Penegakan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai suatu negara yang berlandaskan hukum, komitmen perlindungan dan penegakan HAM telah tertulis dalam pembukaan UUD 1945 dan Undang-Undang. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama terdapat kalimat yang menyatakan “…kemerdekaan ialah hak segala bangsa…” yang menyatakan hak asasi manusia yaitu kebebasan dan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan. Pada aline kedua terdapat kalimat “…mengantarkan rakyat Indonesia pada pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” yang menyatakan bahwa adanya pengakuan hak asasi manusia atas bidang politik dan ekonomi. Serta, pada Alinea keempat terdapat juga kalimat yang menyatakan “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” dalam kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia sangat diperhatikan dalam penyusunan pembukaan UUD 1945 dan pelaksanaan kehidupan bernegara. Hak-hak asasi yang terdapat dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh pembukaan konstitusi Prancis, yaitu La Declaration de L’Homme et du Citoyen.
Jaminan hak asasi manusia dalam pembukaan UUD 1945 nyatanya belum menjamin terlaksana dengan baik dalam implementasinya. Dapat kita lihat bahwa masih banyak tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya penyelesaian kasus-kasus HAM di Indonesia. Jikalau melihat pada peraturan UUD 1945, jaminan hak asasi manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya telah diatur dalam Pasal 27, dan Pasal 28A-J. Selain itu, terdapat juga peraturan Undang-Undang yang mengatur tentang HAM, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah dalam upaya membangun implementasi jaminan HAM dalam kehidupan bernegara selain membuat undang-undang juga melakukan langkah-langkah lainnya, yaitu pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993. Langkah lainnya yang dilakukan adalah penetapan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa kasus HAM berat sebelum adanya UU Nomor 26 Tahun 2000, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai alternatif penyelesaian kasus HAM, dan meratifikasi konvensi internasional tentang hak asasi manusia.
Adapun beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia adalah,
1. Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (diratifikasi sebagai Undang-Undang Nomor 58 Tahun 1958)
2. Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan (diratifikasi dengan Undang- Undang Nomor 68 Tahun 1958)
3. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984)
4. Konvensi Tentang Hak Anak ( diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1990)
5. Konvensi Tentang Pelarangan, Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Beracun Serta Pemusnahannya (diratifikasi dengan Keppres Nomor 58 Tahun 1991)
6. Konvensi Internasional Terhadap Apartheid Dalam Olahraga (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1993)
7. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998)
8. Konvensi Organisasi Buruh Internasional Nomor 87 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1998)
9. Konvensi Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999)
10. Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Upaya-upaya pencegahan pelanggaran HAM di Indonesia rasanya belum optimal dilakukan oleh Komnas HAM. Pendeketan represif yang dilakukan demi stabilitas dan keamanan dianggap menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM baru. Terlebih pada zaman Orde Baru kedudukan sosial politik ABRI yang dominan menyebabkan kepolisian sebagai pengendali keamanan dan pemberi perlindungan pada masyarakat tidak dapat
“bergerak” sesuai dengan fungsinya. Beberapa tindakan ABRI yang cenderung melakukan tindakan represif melakukan pembenaran dengan dalih demi keamanan negara dan melegalkan kekerasan, sehingga yang seharusnya fungsi tersebut dilakukan oleh pihak kepolisian tidak bsia dijalankan oleh kepolisian karena tidak ada perbedaan yang jelas antara fungsi ABRI dan kepolisian.
Perubahan paradigma penguasa yang menjadi ingin membuat perubahan bidang struktural, sosial-budaya, yang diharapkan dapat membuat perubahan pada implementasi perlakukan pelayanan publik untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia juga dilakukan. Selain itu, perubahan pandangan dan perlakuan yang setara atau sama terhadap perempuan juga dilakukan sebagai bentuk pengamalan Konvensi Perempuan yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.