• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis

Ditinjau dari pembagian wilayah pengelolaan perikanan (WPP) di Indonesia, wilayah perairan Kota Sorong termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) VI yang meliputi perairan laut Seram dan teluk Tomini. Potensi sumberdaya ikan di WPP tersebut adalah sebesar 590.620 ton/tahun, sedangkan total produksi pada tahun 2004 adalah sebesar 361.121 ton/tahun (DKP, 2005).

Kawasan pelagis terbagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dibagi atas dua zona, yaitu : zona neritik, mencakup massa air yang terletak di atas paparan benua dan zona aceanik, yang meliputi seluruh perairan terbuka lainnya. Secara vertikal terdiri atas zona epipelagik yang mempunyai kedalaman 100-150 m atau lebih umum disebut zona tembus cahaya. Zona ini merupakan kawasan terjadinya produktivitas primer yang penting bagi kelangsungan kehidupan dalam laut. Kemudian zona di sebelah bawah epipelagik sampai pada kedalaman sekitar 700 m disebut zona mesopelagik. Pada kawasan zona ini penetrasi cahaya kurang atau bahkan berada dalam keadaan gelap (Nybakken, 1992). Selanjutnya menurut Nybakken (1992), organisma pelagis adalah organisma yang hidup di kolom air jauh dari dasar perairan. Organisma pelagis adalah organisma yang hidup di laut terbuka lepas dari dasar laut dan menghuni seluruh daerah di perairan lepas yang dikenal dengan kawasan pelagis.

Menurut Uktolseja et al., (1998), sumberdaya ikan pelagis dibagi berdasarkan ukuran, yaitu ikan pelagis besar seperti kelompok tuna (Thunidae) dan cakalang (Katsuwonus pelamis), kelompok marlin (Makaira sp), kelompok tongkol (Euthynnus spp) dan tenggiri (Scomberomorus spp), selar (Selaroides leptolepis) dan sunglir (Elagastis bipinnulatus), sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil dikelompokkan antara lain : kluped seperti teri (Stolephorus indicus), japuh (Dussumieria spp), lemuru (Sardinella longiceps) dan siro (Amblygaster sirm), dan kelompok scrombroid seperti kembung (Rastrellinger spp). Jenis ikan pelagis besar, kecuali jenis tongkol biasanya berada pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi dan lebih dalam.

(2)

Jenis-jenis ikan pelagis yang dominan tertangkap dan bernilai ekonomis penting di Kota Sorong adalah :

2.1.1 Tuna (Thunnus albacares)

Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Famili : Scombridae

Sub Famili : Thunnidae Genus : Thunnus

Species : Thunnus albacares Tubuh madidihang (Thunnus albacares) berbentuk torpedo (fusiform), memiliki tapis insang (gill raker) 27-23 buah. Terdapat 2 sirip punggung yang terpisah. Pada madidihang dewasa, siri punggung kedua sangat panjang dan hampir mencapai sirip ekor. Sirip punggung kedua, sirip ekor dan finlet berwarna cerah dan pinggiran finlet berwarna hitam.

2.1.2 Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Famili : Scombridae

Sub Famili : Thunninae Genus : Katsuwonus

Species : Katsuwonus pelamis Ikan cakalang memiliki tubuh yang membulat/memanjang dan garis lateral. Ciri khas ikan cakalang adalah terdapatnya 4-6 garis berwarna hitam yang

(3)

memanjang disamping bagian badan. Umumnya ikan cakalang memiliki panjang antara 30-80 cm dengan berat sekitar 0,5 – 11,5 kg.

Ukuran fork length ikan cakalang maksimum dapat mencapai ukuran 108 cm dengan berat 32,5 – 34,5 kg sedangkan ukuran yang umum tertangkap adalah 40 – 80 cm (Collette and Nauen, 1983). Ukuran ikan cakalang matang gonad pada fork length sekitar 42 – 44 cm. Bentuk ikan cakalang secara morfologi dapat di lihat pada Gambar 3.

Sebaran geografis ikan cakalang terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang sedang. Potensi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan Timur Indonesia antara lain perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya serta sebagian kecil di bagian Barat yaitu di perairan Selatan Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Burhanuddin et al., 1984).

Gambar 3 Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

(www.fishbase.org).

2.1.3 Tenggiri (Scomberomorus spp)

Menurut Saanin (1984), taksonomi tenggiri adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Famili : Scombridae

Genus : Scomberomorus

(4)

Tenggiri (S. commerson) adalah jenis ikan yang tergolong ekonomis penting. Ikan tenggiri umumnya hidup di sekitar perairan pantai dan sering pula ditemukan di dekat perairan karang. Penyebaran spesies ini cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-pasifik Barat dari Afrika Utara dan laut Merah sampai ke perairan Indonesia, Australia dan Fiji ke Utara sampai perairan China dan Jepang. Di Indonesia, spesies ini dapat dijumpai di hampir seluruh wilayah perairan termasuk perairan Maluku dan Irian Jaya yaitu sebagian pantai Barat Halmahera, perairan Selatan pulau Seram dan hampir seluruh perairan pantai Barat Irian Jaya sampai sekitar kepala burung (Uktolseja et al., 1998).

Ciri-ciri tenggiri (S. commerson) adalah mempunyai tubuh yang panjang, berbentuk torpedo dan merupakan perenang cepat. Tenggiri (S. commerson) mempunyai mulut lebar dengan ujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Pada bagian punggung ikan terdapat dua sirip. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 15-18 buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari lemah 15-20 buah yang diikuti 8-10 buah sirip tambahan (finlet). Sirip dubur pada tenggiri (S. commerson) biasanya berjumlah 18-19 buah dan sifatnya berjari-jari lemah. Pada bagian dubur dapat ditemukan sirip tambahan sebanyak 9-10 buah. Adapun pada bagian dada dapat ditemukan sirip dada yang berjari-jari lemah sebanyak 21-24 buah.

Bagian punggung tenggiri (S. commerson) berwarna biru gelap atau biru kehijauan. Pada individu dewasa terdapat garis berwarna abu-abu pada bagian perut sebanyak 40-50. Bagian rahang ke bawah berwarna putih keperakan, sirip punggung pertama berwarna biru terang sampai biru gelap dan sirip dada berwarna abu-abu keperakan sampai biru gelap. Bentuk morfologi ikan tenggiri disajikan pada Gambar 4.

Potensi ikan tenggiri di Indonesia hampir menyebar merata di seluruh perairan Indonesia. Kecuali jenis Scomberomorus lineolatus hanya terdapat di perairan Indonesia Barat.

(5)

Gambar 4 Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j ,1982).

2.1.4 Tongkol (Euthynnus spp, Auxis thazard)

Secara umum tongkol diklasifikasikan sebagai berikut (Collete and Nauen, 1983) : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Suku : Thunnini

Genus : Auxis, Euthynnus

Species : Euthynnus affinis, Ciri-ciri morfologi tongkol adalah mempunyai bentuk badan fusiform dan memanjang. Panjang badan kurang lebih 3,4-3,6 kali panjang kepala dan 3,5-4 kali tinggi badannya. Panjang kepala kurang lebih 5,7-6 kali diameter mata. Kedua rahang mempunyai satu seri gigi berbentuk kerucut. Sisik hanya terdapat pada bagian korselet, garis rusuk (linea lateralis) hampir lurus dan lengkap. Sirip dada pendek, kurang lebih hampir sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata. Jari-jari keras pada sirip punggung pertama kurang lebih sama panjang dengan bagian kepala di belakang mata, kemudian diikuti dengan jari-jari keras sebanyak 15 buah. Sirip punggung kedua lebih kecil dan lebih pendek dari sirip punggung pertama. Permulaan sirip dubur terletak hampir di akhir sirip punggung kedua dan bentuknya sama dengan sirip punggung pertama. Sirip punggung pendek dan panjangnya kurang lebih sama dengan panjang antara hidung dan mata. Bagian punggung berwarna kelam, sedangkan bagian sisi dan

(6)

perut berwarna keperak-perakan. Di bagian punggung terdapat garis-garis miring ke belakang yang berwarna ke hitam-hitaman.

Perbedaan yang dominan antara Euthynnus dan Auxis terletak pada jarak antara sirip punggung pertama dan kedua, serta keberadaan bintik hitam di bawah korselet. Sirip punggung pertama dan kedua pada Euthynnus saling berdekatan, kurang lebih sama dengan diameter mata dan pada bagian bawah korselet terdapat bintik hitam berjumlah dua atau lebih. Auxis mempunyai sirip punggung pertama dan kedua terpisah jauh, kurang lebih sepanjang dasar sirip punggung pertama serta tidak terdapat bintik hitam di bawah korselet (Collete and Nauen, 1983). Secara morfologi bentuk ikan tongkol disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus affinis) (www.fishbase.org).

Tongkol termasuk jenis epipelagis, neuritik dan aseanik pada perairan yang hangat dan biasanya bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran terhadap kisaran suhu yang luas yaitu 21,6o-30,5o. Ikan dewasa hidup pada kisaran suhu untuk habitat Euthynnus affinis antara 18o-29oC dan biasanya bergerombol sesuai dengan ukuran, misalnya Thunnus albacares muda, cakalang, Auxis. Densitas gerombolan berkisar antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan (Collete and Nauen, 1983).

Penyebaran genus Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudra Pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan laut Hitam. Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis di lautan Hindia dan juga di sepanjang negara-negara pantai dari Afrika Selatan sampai ke Indonesia. (Collette and Nauen, 1983).

Jenis ikan pelagis kecil, umumnya mempunyai ukuran 5-50 cm, terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang

(7)

masing-masing mencapai lebih dari 100.000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger spp), layang (Decapterus spp), selar (Selaroides spp), lemuru (Sardinella spp) dan teri (Stelophorus spp). Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup di lapisan permukaan sampai kedalaman 30-60 m. Biasanya hidup bergerombol (schooling) dan hidup di perairan neritik. Di daerah-daerah dimana terjadi proses penaikan air (upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke, 1988 dalam Merta et al., 1997).

2.1.5 Kembung (Rastrelliger spp)

Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp) berbentuk cerutu. Tubuh dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari bagian lainnya. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil terletak di tulang rahang. Mempunyai 2 buah sirip punggung (dorsal fin), sirip punggung pertama terdiri dari atas jari-jari lemah. Sirip dubur tidak mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat di belakang sirip dubur dan sirip punggung kedua. Bentuk sirip ekor (caudal) bercagak dalam. Sirip dada (pectoral) dengan dasar agak melebar dan sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah. Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Famili : Scombridae Genus : Rastrelliger

Species : Rastrelliger brachysoma (Bleeker) Rastrelliger kanagurta (Cuvier)

(8)

Gambar 6 Morfologi ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j, 1982).

2.1.6 Layang (Decapterus spp)

Jenis ikan ini memiliki bentuk seperti cerutu dan sisiknya sangat halus. Dengan kondisi tubuh yang demikian, layang (Decapterus spp) mampu berenang dengan kecepatan tinggi. Decapterus ruselli mempunyai bentuk tubuh yang memanjang dan agak pipih, sedang Decapterus macrosoma mempunyai bentuk tubuh yang menyerupai cerutu. Keduanya mempunyai bintik hitam pada bagian tepi insangnya dan masing-masing terdapat sebuah sirip tambahan (finlet) pada belakang sirip punggung dan sirip dubur. Pada bagian belakang garis sisik (lateral line) terdapat sisik yang berlingir (lateral scute) (Saanin, 1984). Decapterus russeli mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan seribu hingga pulau Bawean dan Pulau Masalembo.

Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Famili : Carangidae Genus : Decapterus

Species : Decapterus russelli (Rupped) Decapterus macrosoma (Bleeker)

(9)

Gambar 7 Morfologi Ikan layang (Decapterus russeli) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j, 1982).

2.1.7 Selar (Selaroides spp)

Jenis-jenis ikan selar (Selaroides spp) yang tertangkap di perairan Indonesia yaitu selar bentong (Selar crumenopthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis).

Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Famili : Carangidae

Genus : Caranx, selar

Species : Selar crumenophthalmus

Selar kuning memiliki bentuk tubuh lonjong, pipih dengan sirip punggung pertama berjari-jari keras 8 buah, sedangkan keduanya berjari-jari keras 1 buah dengan jari-jari lemah 15 buah (Gambar 8). Sirip dubur terdiri dari 2 jari-jari keras yang terpisah dan 1 jari-jari keras yang bersambung dengan 20 jari-jari lemah. Garis rusuk membujur, memiliki 25-34 sisik duri (scute). Ikan selar termasuk dalam kelompok ikan buas. Jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol dan umumnya di sekitar pantai dangkal.

(10)

Gambar 8 Morfologi Ikan selar (Selar crumenophthalmus)

(www.fishbase.org).

2.1.8 Teri (Stolephorus spp)

Teri (Stolephorus spp) terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia dengan nama yang berbeda-beda seperti : teri (Jawa), bilis (Sumatra dan Kalimantan) dan puri (Ambon). Ikan teri berukuran 6-9 cm, seperti Stolephorus heterolobus, S. Insularis dan S. buccaneezi. Tetapi ada pula yang berukuran besar seperti Stelophorus commersonii dan S. indicus yang dikenal sebagai teri kasar atau teri gelagah yang ukuran tubuhnya dapat mencapai 17,5 cm.

Ciri morfologi teri (Stolephorus spp) adalah bentuk badan bulat memanjang (fusiform) hampir silindris, perut bulat dengan 3-4 sisik duri seperti jarum (sisik abdominal), yang terdapat diantara sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral) (Gambar 9). Sirip ekor (caudal) bercagak dan tidak bergabung dengan sirip dubur (anal). Tapis insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 21. Sisiknya kecil, tipis dan sangat mudah terkelupas. Wilayah penyebaran jenis ikan teri di Indonesia meliputi perairan Barat Sumatra, Selat Malaka, Selatan dan Utara Sulawesi, Timur Sumatra juga menyebar ke Bali, Maluku dan Irian Jaya serta perairan Utara dan Selatan Jawa.

Klasifikasi teri menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Genus : Stelophorus Species : Stelophorus spp

(11)

Gambar 9 Morfologi Ikan teri (Stolephorus spp) (Gloerfelt, T and Kailola, P.j ,1982). 2.2 Usaha Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan (Syafrin, 1993 diacu dalam Ihsan, 2000).

Menurut Monintja (1994), bahwa usaha perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan terhadap protein hewani, devisa serta pendapatan negara.

Charles (2000) mengklasifikasikan perikanan di dunia ini menjadi 2 (dua) kelas, yaitu skala kecil atau perikanan tradisional dan perikanan skala besar atau perikanan industri. Dikemukakan pula bahwa sebenarnya tidak ada defenisi yang standard atas perikanan skala kecil dan skala besar. Pengklasifikasian di beberapa negara sangat beragam, namun demikian Charles (2000) mengemukakan bahwa pembandingan antara perikanan skala kecil dan skala besar dapat dilakukan dengan melihat teknologi yang digunakan, tingkat modal, tenaga kerja yang digunakan dan kepemilikan.

Usaha perikanan dapat dibagi ke dalam perikanan industri, artisanal dan subsisten. Perikanan industri dan artisanal telah berorientasi komersial, sedangkan

(12)

perikanan subsisten hanya untuk konsumsi sendiri atau kadang-kadang menukarkan ikan dengan keperluan lain secara barter (Kesteven, 1973 yang diacu Haluan, 1996).

2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Pelagis

Usaha penangkapan ikan pelagis di sekitar perairan pantai Sorong, sebagian besar dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat penangkapan yang masih tradisional antara lain jaring insang (gillnet), pancing tonda (trolling lines), bagan perahu (boat lift net) dan pancing tuna (handlines).

2.3.1 Jaring insang (gillnet)

Jaring insang (gillnet) adalah jaring insang yang badan jaringnya terdiri dari satu lembar jaring dari bahan monofilamen atau multifilamen, berbentuk empat persegi panjang dengan bagian panjangnya jauh lebih panjang dari pada ukuran lebarnya. Pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak menghadang biota perairan. Jumlah mata jaring ke arah horizontal atau ke arah mesh length (ML) jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah mesh depth (MD).

Jaring insang menetap permukaan (surface set gillnet) adalah jaring insang yang cara pengoperasiannya diset atau dipasang secara menetap di permukaan di daerah penangkapan. Cara pemasangannya adalah dengan cara salah satu atau kedua ujungnya disambungkan melalui tali penghubung pada jangkar atau pada pemberat utama agar kedudukan jaring tidak berpindah tempat selama alat dioperasikan (Martasuganda, 2005). Secara umum jaring insang (gillnet) dapat disajikan pada Gambar 10.

(13)

Gambar 10 Alat tangkap jaring insang menetap permukaan (Martasuganda, 2005).

2.3.2 Pancing tonda (trolling lines)

Pancing tonda adalah alat tangkap yang pengoperasiannya dengan cara ditarik oleh perahu atau kapal, kapal bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Berdasarkan standar klasifikasi Indonesia, alat ini termasuk dalam kelompok pancing (Subani dan Barus, 1989). Sedangkan menurut klasifikasi von Brandt (1984) mengklasifikasikan alat ini dalam kelompok lines atau troll lines.

Trolling lines umumnya menggunakan umpan buatan (artificial bait) tetapi ada juga yang mengggunakan umpan asli (natural bait). Umpan buatan bisa terbuat dari bulu ayam, bulu domba, kain berwarna menarik ataupun dari plastik atau karet. Berbentuk miniatur menyerupai aslinya. Misalnya cumi-cumi atau ikan hingga menarik ikan pemangsa untuk menyambarnya. (von Brandt, 1984)

Penangkapan dengan pancing tonda dapat dilakukan pada siang hari dan kegiatan penangkapan dapat menggunakan perahu atau kapal motor. Biasanya tiap perahu membawa lebih dari 2 buah pancing yang ditonda sekaligus. Penondaan dilakukan dengan mengulur ± dua per tiga dari seluruh panjang tali pancing yang disediakan. Hasil tangkapan pancing tonda adalah jenis ikan pelagis besar seperti tongkol, cakalang, tenggiri, madidihang, sunglir dan kwee (Subani dan Barus, 1989). Secara umum alat tangkap pancing tonda (trolling lines) dapat disajikan pada Gambar 11.

(14)

Gambar 11 Alat tangkap pancing tonda (trolling lines) (Subani dan Barus, 1989).

2.3.3 Bagan (lift net)

Bagan merupakan alat penangkapan ikan yang diklasifikasikan ke dalam jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya jaring diturunkan secara vertikal ke dalam perairan. Penangkapan ikan dengan bagan umumnya dilakukan pada malam hari (light fishing) terutama pada hari bulan gelap dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Bagan digunanakan oleh nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali diperkenalkan oleh nelayan Bugis-Makassar sekitar tahun 1950-an. Selanjutnya dalam waktu yang relatif singkat sudah dikenal hampir oleh nelayan di seluruh Indonesia. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dikelompokkan ke dalam jaring angkat namun karena menggunakakn lampu untuk mengumpulkan ikan, maka disebut light fishing (Subani dan Barus, 1989).

Bagan terdiri dari komponen-komponen penting yaitu jaring bagan, rumah bagan (anjang-anjang), serok dan lampu. Di pelataran bagan terdapat alat penggulung (roller) yang terbuat dari kayu yang berfungsi untuk menurunkan atau mengangkat jaring bagan saat dioperasikan (Subani dan Barus, 1989).

(15)

Gambar 12 Alat tangkap bagan perahu (boat liftnet) (Subani dan Barus,1989).

2.4 Pengembangan Perikanan Tangkap

Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu perubahan yang dilakukan dengan tujuan hasil yang lebih baik. Pengertian pengembangan dalam bidang perikanan yaitu keberlanjutan melalui suatu peningkatan produksi yang didasari suatu kebijakan akan meningkatkan produksi berikutnya. Inti dari pengembangan perikanan yaitu suatu perubahan yang ingin dicapai berdasarkan suatu tujuan atau perubahan yang kurang baik menjadi lebih baik. Tujuan suatu pengembangan yaitu untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran (Sandy, 1997 diacu dalam Priadi, 2006).

Menurut Bahari (1989) bahwa pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Haluan dan Nurani (1988) mengungkapkan hal yang berkaitan dengan seleksi teknologi, yaitu bahwa perkembangan perikanan dapat dilakukan melalui pengkajian aspek-aspek biologi-teknik-sosial-ekonomi. Selanjutnya dikatakan bahwa aspek-aspek tersebut penting untuk diperhatikan dalam pengembangan perikanan. Upaya pengembangan perikanan laut dan pengelolaan di masa datang akan lebih mudah dirasakan jika pengembangan perikanan dan pengelolaannya disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(16)

Menurut DKP (2005), bahwa pengembangan sumberdaya perikanan di masa mendatang perlu persiapan lebih matang, untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : 1) perlu pengembangan prasarana perikanan, 2) pengembangan agroindustri, pemasaran dan permodalan, 3) pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan serta 4) pengembangan sistem informasi manajemen yang tepat.

Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) sektor kelautan dan perikanan mengacu pada 3 (tiga) pilar utama pembangunan nasional yaitu : 1) pro poor, 2) pro job dan 3) pro growth. Sehingga tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah : 1) meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan serta masyarakat kelautan dan perikanan lainnya melalui peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas, 2) meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian nasional seiring dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan 3) mewujudkan kondisi lingkungan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkualitas menuju pembangunan yang berkelanjutan (DKP, 2005).

Monintja (1994), menyatakan bahwa perlu adanya pertimbangan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan didalam pengembangan perikanan. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan teknologi dapat dikelompokkan menjadi 3(tiga) kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, teknologi penangkapan ikan yang secara teknis, ekonomis, mutu dan pemasaran menguntungkan dan berkelanjutan. Kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yaitu; 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan, 4) menghasilkan ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, 6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap species yang dilindungi dan 9) diterima secara sosial.

2.5 Aplikasi Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical hierarchy process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L.Saaty, seorang ahli matematik dari universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Analytical hierarchy process (AHP) pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan

(17)

sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analytical hierarchy process (AHP) merupakan proses berpikir yang terorganisir untuk permasalahan yang kompleks, rumit dan tidak terstruktur, yang memungkinkan adanya interaksi antar faktor, namun tetap memungkinkan untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana. AHP merupakan metoda analisis pengambilan keputusan yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreativitas di dalam ancangannya terhadap suatu masalah. AHP merupakan model bekerjanya pikiran yang teratur untuk menghadapi kompleksitas. Metoda ini menstruktur masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif.

Metode ini merefleksikan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam ini menjadi satu hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang kita buat.

Proses ini membantu untuk memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menstruktur suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas. (Saaty, 1991).

Menurut Nurani (2003) AHP merupakan metode yang applicable untuk digunakan di bidang perikanan dan kelautan. Kerumitan permasalahan di bidang perikanan dan kelautan serta keterbatasan data-data numerik sering menjadi faktor kendala yang menyulitkan dalam pengambilan keputusan. Dengan PHA, kompleksitas masalah dapat disederhanakan dengan pembuatan struktur hirarki, memungkinkan bagi penentu kebijakan untuk membuat struktur hirarki yang disesuaikan dengan pokok permasalahan.

Prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan AHP yaitu: (1) menyusun hirarki, (2) menetapkan prioritas dan (3) konsistensi logis. Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen-elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang (pairwise comparison). Matriks banding berpasang diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas

(18)

elemen lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan. Bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Skala banding secara berpasang (Saaty, 1991)

Tingkat kepentingan

Defenisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih

penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting

dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting

dari elemen yang lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek

9 Satu elemen mutlak lebih

penting dari elemen yang lainnya

Bukti yang mendung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai

pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan

Kebalikan Jika untuk elemen i mendapat

satu angka bila dibandingkan dengan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai kebalikan bila dibandingkan dengan elemen i

Konsistensi sangat penting dalam pengambilan keputusan. Konsistensi memiliki dua makna yaitu: pertama, obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman dan relevansinya, kedua, konsistensi terkait dengan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui rasio konsistensi (Consistency Ratio :CR). Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika rasio konsistensi lebih dari 10%, pertimbangan tersebut mungin acak dan perlu diperbaiki. Nilai Indeks acak (RI) dari matriks berordo 1 sampai dengan

(19)

10,yang digunakan untuk menentukan Rasio konsistensi (CR) tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai random consistency index (RI) untuk jumlah elemen (n) 1 sampai dengan 10 (Saaty, 1991)

2.6 Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna

Tujuan pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah untuk mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, sehingga merupakan alat tangkap yang cocok untuk dikembangkan. Haluan dan Nurani (1988) mengemukakan bahwa untuk menentukan unit usaha perikanan tangkap pilihan digunakan metoda skoring. Penilaian metoda skoring mencakup analisis terhadap aspek-aspek sebagai berikut :

(a) Aspek biologi mencakup : ukuran mesh size jaring yang digunakan untuk menganalisa selektivitas alat tangkap, jumlah ikan layak tangkap, jumlah komposisi hasil tangkapan dan cara pengoperasian alat tangkap.

(b) Aspek teknis mencakup : produksi per trip, produksi per tenaga kerja dan produksi per tahun.

(c) Aspek sosial meliputi : jumlah tenaga kerja per unit penangkapan, tingkat penguasaan teknologi dan kemungkinan kepemilikan unit penangkapan ikan oleh nelayan yang diperoleh dari pendapatan nelayan per tahun dibagi investasi dari unit penangkapan.

(d) Aspek ekonomi mencakup : analisis aspek ekonomi dan finansial yaitu meliputi penerimaan bersih per tahun dan penerimaan per tenaga kerja per tahun. Sedangkan untuk analisis finansial meliputi penilaian dengan Net

N RI N RI 1 0,00 6 1,24 2 0,00 7 1,32 3 0,58 8 1,41 4 0,90 9 1,45 5 1,12 10 1,49

(20)

Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Return (IRR).

Prinsip dasar untuk penentuan berdasarkan cara skoring terhadap unit perikanan tangkap adalah untuk penilaian pada kriteria yang mempunyai satuan berbeda dan penilaiannya dilakukan secara subjektif. Penilaian terhadap semua kriteria secara terpadu dan dilakukan standarisasi nilai dari kriteria masing-masing unit penangkapan ikan. Kemudian skor tersebut dijumlahkan, makin besar jumlah skor berarti lebih baik atau efisien dan sebaliknya (Mangkusubroto dan Trisnadi, 1985 diacu Purbayanto, 1991).

Menurut Haluan dan Nurani (1988) dan Purbayanto (1991) aplikasi metoda skoring untuk pemilihan teknologi alat tangkap untuk aspek selektivitas alat tangkap dilakukan dengan parameter ukuran mata jaring seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai skor untuk aspek selektivitas alat tangkap dengan parameter mata jaring untuk jenis alat penangkapan ikan yang diteliti

Analisa ekonomi merupakan salah satu aspek dalam evaluasi investasi. Dalam analisa ini, proyek/usaha dilihat dari sudut perekonomian dan biasanya yang diperhatikan adalah hasil total atau produktivitas atau keuntungan yang diperoleh dari semua sumber yang dipakai dalam proyek/usaha untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak mana yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan pihak mana dalam masyarakat yang menerima hasil (Kadariah, 1988).

Selanjutnya menurut Kadariah (1988) bagi para pengambil keputusan, yang penting adalah mengarahkan penggunaan sumber-sumber langka kepada proyek/usaha yang memberikan hasil yang paling banyak untuk perekonomian

Mesh size Selektivitas Skor

< 1,2 cm Tidak selektif 1

1,2 – 2 cm Kurang selektif 3

2,1 – 2,5 cm Cukup selektif 5

2,6 – 4 cm Selektif 7

(21)

secara keseluruhan yaitu yang menghasilkan social return atau economic returns yang paling tinggi.

Dalam analisa proyek ada beberapa kriteria yang sering digunakan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu usulan proyek. Dalam semua kriteria itu baik manfaat (benefit) maupun biaya dinyatakan dalam nilai sekarangnya (present value). Beberapa kriteria tersebut adalah :

1) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Yang dimaksud dengan Net B/C Ratio adalah perbandingan antara Present Value dari net benefit yang positif dengan Present Value dari net benefit yang negatif (net cost). Metode ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Jika net B/C ratio > 1, maka proyek dianggap layak untuk dilanjutkan. Jika net B/C ratio < 1, maka proyek dianggap tidak layak untuk dilanjutkan. 2) Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari cost. Dimana nilai B dan C adalah B dan C yang telah didiscount. Untuk menentukan ratio-ratio atau net present value tersebut diatas harus ditetapkan lebih dahulu discount rate yang akan digunakan untuk menghitung present value baik dari benefit maupun dari biaya. Jika B/C ratio <1, maka hal ini berarti bahwa dengan discount rate yang dipakai, present value dari benefit < present value biaya dan hal ini berarti bahwa proyek tersebut tidak menguntungkan atau Net Present Value lebih besar dari 0 (positif).

3) Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return adalah merupakan discount rate yang dapat membuat NPV proyek sama dengan nol (0), atau yang dapat membuat B/C ratio sama dengan 1. Dalam perhitungan IRR ini diasumsikan bahwa setiap benefit neto tahunan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya dan memperoleh rate of return yang sama dengan investasi sebelumnya (Kadariah, 1988).

Selain kriteria tersebut diatas, terdapat kriteria tambahan untuk mengukur kelayakan investasi yaitu break even point digunakan untuk menentukan usaha tersebut mengalami untung atau rugi.

(22)

2.7 Analisis Fungsi Produksi

Menurut Soekartawi (1990) bahwa hubungan teknis antara faktor produksi yang dihasilkan persatuan waktu dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan, tanpa memperhatikan harga-harga baik harga-harga faktor produksi maupun produksi itu sendiri disebut fungsi produksi. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut :

Y = f (X1,X2,X3,………..,Xn), sedangkan (X1,X2,X3,………….,Xn) adalah

merupakan faktor produksi yang dipakai untuk menghasikan produksi (Y). Fungsi diatas menerangkan produksi yang dihasilkan tergantung dari faktor-faktor produksi, tapi belum memberikan keuntungan kuantitatif antara faktor-faktor produksi dengan produksi. Hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk yang khas yaitu fungsi produksi dengan fungsi linier atau kuadratik dan analisis regresi.

Apabila dalam persamaan garis regresi tercakup dua jenis variabel yaitu variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable), maka yang umum digunakan adalah fungsi linier dan analisis regresi. Oleh karenanya, regresi ini dinamakan regresi linier berganda tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Persamaan garis tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Y = bo + b1X1 + b2X2 +b3X3 +……….bnXn

Keterangan : Y adalah variabel tak bebas

Gambar

Gambar 3  Morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Gambar 4  Morfologi ikan tenggiri (Scomberomorus commerson)   (Gloerfelt, T and Kailola, P.j ,1982)
Gambar 6  Morfologi ikan kembung (Rastrelliger kanagurta)                         (Gloerfelt, T and Kailola, P.j, 1982)
Gambar 7  Morfologi Ikan layang (Decapterus russeli)          (Gloerfelt, T and  Kailola, P.j, 1982 )
+6

Referensi

Dokumen terkait

% Jumlah Partisipasi masyarakat yang hadir dalam musrenbang kecamatan dibagi jumlah. masyarakat yang diundang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi pakan terfermentasi dan pakan alami meningkatkan kepadatan dan laju pertumbuhan populasi spesifik Diaphanosoma sp.. Kata

Pengujian ini bertujuan untuk menganalisa sistem dalam mendeteksi warna uang kertas dan mengeluarkan suara seperti warna yang dideteksi oleh sensor warna. Peralatan

Asam Oleat merupakan golongan asam lemak yang dapat berfungsi sebagai peningkat penetrasi pada pemberian melalui transdermal, dengan cara berinteraksi dengan lipid pada

Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Herawati, menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dan saponin yang terkandung dalam getah tanaman Euphorbia milii Des Moulins mempunyai

Untuk mengetahui komponen yang terkandung dalam ekstrak etanol kulit buah jeruk manis (Citrus sinensis (L.) Osbeck) yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus

Salep Polietilen glikol mudah tercuci dengan air dan dapat digunakan pada bagian tubuh berambut (Voigt, 1995). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka dilakukan penelitian

Pembelajaran lempar lembing dengan bola berekor pada sisiwa kelas IV sangat memberikan suasanan yang baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dampak positif seperti