• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum. berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Keberadaan hukum di dalam masyarakat bagaikan udara bagi kehidupan manusia. Adagium yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius) belum bisa terbantahkan hingga saat ini.

Setiap manusia mempunyai kepentingan baik kepada dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Pertentangan antara kepentingan manusia dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat sehingga dibuat suatu petunjuk hidup agar perdamaian dalam masyarakat tetap ada.1 Kepentingan harus dilindungi sehingga didalam masyarakat terdapat beberapa kaedah sosial. Tata kaedah tersebut terdiri dari kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum. Kaedah kepercayaan atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman terhadap kewajiban manusia kepada Tuhan. Kaedah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu ditujukan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi atau nurani manusia. Kaedah sopan santun didasarkan atas kebiasaan yang berlaku, ditujukan kepada sikap lahir yang kongkrit demi tercapainya ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Kaedah hukum dianggap sebagai kaedah yang

(2)

memiliki kekuatan sanksi yang paling kuat dan langsung dapat dirasakan di kehidupan dunia. Kaedah hukum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah sebelumnya. Tidak mudah untuk memberikan pengertian tentang hukum sebagai suatu kaedah. Hal ini disebabkan karena begitu luasnya ruang lingkup hukum itu sendiri.2

Hukum diciptakan tidak hanya untuk mengatur tingkah laku masyarakat saja, namun juga untuk melindungi. Inilah yang kemudian sering disebut dengan perlindungan hukum. Notaris merupakan profesi yang terhormat dan selalu berkaitan dengan moral dan etika ketika menjalankan tugas jabatannya. Saat menjalankan tugas jabatannya, Notaris berpegang teguh dan menjunjung tinggi martabat profesinya sebagai jabatan kepercayaan dan terhormat. Karena lekatnya etika pada profesi Notaris disebut sebagai profesi yang mulia (officium nobile).3 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Pejabat Pembuat Akta Tanah atau yang selanjutnya disebut PPAT yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun juga merupakan jabatan terhormat sehingga sudah selayaknya diberikan pembedaan perlakuan dibanding masyarakat umum

2 Ibid., hlm. 6

3 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika,

(3)

karena PPAT merupakan representasi dari Negara yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah dalam bidang pertanahan yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau

Maintenance).

Pelayanan jasa publik yang diberikan oleh Notaris dan/atau PPAT adalah dalam arti pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris dan/atau PPAT yang melekat kepada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris dan/atau PPAT. Akta yang dibuat oleh Notaris dan/atau PPAT sebagai pejabat umum yang terpercaya bahkan menjadi alat bukti yang kuat apabila terjadi sengketa hukum di Pengadilan, artinya akta Notaris dan/atau PPAT memberikan kepada para pihak suatu jaminan akan pembuktian yang sempurna.

Notaris dan/atau PPAT sebagai seorang Pejabat Umum dihadirkan dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan pembuktian dengan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Notaris dan/atau PPAT membuat akta selain karena dikehendaki oleh undang-undang, juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajibannya demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para pihak.

(4)

Kewenangan Notaris terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris :

”Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan /atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Tugas pokok dan kewenangan PPAT terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT: “PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.”

Mengetahui pentingnya tugas dan kedudukan Notaris dan/atau PPAT di tengah-tengah masyarakat dan kekuatan pembuktian dari akta otentik yang dibuatnya, dapat dikatakan bahwa jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan. Jabatan kepercayaan yang diberikan undang-undang dan masyarakat ini mewajibkan seseorang yang berprofesi sebagai notaris bertanggung jawab untuk melaksanakan kepercayaan tersebut dengan sebaik-baiknya serta menjunjung tinggi etika hukum, martabat serta keluhuran jabatannya.

(5)

Pada era globaisasi dewasa ini para pemangku jabatan Notaris dan/atau PPAT terkadang mengalami permasalahan hukum yang membuatnya menjalani pemeriksaan di pengadilan. Hal tersebut ada yang disebabkan karena kelalaian Notaris dan/atau PPAT itu sendiri maupun disebabkan oleh pihak-pihak yang dengan sengaja ingin menguntungkan diri sendiri, dengan sedemikian rupa menghalalkan segala cara sehingga menyeret Notaris dan/atau PPAT ke meja hijau.

Notaris dan/atau PPAT dalam praktiknya dimungkinkan pula terlibat dengan perkara hukum baik sebagai saksi, tergugat, turut tergugat, tersangka maupun sebagai terdakwa. Keterlibatan Notaris dan/atau PPAT dalam perkara hukum disebabkan oleh salah satu pihak atau oleh pihak lain karena dianggap merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan isi akta, tanda-tangan maupun kehadiran pihak di hadapan Notaris, bahkan adanya dugaan dalam Akta otentik tersebut ditemukan keterangan palsu. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Oleh karena itu dibutuhkan Perlindungan Hukum Notaris dan PPAT terhadap akta yang dibuatnya agar tercipta keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebenarnya telah mengakomodir kekhawatiran para Notaris khususnya yang berkaitan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor : 49/PUU- X/2013 tersebut. Pembatalan frasa “...dengan persetujuan Majelis

(6)

Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang sebelumnya dirubah menjadi ”... dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris”.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya disebut UUJN dibentuklah Majelis Kehormatan Notaris (MKN) berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016:

“Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”.

Pembentukkan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) menjadi pintu masuk sebagai pegangan para Notaris apabila diminta penyidik untuk memberikan keterangan sehubungan akta yang dibuatnya sehingga diharapkan keberadaan Majelis Kehormatan Notaris dapat menjawab kebingungan Notaris dalam menghadapi pemanggilan maupun pemeriksaan penyidik berkaitan dengan minuta akta.

Perlindungan hukum terhadap PPAT tidak diatur secara khusus oleh Peraturan Jabatan PPAT. Pengaturan mengenai aspek perlindungan hukum bagi PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan hanya yang sifatnya umum dan tersirat yakni diakuinya Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht)

(7)

dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai suatu imunitas hukum bagi jabatan tertentu, salah satunya Jabatan PPAT.

Berdasarkan pemaparan tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana perbandingan perlindungan hukum profesi jabatan oleh Kementerian dan organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT dan bagaimana kendala yang dihadapi oleh Kementerian dan organisasi terkait dalam memberikan perlindungan terhadap Notaris/PPAT. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan perlindungan hukum profesi yang diberikan oleh Kementerian/Instansi dan Organisasi-organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT ditinjau dari peraturan perundang-undangan dan kode etik dari jabatan profesi terkait?

2. Bagaimana kendala yang dihadapi oleh Kementerian/Instansi dan Organisasi-organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT dalam memberikan perlindungan hukum?

(8)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang penulis uraikan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif

a. Untuk menganalisis dan membandingkan perlindungan hukum profesi jabatan oleh Kementerian/Instansi dan organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT ditinjau dari peraturan perundang-undangan dan kode etik dari jabatan profesi terkait.

b. Untuk menganalisis kendala yang dihadapi oleh Kementerian/Instansi dan organisasi terkait dalam memberikan perlindungan terhadap Notaris/PPAT.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Univesitas Gadjah Mada, penelitian dengan judul “Perbandingan Perlindungan Hukum Profesi Jabatan Notaris dan/atau PPAT yang Menghadapi Permasalahan Hukum” sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti. Namun, apabila ternyata ada tesis dengan topik yang sama dengan judul tesis ini, maka tesis ini diharapkan dapat melengkapinya.

Penulis telah melakukan penelitian kepustakaan terhadap tulisan-tulisan sebelumnya sebagai referensi keaslian terhadap penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, bahwa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tentang perlindungan hukum Notaris dan/atau PPAT dilakukan oleh:

(9)

1. Ghessa Nashara Tasya,4 pada tahun 2013, dengan judul “Peran Majelis Pengawas Daerah dalam Perlindungan Hukum Terhadap Notaris yang Menghadapi Masalah Hukum di Jakarta Timur”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Faktor apakah yang menjadi penyebab Notaris berhadapan dengan permasalahan hukum dalam menjalankan jabatannya?

2) Bagaimanakah peran Majelis Pengawas Daerah Jakarta Timur dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang mendapatkan permasalahan hukum?

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah faktor yang menjadi penyebab Notaris berhadapan dengan masalah hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu pelanggaran atau ketidak patuhan Notaris untuk menjalankan ketentuan- ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, dan pelanggaran Notaris terhadap Kode Etik Notaris sebagai batasan moral perilaku Notaris dalam menjalankan jabatannya keseharian sebagai Pejabat Publik dan sekaligus sebagai suatu profesi yang merendahkan martabat dan perilaku luhur. Mengenai peran Majelis Pengawas Daerah (MPD) Jakarta Timur dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris yang menghadapi masalah hukum adalah Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris Jakarta Timur tidak berperan sebagai lembaga advokasi yang secara langsung membela Notaris yang dilaporkan

4 Ghessa Nashara Tasya, Peran Majelis Pengawas Daerah dalam Perlindungan Hukum Terhadap

Notaris yang Menghadapi Masalah Hukum di Jakarta Timur, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2013.

(10)

oleh masyarakat yang merasa dirugikan, tetapi berperan sebagai mediator dan mengusahakan penyelesaian permasalahan yang dilaporkan tanpa gugatan ke Pengadilan dan sebagai Filter terhadap Notaris apabila Notaris mendapat panggilan dari Kepolisian, Kejaksaan, maupun Peradilan untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Hal ini dilakukan sesuai tuntutan Undang-Undang Jabatan Notaris untuk menjaga harkat dan martabat jabatan Notaris.

2. Dhewinta Sanggah Pratiwi,5 pada tahun 2014, dengan judul ”Perlindungan Hukum Terhadap Notaris dalam Menjalankan Tugasnya Sebagai Pejabat Umum”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap notaris yang melakukan kesalahan dalam pembuatan akta?

2) Bagaimana akibat Hukum yang timbul dari kesalahan notaris dalam pembuatan akta?

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bentuk perlindungan hukum terhadap notaris yang melakukan kesalahan dalam pembuatan akta yaitu tersirat dalam Pasal 66 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan akibat hukum yang timbul dari kesalahan notaris dalam pembuatan akta Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang

5 Dhewinta Sanggah Pratiwi, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris dalam Menjalankan

Tugasnya Sebagai Pejabat Umum, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.

(11)

membuat akta otentik harus dapat mepertanggung jawabkan akta yang telah dibuatnya.

Apabila notaris melakukan pelanggaran dalam melaksanakan tugas Notaris dapat dikenakan sanksi yaitu sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga merupakan akibat yang akan diterima notaris atas tuntutan para penghadap jika akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukumSelain sanksi perdata, juga ditentuan sanksi administrasi yaitu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, sampai pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana yang telah ditentukan UUJN.

Penulis beranggapan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan tidak sama dengan penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini penulis berfokus pada perbandingan perlindungan hukum profesi jabatan yang diberikan oleh Kementerian/Instansi dan organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT yang sedang menghadapi permasalahan hukum dan kendala-kendala yang dihadapi oleh Kementerian/Instansi dan organisasi terkait terhadap Notaris dan/atau PPAT yang sedang menghadapi permasalahan hukum, sedangkan pada penelitian terdahulu hanya fokus kepada perlindungan hukum Notaris dan PPAT yang penelitiannya secara terpisah dan tidak membahas perbandingan pelaksanaan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) dalam memberikan perlindungan hukum

(12)

terhadap Notaris dan/atau PPAT yang sedang menghadapi permasalahan hukum.

Berdasarkan hal di atas, maka rencana penulisan hukum berjudul Perbandingan Perlindungan Hukum Profesi antara Profesi Jabatan Notaris dengan Profesi Jabatan PPAT yang sedang Menghadapi Permasalahan Hukum yang akan penulis buat, dapat dianggap asli dan layak untuk ditulis. Tetapi apabila terdapat penelitian serupa di luar pengetahuan penulis, diharapkan rencana penelitian hukum ini dapat melengkapinya. E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Sebagai wujud pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu Dharma Penelitian. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perlindungan hukum profesi Notaris dan/atau PPAT pada khususnya.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan penulis terkait dengan perlindungan hukum profesi jabatan Notaris dan PPAT.

(13)

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam perkembangan hukum secara umum dan perlindungan hukum profei jabatan Notaris dan PPAT secara khusus dalam dunia Kenotariatan. c. Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai perbandingan perlindungan hukum profesi jabatan Notaris dan PPAT yang sedang menghadapi permasalahan hukum.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pada Tindak Pidana Perbankan di

Pasal 108 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut dengan KUHAP) menyebutkan setiap orang yang mengetahui pemufakatan kejahatan atau

1) Mempelajari berbagai peraturan perundang-undangan yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, Kitab

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Kebijakan pidana terkait dengan korupsi sesungguhnya sudah ada dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP) namun yang diatur mengenai penyalahgunaan

Jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sampai saat ini diterapkan di Indonesia dalam kaitannya dengan dengan tindak pidana / kejahatan yang

Putusan MK serta Keberlakuan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris membuat

Tindak pidana yang ditujukan kepada dokter sebagai akibat tindakan malpraktek yang dilakukannya, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di dalam ketentuan