakunya Perjanjian Internasional

1. Suatu perjanjian mulai berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh negara-negara perunding.

2. Perjanjian mulai berlaku segera setelah dilakukan ratifikasi/pengesahan.

3. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujui teks perjanjian itu atau setelah dilakukan pertukaran nota.

I.6.1.4. Berakhirnya Perjanjian Internasional

1. Kesepakatan para pihak tidak sesuai prosedur dalam perjanjian. 2. Tujuan perjanjian telah tercapai.

3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. 4. Salah satu pihak tidak melaksanakan/melanggar perjanjian.

(13)

6. Muncul norma baru dalam Hukum Internasional. 7. Habis masa berlakunya perjanjian internasional itu. 8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

I.6.2. Implementasi Kebijakan Publik

Pada dasarnya Konvensi CEDAW yang telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan sebagai variabel yang diteliti, merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk kebijakan yang ada. Untuk itulah penulis menggunakan teori-teori implementasi kebijakan sebagai kerangka pikir dalam memahami makna dari variabel tersebut. Dan agar dapat dimaknai dengan benar oleh setiap orang yang menggunakan penelitian ini, maka penulis berupaya menjabarkannya dengan melakukan pemilahan makna dari setiap variabel yang dimaksud.

I.6.2.1. Pengertian Implementasi Kebijakan

Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier 5 mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin

5

(14)

dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.

Berdasarkan pemahaman diatas, konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi ada kata-kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry (1978) 6 menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana.

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating

procedures/SOP).

6

(15)

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana.

4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.

Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidak-berhasilan kebijakan akan diketahui.

Bahkan Udoji 7 dengan tegas mengatakan “The execution of policies is as important

if not more important that policy-making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting,

bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas dari munculnya suatu kebijakan.

7

(16)

Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pula untuk meminimalisir ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang.

I.6.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Sebagaimana telah dibahas didalam konsep implementasi kebijakan, terdapat berbagai variabel yang saling terikat, berinteraksi dan mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Keseluruhan variabel tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dan dapat menjadi faktor pendorong (push factor) maupun faktor penekan (pull factor). Oleh sebab itu para pengambil kebijakan (policy maker) hendaknya menyadari akan substansi dari berbagai faktor tersebut sebelum kebijakan diformulasikan dan diimplementasikan.

Ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975), dan Cheema dan Rondinelli (1983), dan David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih untuk menyajikan teori Merilee S.Grindle yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi

(17)

teori-teori lain tidak lagi relevan dalam perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji melalui penelitian ini.

a. Teori Merilee S. Grindle

Menurut Merilee S. Grindle “Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan”. Di sini Grindle telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada

implementability dari program tersebut. Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.

Grindle 8 dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan konteks implementasi (context of implementation). Bahwa isi kebijakan terdiri dari kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan sumber daya yang dilibatkan. Sementara konteks implementasi mengandung unsur kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. Sebagaimana terlihat pada gambar berikut :

8

Grindle,M.S. Politics and Policy Implementation in the Third World, Princetone University Press. 1980.

(18)

Tujuan Kebijakan Tujuan yang Ingin Dicapai Program Aksi dan Proyek yang dibiayai

Apakah Program yang dijalankan sesuai yang direncanakan

Keberhasilan Implementasi : a. Isi Kebijakan :  Kepentingan  Tipe Manfaat  Derajat Perubahan  Letak pengambilan Keputusan  Pelaksana Program  Sumber Daya b. Konteks Implementasi :  Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor  Karakteristik budaya, lembaga/penguasa

 Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan : a. Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat Mengukur Keberhasilan Model Implementasi Grindle

Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi 9

Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektifitas implementasi kebijakan.

9

(19)

I.6.2.3. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Yang Mempengaruhi Proses Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) dan

unsuccessful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikan

mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak–pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau bekerja sama, atau mereka telah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati atau karena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau permasalahan yang dibuat diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan–hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar dipenuhi.

1. Faktor Pendukung

Hoogwood dan Gunn (dalam Hill, 1993) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna (perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu sebagai berikut :

1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan / instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan / kendala yang serius.

2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber yang cukup memadai. 3. Perpaduan sumber–sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

(20)

4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.

5. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

6. Ketergantungan harus kecil.

7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas – tugas dirinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

10. Pihak–pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi anggota–anggota masyarakat. Dengan kata lain tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian, jika mereka tidak berbuat atau bertindak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara menjadi tidak efektif.

2. Faktor Penghambat

Di dalam bukunya Palumbo (1987) mengemukakan bahwa : legislative policy

ambiquity is a prime cause to implementation failure (ketidakjelasan kebijaksanaan dalam

perundang–undangan adalah sebab utama kegagalan pelaksanaannya). Penjelasan terhadap berbagai alasan yang mendasari gagalnya suatu kebijakan publik adalah disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :

(21)

1. Ketidakpastian faktor intern dan/atau faktor ekstern.

2. Kebijaksanaan yang ditetapkan itu mengandung banyak lubang. 3. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan masalah teknis.

4. Adanya kekurangan akan tersedianya sumber–sumber pembantu (uang dan sumber daya manusia).

5. Teori yang mendasari dasar pelaksanaan kebijaksanaan itu tidak tepat. 6. Sarana yang dipilih untuk pelaksanaan tidak efektif.

7. Sarana itu mungkin tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana mestinya. 8. Isi dari kebijakan itu bersifat samar-samar.

Dengan demikian resiko kegagalan implementasi kebijakan tidak selalu dapat dihindari oleh siapapun dan organisasi manapun. Abdul Wahab 10 menemukakan resiko kegagalan implementasi kebijakan dapat di telusuri pada tiga wilayah kerja (1) pelaksanaannya yang jelek (bad execution), (2) kebijaksanaan sendiri memang jelek (bad

policy), dan (3) kebijaksanaan itu memang bernasib jelek (bad luck).

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu,

10

(22)

termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. 11

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach). Yakni dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, artikel, jurnal ilmiah, buletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

I.7.3. Analisa Data

Teknik untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Teknik analisis ini dapat didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati orang-orang. 12 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. Dalam kerangka penelitian kualitatif, para peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih kepada upaya mencari pemahaman. 13

11

Nazir Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998, hlm.64. 12

Arief Furchan, Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha nasional, 1992, hlm.21. 13

(23)

I.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : TENTANG CEDAW dan PELAKSANAAN

KONVENSI PEREMPUAN DI INDONESIA

Pada bab ini akan membahas tentang Deskripsi CEDAW. Menyangkut sejarah lahirnya CEDAW, Pertimbangan dan Rekomendasi CEDAW, Isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan mengenai Pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia.

BAB III : KAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan analisis tentang bagaimana efektifitas konvensi CEDAW yang selama ini telah diterapkan di Indonesia dilihat dari sudup pandang isi kebijakan dan konteks kebijakan. Dan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas implementasi pelaksanaan CEDAW di Indonesia.

(24)

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisi tentang kesimpulan, saran, maupun rekomendasi yang didasari atas hasil analisis data dalam penelitian ini.

Gambar

Gambar 1. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi  9

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini berjudul Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Mengubah Dan Menetapkan Undang-Undang Dasar Setelah Perubahan Undang- Undang Dasar Negara

Dampak kejadian tsunami pada kawasan Kepesisiran DI Yogyakarta tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan tsunami Aceh tahun 2004 dan tsunami Krakatau tahun 1883,

Multimedia merupakan media periklanan yang unik dan sangat kuat karena mengandung elemen penglihatan, video dan suara yang dapat dikombinasikan dengan strategi

Sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi yang baik untuk pertumbuhan anakan dan pengaruh variasi salinitas terhadap konsentrasi dan konten rantai

Seperti hal nya dalam upacara ritual Boren Dayong masyarakat Dayak Hibun menggunakan gerak tari sebagai suatu simbol yang mempunyai arti dan guna menyampaikan pesan,

Peserta wajib mentaati perintah/peraturan tentang pelaksanaan ujian wawancara yang akan diberikan menjelang dan selama ujian berlangsung. (Bagi

Hasil penelitian ini berisi tentang bentuk upaya pemberdayaan yang dilakukan terhadap pemulung sampah serta kendala yang dihadapi pemulung sampah dalam upaya pemberdayaan di

Rendahnya nilai NRR pada perlakuan semen sexing menggunakan sedimentasi putih telur terjadi karena terdapat penurunan jumlah spermatozoa yang