• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Dalam bab ini dikaji beberapa penelitian sebelumnya, konsep, teori yang relevan dengan topik yang diteliti, dan desain model penelitian. Semua hal tersebut diuraikan sebagai berikut.

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai pembelajaran bahasa asing melalui pendekatan semantik dan pragmatik sebelumnya sudah pernah dilakukan. Salah satu diantaranya dalam pembelajaran bahasa Inggris, tetapi dalam pembelajaran bahasa Jepang hal tersebut masih jarang dilakukan. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Jepang melalui pendekatan semantik dan pragmatik ini perlu diperhatikan dan dikembangkan sebagai landasan untuk pengajaran bahasa Jepang yang lebih baik, mengingat pemahaman makna dan konteks sangat penting dalam bahasa Jepang.

Widanta (2017) mengembangkan desain pembelajaran bahasa Inggris berpendekatan pragmatik di perguruan tinggi (PT) vokasi pariwisata. Penelitian Widanta (2017) mengkaji kondisi pembelajaran saat ini di PT vokasi, pengembangan desain pembelajaran bahasa Inggris berpendekatan pragmatik untuk PT vokasi, pengukuran kompetensi pragmatik partisipan penelitian setelah diberikan pembelajaran dengan desain yang dikembangkan, dan pengukuran

(2)

efektivitas desain pembelajaran yang dikembangkan. Penelitian pengembangan Widanta (2017) menggunakan rancangan pengembangan (research & development) yang dikemukakan oleh Dick and Carey (1990) yang kemudian dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Widanta (2017) menggunakan teori noticing hypothesis oleh Schmidt (1990, 2001) sebagai teori utama dan beberapa teori pendukung, yaitu teori sosiokultural, teori pembelajaran pragmatik, dan teori tindak tutur. Hasil penelitian Widanta (2017) mengatakan bahwa desain pembelajaran yang dikembangkan efektif dalam pembelajaran bahasa Inggris dan dapat meningkatkan kompetensi pragmatik peserta didik.

Relevansinya dengan penelitian ini ada pada jenis penelitian dan desain pengembangan yang digunakan. Penelitian ini juga merupakan penelitian dan pengembangan yang menggunakan desain pengembangan Dick and Carey (1990). Namun, perbedaannya ada pada bahasa target dalam pembelajaran dan jenis kemampuan yang ditingkatkan. Widanta (2017) mengembangkan desain pembelajaran bahasa Inggris berpendekatan pragmatik untuk meningkatkan kemampuan menggunakan tindak tutur request and refusal. Di pihak lain penelitian ini mengembangkan desain pembelajaran bahasa Jepang untuk meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan yobikake-outou-no hyougen sesuai dengan konteks.

Dalam menganalisis penggunaan suatu tindak tutur, Widanta (2017) hanya menggunakan tiga variabel yang memengaruhi suatu tindak tutur, yaitu kekuatan atau power, jarak atau distance, dan tingkat pemberatan atau rank of imposition. Power mengacu pada status sosial antarpeserta tutur, distance mengacu pada

(3)

hubungan kekeluargaan antarpeserta tutur, dan rank of imposition mengacu pada tingkat pemberatan terhadap lawan tutur. Variabel yang memengaruhi penggunaan suatu kata atau tindak tutur, khususnya dalam bahasa Jepang tidak hanya ketiga variabel tersebut, tetapi faktor keakraban, usia, hubungan sosial, status sosial, jenis kelamin, keanggotaan kelompok, dan situasi dijadikan variabel dalam menggunakan suatu ungkapan dalam penelitian ini.

Dewi (2012) menerapkan pendekatan pragmatik dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, mengidentifikasi perbedaan strategi kesantunan dalam mengatakan dan merespons tuturan undangan, serta memaparkan hasil keterampilan berbicara peserta didik dalam mengatakan dan merespons tuturan undangan sebelum dan setelah penerapan pendekatan pragmatik. Penelitian Dewi (2012) merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan beberapa teori, yaitu teori pendekatan dalam pengajaran bahasa, teori pendekatan pragmatik dalam pengajaran bahasa, teori pragmatik, teori kesantunan bahasa dan tuturan undangan. Proses pembelajaran tuturan dengan pendekatan pragmatik dilakukan dengan mengutamakan kebermaknaan, memperhatikan penggunaan bahasa sesuai dengan konteks penggunaannya, kemudian peserta didik diajak belajar berkomunikasi secara aktif dan kreatif. Setelah penerapan pendekatan pragmatik, peserta didik mampu menerapkan berbagai strategi dengan memperhatikan konteks situasi, baik dalam menyatakan maupun merespons undangan.

Relevansinya dengan penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran. Perbedaannya ada pada jenis penelitian, bahasa target, dan kemampuan yang ditingkatkan. Walaupun sama-sama menerapkan

(4)

pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa, penelitian Dewi (2012) merupakan jenis penelitian tindakan kelas yang bertujuan meningkatkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris, khususnya mengatakan dan merespons undangan. Di pihak lain penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan desain pembelajaran bahasa Jepang, yaitu materi ajar untuk meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan yobikake-outou-no hyougen sesuai dengan konteks. Ketika berbicara mengenai pragmatik, bukan hanya faktor kesantunan yang memengaruhi penggunaan suatu ungkapan, melainkan juga aspek-aspek sosial memengaruhi penggunaan suatu ungkapan yang akan digunakan untuk mengganalisis penggunaan ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen dalam penelitian ini.

Selain penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran, penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2009) juga menjadi kajian pustaka pada penelitian ini. Dewi (2009) mengkaji unsur sapaan dalam bahasa Jepang yang bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk, menjelaskan fungsi, dan menganalisis makna unsur sapaan tersebut. Unsur sapaan yang diperoleh, antara lain pronomina persona, nama diri, dan istilah kekerabatan. Unsur sapaan berupa nama diri memiliki relevansi pada penelitian ini. Dewi (2009) mengatakan bahwa makna dan penggunaan unsur sapaan tersebut dipengaruhi oleh faktor usia, status, jenis kelamin, hubungan keakraban, hubungan kekerabatan, dan situasi yang juga dijadikan faktor sosial dalam menganalisis penggunaan ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen dalam penelitian ini, tetapi perbedaannya ada pada jenis penelitian. Penelitian Dewi (2009) merupakan penelitian deskriptif kualitatif

(5)

yang hanya menganalisis bentuk, makna, dan penggunaan unsur sapaan dalam bahasa Jepang, sedangkan penelitian ini juga mengembangkan desain pembelajaran makna dan penggunaan unsur sapaan nama diri selain menganalisis makna dan penggunaan unsur sapaan nama diri tersebut. Penelitian Dewi (2009) sangat berguna apabila diterapkan dalam pembelajaran bahasa Jepang agar pemelajar bahasa Jepang dapat mengetahui bentuk, makna, dan penggunaan unsur sapaan tersebut dalam konteks yang tepat. Dengan demikian, penelitian ini akan menyempurnakan penelitian sebelumnya dan memberikan manfaat di bidang pembelajaran melalui salah satu desain pembelajaran yang dikembangkan. Selain itu, penelitian ini juga membahas unsur sapaan yang berkaitan dengan persalaman yang tidak dibahas pada penelitian sebelumnya.

Penelitian linguistik yang dilakukan oleh Aryaswari (2017) juga menjadi kajian pustaka dalam penelitian ini. Penelitian Aryaswari (2017) menganalisis jenis, bentuk, fungsi, makna, dan dinamika yang terjadi pada sapaan bahasa Jepang yang digunakan oleh remaja Jepang. Sapaan tersebut meliputi pronomina persona, nama diri bersufiks, dan istiah kekeluargaan yang penggunaannya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Teori yang digunakan, yaitu teori T-V Brown-Gillman (1960) dan teori Etnografi Communication milik Dell Hymes.

Relevansinya dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji salah satu yobikake no hyougen, yaitu unsur sapaan nama diri bersufiks dalam bahasa Jepang, tetapi perbedaannnya ada pada jenis penelitian dan teori yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan yang menggunakan taksonomi biner Leech (1976) untuk menganalisis komponen makna serta teori

(6)

sosiokultural Brown and Levinson (1987) dan teori penggunaan bahasa pada sistem masyarakat Jepang oleh Osamu Mizutani (1987) untuk menganalisis penggunaan ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen dalam konteks yang tepat sehingga dapat memberikan informasi dalam pembelajaran berpendekatan semantik dan pragmatik yang diterapkan.

Penelitian Aryaswari (2017) juga hanya membahas tiga jenis unsur sapaan, yaitu pronomina persona, nama diri bersufiks, dan istilah kekeluargaan, tetapi dalam penelitian ini juga dianalisis unsur sapaan di luar tiga jenis unsur sapaan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan materi ajar mengenai hal tersebut agar lebih bermanfaat bagi pemelajar bahasa Jepang.

Tiga artikel dalam jurnal internasional juga dikaji dalam penelitian ini. Kambara (2011) membahas tiga permasalahan pragmatik dalam belajar bahasa Jepang pada peserta didik tingkat menengah, yaitu terlalu sering menggunakan pronomina persona pertama watashi, tidak adanya ekspresi dalam mengatakan dugaan atau kabar pada tuturan. Dengan demikian, membuat tuturan terdengar terlalu yakin dan percaya diri bagi native speaker (misalnya penggunaan rashii atau sou ketika menyampaikan kabar atau pesan yang diterima dari sumber lain). Di samping itu, juga tidak adanya ekspresi dalam berinteraksi (misalnya penggunaan suujoshi pada akhir kalimat untuk membuat kalimat lebih komunikatif).

Penelitian Kambara (2011) bertujuan untuk mengembangkan strategi dengan memanfaatkan film clips pada pembelajaran di kelas dan pekerjaan rumah sebagai model penggunaan bahasa oleh native speaker. Selain itu, juga

(7)

memperdalam pemahaman peserta didik terhadap makna bentuk-bentuk lingustik yang menjadi permasalahan tersebut sehingga dapat meningkatkan kemampuan komunkatif. Penelitian Kambara (2011) juga memperlihatkan bagaimana bentuk verbal bekerja sama dengan perangkat sinematik untuk membentuk makna sehingga kalimat dan tuturan yang dihasilkan peserta didik menjadi lebih alami sesuai dengan konteks budaya Jepang seperti yang dilakukan oleh native speaker.

Penelitian Kambara (2011) memiliki relevansi terhadap penelitian ini, yaitu pada jenis penelitian dan bahasa target pembelajaran. Penelitian ini juga mengembangkan strategi pembelajaran bahasa Jepang untuk meningkatkan kemampuan pragmatik peserta didik. Namun, perbedaannya ada pada jenis kemampuan yang ditingkatkan dan media yang digunakan. Penelitian Kambara (2011) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan pronomina persona, ekspresi menyatakan dugaan atau kabar, dan shuujoshi yang tepat agar dapat menggunakan bahasa Jepang lebih komunikatif dengan menggunakan media film clips. Di pihak lain penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik menggunakan yobikake-outou-no hyougen dalam konteks yang tepat. Artinya, tidak hanya menawarkan strategi pembelajaran, tetapi penelitian ini juga bertujuan untuk mengembangkan materi ajar untuk mendukung proses pembelajaran.

Gorjian dan Pourkaram (2018) menulis tentang efek interaktif dari pragmatic eliciting task pada kemampuan berbicara pemelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing tingkat mengenah awal. Penelitian Gorjian dan Porkaram (2018) bertujuan untuk membandingkan kemampuan berbicara pemelajar bahasa

(8)

Inggris yang berlatih menggunakan pragmatic eliciting task dengan pemelajar bahasa Inggris yang berlatih menggunakan aktivitas percakapan tradisional, seperti tanyajawab, diskusi, dan sebagainya.

Penelitian Gorjian dan Porkaram (2018) merupakan penelitian eksperimental dengan membagi sampel menjadi kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan metode sampling. Kelas eksperimen mendapat tugas pragmatik termasuk penggunaan secara eksplisist dari fungsi pragmatik pada percakapan, seperti salam, ucapan terima kasih, dan sebagainya, sedangkan kelas kontrol menerima pragmatik secara implisit pada percakapan. Data dari hasil posttest yang dimodifikasi dari pretest sebelumnya dianalisis dengan menggunakan t-test. Hasilnya menunjukkan bahwa pragmatic eliciting task secara eksplisit lebih efektif dibandingkan dengan pemberian secara implisist pada kelompok kontrol. Implikasi pada penelitian ini menyatakan bahwa pemelajar harus mempelajari pragmatik untuk penggunaan fungsi bahasa secara efektif di dalam percakapan.

Penelitian oleh Gorjian dan Pourkaram (2018) memiliki relevansi terhadap penelitian ini, yaitu pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran. Penelitian ini juga beranggapan bahwa pembelajaran dengan pendekatan pragmatik penting diterapkan untuk memberikan pemahaman terhadap aspek pragmatik agar dapat menggunakan bahasa yang tepat. Namun, perbedaannya ada pada jenis penelitian, bahasa target, jenis kemampuan yang ditingkatkan, dan media yang digunakan. Penelitian Gorjian dan Pourkaram (2018) merupakan penelitian eksperimental untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris yang

(9)

efektif dalam percakapan dengan menggunakan media pragmatic eliciting task. Di pihak lain penelitian kali ini merupakan penelitian dan pengembangan pembelajaran bahasa Jepang untuk meningkatkan kemampuan penggunaan yobikake-outou-no hyougen sesuai dengan konteks, sekaligus mengembangkan materi ajar untuk mendukung proses pembelajaran tersebut.

Oda-Sheehan (2016) menulis tentang masalah yang kerap kali terjadi pada orang Jepang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Komunikasi dalam bahasa Inggris sering kali terganggu karena mereka menggunakan tuturan yang tidak tepat akibat adanya perbedaan konteks budaya, terutama ketika berbicara dengan English native speaker. Kesalahan ini dapat digolongkan ke dalam kesalahan pragmatik. Berdasarkan hal tersebut, penelitian Oda-Sheehan (2016) ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang memungkinkan untuk meningkatkan ilmu pengajaran pragmatik dan menawarkan pendekatan yang memungkinkan dengan memanfaatkan secara maksimal fasilitas yang sudah tersedia di kelas. Implikasi penelitian ini lebih mengarah pada pendekatan holistic L2 pragmatics dengan persepsi strategi pengajaran baru dalam kebutuhan pembelajaran English Foreign Language.

Relevansi dengan penelitian ini adalah jenis penelitian yang menawarkan strategi pembelajaran berpendekatan pragmatik. Oda-Sheehan (2016) menekankan bahwa selain meningkatkan kemampuan komunikatif, kesadaran pragmatik perlu diajarkan dalam pembelajaran, baik bahasa kedua maupun bahasa asing. Guru perlu meningkatkan kesadaran pragmatik agar dapat memberikan pemahaman pragmatik kepada peserta didik. Oda-Sheehan (2016) juga berpendapat bahwa

(10)

pragmatik dimasukkan dalam teksbook, ujian masuk, dan teaching material. Perbedaannya ada pada bahasa target dan jenis kemampuan yang ditingkatkan. Penelitian Oda-Sheehan (2016) menawarkan strategi pembelajaran bahasa Inggris dengan mengintegrasikan grammar dan pragmatik. Di pihak lain penelitian ini menawarkan strategi pembelajaran bahasa Jepang, khususnya penggunaan yoikake-outou-no hyougen sesuai dengan konteks serta menggembangkan materi ajar untuk mendukung pembelajaran tersebut.

2.2 Konsep

Beberapa istilah operasional yang dipaparkan dalam subbab ini merupakan variabel-variabel, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Hal-hal tersebut akan membantu untuk memahami ruang lingkup penelitian ini.

2.2.1 Pembelajaran Berpendekatan Semantik

Beberapa ungkapan yang termasuk yobikake-outou-no hyougen memiliki kemiripan makna satu sama lain. Akan tetapi, ungkapan tersebut digunakan dalam situasi yang berbeda sehingga dapat dikelompokkan berdasarkan kemiripan maknanya (sinonim/ruigigo). Pembelajaran berpendekatan semantik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan menjelaskan makna yang terdapat pada ungkapan-ungkapan yang termasuk dalam yobikake-outou-no hyougen. Ungkapan yang termasuk yobikake-yobikake-outou-no hyougen tersebut dikelompokkan berdasarkan makna yang serupa atau bersinonim sehingga peserta didik lebih mudah memahami makna ungkapan tersebut.

(11)

2.2.2 Pembelajaran Berpendekatan Pragmatik

Pembelajaran berpendekatan pragmatik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan memasukkan unsur-unsur pragmatik ke dalam aspek-aspek pembelajaran. Unsur-unsur pragmatik dimasukkan ke materi ajar berupa contoh-contoh percakapan mengenai penggunaan yobikake-outou-no hyougen dalam konteks yang tepat. Melalui materi ajar tersebut, peserta didik dapat mengetahui penggunaan yobikake-outou-no hyougen dalam konteks yang tepat dan makna kontekstual sebuah ungkapan apabila digunakan dalam konteks tuturan yang berbeda.

2.2.3 Yobikake-Outou-no Hyougen

Yobikake no hyougen adalah ungkapan yang digunakan oleh penutur pada waktu menyampaikan sesuatu untuk mendapat perhatian lawan tutur. Di pihak lain outou no hyougen adalah ungkapan yang digunakan pada saat menjawab pertanyaan atau respons terhadap suatu hal yang dijadikan topik oleh lawan tutur (Ogawa, 1995:193--214).

Yobikake no hyougen sangat penting dalam memulai percakapan untuk menarik perhatian lawan tutur dan memberikan kesan yang baik. Selain itu, menunjukkan respons dengan menggunakan outou no hyougen juga penting dilakukan untuk memberikan kepastian bahwa seseorang sudah memahami maksud yang ingin diungkapkan oleh lawan tuturnya. Dalam penggunaan hyougen terebut peserta didik juga harus memperhatikan konteks di mana, kapan, dan kepada siapa ungkapan tersebut digunakan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap maksud yang ingin disampaikan penutur. Hal ini

(12)

disebabkan oleh ungkapan yang termasuk yobikake-outou-no hyougen memiliki fungsinya masing-masing. Selain itu, penggunaannya juga sangat bergantung pada konteks, yaitu konteks sosial dalam masyarakat Jepang.

2.3 Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk mengkaji masalah dalam penelitian ini adalah teori pembelajaran bahasa, teori semantik (makna leksikal) dan teori pragmatik (makna kontekstual) serta didukung oleh teori sosiokultural.

2.3.1 Pembelajaran Bahasa

Purwo (1990:85) mengatakan bahwa pembelajaran (learning) mengacu pada pengetahuan secara sadar mengenai bahasa dan pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa. Pemelajar mengetahui kaidah-kaidah-kaidah-kaidah tersebut, menguasai tata bahasanya, dan dapat berbicara mengenai hal tersebut. Pengetahuan formal mengenai bahasa atau proses belajar secara eksplisit dapat dikaitkan dengan istilah pembelajaran. Pembelajaran bahasa juga berkaitan dengan pendekatan, metode, dan teknik yang digunakan.

Pendekatan dalam pembelajaran bahasa didefinisikan sebagai teori, prinsip-prinsip, dan filosofi yang mendasari seperangkat praktik pengajaran bahasa. Dengan kata lain, pendekatan mengacu pada teori-teori tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa yang merupakan sumber bagaimana cara guru melaksanakan pembelajaran di dalam kelas dan alasan menggunakan cara tersebut (Padmadewi, 2012:3--4). Pendekatan pembelajaran dimulai pada akhir abad ke-19 dengan menggunakan pendekatan struktural. Dalam pendektatan struktural, guru

(13)

lebih banyak menggunakan waktunya di dalam kelas untuk mengajarkan pengetahuan bahasa, tidak mengajarkan agar peserta didiknya pandai berbahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Selain itu, dalam pengajaran secara struktural, bahasa dianalisis berdasarkan bentuk-bentuk bahasa, yaitu subjek – predikat (Purwo, 1990:11).

Pendekatan yang berorientasi kepada guru mengalami pergeseran seiring dengan perumahan zaman. Dimulai dari adanya pendekatan humanistik yang menurut Sumardi (1992:20) merupakan pendekatan yang mengutamakan peranan peserta didik dan berorientasi pada kebutuhan peserta didik. Menurut pendekatan ini, peserta didik tidak sekadar menerima ilmu secara pasif, tetapi hendaknya dapat membantu dirinya sendiri dalam proses belajar mengajar.

Selain pendekatan humanistik, muncullah pendekatan komunikatif karena ketidakpuasan para ahli pengajaran bahasa terhadap pendekatan yang bertumpu pada pengajaran tata bahasa sehingga membuat peserta didik tidak dapat menggunakan bahasa yang dipelajari pada situasi yang sebenarnya. Pendekatan komunikatif adalah pendekatan yang disusun berdasarkan fungsi bahasa dan kebutuhan peserta didik sehingga dapat menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya (Sumardi, 1992:83). Apabila tujuan pengajaran bahasa berpusat pada kemampuan komunikatif peserta didik, perhatian guru harus lebih dipusatkan pada penggunaan bahasa untuk maksud-maksud komunikatif daripada penguasaan kaidah gramatikal yang mengajarkan peserta didik mengatakan kalimat yang benar (Sumardi, 1992:99).

(14)

Setelah kemunculan beberapa pendekatan pengajaran dalam dunia pendidikan, selanjutnya berkembanglah konsep pragmatik. Purwo (1990:1--2) mengatakan bahwa pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dapat dibedakan sebagai bidang kajian linguistik dan sebagai salah satu segi di dalam bahasa (fungsi komunikatif). Kemunculan pragmatik dalam dunia pendidikan ini kemudian memicu kemunculan pendekatan pragmatik dalam pengajaran bahasa.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengertian metode, Nawawi dalam Fachrurrozi dan Erta Mahyuddin (2011:5) mengemukakan bahwa metode dalam pengajaran bahasa merujuk kepada apa yang secara nyata dilakukan dan dipraktikkan guru dalam rangka membantu peserta didik mencapai kecakapan berbahasa yang diharapkan. Metode menjadi kelanjutan pendekatan karena rencana pengajaran bahasa harus dikembangkan dari teori-teori tentang sifat alami bahasa dan pembelajaran bahasa. Padmadewi (2012:4) mengatakan bahwa metode merupakan realisasi praktis dari pendekatan. Metode membahas hal-hal yang berhubungan dengan jenis-jenis aktivitas guru dan peserta didik, peranan guru dan peserta didik, jenis materi yang diajarkan, dan silabus yang digunakan. Salah satu metode dalam pembelajaran bahasa adalah CLT (Communicative Language Teaching), yaitu metode yang melibatkan peserta didik untuk menggunakan bahasa dalam proses komunikasi riil dan sesungguhnya. Dalam hal ini suatu lingkungan yang membutuhkan ketepatan dalam bidang bahasa dan dalam mempraktikkan proses komunikasi (Padmadewi, 2012:70). Sementara itu, beberapa teknik juga digunakan dalam proses pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah teknik role play (bermain peran).

(15)

2.3.2 Teori Semantik

Pembelajaran berpendekatan semantik berkaitan dengan makna leksikal ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen. Beberapa ungkapan tersebut juga memiliki makna leksikal yang sama. Dengan demikian, teori-teori semantik berikut ini digunakan untuk menganalisis makna ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen tersebut.

Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Semantik leksikal memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan mandiri. Saeed (2004:53) mengatakan bahwa terdapat dua permasalahan utama yang selalu menjadi pusat perhatian untuk ditelaah dalam kajian semantik leksikal, yaitu (1) menguraikan arti kata suatu bahasa dan (2) memperlihatkan bahwa arti sebuah kata dengan kata yang lainnya dalam suatu bahasa saling berhubungan.

Untuk menguraikan arti kata suatu bahasa, kamus dapat digunakan untuk mengetahui makna leksikal kata tersebut. Verhaar (1983:9) mengatakan bahwa sebuah kamus merupakan contoh yang tepat untuk semantik leksikal; makna tiap kata diuraikan di sana. Secara mudah untuk mengetahui makna leksikal suatu kata, orang dapat memanfaatkan kamus, sedangkan kalau ingin mengetahui makna leksikal istilah tertentu, orang dapat memanfaatkan kamus istilah dalam bidang ilmu tertentu (Pateda, 2010:74--75). Pateda (2010:119) juga mengatakan bahwa makna leksikal (lexical meaning) atau makna semantik (semantic meaning) adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti dapat dibaca di dalam

(16)

kamus bahasa tertentu. Dikatakan berdiri sendiri sebab makna sebuah kata dapat berubah apabila kata tersebut telah berada di dalam kalimat. Dalam bahasa Jepang, makna leksikal dikenal dengan jishoteki imi atau goiteki imi, yaitu makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya atau dapat juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata (Sutedi, 2003:106).

Untuk memperlihatkan bahwa arti sebuah kata dengan kata yang lain dalam suatu bahasa saling berhubungan, analisis komponensial digunakan untuk mengetahui makna kata tersebut. Wijana (2008:88) mengatakan bahwa dalam ilmu semantik elemen makna yang menyusun sebuah kata disebut komponen makna. Untuk membedakan komponen makna yang satu dengan yang lain digunakan analisis komponensial. Parera (2004:158) mengatakan bahwa tujuan analisis komponensial adalah menemukan kandungan makna atau komposisi makna kata. Untuk menemukan komposisi unsur-unsur kandungan makna kata menurut Parera dapat dilakukan dengan cara memilih seperangkat kata yang sekiranya berhubungan, menemukan analogi-analogi antara kata yang berhubungan, dan mencirikan komponen semantik atau komposisi semantik atas dasar analogi tadi. Dalam kaitannya dengan pembelajaran sematik dalam penelitian ini, analisis komponensial dikaitkan dengan dimensi aspek sosial yang memengaruhi penggunaannya, yaitu usia, hubungan kekerabatan, hubungan keakraban, status sosial, gender, dan situasi.

Teori yang juga digunakan dalam menganalisis makna adalah taksonomi biner Leech (1976), yaitu taksonomi yang terdiri atas dua jenis oposisi yang

(17)

mempunyai batas-batas teritorial yang absolut. Artinya, tidak memungkinkan adanya kata di tengah antara dua kategori ekstrem itu. Taksonomi ini menggunakan notasi (+/-), seperti di bawah ini.

(1) “man” = “+human” “+male” “+adult (2) “woman” = “+human” “-male” “+adult (3) “boy” = “+human” “+male” “-adult (4)” girl” = “+human” “-male” “-adult

2.3.3 Teori Pragmatik

Teori pragmatik mengacu pada teori pragmatik yang dikemukakan oleh ahli pragmatik, di antaranya Levinson (1983:9) yang mendefinisikan pragmatik sebagai kajian bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Teori pragmatik lainnya, yaitu teori Leech (1993:8) yang mendefinisikan pragmatik sebagai kajian tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, dan situasi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pendekatan pragmatik dalam pembelajaran bahasa tidak lepas dari konsep yang mengaitkan penggunaan bahasa dengan konteks atau situasi ujar dalam situasi pertuturan.

Istilah pragmatik yang digunakan dalam kaitannya dengan pengajaran bahasa juga diungkapkan oleh Moris (1946), yaitu kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan pemakai bahasa (Pateda, 1991:176). Pateda (1991:181) mendefinisikan pragmatik sebagai studi tentang kemampuan pemakai bahasa

(18)

untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang digunakan dengan konteksnya. Selain itu, pragmatik juga merupakan studi tentang hubungan antara bahasa dan konteksnya yang merupakan dasar penentuan pemahamannya.

Gunarwan (2004:22) mengatakan bahwa pengetahuan pragmatik dalam arti praktis perlu diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penguasaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Kramsch (1993:13) juga menyebutkan bahwa pengajar perlu memperhatikan kompetensi pragmatik dalam pengajaran bahasa. Kompetensi ini bukan sebagai keterampilan tambahan yang harus dikuasai peserta didik, melainkan kompetensi yang dapat dicapai dengan pengajaran bahasa yang berfokus pada pengajaran penggunaan bahasa sesuai dengan konteks.

Purwo (1990:173) mengatakan bahwa pokok pengajaran pragmatik dijabarkan ke dalam topik-topik, seperti “menyampaikan informasi melalui telegram”, “menyampaikan informasi melalui telepon”, “mengatakan penyesalan”, “menawarkan bantuan”, “mengatakan persetujuan”, dan sebagainya. Selanjutnya, Purwo (1990:176--177) juga mengatakan bahwa keterampilan mencocokkan kalimat dengan konteksnya yang tepatlah yang diajarkan di dalam pokok bahasan pragmatik. Melalui pokok bahasan pragmatik, kepekaan peserta didik dapat dipertajam jika menghadapi tindak bahasa yang perlu mempertimbangkan segi hubungan antara penutur dan lawan tutur. Untuk tindak bahasa seperti itu, pemilihan kalimat yang salah dapat memengaruhi hubungan antara penutur dan

(19)

lawan tutur, misalnya mengakibatkan lawan tutur merasa kesal, merasa diperlakukan tidak sopan, dan merasakan hal yang tidak mengenakkan lainnya.

Lebih lanjut Purwo (1990:31) menjelaskan bahwa di dalam pengajaran bahasa dengan pendekatan pragmatik bukan bentuk-bentuk bahasa yang menjadi sorotan perhatian. Jika terdapat pokok bahasa mengenai struktur tertentu, kalimat tersebut tidak hanya diterawang, tetapi senantiasa dikaitkan dengan konteks penggunaannya, tidak terlepas-lepas atau kalimat sebagai kalimat saja. Memperlakukan bahasa secara pragmatik berarti memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni pada peristiwa komunikatif.

Pragmatik juga berkaitan dengan makna kontekstual suatu kata atau ungkapan. Makna kontekstual (contextual meaning) atau makna situasional (situational meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks berwujud dalam banyak hal. Konteks yang dimaksud di sini adalah (1) konteks orangan, termasuk di sini hal yang berkaitan dengan jenis kelamin, kedudukan penutur, usia penutur/lawan tutur, latar balakang sosial ekonomi penutur/lawan tutur; (2) konteks situasi, misalnya situasi aman, situasi ribut; (3) konteks tujuan, misalnya meminta, mengharapkan sesuatu; (4) konteks formal/tidaknya tuturan; (5) konteks suasana hati penutur/lawan tutur, misalnya takut, gembira, jengkel; (6) kontes waktu, misalnya malam setelah magrib; (7) konteks tempat, apakah tematnya di sekolah, di pasar, di depan bioskop; (8) konteks objek, maksudnya apa yang menjadi fokus sebuah tuturan, (9) konteks alat kelengkapan bicara/dengar pada penutur/lawan tutur; (10) konteks kebahasaan, maksudnya apakah memenuhi kaidah bahasa yang digunakan oleh

(20)

kedua belah pihak; dan (11) konteks bahasa, yakni bahasa yang digunakan (Pateda, 2010:116).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yobikake-outou-no hyougen juga memperhatikan beberapa konteks dalam penggunaannya. Adapun konteks yang dimaksud, di antaranya (1) konteks orangan, yaitu status sosial atau kedudukan penutur dan lawan tutur; (2) konteks tempat dan konteks formal, apakah digunakan di sebuah perusahaan, restoran, baik dalam situasi formal maupun nonformal; dan (3) konteks tujuan, yaitu maksud yang ingin disampaikan penutur kepada lawan tutur melalui hyougen yang digunakan.

2.3.4 Teori Sosiokultural

Penggunaan ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen juga memperhatikan hubungan penutur dengan lawan tutur berkaitan dengan aspek-aspek sosial yang berlaku di masyarakat. Teori sosiokultural berikut ini juga digunakan untuk menganalisis penggunaan ungkapan-ungkapan yobikake-outou-no hyougen dalam konteks yang tepat.

Brown dan Levinson (1987) mengatakan bahwa ada tiga variabel yang memengaruhi situasi tindak tutur, yaitu kekuatan atau power (P), jarak atau distance (D), dan tingkat pemberatan atau rank of imposition (R). P mengacu pada tiga jenis hubungan penutur dan lawan tutur dalam hal status sosial. Ketiga hubungan tersebut adalah status pendengar atau hearer lebih tinggi, sama, dan status pendengar lebih rendah. D mengacu pada familiaritas yang dapat memengaruhi bahasa dan sikap pada dua pelibat tersebut, yaitu hubungan dekat dan hubungan jauh. R mengacu pada

(21)

tingkat pemberatan terhadap lawan tutur yang memuat dua skala, yaitu besar dan kecil.

Penggunaan yobikake-outou-no hyogen sangat bergantung pada kekuatan (P) dan jarak (D). Adanya perbedaan status sosial dan kedekatan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Jepang menyebabkan penggunaan yobikake-outou-no

hyougen harus disesuaikan sesuai dengan konteks yang tepat. Hal ini diperkuat

dengan pernyataan Mizutani (1987) mengenai faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa yang santun pada sistem masyarakat Jepang, yaitu faktor keakraban, usia, hubungan sosial, status sosial, jenis kelamin, keanggotaan kelompok, dan situasi.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian berikut menjelaskan langkah-langkah dalam penelitian, metode, rumusan masalah penelitian, teori yang digunakan dalam memecahkan masalah penelitian, dan hasil penelitian.

Data mengenai pembelajaran bahasa Jepang di Nova Language School, khususnya dalam penggunaan yobikake-outou-no hyougen, makna dan penggunaan ungkapan yang termasuk yobikake-outou-no hyougen sesuai dengan konteks, serta data strategi pembelajaran berpendekatan semantik dan pragmatik, khususnya dalam pembelajaran yobikake-outou-no hyougen diperoleh melalui observasi (pengamatan), wawancara, dan studi pustaka. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teori pembelajaran bahasa, teori semantik (makna leksikal dan analisis komponensial), serta teori pragmatik (makna kontekstual dan teori sosiokultural). Hasil analisis menjadi dasar untuk mengembangkan materi

(22)

ajar yang akan digunakan dalam pembelajaran yobikake-outou-no hyougen selanjutnya.

Realita pembelajaran bahasa Jepang di Nova Language School, khususnya

pembelajaran yobikake-outou-no

hyougen

Makna dan penggunaan ungkapan yang termasuk yobikake-outou-no

hyougen sesuai dengan konteks

Strategi pembelajaran

yobikake-outou-no hyougen dan efektivitas

materi ajar yang dikembangkan Metode Penelitian

Pembelajaran Yobikake-Outou-no Hyougen melalui Pendekatan Semantik dan Pragmatik di Nova

Language School

Observasi (pengamatan), wawancara, studi pustaka

Teori pembelajaran bahasa

 Teori semantik(makna leksikal dan analisis komponensial)

 Teori pragmatik(makna

kontekstual dan teori sosiokultural)

 Teori pembelajaran bahasa  Teori semantik (makna leksikal dan

analisis komponensial)

 Teori pragmatik (makna kontekstual dan teori sosiokultural)

Hasil Penelitian

Materi Ajar

Gambar

Gambar 2.1 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan operasional ini diwujudkan dalam berbagai bentuk program antara lain: (1) kebijakan pengelolaan limbah industri komponen alat berat (PLIKAB) sebagai landasan

sebelumnya, dapat memberikan dimensi pada gambar anda. Jika tidak, anda dapat mendownload file ini dan mencobanya pada latihan ini.. Cobalah aktifkan linear dimension. Klik end

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

R4.19 Kalo dari conference call for paper itu eemm pengetahuan tentang bahasa mungkin mas ya karena bahasa Inggris ini kan luas tidak hanya dari Amreika saja dari British saja

Setelah menentukan tingkat resiko kontrol, auditor akan melakukan pengujian terhadap kontrol, dalam hubungannya dengan audit sistem informasi maka yang diuji adalah kontrol

Namun sekarang ini lambat laun potensi sumber daya alam Desa Sariwangi yang sebelumnya merupakan areal pertanian dataran tinggi/peladang penghasil palawija dan bunga- bunga kini

e-ASPIRASI KEMENKES 2015 atau Anugerah Situs Inspirasi Sehat Indonesia merupakan kegiatan penilaian website unit di lingkungan Kementerian Kesehatan RI kedua

  Diagram fasa merupakan suatu gambar yang menyatakan daerah   Diagram fasa merupakan suatu gambar yang menyatakan daerah  fasa yang stabil dengan dekomposisi