• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN

AKIBAT HUKUMNYA

ABSTRACT

A marriage is a commitment between two people, in this case a man and woman, with material purpose to build a happy and everlasting family (household) based on Belief in the one and only God which is the first principle of Pancasila (Five Principles). Asset/property issue may arise due to marriage. The development of society’s mindset lead them to enter into a prenuptial agreement before they get married considering that both husband and wife are able to earn asset/property. Besides that, there are many other reasons to enter into a prenuptial agreement. Prenuptial Agreement is an agreement which is made by two people (betrothed couple) before they get married. Prenuptial Agreement had been stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974. However, since the Constitutional Court issued the Decision No. 69/PUU-XIII/2015, Prenuptial Agreement has several modifications which are presently being pros and cons in society. The matter which is being researched in this thesis is: what is the legal consequence of a prenuptial agreement which is made after marriage and based on the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015. The approach method which is used herein is normative legal research. The law material sources are primary law material and secondary law material in form of books and Legislation. Data analyses used in this research are processing and analyzing the data qualitatively and then descriptively drawn up. The result of this research found the differences between Prenuptial Agreement which is stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974 and the Prenuptial Agreement which is stipulated in the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015.

Keywords: Prenuptial Agreement, After Marriage, Legal Effect. Latar Belakang Masalah

Sejak lahir ke dunia, manusia sebagai makhluk individu tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Tiap manusia diciptakan untuk hidup berpasangan dan untuk memulai suatu hubungan dengan pasangannya tersebut harus dilakukan dengan perkawinan.Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diamanatkan oleh agama, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.Oleh karena itu, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang diakui tidak hanya secara hukum melainkan pula secara agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pihak.Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang

(2)

diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam pancasila.Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban dari suami istri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan.Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan pada umumnya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan mengenai harta masing-masing pihak atau percampuran harta yang akan terjadi setelah perkawinan. Landasan yang diterapkan adalah asas saling percaya dan memahami satu sama lain. Namun semakin berkembangnya situasi dan kondisi dalam masyarakat, terutama dengan semakin banyaknya pengaruh budaya asing masuk ke Indonesia, sedikit demi sedikit merubah pola hidup dan pandangan masyarakat.Harta masing-masing pihak maupun percampuran harta dalam perkawinan menjadi suatu permasalahan yang disoroti oleh pasangan suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan.Hal ini dikarenakan saat ini baik pihak laki-laki maupun perempuan mampu menghasilkan harta kekayaan masing-masing hingga dipandang perlu untuk mengatur mengenai pemisahan harta bersama dalam suatu perkawinan. Upaya yang ditempuh untuk pemisahan harta tersebut dilakukan dengan membuat suatu Perjanjian Kawin..

Perkembangan ini menarik karena di dalam Pasal 29 Undang-Undang tentang perkawinan dikatakan bahwa Perjanjian Kawin dilakukan sebelum atau pada saat dilansungkannya perkawinan. Fenomena ini tentunya telah memicu perdebatan dan bahkan telah menimbulkan berbagai persoalan dalam proses pencatatan dalam akta perkawinan maupun dampaknya terhadap pihak ketiga.Secara umum perbuatan hukum pembuatan Perjanjian Kawin yang dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan, tidak diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang hanya menentukan

(3)

bahwa Perjanjian Kawin dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan, namun pada kenyataannya di dalam praktek ada Perjanjian Kawin yang dilakukan sesudah perkawinan, yang dilaksanakan dengan cara mengajukan permohonan Penetapan ke Pengadilan Negeri dan kasus terbaru dan masih hangat mengajukan permohonan Penetapan ke Mahkamah Konstitusi, hal inilah yang oleh Penulis diartikan adanya terobosan hukum untuk mengatasi adanya perkembangan hukum dengan keluarnya penetapan-penetapan tersebut. Dimana pada beberapa kasus benar-benar ada dan terjadi dalam praktiknya antara lain Penetapan Pengadilan Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr yang dengan adanya penetapan tersebut dapat dijadikan landasan hukum bagi Notaris untuk membuat Perjanjian Kawin setelah perkawinan bagi pasangan suami istri. Kasus tersebut bahkan terjadi sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan Perjanjian Kawin di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan yang didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

a. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyampaikan pikiran ilmiah teoritis secara tertulis.

b. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

c. Mahasiswa dapat mengetahui penerapan hukum atau peraturan yang mengatur mengenai Perjanjian Kawin.

Tujuan Khusus

a. Untuk dapat mengetahui pengaturan Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkwinan dilangsungkan.

(4)

b. Untuk mengetahui akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan

Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah

Penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan proposal skripsi ini merupakan tipe penelitian hukum normatif.

b. Sumber Bahan Hukum

1. Sumber Bahan Hukum Primer 2. Sumber Bahan Hukum Sekunder 3. Sumber Bahan Hukum Tertier c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, maka alat pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen.

d. Analisis bahan Hukum

Bahan-bahan Hukum yang telah diperoleh dari hasil pengutipan dan pencatatan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, lalu diolah bersadarkan kwalitas bahan hukum tersebut, dan dari hasil pengolahannya dilakukan penganalisaan berdasarkan pola pikir deduktif-induktif untuk dapat memecahkan masalah yang dibahas, kemudian disajikan secara deskriptif analisis yakni disajikan dengan disertai uraian-uraian guna mengungkapkan kebenaran yang ada.

Pembahasan :

1. Pengaturan Perjanjian Kawin di Indonesia terdapat dalam beberapa pengaturan di antaranya KUHPerdata, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, KHI dan yang terbaru adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Di dalam KUHPerdata sesuai Pasal 147 berbunyi Perjanjian Kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan oleh calon pasangan suami istri, dibuat dalam Akta Notaris, Perjanjian Kawin mulai berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan dan perjanjian kawin tidak

(5)

dapat dirubah sesuai bunyi pasal 149. UU Perkawinan sesuai Pasal 29 berbunyi Perjanjian Kawin dapat dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungan dan berlaku pada saat perkawinan dilangsungkan, selama perkawinan perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali atas persetujuan dan kemauan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. KHI sesuai bunyi Pasal 47 menyatakan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan kedua calon dapat membuat perjanjian tertulis (Perjanjian Kawin) yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Perjanjian Kawin dapat dibuat pada waktu, sebelum dilangsungkannya atau dalam ikatan perkawinan yang disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris.

2. Akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 antara lain:

a. Akibat hukum bagi pihak yang membuatnya: Pembuatan Perjanjian Kawin atas persetujuan kedua belah pihak yaitu pasangan suami istri setelah perkawinan berlangsung.

b. Akibat hukum terhadap harta: Melihat dari kasus yang melahirkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menghasilkan Perjanjian Kawin di luar persekutuan harta benda atau Perjanjian Kawin harta terpisah berupa apapun juga.

c. Akibat hukum terhadap Pihak ketiga: Perjanjian yang dibuat mengikat pihak ketiga.

Simpulan :

1. Pengaturan Perjanjian Kawin di Indonesia terdapat dalam beberapa pengaturan di antaranya KUHPerdata, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, KHI dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015

(6)

2. Akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 antara lain: akibat hukum bagi pihak yang membuatnya, akibat hukum terhadap harta, dan akibat hukum terhadap Pihak ketiga.

Saran :Bagi Masyarakat saat ini, yang belum membuat perjanjian kawin dan

membutuhkannya dapat segera membuat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi dasar hukum dalam pembuatannya.

DAFTAR BACAAN Buku-Buku

Daliyo, J.B., 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Damanhuri H.A., 2012, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan Kedua, CV, Mandar Maju, Bandung.

Faizal Kurniawan, dan Erni Agustin, 2012, Keabsahan Perjanjian Perkawinan

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.

Hadikusuma, Hilman, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut

Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung.

Jehani, Libertus, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon)

Suami Istri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara, 2010)

Meliala, Djaja S., 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan Kedua, Nuansa Aulia, Bandung.

MD, Mahfud, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali Perss 2010).

(7)

M Gaffar, Janedri, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak

Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume 10,

Nomer 1 Maret, 2013.

Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nemeth, Charles P., 2008, The Paralegal Resource Manual, McGraw-Hill/Irwin, New York.

Nurhaini Butarbutar, Elisabeth, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut

Sistematika KUHPerdata dan Perkembangannya, PT. Refika Aditama,

Bandung.

Prawirohamidjojo, R Soetojo, 1986, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan

Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya.

__________,2000, Hukum Orang dan Keluarga (Personen En Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya

Prodjohamidjojo, MR. Martiman, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta. Pugung, Solahudin, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak Dan Harta Bersama Di

Pengadilan Agama, Cetakan Kesatu, Indonesia Legal Centre Publishing,

Jakarta.

Soeroso, R., 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Soimin, Soedharyo, 2004, Hukum Orang Dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata

Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta.

____, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta.

Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta.

Syahuri, Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia:

Pro-Kontra Pembentukan Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana

(8)

Triwulan Tutik, Titik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Kamus

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, Balai Pustaka, Jakarta. Putusan

Referensi

Dokumen terkait

Kata yang menjadi kandidat jawaban ialah kata yang memiliki entitas sesuai dengan kata tanya pada query pertanyaan. Dalam perolehan entitas jawaban, yang perlu

kearifan lokal masyarakat Suku Sasak yang berada di Desa Senaru dalam memanfaatkan tumbuhan (Riswan & Andayaningsih 2008). Beragamnya bentuk pemanfaatan tumbuhan

Oktaviani (2011) dalam penelitian yang berjudul “Hubungan antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita di Desa Cepogo

Secara regulasi perlindungan hukum bagi petani diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan yang telah diganti

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau

menekankan kepada praktik agar.. siswa lebih paham, 3) sering memberikan latihan kepada siswa untuk membaca memindai, dan 4) memberikan banyak contoh wacana

[r]